Nadin begitu terkejut mengetahui berita dari ibunya sendiri, ternyata Nadin adalah anak yang terlahir dari istri kedua ayahnya, yaitu Pak Dion, hancur hatinya saat mendengar berita itu, ia tidak menyangka ibunya adalah istri simpanan yang hanya menikah siri dengan ayahnya, kebahagiaan yang ia rasakan selama dua puluh tiga tahun ternyata hanya kebohongan belaka.
Nadin tahu itu ketika mendengar sebuah kabar tentang ayahnya yang sedang dirawat di rumah sakit karena sakit parah, anehnya ibunya, yaitu Bu Sinta, malah sama sekali tidak peduli dengan itu, bahkan tidak ada tanda- tanda atau niatan untuk menjenguk Pak Dion, padahal laki-laki itu adalah suaminya sendiri."Ibu, bukankah ayah sedang sakit? Kenapa kita tidak menjenguk? Siapa yang mengurus ayah kalau bukan kita, meskipun ada perawat pasti ayah tetap merasa kesepian? siapa pun yang berada di posisi ayah pasti butuh keluarga." Tanya Nadin, ia merenteti Bu Sinta dengan pertanyaan yang banyak karena sudah tidak tahan dengan diamnya Bu Sinta."Tidak usah khawatir Nad, ada banyak orang di sisi ayah, lagi pula kita tidak bisa kesana, jaraknya terlalu jauh" ucapnya terdengar dingin. Membuat dahi Nadin mengernyit tidak paham."Tapi tetap saja, Bu. Kita sebagai keluarga ayah, harusnya kita yang mendampinginya kan?" Nadin kekeh, berharap Bu Sinta mau mengajaknya bertemu Pak Dion yang sedang sakit itu, kabarnya Pak Dion sedang sakit tipes.Bu Sinta tidak menjawab, ia malah tersenyum miris sambil berdiri, hendak meninggalkan ruang tamu di mana mereka berada saat ini, Nadin hanya mengamati tingkah ibunya, melihatnya tidak mau peduli seperti itu, Nadin akhirnya memutuskan sendiri."Kalau ibu tidak mau, biar Nadin saja yang menemui ayah, Nadin bisa kok, Bu" Ucap Nadin menantang ibunya. Ucapan Nadin membuat Bu Sinta tidak jadi melangkah, ia berpaling ke arah Nadin."Jangan pernah melakukan itu, Nad. Meskipun kamu bisa!" Ucap Bu Sinta dengan tegas."Kenapa Bu? Bukannya kita ini keluarga ayah, kenapa ibu malah bertindak seperti orang lain?" balas Nadin yang tidak mengerti dengan sikap ibunya, andai saja bukan ibunya, ia ingin sekali menegur dengan keras."Ayah punya keluarga selain kita, Nad" ucap Bu Sinta dengan lirih, ia tampak ragu mengatakan itu. Nadin masih mencerna kata-kata ibunya."Maksud ibu, Nenek?" Tanya Nadin asal, ia tidak ingin berpikir lebih jauh, ia juga tidak tau siapa nenek yang ia bicarakan ini, selama hidupnya, ia tidak pernah bertemu dengan nenek manapun. Entah itu nenek dari ayah maupun ibu, Ia sempat bertanya pada ibunya tapi ibunya bilang, dia hidup sebatang kara, ia tidak punya orang tua sejak kecil. Sementara ayah, ia tidak pernah sempat bertanya pada ayahnya, bisa bercanda beberapa saat saja, ia sudah bersyukur."Bukan hanya nenek, Nad" Bu Sinta kembali duduk, sepertinya ia akan mengatakan sesuatu yang sangat serius."Ibu bukan satu-satunya istri ayahmu, Nad" Ucap ibunya membuat dada Nadin bergemuruh hebat."Karena itu kita tidak perlu ke sana, keberadaan kita tidak boleh terlihat oleh mereka, ini semua salah ibu" Lanjut Bu Sinta. Mata Nadin memanas mendengarnya, ibunya sendiri sudah mengusap pipinya dengan lembut, pertanda ia sudah menangis."Maksud ibu apa, kenapa ibu bukan satu-satunya? Kenapa ibu selalu berkata kita tidak boleh terlihat, memangnya kita tidak boleh terlihat oleh siapa? " Akhirnya Nadin mengeluarkan segala pertanyaan yang selalu ingin di tanyakannya sejak dulu, ia selalu merasa aneh, kenapa keluarganya berbeda dengan teman- temannya? mereka selalu bepergian saat liburan sekolah bersama keluarga, sementara ia tidak kemana-mana, kalaupun bepergian tidak boleh ke ibu kota."Mungkin sudah saatnya kamu mengetahui ini," ucap Bu Sinta kembali mengusap kedua pipinya."Kamu adalah anak dari istri kedua ayahmu, Nadin. Ibumu ini seorang istri simpanan, ibu memberitahumu karena, ibu merasa kau sudah bisa paham sekarang." ucap Bu Sinta tersedu begitu selesai mengakui statusnya yang hina kepada anaknya sendiri, perasaan Nadin juga tidak menentu apakah harus mengasihani ibunya atau membencinya, satu hal yang pasti, hatinya sakit mendengar pengakuan ibunya, ia tidak bisa berkata-kata, ia langsung memindai statusnya sendiri, kalau begitu dirinya adalah anak haram? Ia pun menangis memikirkan itu."Tapi kamu anak kami yang lahir secara sah, Sayang. kamu ada di perut ibu setelah kami melangsungkan pernikahan, walaupun secara siri" ucap ibunya seperti mengetahui isi pikiran Nadin, itu membuat hati Nadin sedikit lega, meski begitu tidak lekas membuat air matanya surut. Sudah dua puluh tiga tahun ia hidup di dunia, tidak pernah sekalipun ia curiga tentang hubungan Bu Sinta dan Pak Dion yang sebenarnya memang tidak normal."Sudah saatnya kamu keluar dari kebahagiaan semu keluarga kita ini, ayahmu adalah suami orang lain, ayah dari orang lain, kamu bukan satu-satunya anak ayah, kamu punya sseorang kakak perempuan dan seorang adik laki-laki, meski kau punya saudara jangan pernah menunjukkan diri dihadapan mereka, kalian tidak akan bisa bersatu, mereka tidak akan menerima kita, karena ibumu ini telah menyakiti mereka dengan merebut ayahnya, kalau mereka tau keberadaan kita, ibu takut kamu bisa berada dalam bahaya." Jelas Bu Sinta, tidak ingin membohongi Nadin lagi."Kenapa ibu memberitahu Nadin sekarang, setelah Nadin segede ini? Ibu dan ayah sudah mempermainkan Nadin selama 23 tahun lamanya, seandainya ayah tidak sakit parah, pasti ibu masih menyembunyikannya kan?" Nadin belum bisa terima."Ibu minta maaf Nad, ibu tidak memberitahu sejak dini, karena ibu merasa kamu juga tidak akan paham, ketika kamu beranjak remaja ibu sempat ingin memberitahumu tapi ibu takut mentalmu belum siap, ibu rasa sekarang waktu yang tepat, walaupun kenyataannya tetap saja membuatmu sakit hati," jelas Bu Sinta."Satu lagi, kalau kamu mau marah, marah saja pada ibu, ibulah yang ingin merahasiakan ini darimu, jangan pernah marah pada ayah, dia laki-laki yang baik dan bertanggung jawab, pada kita dan semua keluarganya, ayah sangat menyayangimu, Nad. Ia mau mengikuti saran ibu untuk menyembunyikan keberadaan kita bukan karena dia benci, itu karena ayah mau menyelamatkan semua keluarganya, ia hanya tidak ingin ada yang terluka," lanjut Bu Sinta sambil mengusap air matanya lagi, kemudian menatap Nadin dengan tatapan sendu. Nadin sendiri hanya bisa diam, mau bagaimana lagi, ia tidak bisa mengulang waktu."Maafkan ibu, Nad. Kamu mau kan, memaafkan ibumu ini?" Ucap Bu Sinta. Nadin masih tidak bisa berkata-kata tapi ia bisa menanggapi ibunya dengan anggukan, Bu Sinta pun menghambur ke arahnya lalu memeluknya erat seraya membisikkan maaf lagi di telinga Nadin. Nadin kembali mengangguk dengan samar."Terima kasih, Sayang" ucapnya lirih, lagi- lagi Nadin hanya menanggapinya dengan anggukan. Ia tidak punya kekuatan untuk bicara.Beberapa hari kemudian..Seperti biasanya, Pak Dion datang mengunjungi Nadin dan ibunya hanya sekali dalam seminggu, Nadin pikir selama ini Pak Dion adalah orang yang sangat sibuk, jadi mereka hanya bisa berkumpul sekali dalam seminggu, ternyata alasannya karena mereka adalah keluarga yang yang tidak diinginkan yang keberadaannya di dunia ini harus disembunyikan. Ada sedikit rasa nyeri di dalam hatinya jika mengingat itu."Ayah datang?" ucap Nadin ketika melihat ayahnya di meja makan."Iya, Sayang. Ternyata kamu sudah bangun." kata Pak Dion membalas Nadin, ia menghampiri Nadin lalu mengecup keningnya, Pak Dion memang sehangat itu, sampai Nadin sudah sebesar ini pun ia masih memperlakukannya seperti putri kecilnya, Nadin selalu menyambutnya dengan ceria dan manja, tapi sekarang ada rasa enggan untuk melakukan itu lagi."Kapan ayah datang?" Tanya Nadin berpura-pura tidak tahu segalanya, dan membuat suasana berjalan seperti biasa, memangnya dia harus bagaimana lagi, semua sudah terlanjur
Nadin akhirnya menjejakkan kakinya di pelataran rumah sakit, ia datang sendiri setelah ayahnya memberi alamat. Rumah sakit itu sangat besar dan mewah. Pak Dion datang menjemputnya di lobi rumah sakit setelah Nadin memberitahu kehadirannya."Nadin!" Seru ayah menghampiri Nadin, wajahnya tampak lusuh, penampilannya juga tidak serapi biasanya. Apakah ayah akan berpenampilan seperti ini jika dirinya yang sakit? entah kenapa rasa iri tiba- tiba hinggap di hatinya."Ayah!" Hanya itu yang bisa ia katakan."Terima kasih, Nad! sudah mau datang" ucap Pak Dion sambil mengecup keningnya, ia kemudian membimbing langkah Nadin menuju lift.Sebelum melalui prosedur donor darah, Pak Dion membawa Nadin ke ruang tunggu di mana ada keluarga dari istri pertamanya. Sebelumnya, Pak Dion memberi sebuah masker untuk ia kenakan, hatinya sedikit nyeri menerima benda itu, pasti Pak Dion melakukan itu agar kelurganya tidak mengenali Nadin.Nadin mengikuti langkah ayahnya, ia memindai seluruh anggota keluarga dari
Sebulan kemudian...Nadin sudah melupakan kejadian di rumah sakit, tapi seseorang membuatnya mengingat kejadian itu kembali. Bukan tentang kematian kakaknya Tari, ia justru mengingat keterpesonaannya pada seseorang.Hari ini Nadin melihat laki-laki itu di kantor tempatnya bekerja. "Apa yang membawanya ke sini?" Pikirnya, kantor Nadin hanya sebuah perusahaan kecil, itu pun jauh dari ibu kota, ia tau laki-laki itu pasti dari ibu kota."Kau mengenal Pak Ronald?" Tanya rekan kerja Nadin, ia bernama Ferdi. Ferdi tampak tidak tertarik, bukan hanya itu ia malah mengenakan headset dan berbalik, tapi karena melihat Nadin sangat terpana dengan kehadiran laki-laki itu, membuatnya ingin bertanya. Nadin pun akhirnya tahu nama laki-laki itu berkat Ferdi."Gak Fer, cuma pernah lihat" jawab Nadin masih mengamati laki-laki itu."Apakah dia begitu sempurna sampai kamu tidak bisa berhenti melihatnya?" kata Ferdi, membuat Nadin beralih ke arahnya."Lalu bagaimana dengan mereka Fer?" Tanya Nadin pada Fer
Tujuan Ronald berkunjung ke kantor Pak Bambang adalah untuk mereview bahan produk yang ia gunakan, sebelumnya Pak Bambang memasukkan surel kerja sama ke perusahaan Ronald, melihat alamat yang tertera di surel yang ia kirim, Ronald tertarik untuk datang, karena alamat itu dekat dengan lokasi dimana Tari kecelakaan, beruntungnya secara kebetulan ia menemukan tujuan utamanya.Beberapa hari kemudian Ronald mengirim kembali surel dari perusahaan Pak Bambang yang sudah ia tanda tangani. Ronald sengaja menyetujui kerja sama dengannya walaupun produk dari brandnya masih di bawah standar alias belum layak untuk masuk ke daftar produk perusahaannya, ia mau menerima lamaran kerja sama dengan Pak Bambang tapi dengan syarat salah satu karyawan dari bagian pemasarannya pindah ke perusahaannya, dan yang ia menunjuk Nadin sebagai perwakilan, untungnya Pak Bambang antusias menyambut itu dan menyetujui apapun syaratnya.Hari itu Nadin, merasa seperti mendapatkan rejeki nomplok, karena salah satu perusa
Akhirnya tiba waktu yang telah ditentukan, Nadin mulai mengepak barangnya untuk pindah ke kost di ibu kota, ia tidak mungkin melakukan perjalanan dari rumah ke kantor setiap hari karena jaraknya cukup jauh, jadi ia menyewa kost yang dekat dengan perusahaan Bramasta.Ia begitu bersemangat masuk kerja di hari pertamanya. Begitu tiba di pelataran kantor ia berhenti untuk mengamati sekitar, ia takjub melihat bangunan bersusun yang menjulang tinggi di hadapannya, jika melihatnya dari bawah, bangunan itu seperti menyentuh langit, mengingat dirinya akan bekerja di dalam bangunan itu membuatnya merasa gugup.Ia mengambil nafas panjang lalu membuangnya perlahan, setelah itu ia melangkah dengan bangga memasuki pintu utama, beberapa satpam berdiri di sekitar pintu utama tersebut, pakaian mereka tampak elegan, tidak seperti satpam dengan seragam putih hitamnya disertai tongkatnya di perusahaan sebelumya. Sepertinya mereka tau kalau Nadin adalah orang baru yang memasuki kantor, sebab salah satuny
Esoknya Nadin merasakan nyeri hampir di seluruh tubuhnya, ia bangun dan merasakan kepalanya pening, setelah memeriksa keadaan tubuhnya sendiri, sepertinya ia demam. Ia ingin kembali berbaring di tempat tidurnya tapi dering ponsel membuatnya urung. "Halo!" ia menjawab panggilan dari nomor yang tidak dikenalnya."Saya Selfi, kenapa sudah jam segini tapi anda belum ke kantor?" ucap Selfi di seberang sana."Maaf Bu, saya sedang sakit demam" ucap Nadin terdengar lemah. "Jangan banyak alasan, segera datang ke kantor, sekarang juga" suara di seberang berubah, ia tahu itu Ronald."Tapi saya sedang sakit, Pak. Bolehkah saya...." Ucapan Nadin terpotong."Saya tidak akan menerima alasan apapun." ucapnya sarkas, bunyi Tut tiga kali mengakhiri obrolannya.Dengan terpaksa ia pergi ke kantor, sebelum berangkat ia memaksakan diri menelan beberapa suap makanan untuk sarapan lalu dalam perjalanan ia mampir ke apotek untuk membeli beberapa butir obat penurun panas dan pereda nyeriTiba di pelataran ka
Nadin menatap Ronald tidak percaya, ia langsung menjawab tanpa berpikir dua kali."Maaf, Pak. Saya tidak bisa" Nadin menolak dengan yakin."Oh ya? ternyata kamu berani menolakku?" Ucap Ronald, ia hanya berbasa-basi, Nadin mau atau tidak ia akan tetap berniat menikahinya, "Coba sebutkan alasan kamu menolak!" tantang Ronald. "Bukannya sudah jelas alasannya, memangnya pernikahan semudah mengucapkannya? Pasti kau merencanakan sesuatu kan?" omel Nadin, tentu saja dalam hati, mana Berani dirinya mengomeli Ronald."Banyak alasannya, Pak. Pertama, ini terlalu tiba-tiba. Kedua, saya dan Pak Ronald tidak punya hubungan apa-apa selain bos dan karyawan. Ketiga tidak ada rasa cinta di antara kita, Pak. Sementara sebuah pernikahan harus dibangun dengan rasa cinta dan yang keempat, anda tau bagaimana rumitnya keadaan keluarga saya." jelas Nadin.Ronald tau alasan-alasan itu memang benar, adapun tentang cinta? sepertinya cintanya telah dibawa pergi oleh Tari karena ia benar-benar tidak memiliki cint
Setelah sepakat untuk menikah, Nadin akhirnya bekerja dengan layak, ia juga sudah mendapatkan meja kerjanya di kantor bagian marketing. Meski begitu, ia belum merasa senang dan tenang, karena dihantui oleh rencana Ronald yang akan menikahinya untuk balas dendam atas kematian Tari.Pak Dion secara kebetulan berkunjung ke kantor Bramasta. Nadin kaget melihat ayahnya memasuki kantornya, sebelum ketahuan ia segera bersembunyi di bawah kolong meja, orang-orang melihatnya bingung. Tapi orang-orang itu tidak sempat bertanya pada Nadin karena harus menyambut kedatangan orang yang paling terhormat di perusahaan itu. Nadin langsung menebak apa yang terjadi di atas sana. Benar, Pak Dion datang bersama Ronald."Di mana karyawan dari perusahaan Mega Food?" Ronald menanyakan tentang Nadin. Ia menyebutkan perusahaan Pak Bambang.Nadin semakin membungkukkan tubuhnya seraya memberi isyarat pada rekan kerja yang melihat ke arahnya, sayangnya arah pandangan rekan kerjanya itu sudah memberi petunjuk pada