Home / Rumah Tangga / Setelah Kamu Pilih Dia / Saat Luka Harus Dihadapi

Share

Saat Luka Harus Dihadapi

Author: Lina Astriani
last update Last Updated: 2025-06-27 08:54:06
Dinda berdiri di lobi gedung tempat Alya bekerja. Tangannya menggenggam map berisi dokumen dari rumah sakit, juga salinan surat pernyataan yang Alya bawa malam itu ke ruang rawat Arsen.

Hari itu mendung. Langit tampak abu-abu seperti isi hati Dinda—penuh tanda tanya, tapi juga perlahan mantap. Dia tak datang untuk balas dendam. Hanya ingin tahu: kenapa?

Pintu lift terbuka. Alya melangkah keluar sambil menggulir ponsel, lalu terhenti saat melihat Dinda berdiri di ujung lorong. Wajahnya langsung tegang.

“Dinda?” sapanya ragu.

Dinda mengangguk singkat. “Kita bicara sebentar.”

Mereka duduk di ruang tunggu kosong di lantai dua. Tak ada suara selain AC yang berdengung pelan dan suara langkah sesekali dari luar.

“Aku tahu kamu datang malam itu ke rumah sakit,” kata Dinda tanpa basa-basi. “Dan aku tahu kamu bawa surat itu buat Arsen.”

Alya menghela napas. Tidak mencoba mengelak. Hanya berkata pelan, “Kamu tahu juga akhirnya.”

“Kenapa?” suara Dinda tajam, tapi tak meninggi.
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Satu Hal yang Tak Pernah Ditulis

    Dinda sedang duduk di ayunan taman belakang rumah saat suara Rayhan terdengar dari dapur, “Kamu mau teh atau kopi sore ini?”“Teh aja,” jawab Dinda, tangannya masih sibuk memegang buku catatan kecil yang ujung-ujungnya mulai lusuh. Buku itu sudah bersamanya sejak masa-masa tergelap, dan kini kembali dibuka — bukan karena luka, tapi karena rindu akan perjalanan panjang yang telah dilewati.Beberapa halaman pertama masih penuh dengan coretan marah, patah hati, hingga tangisan diam-diam. Tapi halaman-halaman terakhir justru lembut: berisi puisi pendek, kutipan film, dan catatan kecil tentang hari-hari bersama Rayhan.Rayhan datang dengan dua cangkir teh. Ia duduk di kursi taman, menatap istrinya dengan senyum tenang.“Kamu kelihatan nostalgia,” katanya.Dinda tersenyum samar. “Iya. Aku lagi baca catatan waktu aku masih belajar berdiri sendiri lagi.”Rayhan melirik buku kecil itu. “Ada satu bagian yang belum pernah kamu ceritain ke aku. Tentang malam terakhir kamu di rumah sakit… malam wa

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Sebuah Nama Untuk Masa Depan

    Dinda menatap layar laptopnya yang menampilkan naskah setengah jadi. Jari-jarinya menari pelan di atas keyboard, tapi pikirannya tak sepenuhnya ada di sana. Ia sedang mencari kata yang tepat — bukan hanya untuk menyelesaikan kalimat terakhir di bab novel barunya, tapi juga untuk mengungkapkan isi hatinya yang terus meluap sejak malam pertemuan dengan Nadya.Di sudut ruang kerja kecil itu, Rayhan muncul sambil membawa dua gelas susu hangat. “Kamu nulis apa sampai nggak kedip begitu?”Dinda tersenyum dan memutar kursi ke arahnya. “Akhir cerita.”“Cerita kamu atau ceritanya tokoh fiksi yang diam-diam kamu titipin bagian hidupmu di sana?”Dinda tertawa pelan. “Keduanya.”Rayhan duduk di sebelahnya, menatap layar yang menampilkan kutipan terakhir:“…Dan dia belajar, bahwa cinta yang tidak datang dengan luka, bukan berarti tak dalam. Terkadang, cinta yang datang setelah kehilangan, justru membawa keberanian untuk mulai dari awal.”“Bagus,” ucap Rayhan pelan.Dinda memandangnya. “Menurutmu,

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Di Antara Rencana dan Rindu yang Tak Tersampaikan

    Minggu pagi di rumah kontrakan kecil mereka terasa lebih ramai dari biasanya. Dinda berdiri di dapur dengan celemek bermotif lemon, sementara Rayhan sibuk mengatur daftar belanja mingguan lewat ponselnya.“Aku nggak ngerti kenapa kamu selalu nulis ‘cabe rawit 10 biji’ padahal yang kita beli selalu lebih dari itu,” celetuk Rayhan sambil tertawa kecil.Dinda menoleh sambil membalik dadar telur. “Itu kode. Maksudnya, beli secukupnya. Tapi kamu selalu panik dan beli satu plastik penuh.”“Insting bertahan hidup,” jawab Rayhan sok serius. “Kalau suatu hari kamu marah dan butuh bahan buat sambal, aku udah siap.”Tawa mereka menggema di ruang kecil itu, hangat. Tapi di sela riuh kecil itu, ada sesuatu yang mengganggu hati Dinda—sebuah pesan dari seseorang yang sudah lama tak muncul.Malam sebelumnya, Dinda menerima pesan singkat dari adik Arsen: Nadya. Isinya sederhana:“Mbak, boleh nggak kita ketemu? Ada hal yang harus aku kasih tau soal malam terakhir Kak Arsen.”Dinda belum membalas. Bahka

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Tempat Aku Pulang

    Dinda menyalakan kompor kecil di dapur mungil apartemen mereka. Aromanya menguar perlahan — bau tumis bawang putih dan cabai rawit, khas sarapan ala rumah. Di luar jendela, Jakarta baru mulai menggeliat. Tapi di dalam, pagi sudah penuh warna.Rayhan keluar dari kamar sambil mengucek mata. Rambutnya masih acak-acakan, dan kausnya kusut, tapi senyumnya langsung muncul begitu melihat punggung Dinda di dapur.“Aku suka banget bangun dengan bau masakan kamu,” gumamnya, lalu memeluk Dinda dari belakang.“Bukan karena masakannya enak, tapi karena kamu lapar,” Dinda menggoda, tapi wajahnya bersemu saat Rayhan mengecup pipinya pelan.Mereka sarapan berdua di meja kecil dekat jendela. Obrolan pagi mereka ringan — tentang klien kantor Rayhan yang sempat salah kirim dokumen, dan kelas menulis Dinda yang minggu ini mulai mengulas tema ‘puisi dari luka’. Tapi dari sorot mata mereka, semuanya terasa penuh — tak ada yang sia-sia, tak ada yang sekadar basa-basi.Sesudah sarapan, Rayhan bergegas bersia

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Tempat Aku Pulang

    Dinda menyalakan kompor kecil di dapur mungil apartemen mereka. Aromanya menguar perlahan — bau tumis bawang putih dan cabai rawit, khas sarapan ala rumah. Di luar jendela, Jakarta baru mulai menggeliat. Tapi di dalam, pagi sudah penuh warna.Rayhan keluar dari kamar sambil mengucek mata. Rambutnya masih acak-acakan, dan kausnya kusut, tapi senyumnya langsung muncul begitu melihat punggung Dinda di dapur.“Aku suka banget bangun dengan bau masakan kamu,” gumamnya, lalu memeluk Dinda dari belakang.“Bukan karena masakannya enak, tapi karena kamu lapar,” Dinda menggoda, tapi wajahnya bersemu saat Rayhan mengecup pipinya pelan.Mereka sarapan berdua di meja kecil dekat jendela. Obrolan pagi mereka ringan — tentang klien kantor Rayhan yang sempat salah kirim dokumen, dan kelas menulis Dinda yang minggu ini mulai mengulas tema ‘puisi dari luka’. Tapi dari sorot mata mereka, semuanya terasa penuh — tak ada yang sia-sia, tak ada yang sekadar basa-basi.Sesudah sarapan, Rayhan bergegas bersia

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Sebelum Pagi Menyapa

    Sudah hampir dua bulan sejak Dinda dan Rayhan setuju menjadikan rumah tua itu sebagai tempat mereka tumbuh bersama. Renovasi perlahan berjalan: atap diganti, dinding dibersihkan, jendela dibuka untuk cahaya dan angin masuk, menyapu debu masa lalu yang tertinggal di setiap sudut.Pagi itu, mereka datang lagi ke rumah itu. Tidak dengan motor, tapi membawa sekotak makanan dan dua termos minuman. Seperti piknik kecil di rumah yang belum benar-benar siap ditinggali.“Denger nggak?” tanya Dinda sambil duduk di lantai ruang tamu yang kosong.“Apa?”“Sepi. Tapi bukan sepi yang nyakitin. Sepi yang… damai.”Rayhan tersenyum. “Mungkin karena sekarang kamu nggak lagi sendirian di sepi itu.”Mereka membuka kotak makanan: nasi uduk dan ayam goreng, dibungkus kertas cokelat. Duduk berhadap-hadapan di lantai, bersandar ke dinding, memakan sarapan sederhana sambil bercerita tentang warna cat, ide dekorasi, dan hal-hal kecil yang hanya bisa dibayangkan orang yang sedang membangun rumah dari hati.Dinda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status