Home / Romansa / Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku / 7 — Yang Mulai Terasa Tanpa Disadari

Share

7 — Yang Mulai Terasa Tanpa Disadari

Author: Syuhda
last update Last Updated: 2025-11-25 13:05:29

Besok paginya, alarm HP Aurelya bunyi berkali-kali. Tapi seperti biasa, dia cuma mindahin tangan, pencet snooze, lalu balik meringkuk.

Sampai akhirnya…

“REL. BANGUN. KALO LO TELAT, GUE GAK MAU NEMENIN LO LARI KE KELAS.”

Suara Shafira dari luar kamar ngegedor pintu asrama.

Aurelya ngedumel, bangkit dengan mata separuh kebuka. Rambutnya awut-awutan, tapi yang paling kacau adalah hatinya—karena begitu buka mata, hal pertama yang keinget bukan jadwal kelas… tapi satu kalimat itu.

“Selamat istirahat, Rel.”

Aurelya buru-buru nutup wajah pakai bantal. “Ih, apaan sih… pagi-pagi udah keinget dia.”

Shafira nyelonong masuk (kebiasaan jeleknya). “Lo mandi sekarang. Mukanya masih muka habis mimpi cowok.”

Aurelya lempar bantal. “Gue nggak mimpi apa-apa!”

“Rel… pipi lo merah.”

“Karena gue kesel sama lo!”

“Hmm… kesel atau keinget Raksa ngucapin selamat tidur?”

“FIR.”

Cukup satu nama, Shafira langsung tutup pintu sebelum kena lemparan kedua.

Di kampus, udara masih seger. Mahasiswa baru pada sibuk ngumpulin tanda tangan kegiatan, sementara anak tingkat atas cuma mau cari kopi.

Aurelya jalan sambil nyesel kenapa dia milih hoodie tebal plus celana jeans tebal—panas banget. Tapi dia mencoba keliatan normal. Nyamar.

Padahal jantungnya? Kayak pemain drum yang lagi latihan ekstra.

“Rel, itu Raksa tuh,” bisik Shafira tiba-tiba.

Aurelya secara refleks noleh.

Raksa lagi berdiri di dekat papan pengumuman gedung fakultas, ngelihat sesuatu sambil megang map. Angin pagi bikin anak rambutnya sedikit berantakan—jarang-jarang kondisi dia nggak rapi gitu.

Aurelya mau pura-pura cuek… tapi gagal.

Raksa ngeliat. Tatapan itu cuma sepersekian detik.

Tapi cukup.

“Pagi,” ucapnya.

Datar, santai… tapi beda.

Aurelya jawab terlalu cepat lagi. “P—pagi.”

Shafira langsung punya dua reaksi:

memalingkan wajah supaya nggak ketawa,

ngebatin temen gue nih beneran jatuh cinta.

Raksa sempet melirik sebentar ke tas Aurelya.

“Flashdisknya aman?”

“Oh! Aman. Ada di tas. Tenang.”

Raksa angguk. “Oke. Jam sepuluh kita kirim ya.”

Aurelya lagi-lagi cuma bisa ngangguk.

Ketika Raksa jalan pergi, Shafira langsung mepet ke Aurelya. “Rel. DIA NGECEK FLASHDISK. ITU CODE. ITU CARE.”

“Code apaan, Fir?”

“Code perhatian… tapi versi cowok dingin. Nih gue bacain bahasa cowok: ‘Rel, gue mikirin kerjaan lo dari tadi.’”

Aurelya menutupi muka. “Udah, Fir.”

“Tapi bener Rel,” lanjut Shafira sambil nyengir. “Dia tuh… beda kalau sama lo.”

Aurelya mau jawab apa? Yang dia rasain pun sama: beda.

Jam 9.55, mereka udah siap ngirim laporan di ruang baca lantai dua. Tempat itu sepi, cuma ada dua mahasiswa yang lagi tidur sambil buka buku.

Aurelya buka laptop. Tangannya sedikit gemetar.

Raksa duduk di sebelahnya. Dekat. Lebih dekat dari yang Aurelya kira.

“Coba buka tabelnya,” ucap Raksa pelan.

Aurelya membuka file itu. Raksa sedikit mencondongkan tubuhnya. Bahunya hampir kena bahu Aurelya.

“Ini,” kata Raksa, nunjuk baris ketiga. Suaranya rendah, lebih pelan dari biasanya. “Bagian wawancara lo. Bagus.”

Aurelya refleks nengok.

Dan tatapan mereka ketemu lagi.

Cuma dua detik.

Tapi dua detik itu ngebuat seluruh tubuh Aurelya panas dingin.

Raksa langsung balik liat layar, seolah dia juga sadar terlalu dekat. “Kirim ya?”

“I—Iya.”

Setelah file terkirim, ada hening sebentar. Shafira ngeliatin dari jauh sambil pura-pura baca buku padahal jelas-jelas nguping.

Raksa berdiri pelan. “Rel.”

Aurelya ikut berdiri. “Hmm?”

“Thanks… buat semuanya.”

Aurelya baru mau bilang “iy—” tapi Raksa lanjut:

“Lo kerja keras banget. Gue suka cara lo nyusun data.”

Aurelya: deg.

Kalimat itu muncul lagi. Bukan pengulangan, tapi vibe-nya sama—tenang, jujur, dan tanpa basa-basi.

Raksa menatap matanya sebentar, lalu mengalihkan pandangan. “Kalo ada apa-apa, kabarin gue lagi.”

Setelah itu, dia pergi.

Nggak dramatis. Nggak pake tersenyum.

Tapi justru itu yang bikin Aurelya makin nggak bisa napas.

Dia duduk lagi sambil nutup wajah. “Fir…”

Shafira buru-buru datengin. “Apa lagi? Dia ngomong apa?”

“… Fir. Gue capek deg-degannya.”

“HAHAHA. LO JATUH CINTA.”

“Diam.”

“LO JATUH CINTA.”

“FIR.”

“LO. JATUH. CIN—”

Aurelya cubit lengannya.

Sore itu setelah kelas selesai, Aurelya jalan pulang sendirian. Langit mendung, tapi enak… adem. Dia taruh earphone di satu telinga, dengerin playlist galau—padahal nggak galau.

Dia cuma… ngerasain sesuatu.

Sesuatu yang nggak mau dia akui.

Di depan gerbang asrama, HP-nya bunyi.

Raksa: Lo udah pulang?

Aurelya berhenti jalan. Hati langsung salto.

Aurelya: Iya. Baru nyampe.

Raksa: Oke. Gue cuma mau make sure file tadi aman. Kalo ada yang kehapus, bilang.

Aurelya: Aman kok.

Raksa: Bagus.

Ada jeda.

Raksa: Makasih ya hari ini.

Aurelya menggigit bibir. Kenapa cowok dingin kalo ngucapin simple things efeknya bisa berkali-kali lipat?

Aurelya: Iya, Raksa.

Bubble typing muncul… hilang… muncul lagi.

Raksa: Selamat istirahat nanti. Jangan begadang.

Aurelya menahan napas.

Kali ini… Aurelya beneran senyum.

Bukan yang malu-malu.

Tapi yang tulus—yang muncul tanpa bisa ditahan.

Aurelya: Iya. Lo juga.

HP-nya bergetar sekali lagi.

Raksa: Oke.

Kali ini cuma satu kata.

Tapi justru itu yang bikin Aurelya nggak bisa masuk kamar selama lima menit karena harus menenangkan diri dulu.

Malamnya, di kamar, sambil ngelapis skincare seadanya, Aurelya ngeliat pantulan wajahnya di cermin.

Pipinya merah. Matanya berbinar dikit.

Shafira dari kasur langsung nyeletuk, “Rel… lo keliatan jatuh cinta banget.”

Aurelya mendesah. “Fir… gue takut.”

“Takut jatuh cinta?”

“… takut kalo besok dia balik dingin lagi.”

Shafira senyum lembut. “Rel… justru itu serunya.”

Aurelya menatap bayangannya sendiri.

Mungkin iya.

Mungkin inilah awalnya.

Awal dari sesuatu yang datang pelan… tanpa dia sadar.

Awal rasa yang kecil, tapi tumbuh setiap kali Raksa bilang hal sederhana.

Dan malam itu, sebelum tidur, Aurelya menarik selimut sambil membatin:

Kayaknya… gue nggak cuma nunggu tatapan itu lagi.

Gue nunggu dia.

Aurelya membuka mata pelan. Dia sadar—pikiran itu keluar terlalu jujur. Terlalu… bukan dirinya. Dan justru karena itu, dia jadi gelisah sendiri.

“Rel?”

Suara Shafira dari kasur sebelah. “Lo belum tidur?”

Aurelya cepat-cepat menarik selimut sampai dagu.

“Udah… hampir.”

“Lo kebanyakan mikir Raksa, ya?”

“… enggak.”

Cepat. Refleks. Dan jelas bohong.

Shafira ngakak pelan. “Sampai nutup selimut kayak

vampir. Iya… iya… gue percaya.”

Aurelya ngelirik. “Fir.”

“Hmm?”

“Apa orang selalu gini kalau lagi… suka sama seseorang?”

Shafira langsung bangun duduk. “WOI. Itu pertanyaan serius banget.”

Aurelya narik napas. “Gue cuma… bingung. Gue kalo sama cowok biasanya biasa aja. Tapi Raksa tuh…”

“Bikin jantung lo nggak sopan?”

Aurelya menutup muka. “Fir…”

“Bikin lo nunggu chat dari dia?”

“Fir…”

“Bikin lo mikir ‘dia tidur atau belum’, ‘dia udah makan atau belum’…”

“FIR.”

Shafira senyum kecil. “Rel… itu namanya lo mulai ngerasa nyaman sama seseorang.”

Aurelya menggigit bibir. Kata “nyaman” aja udah bikin dadanya aneh.

“Lo takut?” tanya Shafira lagi.

Aurelya pelan-pelan mengangguk. “Iya. Takut kalo gue

doang yang ngerasa gini.”

Shafira diem sebentar, lalu jawab dengan pelan—jarang-jarang dia se-soft itu.

“Rel… cowok kayak Raksa itu nggak sembarangan care sama orang. Dia bukan tipe yang ramah ke semua orang. Dia cuma perhatian kalo dia… peduli.”

Aurelya menoleh. “Peduli gimana?”

“Peduli yang… diperhatiin diam-diam. Bukan yang diumbar.”

Aurelya refleks megang HP-nya. Layarnya gelap, tapi cuma liat bagian belakangnya aja rasanya dada kembali hangat.

Shafira melanjutkan, “Lo sadar nggak, dari pagi sampe tadi malem… dia nggak pernah bener-bener ninggalin lo sendirian?”

Aurelya terdiam.

Flashback kecil muncul:

— Raksa ngucapin selamat tidur.

— Raksa ngecek flashdisk.

— Raksa dampingin kirim laporan.

— Raksa nanya “lo udah pulang?”

— Raksa bilang jangan begadang.

Semua sederhana. Tapi kalau dikumpulin?

Itu banyak.

Dan semuanya… ke dia.

“Rel…”

Aurelya kaget. “Apa?”

“Lo boleh nunggu dia.”

Shafira senyum lembut. “Kalo menurut gue… dia juga lagi nunggu lo.”

Aurelya memalingkan wajah, pura-pura sibuk ngerapiin selimut.

“Mimpi lo kalo kepedean, Fir.”

“Yah… kalo gitu gue tidur dulu.”

“Buruan.”

Lampu kamar meredup. Shafira gulung selimutnya.

Suasana jadi sepi, adem, dan rasanya ruangan lebih gelap dari biasanya.

Aurelya memejamkan mata.

Tapi lima detik kemudian… kebuka lagi.

Bener. Dia nggak nunggu tatapan itu aja.

Dia nunggu langkah kaki di koridor.

Dia nunggu suara chat masuk.

Dia nunggu momen ketemu lagi.

Dia nunggu… sesuatu dari Raksa yang dia sendiri nggak berani nyebut namanya.

“Rel…” Shafira tiba-tiba nyeletuk setengah tidur.

“Hmm?”

“Kalo lo senyum-senyum lagi gue lempar bantal, sumpah.”

Aurelya buru-buru nutup muka dengan selimut. “Tidur lo!”

“Gue tau lo senyum.”

“… TIDUR.”

Shafira akhirnya ngorok kecil, tanda udah beneran tidur.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   8 — Yang Pelan-Pelan Mulai Mengganggu

    Shafira akhirnya ngorok kecil, tanda udah beneran tidur. Aurelya membuka mata sekali lagi, menatap langit-langit kamar. Hatinya terasa pelan tapi pasti… jalan ke suatu arah. Arah yang dia sendiri belum siap tapi juga… nggak bisa nolak. Dada hangat. Pipi panas. Senyum kecil muncul lagi, mau ditahan sekuat apa pun tetap bocor. Dan sebelum akhirnya dia benar-benar terlelap, satu pikiran terakhir datang: “Mungkin besok… gue bakal lebih nunggu dari hari ini.” Pagi datang lebih cepat dari yang dia kira. Aurelya kebangun bukan karena alarm—tapi karena jantungnya yang berdetak kayak lagi latihan sprint. Dia bahkan sempat bengong beberapa detik sebelum sadar: dia bangun dengan perasaan… beda. Entah kenapa, matahari pagi yang nyelip dari celah gorden keliatan lebih ramah dari biasanya. Udara kamar, walaupun dingin, nggak terasa nyebelin. Bahkan suara Shafira yang masih tidur pulas pun terdengar lucu. Aneh. Semua yang biasanya biasa-biasa aja, sekarang kayak punya kualitas “lebih”.

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   7 — Yang Mulai Terasa Tanpa Disadari

    Besok paginya, alarm HP Aurelya bunyi berkali-kali. Tapi seperti biasa, dia cuma mindahin tangan, pencet snooze, lalu balik meringkuk. Sampai akhirnya… “REL. BANGUN. KALO LO TELAT, GUE GAK MAU NEMENIN LO LARI KE KELAS.” Suara Shafira dari luar kamar ngegedor pintu asrama. Aurelya ngedumel, bangkit dengan mata separuh kebuka. Rambutnya awut-awutan, tapi yang paling kacau adalah hatinya—karena begitu buka mata, hal pertama yang keinget bukan jadwal kelas… tapi satu kalimat itu. “Selamat istirahat, Rel.” Aurelya buru-buru nutup wajah pakai bantal. “Ih, apaan sih… pagi-pagi udah keinget dia.” Shafira nyelonong masuk (kebiasaan jeleknya). “Lo mandi sekarang. Mukanya masih muka habis mimpi cowok.” Aurelya lempar bantal. “Gue nggak mimpi apa-apa!” “Rel… pipi lo merah.” “Karena gue kesel sama lo!” “Hmm… kesel atau keinget Raksa ngucapin selamat tidur?” “FIR.” Cukup satu nama, Shafira langsung tutup pintu sebelum kena lemparan kedua. Di kampus, udara masih seger. Mahasiswa baru p

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   6 — Yang Datang Tanpa Diundang

    Pagi itu kampus lebih ramai dari biasanya. Di koridor lantai dua, suara mahasiswa lewat saling tumpang-tindih, mulai dari yang curhat soal kuis dadakan sampai yang panik karena lupa print tugas. Aurelya berjalan pelan sambil menguap, rambutnya dicepol seadanya. Tasnya cuma diselempang dengan satu tangan, tanda dia belum sepenuhnya “online”.“Rel! Astaga muka lo… lo begadang lagi ya?” Shafira langsung nyamber dari belakang.Aurelya mendelik lemes. “Gue tuh udah niat tidur cepat, Fir… sumpah. Tapi mata gue punya kemauan sendiri.”Shafira cekikikan. “Kemauan atau kepikiran seseorang?”Aurelya berhenti jalan, menatap temennya itu dengan pandangan jangan mulai pagi-pagi. “Gue lempar lo pake buku modul beneran nih.”Mereka berdua baru mau masuk kelas ketika dari ujung lorong, Raksa muncul sambil bawa map tebal. Dia jalan santai, tapi tetap dengan aura dingin khas dia yang bikin banyak cewek diem sejenak.Aurelya refleks nahan napas. Jangan liat. Jangan liat. Pret, malah ngeliat.Raksa lewat

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   5 — Tatapan yang Nggak Bisa Dibohongin

    Malam itu, di kamar kos yang temaram, Aurelya masih gelisah. Laptopnya menyala, file tugas kelompok terbuka, tapi pikirannya bukan di situ. Ia malah sibuk memandangi flashdisk kecil yang tadi siang dititipkan Raksa. "Kenapa sih harus lo kasih ke gue dulu? Kan bisa aja langsung ke Keira," gumamnya pelan, memutar flashdisk di tangannya. Padahal jawabannya jelas. Raksa percaya sama data wawancaranya. Tapi hati Aurelya menolak menerima alasan sesederhana itu. Karena di balik semua keseriusan Raksa, ada cara dia melihat Aurelya—tatapan lurus, tenang, tapi bikin dada berdebar nggak karuan. Aurelya menggeleng cepat. "Astaga, Rel. Jangan halu. Jangan!" Ia menutup laptop, lalu menenggelamkan wajah di bantal. Keesokan paginya, kelas kembali penuh. Shafira langsung nimbrung di sebelah Aurelya dengan wajah penuh gosip. "Rel, lo semalem kepikiran kan? Jangan bohong, gue tau banget tuh muka lo kayak orang nggak bisa tidur," bisiknya sambil nyengir lebar. Aurelya mendesah panjang. "Fir, sumpah

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku    — Awal Kerja Sama yang Aneh

    Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman. Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.” Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.” “Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus. Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.” Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu. Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?” Shafira

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   4 — Awal Kerja Sama yang Aneh

    Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman. Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.” Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.” “Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus. Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.” Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu. Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?” Shafira

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status