Share

Awal Peperangan

Beberapa hari berikutnya setelah pulang sekolah, semua siswa yang terdaftar sebagai pengisi acara, dikumpulkan di tengah lapangan dan diberi pengarahan tentang apa yang harus dilakukan.

Disaat siswa yang lain sedang berdiri dan berpanas-panas ria mendengar arahan, aku dan Shaniar sengaja memilih barisan paling belakang dan agak menjauh dari barisan karena tidak ada guru yang mengawasi. Kami memutuskan untuk berjongkok sambil menopangkan kepala ke lutut, berlindung pada bayangan siswa-siswa lainnya.

Kami mulai berbicara tentang apa saja yang terlintas di kepala kami. Sekilas saat menoleh ke arah lain, aku melihat “si Lesung Pipi” yang sedang tertawa bersama temannya dan wajah cemberut kakak kelas yang dikerjai oleh mereka. Mungkin karena hanya sekilas, jadi aku tidak mendapatkan kesan apa-apa dari dia selain lesung pipinya itu, yang sepertinya memang tidak akan bisa ditutupi. Maksudku, itu sudah seperti ciri khas. Hal pertama yang terlintas di otak saat melihat dia.

 “Drew yakin kamu mau ikutan drama?”

“Sebenarnya nggak yakin juga, tapi mau bagaimana lagi. Kan nggak ada pilihan lain Shan. Tari sama paduan suara sudah overload. Kalau menyanyi solo, duet atau trio, yah tau sendirilah kualitas suaraku Shan”

“Ck! kamu juga pake telat daftar grup paduan suara. Kalau nggak kita bisa tampil bareng-bareng”

“Ya udahlah, yang berlalu biarlah berlalu, Shan. Mendingan kita fokus latihan ajalah. Supaya kita nggak malu-maluin nanti.”

“Yup setuju. Berarti kita nggak latihan bareng?”

“Yup”

“Trus pulang juga nggak bareng”

“Yup”

“Eh Drew kok sepi yah?”

“Yup”

Kami saling berpandangan. Shaniar mengangkat kepala dari lutut. Aku mengikuti gerakannya. Suasana yang tadi riuh dan sempit kini menjadi sepi. Tanpa kami sadari ternyata saat kami mengobrol, barisan sudah bubar. Para siswa sudah bergabung dengan tim acara masing-masing dan memasuki ruangan yang sudah ditentukan.

Tinggallah kami berdua sedang berjongkok disertai tatapan tajam dari ibu Gempal. Entah dari mana datangnya, aku merasakan angin berhembus dan menegakkan bulu roma. Suasana horror di acara paranormal yang ditayangkan salah satu TV swasta yang kemarin sempat aku tonton, terlintas sejenak di otakku.

Akhirnya, kami disuruh berdiri menghadap tiang bendera sambil menghormat Sang Saka Merah Putih, setelah diomeli beberapa menit, bersama tawa dan tatapan nyeleneh murid-murid lain. Sesekali terdengar backsound logat batak kental dan kencang yang membuat keadaan itu semakin menggetarkan kotak tertawa para murid-murid lainnya. Apes!.

Yang lebih parahnya lagi, belum sempat bangkit dari rasa duka dan luka karena insiden menghormat bendera itu, aku masih harus menghadapi satu kenyataan yang pahit. Ibu Gempal ternyata adalah yang menjadi pembimbing kami di bagian drama. Jadilah siang itu aku menjadi bahan olok-olokannya pada saat perkenalan naskah dikelas. Aku hanya bisa tertunduk malu. Untung saja perkenalan naskah tidak terlalu lama. Kalau tidak, mungkin kupingku ini sudah merah dan mengeluarkan asap karena mendengar olok-olokan itu.

May H

Sekilas saat menoleh ke arah lain, aku melihat “si Lesung Pipi” yang sedang tertawa bersama temannya dan wajah cemberut kakak kelas yang dikerjai oleh mereka. Mungkin karena hanya sekilas, jadi aku tidak mendapatkan kesan apa-apa dari dia selain lesung pipinya itu, yang sepertinya memang tidak akan bisa ditutupi. Maksudku, itu sudah seperti ciri khas. Hal pertama yang terlintas di otak saat melihat dia.

| Like

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status