Axel melepaskan pelukan eratnya. Tawa membahana segera terdengar setelah keterkejutan kami. Aku mengira anggota PPS telah tiba, tapi yang kulihat malah kehadiran Madam Ghie.
Wanita berwajah oriental itu menggenakan gaun panjang berwarna hazelnut. Menonjolkan lekuk tubuh ramping dan riasan yang masih kuingat sejauh ini. Minimalis, cantik, dan elegan.
"Kalian kira aku agen PPS kan? Hei, Axel, apa gadis ini yang kau ceritakan kemarin?" Ia melangkah mendekati kami.
Jemari lentik Madam Ghie memegang rahangku. "Ini bukan wajah si Manis. Ini bukan dia," putusnya.
"Suaranya," jawab Axel.
"Siapa namamu, Nak? Kau bukan Gregory Eli 'kan?" tanya Madam Ghie, ia menarik sebuah pisau kecil dan menekankan benda itu ke wajahku.
"Jangan." Axel memperingatkan Madam Ghie.
"Dia tahu tentang kita, dia harus mati atau menjadi anggota, maukah kau, hm?"
U
"El!" panggil Owen sewaktu kakiku menjejak ke dalam ruang tamu keluarga Riley."Kau baik-baik saja?" tanyaku.Pandangan Owen jatuh pada garis darah di leherku. Ia mendekat dan langsung memelukku erat-erat."Kau terluka? Apa dia menyakitimu?" Bisa kurasakan detak jantung Owen bertalu kuat."Aku tidak apa-apa, hanya goresan kecil. Kau membuatku sesak."Owen tak jua melepaskan pelukannya."Owen?"Aku mendengar isakan tangis, Owen membenamkan wajah pada leherku. "Jangan tinggalkan aku, El. Aku takut kau terluka."Pernyataan itu membuatku terkesiap. Apa anak ingusan ini benar jatuh cinta padaku? Aku tak ingin menjerumuskannya pada cinta menyakitkan, kebohongan berupa pelarian."Tenanglah, tidak ada yang mati hari ini." Cukup enggan aku mengelus punggung Owen lamat-lamat.Owen mengurai pelukan kami. Menanamkan c
"Kau yakin ini yang terbaik, El? Kau tahu bisa mendapatkan promosi setelah kasus Owen selesai, mungkin saja menjadi bagian tim Alpha," protes Eve.Aku mengepak semua pakaian ke dalam koper. "Kita sudah membicarakannya kemarin Eve, aku sudah mengajukan resign.""Kau pergi begitu saja setelah lima tahun perjuangan, semua menjadi sia-sia, El." Jodi ikut menimpali. Mereka semua berkumpul di dalam kamarku di rumah Keluarga Riley."Ini hidupku," ucapku kasar.Mereka menggeleng frustrasi. "Terserahlah." George memilih keluar dari kamar."Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Boni, hanya dia yang menerima diriku keluar dari PPS tanpa protes."Entahlah, menjalani hidup," jawabku singkat. Semua barangku telah ter-packing rapi.Eve melihatku hendak beranjak pergi. Ia menarikku ke dalam pelukan hangat. "Sampai jumpa lagi.""Terima kasih, Eve." Ak
Aku tersenyum pongah, dengan memberi tahu identitas Axel, pria berengsek itu kemungkinan tidak akan membunuh Diana. Bagaimana pun juga gadis ini hanya korban, lebih baik dia tak terjebak dengan hubungan maut ini."Kenapa, kau tidak bisa membunuhnya sekarang 'kan? Kau tak pernah memberi tahu namamu pada mangsa," ejekku.Axel mengangkat satu alis ke atas, tersenyum miring memesona. "El, bagaimana kau bisa tahu?"Jantungku seketika berdetak kuat. Oh, sial! Apa aku membuka kedok sendiri? "Tentu saja Eli memberitahukan semua padaku, semua ... bahkan kenyataan kau tak bisa terangsang dengan gadis mana pun selain dirinya."Wajah Axel seketika berubah gelap mendengar penuturanku."Diana, dia tak pernah menyentuhmu bukan?" tanyaku pada gadis manis itu.Mulanya dia diam, kelihatan bingung, tapi akhirnya mengangguk mengiyakan."Setampan apa pun dirinya, percuma saja
Netraku mengerjap sambil meliukkan tubuh, terasa sangat nyaman berada di tempat tidur empuk nan wangi ini. Tunggu dulu. Seketika tubuhku melonjak duduk memperhatikan keadaan sekitar. Apa-apaan ini? Dalam semalam saja ruangan telah berpindah, bukan lagi di basement di mana aku jatuh tertidur.Kamar ini? Tempat tidur kayu, meja dan lemari. Aku mengerjap bingung. Ini ... Rumah Kayu? Bagaimana bisa? Jangan-jangan? Sebuah pemahaman menghantamku telak. Aku berlari ke jendela untuk mengonfirmasi hal tersebut.Benar saja, jendela yang sama seperti lima tahun lalu memperlihatkan pemandangan hutan dari lantai dua. Aku menggigit jempol bingung, berusaha menggali ingatan yang terkubur.Makanan, pasti Axel menaruh sesuatu pada makanan semalam hingga aku tertidur begitu nyenyak. Ia bisa memindahkan diriku tanpa ketahuan.Aku berbalik, kembali ke tempat tidur dan menemukan Diana tertidur nyenyak di sana. Axel ta
Setelah mendengar kalimatku, Diana memilih meringkuk di kepala ranjang. Gemetar di seluruh badan. Jika dibandingkan diriku dulu, gadis ini jauh lebih rapuh dan tak berdaya. Mungkin dia tak memiliki kisah sedih sebelum bertemu Axel. Sialnya, perawakan yang mirip dengan rupaku membuat Diana harus menderita."Jangan takut," ujarku. Duduk di samping gadis itu di ranjang."Makan dulu, kau butuh kekuatan." Aku mengedik, memberitahunya piring di atas meja kayu yang tadi ditinggalkan Axel.Diana menggeleng lemah. "Kau ... tidak takut?" tanyanya pelan."Tidak! Untuk apa? Hidup tak selalu indah, mati pun bukan pilihan buruk. Selama aku tidak mati konyol saja. Makanlah jika kau tidak ingin mati konyol."Jemariku terulur ke arah sang gadis.Si gadis ragu-ragu, menerima uluranku. Aku menariknya ke kursi dan mendudukkannya di hadapan makanan. Daging panggang beserta salad membuat perut kami bergemu
Netraku memanas bersama menggenangnya air mata di sklera. Suara basah mendominasi heningnya kamar ini. Aku bergeming, terpaku tak percaya.Diana yang pertama kali menyadari kehadiranku. Mata gadis itu memancarkan kebahagiaan, sendu, menikmati adegan yang sedang mereka lakukan.Saat Axel ingin memisahkan diri, gadis itu menarik wajah si tampan, kembali menanamkan ciuman panas. Kini, tangannya berlabuh membuka kancing kemeja Axel satu per satu."Apa yang kalian lakukan?" Tak tahan lagi, aku bersuara pada akhirnya.Axel terkesiap, memisahkan diri terburu-buru dari Diana. Ia berbalik dan menatapku masih dengan mata nanar, bibir berlapis likuid lengket di antara mereka. Sungguh, menjijikkan.Aku mendengkus menahan sakit hati. "Tidak bisakah kalian menungguku keluar dulu sebelum bercinta. Apa nafsu sudah sampai di ubun-ubun?" Kertakan gigiku terdengar jelas menahan amarah.Dia d
Panas menjalar seketika membuatku tak berkutik. Rasa ini, rasa yang pernah ada. Bibirnya, napasnya, dan juga bau feromon Axel.Ketika seharusnya aku menolak dan mendorong pria itu menjauh, kenyataannya bagai boneka, tubuhku membiarkan tangan berkulit putih Axel menjelajahinya.Ia menyentuh, menanamkan ciuman di setiap lekuk tubuh. Tergesa-gesa jemarinya menarik bajuku ke atas untuk menjamah kenikmatan terlarang.Lagi-lagi bibir kami bertemu dalam tautan nafsu. Mataku terpejam, hanya ingin merasakan presensinya. Kerinduan membuncah yang selalu tertahan amarah akhirnya meluap. Gerakan kasar sang pemilik tubuh menyadarkanku saat jemarinya mulai menyentuh inti tubuhku.Aku terkesiap. Bangun dari mimpi indah dalam kenyataan pahit."Hentikan."Namun, kekasih jiwaku tak berhenti. Melucuti helai demi helai pakaian yang menganggu penyatuan kami. Matanya merah, penuh derita, dan kem
Sosoknya bergeming, berlutut di tanah dengan buku jari masih mengucurkan darah segar. Betapa menyedihkannya keadaan sekitar pria itu. Batang pohon menjadi sasaran kemarahan Axel.Retakan ranting renyah di bawah kakiku membuat Axel mengangkat kepala. Matanya masih merah, nyalang menantang, berisi kesintingan dan air mata."El?""Apa yang kau lakukan di sini?"Ia menunduk, mengabaikan kontak mata denganku. "Aku melukaimu.""Akhirnya kau sadar juga, kau tahu apa yang kau lakukan pagi tadi?"Ia mengusap wajah, kulihat lututnya memerah dan terluka. Sungguh, hatiku berdenyut nyeri."Maaf," bisiknya halus."Maaf? Kau kira maaf bisa mengembalikan semua, kau kira maaf bisa menyembuhkan lukaku? Maaf katamu!" teriakku berang."Aku--aku ...." Ia menjambak rambut sendiri, tampak sangat menderita."Apa hakmu, jika aku t