Rigel menyandarkan tubuhnya di kursi kerja, menekan pelipisnya yang berdenyut hebat. Pekerjaan yang menumpuk di hadapannya terasa kabur dan membingungkan. Pandangannya mulai mengabur, tubuhnya terasa panas, dan napasnya berat. Dia tahu betul apa yang sedang terjadi. Periode itu datang lagi-fase yang selalu datang satu bulan sekali, membuat tubuh dan pikirannya dikuasai oleh hasrat liar yang sulit dijelaskan.
Dia bukan anak kecil lagi. Lelaki berusia dua puluh sembilan tahun itu sadar betul bahwa tubuhnya berbeda dari pria biasa. Ada sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan, dan selama ini, dia hanya bisa meredakannya dengan cara-cara yang tidak pantas disebutkan dalam lingkaran terhormat. Dulu, sebelum menikah, dia bisa dengan bebas melampiaskan semuanya. Pesta-pesta topeng, wanita-wanita asing tanpa nama-semuanya bebas dia cicipi, tanpa ikatan, tanpa beban. Namun sekarang dia adalah suami. Suami dari Althea. "Marco, siapkan mobil. Aku pulang sekarang," ujarnya pelan namun tegas. Marco, asistennya yang setia, menatapnya cemas. "Kau tak enak badan?" "Sedikit." Jawab Rigel dengan nada malas. "Perlu ke rumah sakit? Atau-" "Tidak. Aku hanya ingin pulang dan istirahat." Ucapnya. Perjalanan pulang terasa seperti siksaan. Rigel duduk dengan gelisah, menahan kegelisahan dalam tubuhnya yang terasa seperti terbakar dari dalam. Ketika sampai di rumah, beberapa pelayan menyambutnya dengan sapaan sopan, namun ia tak menggubris. Langsung saja ia menuju kamar. Beruntung, kamar itu kosong. Althea belum pulang. Rigel menghela napas lega. Setidaknya ia punya waktu untuk mengatur dirinya sendiri sebelum harus kembali memainkan peran sebagai suami yang dingin dan acuh. Ia melepas bajunya satu per satu, membiarkan tubuhnya terbebas dari pakaian kerja yang menyesakkan. Tubuhnya sudah bereaksi sejak di mobil. Hasrat itu muncul begitu saja, dan kini semakin menggila. Ia merasa seolah sedang dikurung dalam tubuhnya sendiri, dan satu-satunya jalan keluar adalah melampiaskan semuanya. Sial. Ia masuk ke kamar mandi dan mulai memainkan dirinya sendiri. Tapi itu tak cukup. Bukan lagi. Bukan untuk hasrat sebesar ini. Bahkan setelah cairan itu keluar, tubuhnya masih terasa kosong dan pikirannya semakin kacau. Ia tahu ini akan menjadi bulan yang paling menyiksa sejak ia menikah. Ia tidak bisa menyentuh wanita lain, dan menyentuh istrinya sendiri? Itu... batas yang ia buat sendiri sejak awal. Hubungan mereka dingin, teratur, dan tanpa sentuhan. Ia terlalu bangga untuk mengubah aturan yang ia ciptakan sendiri. Namun kini, batas itu mulai terlihat seperti penjara. Setelah mandi, ia turun untuk makan. Althea masih belum kembali. Ia menyantap makan malamnya tanpa selera, lalu duduk di sofa, mencoba meredakan pikirannya yang masih bergejolak. Hingga suara langkah kaki menggema dari arah pintu. Althea. Wanita itu masuk dengan wajah tenang seperti biasanya, membawa beberapa belanjaan dan sebuah kotak kecil di tangannya. "Kau sudah pulang," katanya, dengan senyum kaku yang sama seperti setiap hari. Rigel hanya menoleh, dan seperti biasa, hanya keheningan yang menyambut mereka. "Kau mau?" tanyanya, menyodorkan kotak cokelat ke hadapannya. Rigel menerimanya, meski pikirannya bukan pada cokelat itu. Ia menatap Althea tanpa sadar, dan pandangannya tertuju pada kerah blusnya yang sedikit terbuka saat ia menunduk. Ia menelan ludah. Dada itu... sempurna. Sial. Ia mencoba mengalihkan pandangan, namun rasanya semakin sulit menahan diri. Bahkan senyum kaku Althea terlihat manis di matanya sekarang. Bukan karena cokelat. Tapi karena tubuhnya yang perlahan mulai terlihat seperti sosok wanita yang selama ini ia impikan-meski ia sendiri tidak pernah mengakuinya. Setelah Althea naik ke atas, Rigel menyandarkan diri di sofa. Kepala kembali berdenyut, tubuh panas, dan pikirannya tidak tenang. Ia tahu tubuhnya belum selesai. Ia kembali naik ke kamar. Tempat tidur terasa dingin, namun tidak cukup untuk meredakan panas di tubuhnya. Dan ketika suara pintu terbuka, ia langsung menoleh. Althea berdiri di sana, hanya mengenakan handuk kecil yang nyaris tidak bisa menutupi tubuhnya sepenuhnya. Rambutnya basah, kulitnya mengilap, dan tubuhnya... Rigel tak bisa berpaling. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Althea, kaget melihatnya di kamar lebih awal dari biasanya. "Aku tidak enak badan," jawabnya cepat, memejamkan mata mencoba menghapus bayangan tubuh basah itu dari pikirannya. Namun tak bisa. Ia sudah terlalu jauh. Beberapa menit kemudian, ia merasakan tangan dingin menyentuh keningnya. Althea-dengan wajah khawatir, menyuruh pelayan mengambilkan obat dan termometer. Ia tidak pernah melihat sisi ini darinya. Lembut, perhatian, dan begitu dekat. Dia membiarkannya menyentuhnya. Bahkan memegang tangannya untuk memberikan obat. Sentuhan sederhana itu terasa seperti luka bakar di kulitnya. Panas. Membakar. Menyiksa. Althea membaringkan diri di sampingnya setelah memastikan ia minum obat. Rigel tidak bisa tidur. Ia gelisah. Nafasnya berat. Dan ketika selimut tersingkap sedikit, menampakkan kulit perut ramping dan pahanya yang mulus... Rigel memejamkan mata erat-erat. Tubuhnya bergemuruh. Hasratnya mencapai puncak. Ia tahu jika terus seperti ini, ia akan benar-benar kehilangan kendali. Dan untuk pertama kalinya dalam setahun, ia tidak yakin apakah ia bisa tetap menjaga batasan yang telah ia buat sendiri. Ia menatap Althea yang tertidur. Bibirnya lembut, wajahnya damai. Begitu dekat, dan kini terasa begitu jauh dari batas yang seharusnya ia jaga. "Milikku..." bisiknya dalam hati. Dan mungkin... malam ini, batas itu akan runtuh. Rigel mendekati Althea yang tertidur, tubuhnya tampak begitu tenang dalam keheningan malam. Hati Rigel berdebar saat tangannya perlahan-lahan mulai mendekat ke tubuh Althea, masuk kedalam pakaian wanita itu dan menyentuhnya dengan hati-hati. Ini bukan pelecehan, karena Althea adalah istrinya, namun ada rasa canggung yang tiba-tiba muncul. Semua perasaan yang terpendam, kegelisahan, dan dorongan yang menggila terasa begitu kuat dan intens saat tangannya meremas tubuh Althea. Sial, Itu terasa kenyal dan lembut. Rigel menarik tangannya ketika Althea menggeliat dalam tidurnya, dan seketika itu dia bisa melihat bagian tubuh Althea yang terungkap. Matanya terfokus pada tubuh istrinya yang begitu sempurna. Dia terdiam sesaat, kagum pada keindahan di hadapannya. Saat ini dia merasakan ketegangan dalam dirinya. Ini normal, bukan? Dia sudah lama tidak menyentuh wanita bahkan kini dia sadar betapa bodohnya dia yang selama ini mengabaikan Althea. Rigel benar-benar bodoh dan buta, mengabaikan kecantikan surgawi seperti Althea. Walau sudah menyentuh tubuh Althea tapi dia masih belum merasa puas. Rigel hanya bisa menahan diri, berusaha mengendalikan nafsu yang menggila, namun tak bisa menepis perasaan yang membelainya. Sambil menatap wajah Althea yang tertidur dengan damai, dia merasa ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan. Rigel merasakan dia mulai menerima kehadiran Althea walau mungkin hanya ketertarikan fisik saja, seperti ada sesuatu yang mengikat Rigel. Seakan semua yang terpendam selama ini akan meledak dalam satu waktu.Keesokan paginya, sinar matahari yang hangat membanjiri kamar luas vila itu. Althea terbangun lebih dulu. Ia membalik tubuhnya perlahan, menghadap Rigel yang masih terlelap. Wajah pria itu terlihat jauh lebih tenang, jauh dari sosok Rigel Lester yang selama ini dikenal dunia sebagai dingin dan tak tersentuh. Dalam tidur pun, ia tetap menggenggam tangan Althea, seakan takut melepaskannya.Althea mengelus pipi Rigel pelan. "Apa kau sadar... betapa kau telah berubah?"Seolah mendengar suara pelan itu, Rigel mengerang kecil dan membuka matanya. Ia tersenyum samar melihat wajah Althea begitu dekat."Selamat pagi, istri cantikku," gumamnya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.Althea tersenyum lebar. "Kau sadar? Kau tidak mendengkur semalam."Rigel menyipitkan mata. "Aku tidak pernah mendengkur.""Kau dengkur pelan kalau terlalu capek. Tapi semalam... mungkin terlalu bahagia, ya?" godanya.Rigel hanya terkekeh, lalu menarik Althea masuk dalam pelukannya lagi. "Kalau bisa, aku mau
Beberapa hari berlalu sejak kejadian di restoran. Luka di hati Althea masih membekas, namun sikap Rigel yang semakin lembut dan penuh perhatian mulai mengobatinya sedikit demi sedikit. Lelaki itu benar-benar berubah. Ia menjadi seseorang yang tidak hanya menjaga Althea secara fisik, tetapi juga emosinya. Ia mendengarkan lebih banyak, menyentuh dengan lebih hati-hati, dan mencintai dalam diam yang perlahan tumbuh menjadi nyata.Sore itu, cahaya matahari menyusup masuk melalui jendela kamar mereka, mewarnai dinding dengan semburat jingga yang hangat. Althea duduk di depan cermin, menyisir rambutnya pelan. Wajahnya masih terlihat tenang, namun gurat kelelahan tak sepenuhnya hilang dari matanya. Rigel, yang sedari tadi memperhatikannya dari tepi ranjang, akhirnya membuka suara.“Althea,” panggilnya pelan.“Hm?” Althea menoleh dengan senyum lembut.“Ayo kita pergi.”Althea mengerutkan dahi, bingung. “Pergi ke mana?”“Liburan,” jawab Rigel sambil berdiri dan menghampirinya. Ia berlutut di s
Langkah Althea membawanya ke jalan kecil di sisi taman, tak jauh dari restoran. Pepohonan rindang menaungi trotoar sempit yang sepi di siang hari. Angin berembus pelan, menggoyang dedaunan dan membawa aroma bunga-bunga liar yang bermekaran. Tapi tidak ada yang bisa menenangkan hatinya.Ia duduk di bangku kayu tua, kepalanya tertunduk, bahunya gemetar pelan.Tangis itu tidak meledak. Ia menangis dalam diam, seperti selalu.Air matanya mengalir melewati pipi yang masih terasa perih. Bukan hanya dari tamparan Vivian, tapi dari luka yang jauh lebih dalam. Luka karena merasa tak pernah cukup. Tak pernah dihargai.“Apa salahku?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar oleh angin.Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan. “Aku tidak pernah minta menjadi bagian dari mereka... Aku tidak pernah ingin apa-apa dari Rigel. Aku hanya ingin... dihargai. Dilihat.”Sesal menyesaki dadanya. Marah. Lelah. Perasaan-perasaan yang tak bisa ia ucapkan
Rigel membawa Althea masuk ke kamar dengan langkah pasti. Ia menutup pintu perlahan, lalu menatap wajah Althea yang masih terlihat letih, namun senyumnya hadir bagai bisikan yang memanggil hasrat terdalamnya. Perlahan, ia menunduk dan mencium kening Althea, lalu turun ke pipi, hingga akhirnya bibir mereka bersentuhan."Kau lelah, tapi tetap saja... menggoda seperti ini," gumam Rigel, suaranya serak.Althea tersenyum lemah. "Kau terlalu banyak bicara."Rigel tertawa pelan dan membalasnya dengan mencium lembut bibirnya, lebih lama kali ini. Tangannya melingkari pinggang Althea, mendekapnya erat, seolah tak ingin membiarkan dunia menyentuhnya lagi. Ciumannya berubah semakin dalam, dan tubuh Althea melunak dalam pelukannya."Kau tahu? Saat kau menatapku dengan mata yang lelah itu, jantungku berdetak lebih keras," bisik Rigel, matanya menelusuri setiap garis wajah Althea."Kau suka wanita lelah, ya?" goda Althea, membiarkan jemarinya menyusuri
Langit mendung menggantung di atas gedung Lester Corporation saat Noah memasuki kantor Rigel tanpa pemberitahuan. Wajahnya dihiasi senyum genit, tubuhnya dibalut kemeja putih ketat dan celana hitam yang dipilih dengan sangat sadar untuk menonjolkan pesona yang masih ia banggakan.“Rigel...” sapanya dengan suara lembut, mendayu. “Kau masih tampan seperti terakhir kali kulihat. Atau mungkin... malah lebih menggoda sekarang?”Rigel yang tengah memeriksa dokumen menoleh singkat, tatapannya langsung berubah kaku. “Noah. Untuk apa kau ke sini?”“Tidak bisakah aku sekadar rindu?” Noah melangkah pelan, menyusuri ruang kerja itu seolah sedang menghidupkan kembali kenangan masa lalu. “Tempat ini belum banyak berubah. Tapi kau... pasti banyak yang berubah sejak kau menikah, ya?”Tanpa malu, Noah berdiri di sisi Rigel, bahkan menyentuh bahu pria itu dengan ujung jarinya. “Apa kau masih suka disentuh di sini?” bisiknya, seolah sedang bermain-main.Rigel menepis tangannya tajam. “Jangan lakukan itu
Mobil melaju tenang di jalanan sore yang mulai teduh. Ezra menyetir dengan satu tangan, sementara tangan lainnya sibuk menunjuk ke arah bangunan atau tempat-tempat yang membuatnya tertawa sendiri.“Dulu aku pernah kerja di tempat itu,” katanya menunjuk sebuah kedai kopi mungil di sudut jalan. “Barista pertamaku bilang latte buatanku rasanya seperti air sabun.”Althea menoleh, heran. “Serius?”Ezra tertawa. “Serius. Tapi lima bulan kemudian aku dapat promosi jadi kepala barista. Lucu, kan?”Sepanjang perjalanan, Ezra terus berbagi cerita—tentang masa kuliahnya yang ceroboh, tentang pertemanan-pertemanan aneh yang ia jalani, hingga mimpinya suatu hari bisa membuka kafe sendiri dengan taman kecil di sampingnya. Cara bicaranya santai, terbuka, dan penuh warna.Althea mendengarkan dengan senyum yang tak sadar mulai menetap di wajahnya. Udara dalam mobil tak lagi canggung, sebaliknya—penuh kenyamanan yang hangat.Ezra memang berbeda, p