Beberapa hari kemudian..
Seperti biasanya, Pak Dion datang mengunjungi Nadin dan ibunya hanya sekali dalam seminggu, Nadin pikir selama ini Pak Dion adalah orang yang sangat sibuk, jadi mereka hanya bisa berkumpul sekali dalam seminggu, ternyata alasannya karena mereka adalah keluarga yang yang tidak diinginkan yang keberadaannya di dunia ini harus disembunyikan. Ada sedikit rasa nyeri di dalam hatinya jika mengingat itu."Ayah datang?" ucap Nadin ketika melihat ayahnya di meja makan."Iya, Sayang. Ternyata kamu sudah bangun." kata Pak Dion membalas Nadin, ia menghampiri Nadin lalu mengecup keningnya, Pak Dion memang sehangat itu, sampai Nadin sudah sebesar ini pun ia masih memperlakukannya seperti putri kecilnya, Nadin selalu menyambutnya dengan ceria dan manja, tapi sekarang ada rasa enggan untuk melakukan itu lagi."Kapan ayah datang?" Tanya Nadin berpura-pura tidak tahu segalanya, dan membuat suasana berjalan seperti biasa, memangnya dia harus bagaimana lagi, semua sudah terlanjur bahkan sudah berjalan selama dua puluh tiga tahun lamanya, bukan sesuatu yang baru terjadi kemarin."Ayah datang semalam saat kamu sudah tidur" ucapnya seraya tersenyum. Nadin membalasnya, senyuman kali ini tidak seleluasa biasanya."Bagaimana kabar ayah? Nadin dengar ayah sakit, maaf karena Nadin tidak bisa menemani ayah." Tanya Nadin lagi. Ia terdengar ingin memojokkan ayahnya."Tidak apa-apa, itu hanya sakit tipes. Hanya butuh perawatan biasa beberapa hari, sekarang ayah sudah lebih sehat " ucap Pak Dion lalu memalingkan wajah, sepertinya ia tak ingin diinterogasi lebih jauh oleh Nadin."Mas, Nadin, ayo sarapan dulu!" Seru Bu Sinta keluar dari dapur dengan nampan berisi makanan dan minumam di atasnya."Ayo kita sarapan, Sayang!" Ajak Pak Dion, meminta Nadin ikut ke meja makan, Nadin menurutinya.Selama sarapan berlangsung, suasana tidak sehangat dan seramai biasanya, Nadin yang selalu berceloteh banyak menjadi pendiam, Pak Dion yang selalu merentetinya dengan pertanyaan juga diam, ibunya yang selalu antusias mendengarkan mereka tampak biasa saja, sampai ibunya memecah yang keheningan itu."Mas! Nadin sudah tahu segalanya, semalam aku memberitahunya" ucap Bu Sinta membuat Pak Dion memandang mereka secara bergantian sementara itu Nadin hanya diam menekuri makanan di piringnya. Ia tampak tidak tertarik."Kamu tidak perlu merasa bingung Mas, kami tau kamu sangat berusaha membahagiakan kami selama ini, jadi kami tidak masalah, walaupun Nadin sudah tau tidak akan ada yang berubah di antara kita. Iya kan Nad?" ucap Bu Sinta."Iya Bu. Nadin baik-baik saja, kok" jawab Nadin dengan enggan. Hatinya belum benar-benar menerima kenyataan ini."Syukurlah! terima kasih, Sayang. terima kasih karena kamu mau memahami keadaan ayah, maafkan ayah ya, Nad." Ucap Pak Dion, sepertinya ia tidak bisa mengucapkan apa-apa selain terima kasih dan maaf, ia merasa Nadin sudah tidak butuh penjelasan karena semua sudah dijelaskan oleh ibunya.Setelah mereka selesai sarapan, semua kembali melakoni aktifitas seperti biasa, tidak ada yang mau membahas masalah yang baru saja terkuak, lagi pula solusi apa yang bisa menghapus jejak dosa Pak Dion dan Bu Sinta? Nadin hanya bisa menerima kenyataan pahit ini.Nadin pergi bekerja, ibunya juga bekerja, sementara ayah entah kemana ia pergi, mungkin ia kembali ke rumah istri pertamanya setelah memberikan waktunya yang sedikit kepada Nadin dan ibunya, Nadin tidak pernah tau urusan ayahnya kecuali ia bernama Dion dan mengunjunginya sekali dalam seminggu, untungnya kebutuhan selalu dicukupi oleh ayahnya, ia dan ibunya bekerja hanya sekedar mengisi kekosongan saja.Dering ponsel membuyarkan konsentrasi Nadin di kala bekerja. Ia melihat kontak ayahnya menari-nari di muka layar benda pipih itu."Halo, Nad!" Ucap Pak Dion di seberang telpon, setelah Nadin menyentuh icon berwarna hijau di layar ponselnya, Pak Dion terdengar panik."Iya, ayah Ada apa?" Ucap Nadin menyambutnya dingin."Nadin! ayah ingin minta bantuanmu, Sayang. Ini mungkin terdengar tidak masuk akal tapi kamu satu-satunya harapan ayah" ucap Pak Dion terdengar buru-buru."Buntuan apa ayah? Kalau Nadin bisa pasti Nadin akan bantu" ucap Nadin masih setia menunggu Pak Dion bicara, sebenarnya bantuan apa yang diinginkan Pak Dion."Tari mengalami kecelakaan naas, Nad. Dia kritis dan kehilangan banyak darah" jelas Pak Dion."Tari itu siapa, Yah? Terus Nadin harus bantu apa?" Tanya Nadin, tapi hatinya sudah menebak, pasti dia salah satu orang terdekat ayah."Tari adalah kakakmu, Sayang" ucap Pak Dion. Nadin diam saja, memangnya ia harus apa? Menangis karena tau dirinya punya saudara yang begitu diperhatikan oleh ayahnya sendiri. Meski hatinya sakit, Nadin tidak sampai menangis."Nadin...!?" seru Pak Dion terdengar putus asa. Sepertinya ia takut Nadin akan menolak."Sudahkah ayah mengatakan ini pada ibu?" Tanya Nadin, ia hanya mengulur waktu untuk berpikir."Ibumu tidak akan setuju, karena itu ayah langsung menghubungimu, lagi pula kau sudah dewasa dan bisa memutuskan sesuatu sendiri" ucap ayah, membuatnya terdiam lagi."Kenapa harus Nadin ayah? Ayah tau posisi kami, bukankah Nadin tidak boleh muncul dihadapan..." Suara Nadin terpotong, ia tidak sanggup mengucapkan keluarga ayahnya dari istri pertamanya."keluarga ayah?" akhirnya kata itu meluncur dengan susah payah."Ayah bisa minta tolong pada orang lain" lanjut Nadin menahan emosi."Tidak ada pilihan lain, Nad." ucap Pak Dion terdengar putus asa. Nadin terdiam lagi, apakah keluarganya begitu hina, sampai untuk muncul saja harus menunggu saat keadaan yang harus memaksa, saat ia satu-satunya yang menjadi pilihan terakhir? andai saja ada pilihan yang lain pasti ayahnya tetap tidak mengizinkannya keluar dari persembunyiannya."Golongan darah kalian sama dan cukup langka, sementara itu stoknya sedang kosong di rumah sakit ini, golongan darah kalian menuruni milik ayah, tapi ayah tidak bisa membantunya karena ayah sedang pemulihan setelah sakit tipes kemarin, jadi kamu satu-satunya harapan ayah, Nad" jelas Pak Dion, sangat berharap pada Nadin, Nadin sangat ingin menolak demi harga dirinya, tapi hati nuraninya tidak tega, terlepas dari saudara atau bukan, Tari yang membutuhkan pertolongan adalah manusia yang berhak hidup seperti dirinya."Baik ayah" kalimat itu meluncur dari mulut Nadin begitu saja."Terima kasih, Sayang" lirih Pak Dion terdengar sangat bersyukur, tapi ia mungkin merasa bersalah secara bersamaan."Ayah, tolong rahasiakan ini dari ibu, Nadin takut ibu kecewa pada Nadin." Ucap Nadin."Iya, Sayang. Maafkan ayah membuatmu terlibat dalam urusan keluarga ayah" ucap Pak Dion, membuat Nadin ingin menangis, kalau yang di sana keluarga ayah, lalu dia dan ibunya sebagai apa di mata ayahnya? kenapa takdir membuat kehidupannya berbeda? ia merasa dunia ini sungguh tidak adil, seandainya kalau situasinya dibalik menjadi dirinya yang berada di posisi Tari, apakah ayahnya bisa meminta tolong pada Tari untuk menyelamatkan hidupnya? hatinya nyeri memikirkan itu.Nadin akhirnya menjejakkan kakinya di pelataran rumah sakit, ia datang sendiri setelah ayahnya memberi alamat. Rumah sakit itu sangat besar dan mewah. Pak Dion datang menjemputnya di lobi rumah sakit setelah Nadin memberitahu kehadirannya."Nadin!" Seru ayah menghampiri Nadin, wajahnya tampak lusuh, penampilannya juga tidak serapi biasanya. Apakah ayah akan berpenampilan seperti ini jika dirinya yang sakit? entah kenapa rasa iri tiba- tiba hinggap di hatinya."Ayah!" Hanya itu yang bisa ia katakan."Terima kasih, Nad! sudah mau datang" ucap Pak Dion sambil mengecup keningnya, ia kemudian membimbing langkah Nadin menuju lift.Sebelum melalui prosedur donor darah, Pak Dion membawa Nadin ke ruang tunggu di mana ada keluarga dari istri pertamanya. Sebelumnya, Pak Dion memberi sebuah masker untuk ia kenakan, hatinya sedikit nyeri menerima benda itu, pasti Pak Dion melakukan itu agar kelurganya tidak mengenali Nadin.Nadin mengikuti langkah ayahnya, ia memindai seluruh anggota keluarga dari
Sebulan kemudian...Nadin sudah melupakan kejadian di rumah sakit, tapi seseorang membuatnya mengingat kejadian itu kembali. Bukan tentang kematian kakaknya Tari, ia justru mengingat keterpesonaannya pada seseorang.Hari ini Nadin melihat laki-laki itu di kantor tempatnya bekerja. "Apa yang membawanya ke sini?" Pikirnya, kantor Nadin hanya sebuah perusahaan kecil, itu pun jauh dari ibu kota, ia tau laki-laki itu pasti dari ibu kota."Kau mengenal Pak Ronald?" Tanya rekan kerja Nadin, ia bernama Ferdi. Ferdi tampak tidak tertarik, bukan hanya itu ia malah mengenakan headset dan berbalik, tapi karena melihat Nadin sangat terpana dengan kehadiran laki-laki itu, membuatnya ingin bertanya. Nadin pun akhirnya tahu nama laki-laki itu berkat Ferdi."Gak Fer, cuma pernah lihat" jawab Nadin masih mengamati laki-laki itu."Apakah dia begitu sempurna sampai kamu tidak bisa berhenti melihatnya?" kata Ferdi, membuat Nadin beralih ke arahnya."Lalu bagaimana dengan mereka Fer?" Tanya Nadin pada Fer
Tujuan Ronald berkunjung ke kantor Pak Bambang adalah untuk mereview bahan produk yang ia gunakan, sebelumnya Pak Bambang memasukkan surel kerja sama ke perusahaan Ronald, melihat alamat yang tertera di surel yang ia kirim, Ronald tertarik untuk datang, karena alamat itu dekat dengan lokasi dimana Tari kecelakaan, beruntungnya secara kebetulan ia menemukan tujuan utamanya.Beberapa hari kemudian Ronald mengirim kembali surel dari perusahaan Pak Bambang yang sudah ia tanda tangani. Ronald sengaja menyetujui kerja sama dengannya walaupun produk dari brandnya masih di bawah standar alias belum layak untuk masuk ke daftar produk perusahaannya, ia mau menerima lamaran kerja sama dengan Pak Bambang tapi dengan syarat salah satu karyawan dari bagian pemasarannya pindah ke perusahaannya, dan yang ia menunjuk Nadin sebagai perwakilan, untungnya Pak Bambang antusias menyambut itu dan menyetujui apapun syaratnya.Hari itu Nadin, merasa seperti mendapatkan rejeki nomplok, karena salah satu perusa
Akhirnya tiba waktu yang telah ditentukan, Nadin mulai mengepak barangnya untuk pindah ke kost di ibu kota, ia tidak mungkin melakukan perjalanan dari rumah ke kantor setiap hari karena jaraknya cukup jauh, jadi ia menyewa kost yang dekat dengan perusahaan Bramasta.Ia begitu bersemangat masuk kerja di hari pertamanya. Begitu tiba di pelataran kantor ia berhenti untuk mengamati sekitar, ia takjub melihat bangunan bersusun yang menjulang tinggi di hadapannya, jika melihatnya dari bawah, bangunan itu seperti menyentuh langit, mengingat dirinya akan bekerja di dalam bangunan itu membuatnya merasa gugup.Ia mengambil nafas panjang lalu membuangnya perlahan, setelah itu ia melangkah dengan bangga memasuki pintu utama, beberapa satpam berdiri di sekitar pintu utama tersebut, pakaian mereka tampak elegan, tidak seperti satpam dengan seragam putih hitamnya disertai tongkatnya di perusahaan sebelumya. Sepertinya mereka tau kalau Nadin adalah orang baru yang memasuki kantor, sebab salah satuny
Esoknya Nadin merasakan nyeri hampir di seluruh tubuhnya, ia bangun dan merasakan kepalanya pening, setelah memeriksa keadaan tubuhnya sendiri, sepertinya ia demam. Ia ingin kembali berbaring di tempat tidurnya tapi dering ponsel membuatnya urung. "Halo!" ia menjawab panggilan dari nomor yang tidak dikenalnya."Saya Selfi, kenapa sudah jam segini tapi anda belum ke kantor?" ucap Selfi di seberang sana."Maaf Bu, saya sedang sakit demam" ucap Nadin terdengar lemah. "Jangan banyak alasan, segera datang ke kantor, sekarang juga" suara di seberang berubah, ia tahu itu Ronald."Tapi saya sedang sakit, Pak. Bolehkah saya...." Ucapan Nadin terpotong."Saya tidak akan menerima alasan apapun." ucapnya sarkas, bunyi Tut tiga kali mengakhiri obrolannya.Dengan terpaksa ia pergi ke kantor, sebelum berangkat ia memaksakan diri menelan beberapa suap makanan untuk sarapan lalu dalam perjalanan ia mampir ke apotek untuk membeli beberapa butir obat penurun panas dan pereda nyeriTiba di pelataran ka
Nadin menatap Ronald tidak percaya, ia langsung menjawab tanpa berpikir dua kali."Maaf, Pak. Saya tidak bisa" Nadin menolak dengan yakin."Oh ya? ternyata kamu berani menolakku?" Ucap Ronald, ia hanya berbasa-basi, Nadin mau atau tidak ia akan tetap berniat menikahinya, "Coba sebutkan alasan kamu menolak!" tantang Ronald. "Bukannya sudah jelas alasannya, memangnya pernikahan semudah mengucapkannya? Pasti kau merencanakan sesuatu kan?" omel Nadin, tentu saja dalam hati, mana Berani dirinya mengomeli Ronald."Banyak alasannya, Pak. Pertama, ini terlalu tiba-tiba. Kedua, saya dan Pak Ronald tidak punya hubungan apa-apa selain bos dan karyawan. Ketiga tidak ada rasa cinta di antara kita, Pak. Sementara sebuah pernikahan harus dibangun dengan rasa cinta dan yang keempat, anda tau bagaimana rumitnya keadaan keluarga saya." jelas Nadin.Ronald tau alasan-alasan itu memang benar, adapun tentang cinta? sepertinya cintanya telah dibawa pergi oleh Tari karena ia benar-benar tidak memiliki cint
Setelah sepakat untuk menikah, Nadin akhirnya bekerja dengan layak, ia juga sudah mendapatkan meja kerjanya di kantor bagian marketing. Meski begitu, ia belum merasa senang dan tenang, karena dihantui oleh rencana Ronald yang akan menikahinya untuk balas dendam atas kematian Tari.Pak Dion secara kebetulan berkunjung ke kantor Bramasta. Nadin kaget melihat ayahnya memasuki kantornya, sebelum ketahuan ia segera bersembunyi di bawah kolong meja, orang-orang melihatnya bingung. Tapi orang-orang itu tidak sempat bertanya pada Nadin karena harus menyambut kedatangan orang yang paling terhormat di perusahaan itu. Nadin langsung menebak apa yang terjadi di atas sana. Benar, Pak Dion datang bersama Ronald."Di mana karyawan dari perusahaan Mega Food?" Ronald menanyakan tentang Nadin. Ia menyebutkan perusahaan Pak Bambang.Nadin semakin membungkukkan tubuhnya seraya memberi isyarat pada rekan kerja yang melihat ke arahnya, sayangnya arah pandangan rekan kerjanya itu sudah memberi petunjuk pada
Tiga bulan berlalu, waktu yang cukup untuk mengatur segalanya, sebenarnya Ronald selesai mengatur rencana pernikahan tanpa cintanya dalam waktu seminggu tapi ia memperlambat waktunya agar tidak terkesan buru-buru, ia memperkirakan waktu tiga bulan sudah bisa diterima akal untuk berpaling pada wanita lain setelah ditinggalkan kekasih.Ia akan mengatur pernikahan sebagaimana adanya, hal pertama yang ia lakukan adalah mengenalkan Nadin pada keluarganya. Ternyata keluarganya tidak begitu peduli dengan keputusannya, ia sudah tahu itu, ia memperkenalkan Nadin kepada mereka sebagai rasa hormat saja, meskipun pernikahannya bukan atas dasar cinta, tetap saja pernikahan adalah sesuatu yang dianggap sakral, mungkin mereka tidak begitu peduli karena selama ini Ronald dianggap pemberontak oleh ayahnya, begitu juga Ronald, ia tidak mengambil pusing tanggapan ayahnya karena mereka tidak sedekat itu.Berbeda dengan ibunya, wanita paruh baya itu sangat antusias mendengar putranya akan menikah, Ronald