Aku masih menjalani hukuman sambil sesekali meregangkan tubuh. Terkadang aku menatap keluar jendela untuk menghirup udara segar yang bercampur aroma mawar. Bentuk merekah mereka membuat tanganku gatal ingin memetiknya satu lalu menghirupnya.Pikiranku melayang pada sosok yang kini sedang menempuh perjalanan untuk menjalankan tugasnya dan dalam hati aku hanya berkata, "Semoga berhasil."Bangunan menara di belakangku, aku tahu Erick mungkin mengawasiku di sana. Aku tak ingin menoleh ke menara itu, karena pasti ia akan menanyakannya. Aku kembali duduk dan melanjutkan tulisanku.Tak terasa hari mulai malam dan Velian belum juga kembali. Aku menutup buku setelah jemariku terasa pegal.Aku menuruni tangga dan ruangan di bawah sana terasa sepi, tapi aku bisa mencium aroma masakan yang harum dan aku segera menuju ke dapur. Di sana sudah ada Zealda yang sibuk dengan sayur mayurnya sementara di luar sana, Aleea masih sibuk menyirami tanaman yang sepertinya hampir selesai."Valen, apa kau sudah
Pikiranku melayang, menyibakkan kalimat demi kalimat Erick dalam kepalaku. Dia masih berbicara seakan-akan belum mengetahui apa pun tentangku, tapi kenapa aku merasa bahwa seharusnya dia sudah tahu berkat insting kejamnya.Aku menatap makanan di hadapanku tanpa nafsu, ia terasa hambar seolah-olah lidahku juga turut berpikir hingga makanan apa pun yang masuk tak terasa enak sama sekali. Terlalu banyak yang kupikirkan dan juga ketakutan yang menyelimutiku. Meskipun begitu, aku tetap mengunyahnya tanpa sadar untuk mengobati perutku yang meraung."Valen."Aku menoleh ke arah sumber suara milik Zealda. Ia mengunyah makanannya lalu menelannya sebelum melanjutkan, "Ada apa? Kau terlihat tak nafsu makan. Sedang memikirkan sesuatu?"Aku terdiam sejenak. "Tidak apa-apa.""Kami tahu kau sedang memikirkan sesuatu, Valen. Semenjak putra mahkota datang semalam, dari tadi kau tidak banyak bicara." Aleea menyuapkan sepotong rotinya ke dalam mulut."Ah aku tahu." Lavina menyeruput minumannya. "Kau pas
Aku terdiam menatap jendela dengan gusar sementara tanganku masih terikat rantai-rantai panjang yang bergemerincing. Ini adalah hari ke lima perburuan terhadap Velian dimulai dan aku masih terperangkap di ruangan terkutuk ini."Nona." Bibi Athea masuk dengan membawa makanan lalu meletakannya di meja. "Nona makanlah. Tidak baik menyiksa diri seperti itu.""Aku tidak lapar, bi," sahutku lesu."Nona, aku tahu tentang berita itu. Kau sangat mencintai kekasihmu bukan? Tapi kau sekarang adalah istri putra mahkota. Tidakkah kau mencintai seseorang yang telah menikahimu?""Kau tahu sendiri bagaimana pernikahan ini berlangsung. Aku tidak mencintainya bahkan sampai sekarang pun." Tatapanku semakin menerawang ke arah langit temaram di luar sana."Ya, aku mengerti, nona. Hanya saja—""Cukup," sergahku lembut. "Tolong jangan bahas itu lagi."Bibi Athea terdengar mendesah pelan, mengembuskan bulir-bulir napas penuh kegelisahan."Baiklah." Ia menunduk sedih sambil pamit undur diri. "Tapi satu hal ya
Aku masih menyimpan serapahku yang kutahan bersama resah yang kian menggunung. Mengutuk diriku dari rasa bersalah yang menyeruak akibat kebodohanku. Lavina mengetahui semua kebenaran dan ia menunjukkan sifat aslinya. Jika Velian sampai tertangkap karenanya, aku bersumpah akan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Namun yang membuatku bingung, kenapa Aleea justru yang tertangkap dan dianggap sebagai Velian? Bukankah ini aneh?Jika Aleea ingin melindungi Velian dengan cara menukar dirinya, mungkin bisa saja ia melakukannya untuk menyelamatkan Velian. Namun Aleea yang kutahu adalah pemuda cerdas dan penuh strategi, dia tidak mungkin melakukan tindakan bodoh tanpa perhitungan seperti ini. Ada apa sebenarnya?"Nona! Nona!" Bibi Athea tergopoh-gopoh dengan berjingkat agar suara kakinya tak terdengar gaduh. "Gadis yang menemui putra mahkota datang lagi. Ikut aku, nona!"Aku terbangun dari kursiku dengan antusias lalu mengikuti bibi Athea dengan keinginan menggebu untuk melihat dalang di balik
Aku melaju bersama dua puluh pasukan. Ini adalah perjalanan lanjutan setelah kami menggeledah hutan dan goa yang biasa mereka tempati, tapi goa itu ternyata sepi dan kini tujuanku adalah distrik Rivira, tempat kediaman Sarah. Namun sebelum itu, aku meminta sebagian dari pasukanku untuk bersembunyi agar mereka mengira bahwa aku hanya datang seorang diri.Hari menjelang malam ketika aku sampai di sana, wilayah ini begitu sepi dengan suasana yang masih asri. Angin yang berhembus dingin takan menggoyahkan hatiku untuk berhenti dan aku masih tetap melaju hingga akhirnya, aku sampai di sebuah rumah kecil yang sudah kukenal.Ketika aku sampai di halaman rumah, seseorang sudah melompat untuk menyerangku entah dari mana. Jika saja aku terlambat menghindar, mungkin leherku sudah terpisah."Pengkhianat!"Aku menatap sosok yang barusan berserapah yang ternyata adalah--Zealda. Ia menatapku tajam sambil menggenggam belatinya."Apa maksudmu?" sahutku dingin."Jangan pura-pura tidak tahu apa-apa! Kau
Sudah hampir lima belas menit Sarah tak sadarkan diri dan aku masih menunggunya dengan sabar. Aku hanya terdiam melihatnya terkulai dengan tangan terikat ke atas. Ruangan ini begitu berdebu dan tak tersentuh sama sekali. Saat aku meminta beberapa penjaga untuk menyiapkan penjara, ternyata mereka memberitahuku bahwa sebenarnya aku memiliki penjaraku sendiri. Lokasinya sama seperti penjara putra mahkota, tepatnya di bawah tanah, tapi di sini terasa kering dan dingin, tidak seperti penjara miliknya yang lembab dan bau darah di mana-mana."Bangunkan dia!" titahku dingin pada salah satu penjaga yang sedari tadi sudah siaga dan menunggu perintahku."Baik, yang mulia."Sarah akhirnya terbangun setelah guyuran air dingin menyirami tubuhnya. Ia seperti terkejut dan mengamati lingkungannya dengan tatapan tak percaya lalu tak lama, ia menatapku."Valen," gumamnya. Ia seperti baru menyadari tangannya terikat saat ia mencoba bergerak. "Kau--""Kenapa? Apa sekarang kau marah padaku karena memenjara
Aku berjalan menuju kediaman yang mulia ratu dengan langkah cepat, disusul bibi Athea. Para pasukan yang tersisa semua berkumpul di halaman dan beberapa ada yang sudah bersiaga di benteng istana dan pintu gerbang sesuai perintahku.Ketiadaan yang mulia raja dan beberapa petinggi istana membuat yang ada di sini kocar kacir dan bingung. Aku terpaksa mengatur berapa strategi untuk memanfaatkan jumlah yang tersisa.Kudengar Vainea sudah berhasil menerobos ibukota. Aku sudah meminta tim evakuasi untuk memindahkan seluruh warga ibukota ke kota Reydane yang tak jauh dari sini. Satu-satunya jalur yang masih aman adalah jalur selatan. Kuharap prosesnya berjalan lancar.Setelah mencari beberapa informasi selama ini, aku baru tahu jika ayahku adalah mantan petinggi istana yang memegang komando pertahanan, maka aku pun harus seperti dirinya sebagai putri Kanz. Aku mengatur rencana sedemikian rupa dalam waktu yang cukup mendesak. Pikiranku terus berputar hingga kepalaku terasa pening.Aku sengaja
Suara desingan, erangan dan gemuruh yang diiringi aroma darah kini membanjiri tanah. Semua terpampang jelas di mataku saat melihat kerumunan dan hampir tiba. Aku menarik kedua pedangku yang sudah berlumuran darah dan bersiap untuk menyerang orang-orang dari Vainea.Sebagian dari mereka menatapku heran sekaligus takjub, seolah-olah baru pertama kali melihat wanita turun ke medan perang. Tentu saja, ini adalah kesempatan yang bagus untuk menghabisi mereka karena telah berani terpesona oleh kedatanganku."Fokus pada musuh dan lindungi diri kalian sendiri!" teriakku pada pasukan yang hendak membuat formasi untuk melindungiku. "Jangan pikirkan keberadaanku! Coba pikirkan diri sendiri untuk tetap bertahan hidup!"Satu persatu orang-orang Vainea tumbang, kedatanganku membuat semua pasukanku yang tersisa kembali bangkit dengan semangat dan mematuhi ucapanku."Menarik sekali! Benar benar menarik!" Seseorang bertepuk tangan.Sosok pemuda berkuda dengan jubah kebesaran seorang pangeran berwarna