Dua bulan kemudian ...
"Tuan, wanita itu di rawat di rumah sakit!" seru Yas pada Edzhar, yang sedang fokus melihat layar laptopnya. "Wanita mana?" tanya Edzhar tanpa mengalihkan perhatiannya. "Nona Halwa," jawab Yas. "Kenapa bisa masuk rumah sakit? Saya sudah bilang kasih wanita itu pelajaran, tapi tidak perlu sampai masuk rumah sakit!" geram Edzhar. "Nona Halwa hamil, Tuan." jelas Yas. "Hamil? Wanita sialan itu hamil?” "Ya, Tuan." Apa Halwa sedang mengandung anakku? Halwa masih suci saat itu, dan aku langsung menjebloskannya ke dalam penjara, jadi tidak mungkin dia bersama dengan pria lain. "Perintahkan untuk menghentikan sementara menyiksa batin wanita itu, sampai saya benar-benar yakin anak yang dikandungnya itu adalah benar anak saya!" "Baik, Tuan." "Segera siapkan mobil, sudah saatnya saya melihat wanita itu!” Sejurus kemudian mereka sudah sampai di bangsal rumah sakit, terlihat Halwa dengan wajah pucat dan di penuhi dengan memar itu tengah tertidur pulas. Sesekali terdengar rintihan pelan dari bibirnya yang penuh luka sobek, seperti sedang menahan sesuatu, yang Edzhar bisa tebak, pastilah itu rasa sakit akibat penyiksaan dari teman sekamarnya. Edzhar menatap sinis Halwa, merasa penderitaan wanita itu belum seberapa jika dibandingkan dengan penderitaan Tita, hingga kekasihnya itu memutuskan untuk bunuh diri. Dengan dipenuhi perasaan kesal, Edzhar menggoyangkan kaki Halwa dengan kasar, "Bangun!" serunya. Pelan-pelan Halwa membuka matanya, dan langsung memekik ketakutan saat melihat Edzhar. Ia menarik selimutnya hingga bawah dagunya dan mencengkramnya dengan erat. Sementara sorot matanya yang biasa terlihat berbinar ceria, kini tampak kuyu dan dipenuhi dengan bayangan kelam. Dua bulan yang menyiksa itu telah merubah Halwa yang cantik dan ceria, menjadi Halwa yang terlihat kusam dan menyedihkan. "Ma ... Mau apa kamu ke sini?" tanyanya dengan suara serak sambil menarik-narik tangannya yang diborgol di ranjang rumah sakit itu. "Apa ada pria lain yang bersamamu selain aku?" tanya Edzhar dingin, dengan sorot mata yang tidak terbaca. "Apa maksudmu?" "Milik siapa itu?" tanya Edzhar lagi sambil menunjuk ke arah perut Halwa, sontak Halwa langsung memeluk perutnya, seolah-olah ingin melindunginya dari siapapun yang berniat menyakitinya. ‘Kalau aku bilang ini adalah anaknya, apa dia akan memisahkanku dengan anakku? Aku tidak akan sudi memberikan anakku pada iblis berwajah malaikat itu!’ "Bukan! Janin ini milik salah satu sipir penjara," jawab Halwa sambil memalingkan wajahnya. Rasa takutnya pada pria itu menghilang, berganti dengan kekecewaan dan sakit hati, karena sekali lagi Edzhar tidak mempercayainya. Edzhar tertawa hambar, "Cih, apa kau pikir saya akan mempercayainya?" Halwa mengangkat bahunya lalu meringis pelan saat merasakan sakit, bahunya itu terkilir akibat ketiga wanita yang selalu menyiksanya itu, dan masih membengkak hingga sekarang. "Aku menyerahkan tubuhku, supaya bisa mendapat makanan enak. Makanan narapidana terasa hambar." Dan dalam hitungan detik, tangan Edzhar sudah berada di lehernya, menekan leher Halwa hingga ia kesulitan bernapas, "Aku tidak menyangka kau akan bersikap serendah itu!" Geram Edzhar "Semurah itu kau jual tubuhmu!" lanjutnya. "Tuan, tahan diri anda! Nona Halwa bisa mati!" seru Yas. Edzhar langsung menjauhkan tangannya, disusul dengan suara batuk Halwa, saat oksigen kembali masuk ke dalam paru-parunya. Edzhar terus menatap Halwa dengan sorot matanya yang terlihat tajam itu, sorot mata yang siap membunuh, sorot mata yang dipenuhi dengan kebencian. "Kenapa? Kenapa kau melakukan itu?" tanyanya. Halwa balas menatap tajam mata Edzhar, sakit diseluruh tubuhnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan sakit hatinya. Halwa bukanlah orang yang mudah jatuh cinta, tapi sekalinya ia jatuh cinta, justru pada iblis bertopeng malaikat itu. Hatinya sakit karena tidak sedikitpun pria itu mempercayainya, tidak saat Halwa menjelaskan kalau bukan Halwa yang menjebak Tita, tidak pula saat Halwa mengandung anaknya, dan pria itu dengan santai malah bertanya milik siapa anak ini? "Kenapa tidak? Kehormatanku sudah hancur, dan aku butuh makan. Ketiga wanita itu selalu menghabiskan jatah makananku, setidaknya sipir itu bersikap lembut saat melakukannya, tidak sepertimu!" jawab Halwa santai. Hatinya menjerit saat ia mengucapkan kebohongan itu. Tapi ia harus tetap melanjutkannya, atau ia bukan hanya kehilangan kehormatannya, tapi juga anaknya. "Kau!" "Tuan, kendalikan dirimu. Kita sedang berada di rumah sakit." Yas kembali menenangkan Edzhar. "Kirim dia kembali ke sel, dan lanjutkan lagi permainannya! Kali ini dengan lebih keras lagi sampai dia kehilangan anak itu! Supaya dia juga dapat merasakan, sakitnya kehilangan seseorang yang dia cintai!" perintah tegas Edzhar sebelum balik badan dan meninggalkan ruang rawat Halwa, dan Yas pun menganggukkan kepalanya, lalu mengekor di belakang Edzhar. Ya Tuhan ... Pria itu benar-benar jelmaan iblis! Halwa menggelengkan kepalanya untuk mengusir kenangan buruk itu dari ingatannya, tapi ia malah teringat akan ancaman Edzhar tadi, membuat dirinya diliputi oleh rasa takut. Ia tidak mau mengalami kesakitan itu lagi. Membayangkan dirinya kembali ke sel dan kembali mendapatkan siksaan lagi, kali ini siksaan itu akan membuat dirinya keguguran, membuat Halwa kehilangan semangat hidupnya. Ia segera menekan tombol untuk memanggil perawat. "May i help you?" tanya perawat yang datang dalam bahasa Inggris, karena mereka tahu, Halwa tidak bisa berbahasa Turki. "I need to pee!" jawab Halwa. "Wait a minute." Perawat itu berbicara pada dua orang polisi wanita yang berjaga di depan pintu kamarnya, lalu salah satunya masuk dan membuka borgol sebelum menuntun Halwa ke toilet, kemudian berjaga di depan pintu toilet itu selama Halwa berada di dalamnya. Halwa menatap pantulan dirinya di depan cermin kecil, wajah putih mulusnya kini dipenuhi dengan memar dan guratan kecil, bekas cakaran kuku ketiga wanita itu. Entah akan meninggalkan bekas permanent di wajahnya atau tidak. Seluruh tubuhnya pun tidak jauh berbeda dengan wajahnya, kecuali area perutnya. Setelah mengetahui ia telat dari jadwal haidnya, Halwa sudah curiga kalau ia tengah hamil. Dan sejak saat itu, ia selalu menghindari perutnya dari pukulan wanita itu, hingga wajahnya yang menjadi imbasnya. Halwa mwngusap lembut perutnya, "Maafkan Mommy, Sayang. Mommy sudah berusaha menjagamu, tapi kalau akhirnya kamu harus pergi karena siksaan itu, lebih baik kita pergi bersama-sama saja, yaa,” ujarnya lirih. Dengan menggunakan jet shower washer, Halwa memecahkan kaca kecil itu, dan polisi wanita yang berjaga di depan pintu langsung menggedor-gedor pintunya, sambil berteriak memanggilnya, tapi Halwa mengabaikan mereka. Ia mengambil pecahan kaca itu dan mulai mengarahkan ke nadi tangannya, air matanya yang mengenang di pelupuk matanya, mulai mengaburkan pandangannya. Lalu sambil memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya, ia mulai mengiris tangannya, hingga ia merasa darah yang mulai membasahi tangannya, dengan bau khas darah yang memenuhi indera penciumannya. Badan Halwa mulai melemah hingga ia jatuh terduduk, ia membuka kedua matanya saat kedua lengannya terkulai di sisi tubuhnya, dan matanya menatap kosong pada bayangan masa lalunya. Bayangannya saat tertawa dan becanda dengan Tita, bayangan saat pertama kali bertemu Edzhar, lalu bayangan kedua orang tuanya, yang selalu menyambut kepulangannya dengan pelukan hangat mereka. "Maafkan Halwa Ma … Pa ... " bisiknya lirih sebelum dunianya menjadi gelap, dan Halwa semakin hanyut ke dalam kegelapan itu.Pesta pernikahan itu di adakan di sebuah hotel bintang lima milik keluarga Covaz, yang kini berada langsung di bawah pengawasan Victorino yang mengelolanya dengan sangat baik. Tidak seperti pernikahan mereka sebelumnya, kali ini pesta pernikahan mereka di adakan secara besar-besaran, dengan semua media baik cetak, online maupun elektronik diundang untuk meliput pernikahan putra kedua dari salah satu bangsawan tertua di negara itu. Sekaligus memperkenalkan putra kedua yang selama ini disembunyikan identitasnya demi keamanannya itu kepada khalayak ramai. Juga mengumumkan kalau Victor kini akan ikut andil dalam bisnis keluarganya bersama dengan kakaknya, Victorino Duque de Neville. Pesta itu dihadiri berbagai macam kalangan, dari mulai pengusaha besar, artis dan model papan atas, hingga para pejabat tinggi yang tidak mau membuang kesempatan langka mereka untuk bertemu langsung dengan penerus ke
"Apa kamu senang, Sayang?' tanya Victor pada Lilian yang masih terus mengagumi dekorasi rofftop malam itu. "Aku jadi ingin membuat rooftop seperti ini, Vic. Kita bisa berbincang-bincang sambil menatap langit malam penuh bintang!" Lilian terlihat sumringah, dan sudah pasti Victor akan mengabulkan keinginan wanikta pujaan hatinya itu. Ia merapatkan dirinya pada Lilian saat berbisik, "Kita bisa main juga di rooftop itu, ya kan? Di tempat gterbuka seperti itu pasti rasanya akan jauh lebih nikmat lagi, karena adrenalin yang terpacu akan lebih besar." Lilian menjauhkan dirinya untuk menatap galak Victor, atau awalnya ia ingin menegur suaminya itu. Tapi alih-alih menegur Lilian malah terkikik geli karenanya, "Vic, kamu kenapa jadi seperti ini sih?" tanyanya. "Kamu tidak suka? Kamu lebih suka aku yang dulu? Aku yang mengacuhkan dan mengabaikanmu?"
Kalau pemandangan pagi hari yang disuguhkan dari rooftop hotel mereka adalah beraneka warna balon udara yang menghiasi langit, malam harinya rooftop itu menyuguhkan landscape Cappadocia yang diterangi dengan bermacam cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk, hotel dan fasilitas umum lainnya. Mungkin jika di tempat lainnya cahaya lampu akan terlihat biasa, tapi tidak di Cappadocia yang terlihat seperti sebuah batu yang menyala karena cahaya lampu yang terpantul pada dinding-dinding yang terbuat dari batu itu. Dan entah karena setiap malam desain rooftop selalu berubah atau hanya khusus untuk malam ini saja, karena rooftop itu kini di desain dengan begitu indahnya layaknya desain sebuah pesta pernikahan, dengan banyaknya buket bunga dan taburan kelopak mawar merah di lantainya. "Apa kita salah masuk, Vic? Mungkinkah seseorang akan mengadakan pesta di sini?" tanya Lilian yang masih terus bergandengan tangan den
Meski balon udara yang mereka naiki berhenti lumayan jauh dari titik perhentian yang sang pilot rencanakan karena arah angin berubah, mereka tetap besyukur karena balon yang mereka naiki itu mendarat dengan aman. Karena menurut yang pernah Victor dengar ada balon udara yang salah landing di perkebunan seseorang hingga harus menabrak beberapa pohon, entah karena sang pilot yang kurang cakap dalam mengendalikannya, atau arah angin yang membawa balon udara itu ke arah pohon. Meski keranjang balon udara itu terlihat kokoh dan tidak akan menyebabkan masalah serius jika menabrak pohon, tapi Victor tetap waspada, dan yang pasti, Victor tidak pernah sekalipun melepas Lilian sampai balon udara yang mereka naiki itu berhasil mendarat dengan sempurna, meski beberapa kali istrinya itu berontak ingin melepaskan diri dari pelukannya. "Kamu terlalu protektif!" sungut Lilian smabil memberengut kesal. "Itu karena aku sangat mengkhawatirkanm
Meski lokasinya lumayan jauh dari Istanbul, tapi landscape yang dipenuhi dengan perbukitan uniik di sepanjang mata memandang, membuat Halwa dan Lilian tak henti-hentinya berdecak kagum. Awalnya suami-suami mereka ingin mereka naik balon udara yang berbeda, tapi Halwa dan Lilian menolaknya. Mereka ingin menikmati keeksotisan Cappadocia itu bersama-sama, membuat Edzhar dan Victor memberengut kesal karenanya. Bagaimanapun juga, jika mereka naik di balon yang sama, tidak akan ada privasi untuk mereka. Sementara Edzhar dan Victor berniat mencium istri mereka saat balon udara itu telah mencapai ketinggian. "Aku tahu yang apa yang menyebabkan kerutan dalam di keningmu itu," bisik Victor sambil melihat Lilian dan Halwa yang masih asik menikmati pucuk-pucuk pilar batu raksasa yang terlihat mempesona. JIka dilihat dari ketinggian ini, bentuknya menyerupai kerucut, persis sekali dengan rum
"Selain pintar menghindar, sekarang kamu sudah mulai pintar mengalihkan pembicaraan juga yaa ... " kekeh Edzhar saat melepaskan c1uman mereka. Halwa membuka satu-persatu kancing kemeja Edzhar, "Aku belajar banyak darimu, Ed," akunya sambil menjatuhkan kemeja suaminya itu ke lantai. "Aku masih merindukanmu ... Dan aku hanya mau kita berdua saja sekarang di kamar ini, well mungkin dengan calon anak kita juga, karena kita belum bisa membujuknhya untuk bermain di luar," lanjutnya. Halwa memekik pelan saat tiba-tiba Edzhar membopongnya, "Aku mau mulai permainan itu sekarang!" serunya. "Iya, tapi turunkan aku dulu, aku bisa jalan sendiri, Ed." "Kamu harus menghemat tenagamu untuk berjaga-jaga kalau rasa mual itu kembali lagi. Jadi biar aku isi lagi tenagamu itu dulu!" elak Edzhar. "Ak