Share

Bab 5

Author: Valencia
Saat itu, Adipati Agung Daniswara Wiranegara melangkah masuk ke dalam ruangan.

Tatapan penuh wibawanya menyapu semua orang di ruangan itu, berhenti sejenak pada Nayara, lalu membungkuk hormat pada Nyonya Lestari. "Aku memberi salam pada Ibu."

Nyonya Lestari buru-buru melambaikan tangan. "Cepat bangun."

Setelah Daniswara berdiri, Arsaka dan Kirana serempak memanggil. "Ayah."

Hanya Nayara yang bersuara datar. "Adipati Agung."

Satu panggilan Adipati Agung itu membuat suasana di dalam ruangan kembali menegang.

Daniswara seperti tidak mendengar jelas, lalu bertanya lagi, "Barusan kamu panggil apa?"

Di antara alis dan matanya mulai tumbuh amarah.

Nayara menunduk, tetap dengan suara pelan. "Adipati Agung."

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Nayara, membuat wajahnya terpelintir ke samping.

"Tak tahu diri! Tiga tahun tidak cukup membuatmu belajar? Memanggilku Adipati Agung, kamu ingin memutus hubungan dengan Kediaman Adipati Agung? Kalau masih belum mengerti tata krama, lebih baik kembali ke barak dan terus jadi buruh kasar! Kami tidak butuh anak perempuan tak tahu berbakti sepertimu!"

Nyonya Nadindra langsung menerjang dan melindunginya. "Hentikan! Kalau mau memukul, pukul aku saja!"

Nyonya Lestari marah sampai berdiri dan memukuli tubuh Daniswara dengan tongkatnya.

Sambil memukul, air matanya mengalir deras. "Tahukah kamu betapa berat penderitaannya selama di barak? Kamu memukulnya di depan mataku, apa bedanya dengan memukulku?"

Baru saja dia berhasil menenangkan hati Nayara, kini satu tamparan dari Daniswara membuat hati Nayara kembali membeku.

Bukankah dia ayah kandungnya?

Meski Nyonya Lestari terlihat membela Nayara, pukulannya tentu tak sungguh-sungguh mengenai tubuh Daniswara.

Ditambah beberapa orang buru-buru menghentikannya, bahkan ujung baju Daniswara pun tak tersentuh.

Nayara hanya berdiri di samping, memandang dingin kekacauan di depannya.

Inikah keluarga yang katanya tak akan membiarkannya terluka lagi?

Betapa menggelikan.

Nyonya Nadindra panik ingin memeriksa wajah Nayara, tetapi terdengar suara teriakan pilu dari Kirana. Dia buru-buru menoleh, wajahnya langsung menegang.

Darah menetes dari pelipis Kirana.

Ruangan seketika sunyi.

Daniswara yang cemas langsung berteriak ke luar, "Cepat! Panggil tabib!"

Arsaka memerah matanya, dahi berkerut tajam. Dia tampak sangat marah pada diri sendiri. "Kenapa kamu menerjang ke depan? Bagaimana kalau luka itu membekas di wajahmu, dan tidak bisa disembuhkan? Kulitnya tebal tidak apa-apa, tapi kamu... kamu begitu berharga..."

Suara Kirana lirih, matanya dipenuhi air mata yang hampir jatuh. "Aku takut Ayah terluka. Tanpa pikir panjang, aku langsung menerjang."

Mendengar itu, Daniswara makin iba padanya.

Semua orang di ruangan itu mengelilingi Kirana dengan penuh perhatian.

Sedangkan pipi Nayara bengkak parah, tak seorang pun menoleh padanya.

Dia berdiri diam, tanpa suara. Tatapannya menyiratkan senyum sinis yang sekilas melintas.

Saat Daniswara memukulnya, Nyonya Nadindra tidak berdiri membelanya.

Namun, ketika Kirana yang terluka, dia justru panik bukan main.

Kalau tidak tahu, pasti mengira Kirana adalah putri kandungnya.

Daniswara menunjukkan wajah penuh kasih, tetapi tetap melayangkan tatapan tajam ke arah Nayara.

"Kalau bukan karena kamu, rumah ini tak akan serusuh ini! Aku menyesal, tiga belas tahun lalu tak seharusnya membawa anak pembawa sial sepertimu kembali ke rumah ini!"

Arsaka pun menatap Nayara dengan tidak setuju, tetapi begitu melihat pipinya yang membengkak, kata-katanya tak jadi keluar.

"Sudah! Jangan ribut lagi. Semuanya mundur." Nyonya Lestari memijat pelipisnya yang pening.

"Baik." Semua orang mundur.

Nyonya Lestari menggenggam tangan Nayara, mengoleskan obat ke wajahnya dengan tangannya sendiri, menenangkannya, "Nayara, jangan simpan dendam pada ayahmu. Wataknya memang seperti anjing galak. Nenek janji, ke depan tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi."

Melihat tatapan penuh kasih dari sang nenek, Nayara akhirnya tak jadi mengucapkan kata-kata yang menyakitkan.

"Tidak kok." Nayara berbohong dengan tenang.

Nyonya Lestari menghela napas. Dia masih ingin berbicara lebih banyak, tetapi karena tubuhnya lelah, dia menyuruh Nayara beristirahat terlebih dahulu.

Urusan lainnya bisa dibicarakan nanti.

Setelah membantu Nyonya Lestari tidur, Nayara kembali ke paviliunnya sendiri.

Baru saja ingin menarik napas, suara Nyonya Nadindra terdengar dari luar, penuh perhatian.

"Nayara, kamu sudah tidur?"

Kening Nayara mengerut tipis karena kesal, lalu memberi isyarat pada Wulan agar membukakan pintu.

Nyonya Nadindra masuk, memandangi wajah Nayara yang bengkak merah, lalu melangkah mendekat dan bertanya pelan, "Masih sakit?"

Nayara menatapnya diam-diam, seolah bertanya tanpa suara.

Nyonya Nadindra sadar dirinya mengucapkan hal bodoh, segera berkata, "Nayara, Ibu membawakanmu salep luka dari Klinik Bhuwana. Nanti ingat dioleskan ya. Ini racikan tabib sakti."

"Sekarang tabib itu sudah menghilang selama tiga tahun. Obat ini langka, jadi pakailah dengan hati-hati. Tidak sampai sebulan, bekas lukanya akan hilang."

Nyonya Nadindra merapikan rambut yang jatuh di dahi Nayara ke belakang telinganya. "Nayara, Ibu minta maaf. Ibu tidak bisa melindungimu. Kalau marah, silakan luapkan pada Ibu saja, jangan pada orang lain."

"Ke depannya, Ibu akan lebih menyayangimu."

Nyonya Nadindra menyelipkan botol salep ke tangan Nayara. Nayara membuka tutupnya.

Yang terlihat, hanya setengah botol.

Obat yang berasal dari tangannya sendiri, tentu dia tahu persis takarannya.

Benar saja, ini sisa milik orang lain.

Kalau tidak, mana mungkin dia yang memakainya.

Nyonya Nadindra melihat Nayara diam tanpa reaksi terlalu lama, mulai merasa kecewa.

Dulu Nayara tidak seperti ini. Apa pun yang diberi padanya, dia akan menerimanya dengan senyum manis.

Bahkan akan memanggil ibu dengan manja.

Akan tetapi, sekarang dia dingin seperti orang asing.

Kalau Kirana, pasti tidak akan bersikap seperti ini. Anak itu manis dan penurut, membuat orang ingin melindunginya.

"Kalau begitu, istirahatlah. Besok Ibu akan datang lagi."

Nayara berdiri. "Hati-hati, Nyonya."

Melihat Nayara tak bermaksud mengantar, Nyonya Nadindra menundukkan wajah, menyembunyikan kecewa, lalu pergi dengan langkah gontai.

Nayara menatap punggungnya, keningnya berkerut ringan.

Kalau bukan karena penyakit Nyonya Lestari, satu detik pun dia tak sudi tinggal di rumah ini.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 100

    Dia sama sekali tidak memberi muka pada Arsaka, membuat pria itu merasa sangat dipermalukan.Dulu, Nayara selalu menuruti semua ucapannya.Namun kini, di depan orang lain, dia berani membalas dengan kata-kata tajam. Wajah Arsaka pun menggelap beberapa derajat.Karena ada Sagara, dia enggan membuat keributan dengan Nayara.Akhirnya, dengan gaya sok berwibawa sebagai kakak, dia berkata pada Nayara, "Nayara, Kakak hanya bertanya biasa saja, kenapa kamu harus menjawab dengan nada seperti itu? Makin dewasa justru makin tidak tahu sopan santun."Dia sedang menyalahkan Nayara karena tidak menghargainya.Nayara mendengus pelan dan sinis. "Tuan Muda Arsaka begitu lapang dada rupanya. Tapi apakah Tuan Muda Rayendra tahu bahwa Anda memperalat dia?"Yang dimaksud Nayara adalah soal Arsaka yang diam-diam membunuh para prajurit itu. Insiden yang membuat dia dan Rayendra harus berlutut di depan istana dan menerima teguran keras dari Kaisar.Wajah Arsaka berubah. Sorot matanya dipenuhi amarah. "Nayara

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 99

    Yang diteriakkan Sagara bukan Tuan Muda Rayendra, melainkan langsung nama Rayendra. Jelas bahwa dia benar-benar marah.Para pengawal tadi tidak bisa mendekat karena kerumunan, tetapi setelah Sagara turun dari jembatan, mereka segera menyusul ke sana.Mendengar nada marah dalam suara Sagara, para pengawal pun langsung mengepung Rayendra.Rayendra menyapu mereka dengan pandangan datar, lalu mengejek dengan tawa dingin, "Cuma beberapa anak buah rendahan, tak sepadan untuk kupedulikan."Sikap merendahkannya yang terang-terangan itu membuat wajah Sagara berubah. "Hebat atau tidak, kita buktikan saja."Siapa pun yang bisa menjadi pengawal pribadi Sagara tentu bukan orang sembarangan.Meski Rayendra dikenal tangguh, melawan lima orang sekaligus pun dia tetap akan kerepotan.Hari ini, Sagara ingin menunjukkan apa akibatnya bila berani mencari gara-gara dengannya.Melihat bara di antara keduanya hampir meledak, Nayara jadi panik dan bingung harus berbuat apa.Bukan Rayendra yang dia khawatirkan

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 98

    Mungkin karena keraguan di mata Nayara terlalu jelas, tatapan Sagara padanya menjadi makin dingin.Namun, kali ini, dia tidak melontarkan sindiran seperti biasanya. Dia hanya memalingkan wajah dengan raut yang sedikit muram, tak lagi menatapnya.Namun, kedua tangannya mengepal erat.Sagara benar-benar marah, matanya menatap tajam ke satu titik tanpa berkata sepatah kata pun.Nayara justru bertanya mengapa dia menyelamatkannya?Apakah dia benar-benar lupa, atau hanya pura-pura tidak ingat?Saat usia sepuluh tahun, Sagara jatuh ke sungai karena kelalaiannya sendiri, dan Nayara yang menariknya keluar.Mata gadis kecil itu bersinar cerah, tatapannya penuh tawa saat memandangnya.Dia berkata, "Bagaimana bisa kamu berjalan lalu jatuh ke air? Kalau bukan aku yang menarikmu, kamu pasti sudah tenggelam."Waktu itu, wajah Nayara selalu dihiasi senyum lembut, matanya memantulkan cahaya seperti langit malam penuh bintang.Dia menatap Sagara yang terlihat masih terpaku ketakutan. Lalu menyelipkan s

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 97

    Nayara sama sekali tidak menyangka, hanya karena ingin melihat lampion, dia bisa terdorong jatuh ke sungai.Meski namanya sudah tercemar, dia tidak ingin menambah noda lagi dalam reputasinya yang sudah buruk.Terlebih, di hadapan begitu banyak orang, di tengah sorotan semua mata.Kalau dia sampai jatuh ke sungai, sudah pasti dia akan kembali jadi bahan omongan orang-orang.Dalam kepanikan, dia mengulurkan tangan, berusaha meraih apa pun untuk menghentikan tubuhnya agar tidak terjatuh.Tiba-tiba, tubuhnya yang sedang melayang ke bawah, berhenti.Pergelangan tangannya dicekal erat oleh seseorang. Saat menoleh ke atas, dia melihat Sagara sedang menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Pegang tanganku."Nayara tak menyangka, Sagara muncul di saat paling genting dan menyelamatkan nyawanya.Wajahnya pucat pasi, dan mata yang menatap Nayara tampak tegang.Karena terlalu keras mencengkeram, urat di keningnya menonjol dan matanya memerah.Dia berusaha menarik Nayara naik, tapi sudah bebe

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 96

    Kirana ketakutan hingga meneteskan air mata, sementara Nyonya Nadindra memeluknya erat, menenangkan dengan suara lembut, memanggilnya anak manis berulang kali.Melihat Nayara masih bersikeras, Nyonya Nadindra pun memasang wajah dingin dan menegurnya, "Itu hanya sebuah lampion, kenapa harus membuat adikmu menangis?"Ketiga kakak laki-laki mereka pun berpihak pada Kirana, dan mencela Nayara karena dianggap tidak tahu sopan santun.Akhirnya, Nayara dihukum menghadap tembok untuk merenung, sementara Kirana yang sedang sakit malah dikelilingi dan dimanja oleh semua orang.Semua perhatian tertuju pada Kirana, tak seorang pun peduli pada Nayara kecil yang hanya bisa memeluk lampion kelinci rusaknya dan menangis semalaman.Peristiwa itu mungkin hanyalah kisah lucu di mata Arsaka, tetapi bagi Nayara, itu adalah kenangan yang menyakitkan.Butuh waktu sangat lama baginya untuk benar-benar melupakan kejadian itu.Tak disangka, luka lama yang telah sembuh itu kini kembali dikoyak oleh Arsaka tanpa

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 95

    Andai Nayara tahu kalau sekadar jalan-jalan bisa membawa begitu banyak masalah, dia pasti tidak akan datang.Karena satu kalimat dari Rayendra, dia kembali merasa seperti dibakar di atas api.Tiga pasang mata tertuju padanya.Terutama tatapan Kirana yang penuh kesal dan keluhan, membuat Nayara merasa sangat tidak nyaman.Alih-alih menyalahkan biang keladinya, Kirana malah datang menemuinya.Bahkan sorot mata Arsaka pun menjadi dingin. Padahal sejak tadi dia berusaha keras menenangkan suasana di antara mereka.Namun, hanya dengan satu kalimat Rayendra, hubungan yang sempat mencair itu kembali membeku.Arsaka menarik napas dalam dan tersenyum tipis. "Rayendra, kamu salah ingat. Bukan Nayara yang suka lampion kelinci, tapi Kirana."Kirana mengangguk pelan, seolah memberi dukungan. Dengan suara lembut, dia berkata, "Kak Rayendra, aku yang suka lampion kelinci… Jangan buat Kak Nayara malu, ya."Namun, Rayendra seolah tidak mendengar. Tatapannya tetap keras mengarah pada Nayara. "Nayara, kat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status