Beberapa hari berikutnya setelah pulang sekolah, semua siswa yang terdaftar sebagai pengisi acara, dikumpulkan di tengah lapangan dan diberi pengarahan tentang apa yang harus dilakukan.
Disaat siswa yang lain sedang berdiri dan berpanas-panas ria mendengar arahan, aku dan Shaniar sengaja memilih barisan paling belakang dan agak menjauh dari barisan karena tidak ada guru yang mengawasi. Kami memutuskan untuk berjongkok sambil menopangkan kepala ke lutut, berlindung pada bayangan siswa-siswa lainnya.
Kami mulai berbicara tentang apa saja yang terlintas di kepala kami. Sekilas saat menoleh ke arah lain, aku melihat “si Lesung Pipi” yang sedang tertawa bersama temannya dan wajah cemberut kakak kelas yang dikerjai oleh mereka. Mungkin karena hanya sekilas, jadi aku tidak mendapatkan kesan apa-apa dari dia selain lesung pipinya itu, yang sepertinya memang tidak akan bisa ditutupi. Maksudku, itu sudah seperti ciri khas. Hal pertama yang terlintas di otak saat melihat dia.
“Drew yakin kamu mau ikutan drama?”
“Sebenarnya nggak yakin juga, tapi mau bagaimana lagi. Kan nggak ada pilihan lain Shan. Tari sama paduan suara sudah overload. Kalau menyanyi solo, duet atau trio, yah tau sendirilah kualitas suaraku Shan”
“Ck! kamu juga pake telat daftar grup paduan suara. Kalau nggak kita bisa tampil bareng-bareng”
“Ya udahlah, yang berlalu biarlah berlalu, Shan. Mendingan kita fokus latihan ajalah. Supaya kita nggak malu-maluin nanti.”
“Yup setuju. Berarti kita nggak latihan bareng?”
“Yup”
“Trus pulang juga nggak bareng”
“Yup”
“Eh Drew kok sepi yah?”
“Yup”
Kami saling berpandangan. Shaniar mengangkat kepala dari lutut. Aku mengikuti gerakannya. Suasana yang tadi riuh dan sempit kini menjadi sepi. Tanpa kami sadari ternyata saat kami mengobrol, barisan sudah bubar. Para siswa sudah bergabung dengan tim acara masing-masing dan memasuki ruangan yang sudah ditentukan.
Tinggallah kami berdua sedang berjongkok disertai tatapan tajam dari ibu Gempal. Entah dari mana datangnya, aku merasakan angin berhembus dan menegakkan bulu roma. Suasana horror di acara paranormal yang ditayangkan salah satu TV swasta yang kemarin sempat aku tonton, terlintas sejenak di otakku.
Akhirnya, kami disuruh berdiri menghadap tiang bendera sambil menghormat Sang Saka Merah Putih, setelah diomeli beberapa menit, bersama tawa dan tatapan nyeleneh murid-murid lain. Sesekali terdengar backsound logat batak kental dan kencang yang membuat keadaan itu semakin menggetarkan kotak tertawa para murid-murid lainnya. Apes!.
Yang lebih parahnya lagi, belum sempat bangkit dari rasa duka dan luka karena insiden menghormat bendera itu, aku masih harus menghadapi satu kenyataan yang pahit. Ibu Gempal ternyata adalah yang menjadi pembimbing kami di bagian drama. Jadilah siang itu aku menjadi bahan olok-olokannya pada saat perkenalan naskah dikelas. Aku hanya bisa tertunduk malu. Untung saja perkenalan naskah tidak terlalu lama. Kalau tidak, mungkin kupingku ini sudah merah dan mengeluarkan asap karena mendengar olok-olokan itu.
Sekilas saat menoleh ke arah lain, aku melihat “si Lesung Pipi” yang sedang tertawa bersama temannya dan wajah cemberut kakak kelas yang dikerjai oleh mereka. Mungkin karena hanya sekilas, jadi aku tidak mendapatkan kesan apa-apa dari dia selain lesung pipinya itu, yang sepertinya memang tidak akan bisa ditutupi. Maksudku, itu sudah seperti ciri khas. Hal pertama yang terlintas di otak saat melihat dia.
Menangis itu perlu entah kau perempuan atau laki-laki, karena luka bisa saja menghampiri setiap orang, tidak mengenal apa gender, status dan keadaan. Karena di dalam air mata dan usaha mengeluarkan air mata itu ada beban yang keluar secara tidak langsung. Ketakutan menjadi hilang, keraguan menjadi hilang, sesak hati sirna. Cinta harus diungkapkan, baik engkau perempuan maupun laki-laki. Baik ketika masih kecil maupun sudah dewasa. Karena cinta menghampiri setiap orang. Sekali lagi, tanpa mengenal siapapun itu dia. Karena saat cinta diucapkan, bukan hanya untuk menunjukkan hatimu, tapi untuk mengambil bagian hati yang mencinta, agar tidak menimbulkan sesuatu yang tidak kita duga. Sekalipun kau di tolak, sekalipun hati dipatahkan, setidaknya tidak ada luka yang terpendam. Kau bisa mengambil langkah selanjutnya. Kau bisa bangkit lagi. Berjalan lagi tanpa apaun yang mengendap dalam hatimu. Terluka dengan lega, terluka dengan ringan ,terluka dengan pasti. Kita
Nafasnya memburu. Naik turun tanpa jeda tanpa irama. Kerah kemeja dia longgarkan. Keluar dari apartemen Drewi, Dani tidak sabar ingin sampai ke kafe milik Sano. Di sana ada seseorang yang sangat ingin sekali dia minta konfirmasi. Git. Adam sudah di sana?Send Kirimnya pada Agitha sebelum memasuki lift. Sudah kak. Semuanya sudah ada disini.Tinggal Dancer sama dekorasi yang belum siap.Drewi tahan sebentar ya di sana.Read Di dalam mobil, Pesan balasan masuk. Begitu mesin meyala, Dani tanpa membalas pesan, menginjakkan kaki sekuat tenaga di pedal Gas, menimbulkan suara cericit memekakkan telinga di basement apartemen. Darahnya sudah naik keubun-ubun. “Sialan!!! Sialan!!” bentaknya pada setir. Dipukulnya sekuat tenaga untuk meredam emosi. 30 menit berlalu setelah meelwewati kemacetan dibeberapa jalan besar kota, akhirnya kafe milik Issano telrihat di uj
Sesaat hati bisa merasa yakin, sangat yakin ketika berada pada “Detik Penentu” lalu bisa juga sesaat kemudian keyakinan itu berubah bagai langit sore yang menjadi hitam saat matahri sudah kembali pulang ke ujung samudera. Banyak “seandainya-seandainya tercipta ketika detik-detik penentu sudah terlewat, ada banyak harapan-harapan lama muncul ketika detik-detik penentu teringat kembali. Mengingat kembali kenangan-kenangan, mengingat kembali moment-moment kadang terpikir unutk memutar semuanya itu. Walau, pada akhirnya, tidak akan kembali lagi detik itu, tidka akan muncul lagi atau tidak akan sama lagi semua yang ada di dalam moment-moment itu. Akan tetapi, ada satu keputusan hebat tercipta saat sudah sampai di detik-detik penentu itu. Apapun hasil dari keputusan itu, pada akhirnya, hanya orang-orang hebat yang berhasil mengambil keputusan di saat genting seperti itu dan orang-orang bermental kuat yang bisa berhasil menajalani kehidupan setelahnya. Berjalan, bertahan sam
“Kak aku bisa temenin kakak tidur, ga?” David kaget saat hendak masuk ke dalam selimut tiba-tiba Agitha sudah ada di pintu kamarnya. “Bukannya dari tadi kamu sudah pulang?” “Udah, tapi dateng lagi. Tadi nganterin tante dulu sekalian makan malam. Tadi laparr banget” “Dasar” “Hehe...” “Ya udah boleh. Tapi jangan macam-macam, ya?” “Iiihh harusnya aku kali yang ngomong gitu” Agitha mengambil selimut dari lemari David dan tidur di sebelah David. David terkekeh di seberang bantal guling. “Bantal gulingnya ga usahlah ya...” David mengangkat bantal guling bersiap membuang ke bawah. “Kakaaak...” teriak Agitha merebut bantal guling . David tertawa lagi lebih kencang. Agitha meletakkan lagi bantal guling dan menepuk-nepuk menandakan area itu adalah area terlarang. David usil menyentuh dan dibayar dnegan tamparan keras mendarat ditangan membuatnya mengaduh. Beberapa saat setelah mereka nyaman di posisi tidur mereka
Mungkin ini nggak penting-penting amat tapi mungkin juga nggak penting sama sekali (Hapaseehhh....) Jadi, sebenarnya selama 2 bulan lebih ini saya sedang menenangkan badai-badai yang silih datang berganti eh silih berganti datang....ihh....yang mana sih yang bener? Tau ah... jadi begitulah. Badai-badai itu datang menenggelamkan jiwaku dan akhirnya menyeret ke palung gelap bernama "Aku Sedang Tidak Baik-baik Saja". Akhirnya hanya bisa rebahan....rebahan...dan rebahan dengan tatapan kosong, jiwa yang kosong juga. Pas buka Goodnovel lagi tadi, ada banyak yang jadi pelanggan. Angka yang membaca juga bertambah dan yang bikin seneng lagi sudah ada yang ngasih kontribusi dan voted. I'm just like...Woooooow. Semangatnya bertambah lagi. Thank you untuk kalian semuanya.:* :* :* . Tuh...triple kiss buat kalian semua. Cukup kan? Cukup? Cukup? Ya cukuplah ye kaaan. Tungguin update-an selanjutnya yaaaa.... See you next bab. Bab yah saudara-saudara. Bab novel yah. Bukan Bab yang itu. Dahlah. U
.........From : Epilogue (Gadis Bermata Coklat) Bagian 3 " "Kak Adam, bantuin Drewi dong. Dia sampai ga semangat gitu, coba. Mata Bu Gempal tadi benar-benar kaya elang buas tahu nggak sih, kak. Ya, namanya gladi resik ya tempatnya yang salah-salah di perbaiki. Aku kalau jadi Andrewi udah pasti nangis tuh digituin" "Iya, aku juga liat kok, Shan. Tadi juga dia udah hampir nangis" "Makanya, mumpung dia masih latihan sama Bu Gempal, ayo kita Bujuk kak David, ya, kak. Kasih tahu kalau itu bukan salah dia. Kasih tahu kalau Andrewi butuh di semangatin" "Udah, Shan. Masalahnya, dia ngeliat langsung Dani di bentak-bentak waktu itu" "Ya, namanya juga orang tua, kak. Ayolaah...kasihan Andrewi" "Ya, kita coba bujuk lagi aja deh" "Halo, Dave dimana?" "Kesini sebentar. Di depan Aula. Ada Shaniar mau ngomong sesuatu" "Iya, mau ngomong penting"