Share

Si Bangsawan dan Gadis Desa
Si Bangsawan dan Gadis Desa
Penulis: Zhang A Yu

Atas Nama Cinta

Waktu cerita adalah pada zaman setelah tragedi tenggelamnya kapal Titanic.

Di luar hujan mengguyur deras. Anginnya menggulung-gulung. Meniup kencang pohon-pohon, serta membawa percikan air ke dalam.

Diantara gemuruh hujan, aktifitas panas sedang terjadi. Mereka adalah Smith Carlos dan kekasih tercintanya, Elinoure.

Keduanya saling menyatu tanpa sehelai benang pun. Mengeluarkan desahan demi desahan, yang tidak akan mungkin bisa didengar oleh siapapun, mengingat tempat mereka bercinta adalah sebuah menara setinggi 20 meter dari permukaan tanah.

Semakin lama, desahan keduanya semakin kencang. Bahkan bisa dibilang, hampir-hampir ingin menyamai gemuruh hujan.

Nampak merah wajah pria itu. Keningnya yang putih dihiasi buliran keringat. Dan sungguh, bila seperti ini, bagi Elinoure, Smith Carlos teramat gagah perkasa.

"Aku mencintaimu," bisik Smith Carlos membuat dada Elinoure terasa hangat.

Selang dua detik kemudian, sebuah cairan hangat menyembur hebat memenuhi dinding rahim Elinoure. Disusul tubuh Elinoure mengejang beberapa saat sebelum akhirnya ia terkulai lemas.

"Aku mencintaimu, Elinoure," ulang Smith Carlos dengan nafas berderu. Kemudian ia menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh wanita itu.

20 menit kemudian.

Keduanya sudah berpakaian lengkap seperti saat sebelum pergulatan panas tadi terjadi.

Dengan penuh kasih sayang, Smith Carlos menata rambut ikal Elinoure. Ia juga menuang wewangian di gaun khas gadis desanya. Kata Smith Carlos, wewangian itu dibeli seharga satu ekor kambing. Padahal isinya tidak lebih dari 50 ml. Tapi emang wanginya awet. Elinoure sudah membuktikan sendiri.

"Aku akan sangat merindukanmu," kata Smith Carlos sambil menatap sedih.

Elinoure menangkupkan kedua tangan pada pipinya. Bola matanya yang kecil dan kecoklatan itu tampak indah dimata Smith Carlos.

"Jangan khawatir," ucap Elinoure dari mulut kecil yang selalu manis bila dilumat, "dua Minggu lagi kita bertemu," lanjutnya, secara penuh memberi semangat.

Smith Carlos mengangguk. Tapi rasanya tetap berat. Bagaimana tidak?

Selama tiga bulan ini, ia dan Elinoure tidak pernah saling berjauhan. Tiga kali selama satu pekan, keduanya pasti bertemu. Entah sekedar menikmati pemandangan hamparan rumput atau melakukan hubungan panas seperti barusan.

Intinya, Smith Carlos tidak bisa, jika tidak bertemu Elinoure meski itu hanya dua pekan.

"Hujan berpamitan." Elinoure mengarah ke luar jendela tanpa kaca. Smith Carlos mengikuti arah pandangan wanita itu.

Langit masih mendung, tetapi hujannya benar-benar reda. Rintik-rintik tipis pun tidak ada sama sekali. Seolah hujan tadi benar-benar puas mengguyur.

"Pulanglah," suruh Elinoure.

"Kau juga," balas Smith Carlos.

Elinoure mengangguk. "Tentu aku pulang, jika tidak, Bibiku akan marah-marah sampai fajar."

Smith Carlos terkekeh-kekeh.

Elinoure menjauhkan kedua tangannya. Wanita itu mengambil payung hitam, yang agak usang. Maklum, itu payung pertama yang dibeli Bibi nya Elinoure. Bahkan, payung tersebut menjadi satu-satunya payung di rumah mereka.

"Elinoure," panggil Smith Carlos.

Elinoure menoleh. "Iya?"

Smith Carlos menggigit bibirnya pelan. Bola matanya mengarah bibir tipis nan merah milik Elinoure. Seketika, nafsu pria itu kembali terpancing.

Dengan sigap, ia meraih pinggul wanita itu. Ia dekap dan ia sambar bibirnya yang merekah.

Elinoure tersenyum. Pun balas melingkari leher Carlos usai meletakkan payungnya secara asal.

Tidak tahu seberapa lama mereka beradegan kissing. Yang jelas, saat ini Carlos berhasil menurunkan resleting celananya (lagi). Kemudian ia berangsur duduk diikuti Elinoure, yang juga duduk diatas pangkuannya sembari menyingsing gaun agar Carlos kembali memasukinya.

Smith Carlos melepas satu persatu tali pengikat gaun di bagian belakang. Sesudah terurai, ia masih harus menanggalkan kain lapisan kedua. Tapi itu tidak lama. Jelasnya, ketika gaun itu tidak menutupi dada Elinoure lagi.

"Carlos," desis Elinoure seraya lebih menenggelamkan kepala Carlos.

"Aku tidak akan pulang. Kita tidak akan pulang. Tunggu sampai tengah malam, sayang," minta Carlos tanpa menghentikan kesibukan tangan dan mulutnya.

"Tapi, Carlos."

Carlos tidak peduli. Ia meremas gundukan itu sangat keras sampai Elinoure menjerit, menggigit bibirnya.

Persetan dengan waktu.

Seakan mendukung, hujan tiba-tiba mengguyur lagi. Bahkan kali ini lebih deras dari sebelumnya. Itu memancing semangat Carlos kian menggebu.

Disisi lain.

Yolanda beranjak dari kursi kayu eboni yang dilapisi cat hitam mengkilap. Jam tua di kediaman megah mereka menunjukkan pukul sepuluh malam. Dan anak bungsu wanita itu belum juga kembali usai tadi siang pamit berkuda.

"Cari putraku itu!!! Besok ada perjalanan jauh, dan sampai sekarang, ia belum pulang." Perintah Yolanda bak perintah raja. Sekali ucap, jangan harap bisa ditentang.

Maka berlari terburu-buru seorang pelayan rumahnya yang membawa payung berkualitas. Demi tidak membuat Yolanda naik pitam, pria itu rela menerobos derasnya hujan, juga melawan ketakutan atas kilatan petir yang menyambar kesana kemari.

"Ya Dewi Fortuna, beri aku keberuntungan," doa pria tersebut.

Bagai didengarkan, ia pun diberi pendengaran suara kuda sekaligus cambukan yang tidak asing di telinganya.

Seketika mata pelayan itu berbinar-binar. "Itu pasti tuan muda."

Harap-harap, tebakannya benar. Namun, rupanya salah. Yang datang bukanlah Carlos, melainkan seorang anak lima belas tahun yang entah kenapa membawa kuda Carlos.

Hiii

Kuda meringkik. Penunggangnya turun. "Hei, paman," sapanya.

Si pelayan berhenti. Cepat-cepat, ia menghampiri. "Tuan kecil, bagaimana bisa kuda tuan muda Carlos ada disini?" Tanya si pelayan.

Bocah yang ia panggil tuan kecil, tidak lain adalah keponakan Carlos. Tepatnya, anak dari kakak perempuan pria itu. Ia lahir saat krisis ekonomi terjadi di negeri penghasil susu sapi terbaik ini. Nama bocah itu, Diego Marvel.

Sambil melepas pakaian Bangsawannya, bocah itu menjawab, "Aku tidak tahu. Si coklat, aku temukan tengah makan rumput di kejauhan sana. Kebetulan, kudaku sedang ngambek. Jadi aku menggantinya dengan kuda milik paman Carlos."

"Jadi tuan kecil tidak melihat tuan muda Carlos?"

Diego Marvel menggeleng. Lalu, pergi begitu saja sembari menyeret tali kudanya.

Si pelayan bergumam, "Terpaksa harus pergi ke padang rumput."

***

Jarak kediaman bangsawan Yolanda menuju padang rumput tidak jauh, juga tidak dekat. Kurang lebih membutuhkan waktu satu jam untuk sampai disana. Pun karena tengah hujan, sekaligus jalan menanjak.

Si pelayan tidak bisa memaksa kuda miliknya menempuh perjalanan ini. Bukannya sampai, nanti yang ada ia terguling-guling mengelilingi dataran bukit.

Bermodalkan payung, serta jantung yang sehat. Akhirnya, si pelayan sampai di lokasi.

Benar, kuda milik Diego Marvel ada di sini. Sungguh tega bocah itu. Meninggalkan kuda tanpa perlindungan dari derasnya hujan.

Lantas, si pelayan membawa kudanya ke bawah pohon yang lebih dari cukup untuk melindungi si kuda dari guyuran hujan.

Kemudian ia berdiri memandangi hamparan hijau basah tersebut.

Meski tanpa penerangan, akan tetapi malam ini bulan nyaris menunjukkan seluruh rupanya.

Berkat cahaya rembulan itulah, si pelayan dapat memastikan, tidak ada seorangpun di atas hamparan rumput tersebut.

Ia mendesah kesal. Ia harus mencari ke sebelah mana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status