Share

Bagian 2 Permintaan Ayah

Beberapa hari kemudian..

Seperti biasanya, Pak Dion datang mengunjungi Nadin dan ibunya hanya sekali dalam seminggu, Nadin pikir selama ini Pak Dion adalah orang yang sangat sibuk, jadi mereka hanya bisa berkumpul sekali dalam seminggu, ternyata alasannya karena mereka adalah keluarga yang yang tidak diinginkan yang keberadaannya di dunia ini harus disembunyikan. Ada sedikit rasa nyeri di dalam hatinya jika mengingat itu.

"Ayah datang?" ucap Nadin ketika melihat ayahnya di meja makan.

"Iya, Sayang. Ternyata kamu sudah bangun." kata Pak Dion membalas Nadin, ia menghampiri Nadin lalu mengecup keningnya, Pak Dion memang sehangat itu, sampai Nadin sudah sebesar ini pun ia masih memperlakukannya seperti putri kecilnya, Nadin selalu menyambutnya dengan ceria dan manja, tapi sekarang ada rasa enggan untuk melakukan itu lagi.

"Kapan ayah datang?" Tanya Nadin berpura-pura tidak tahu segalanya, dan membuat suasana berjalan seperti biasa, memangnya dia harus bagaimana lagi, semua sudah terlanjur bahkan sudah berjalan selama dua puluh tiga tahun lamanya, bukan sesuatu yang baru terjadi kemarin.

"Ayah datang semalam saat kamu sudah tidur" ucapnya seraya tersenyum. Nadin membalasnya, senyuman kali ini tidak seleluasa biasanya.

"Bagaimana kabar ayah? Nadin dengar ayah sakit, maaf karena Nadin tidak bisa menemani ayah." Tanya Nadin lagi. Ia terdengar ingin memojokkan ayahnya.

"Tidak apa-apa, itu hanya sakit tipes. Hanya butuh perawatan biasa beberapa hari, sekarang ayah sudah lebih sehat " ucap Pak Dion lalu memalingkan wajah, sepertinya ia tak ingin diinterogasi lebih jauh oleh Nadin.

"Mas, Nadin, ayo sarapan dulu!" Seru Bu Sinta keluar dari dapur dengan nampan berisi makanan dan minumam di atasnya.

"Ayo kita sarapan, Sayang!" Ajak Pak Dion, meminta Nadin ikut ke meja makan, Nadin menurutinya.

Selama sarapan berlangsung, suasana tidak sehangat dan seramai biasanya, Nadin yang selalu berceloteh banyak menjadi pendiam, Pak Dion yang selalu merentetinya dengan pertanyaan juga diam, ibunya yang selalu antusias mendengarkan mereka tampak biasa saja, sampai ibunya memecah yang keheningan itu.

"Mas! Nadin sudah tahu segalanya, semalam aku memberitahunya" ucap Bu Sinta membuat Pak Dion memandang mereka secara bergantian sementara itu Nadin hanya diam menekuri makanan di piringnya. Ia tampak tidak tertarik.

"Kamu tidak perlu merasa bingung Mas, kami tau kamu sangat berusaha membahagiakan kami selama ini, jadi kami tidak masalah, walaupun Nadin sudah tau tidak akan ada yang berubah di antara kita. Iya kan Nad?" ucap Bu Sinta.

"Iya Bu. Nadin baik-baik saja, kok" jawab Nadin dengan enggan. Hatinya belum benar-benar menerima kenyataan ini.

"Syukurlah! terima kasih, Sayang. terima kasih karena kamu mau memahami keadaan ayah, maafkan ayah ya, Nad." Ucap Pak Dion, sepertinya ia tidak bisa mengucapkan apa-apa selain terima kasih dan maaf, ia merasa Nadin sudah tidak butuh penjelasan karena semua sudah dijelaskan oleh ibunya.

Setelah mereka selesai sarapan, semua kembali melakoni aktifitas seperti biasa, tidak ada yang mau membahas masalah yang baru saja terkuak, lagi pula solusi apa yang bisa menghapus jejak dosa Pak Dion dan Bu Sinta? Nadin hanya bisa menerima kenyataan pahit ini.

Nadin pergi bekerja, ibunya juga bekerja, sementara ayah entah kemana ia pergi, mungkin ia kembali ke rumah istri pertamanya setelah memberikan waktunya yang sedikit kepada Nadin dan ibunya, Nadin tidak pernah tau urusan ayahnya kecuali ia bernama Dion dan mengunjunginya sekali dalam seminggu, untungnya kebutuhan selalu dicukupi oleh ayahnya, ia dan ibunya bekerja hanya sekedar mengisi kekosongan saja.

Dering ponsel membuyarkan konsentrasi Nadin di kala bekerja. Ia melihat kontak ayahnya menari-nari di muka layar benda pipih itu.

"Halo, Nad!" Ucap Pak Dion di seberang telpon, setelah Nadin menyentuh icon berwarna hijau di layar ponselnya, Pak Dion terdengar panik.

"Iya, ayah Ada apa?" Ucap Nadin menyambutnya dingin.

"Nadin! ayah ingin minta bantuanmu, Sayang. Ini mungkin terdengar tidak masuk akal tapi kamu satu-satunya harapan ayah" ucap Pak Dion terdengar buru-buru.

"Buntuan apa ayah? Kalau Nadin bisa pasti Nadin akan bantu" ucap Nadin masih setia menunggu Pak Dion bicara, sebenarnya bantuan apa yang diinginkan Pak Dion.

"Tari mengalami kecelakaan naas, Nad. Dia kritis dan kehilangan banyak darah" jelas Pak Dion.

"Tari itu siapa, Yah? Terus Nadin harus bantu apa?" Tanya Nadin, tapi hatinya sudah menebak, pasti dia salah satu orang terdekat ayah.

"Tari adalah kakakmu, Sayang" ucap Pak Dion. Nadin diam saja, memangnya ia harus apa? Menangis karena tau dirinya punya saudara yang begitu diperhatikan oleh ayahnya sendiri. Meski hatinya sakit, Nadin tidak sampai menangis.

"Nadin...!?" seru Pak Dion terdengar putus asa. Sepertinya ia takut Nadin akan menolak.

"Sudahkah ayah mengatakan ini pada ibu?" Tanya Nadin, ia hanya mengulur waktu untuk berpikir.

"Ibumu tidak akan setuju, karena itu ayah langsung menghubungimu, lagi pula kau sudah dewasa dan bisa memutuskan sesuatu sendiri" ucap ayah, membuatnya terdiam lagi.

"Kenapa harus Nadin ayah? Ayah tau posisi kami, bukankah Nadin tidak boleh muncul dihadapan..." Suara Nadin terpotong, ia tidak sanggup mengucapkan keluarga ayahnya dari istri pertamanya.

"keluarga ayah?" akhirnya kata itu meluncur dengan susah payah.

"Ayah bisa minta tolong pada orang lain" lanjut Nadin menahan emosi.

"Tidak ada pilihan lain, Nad." ucap Pak Dion terdengar putus asa. Nadin terdiam lagi, apakah keluarganya begitu hina, sampai untuk muncul saja harus menunggu saat keadaan yang harus memaksa, saat ia satu-satunya yang menjadi pilihan terakhir? andai saja ada pilihan yang lain pasti ayahnya tetap tidak mengizinkannya keluar dari persembunyiannya.

"Golongan darah kalian sama dan cukup langka, sementara itu stoknya sedang kosong di rumah sakit ini, golongan darah kalian menuruni milik ayah, tapi ayah tidak bisa membantunya karena ayah sedang pemulihan setelah sakit tipes kemarin, jadi kamu satu-satunya harapan ayah, Nad" jelas Pak Dion, sangat berharap pada Nadin, Nadin sangat ingin menolak demi harga dirinya, tapi hati nuraninya tidak tega, terlepas dari saudara atau bukan, Tari yang membutuhkan pertolongan adalah manusia yang berhak hidup seperti dirinya.

"Baik ayah" kalimat itu meluncur dari mulut Nadin begitu saja.

"Terima kasih, Sayang" lirih Pak Dion terdengar sangat bersyukur, tapi ia mungkin merasa bersalah secara bersamaan.

"Ayah, tolong rahasiakan ini dari ibu, Nadin takut ibu kecewa pada Nadin." Ucap Nadin.

"Iya, Sayang. Maafkan ayah membuatmu terlibat dalam urusan keluarga ayah" ucap Pak Dion, membuat Nadin ingin menangis, kalau yang di sana keluarga ayah, lalu dia dan ibunya sebagai apa di mata ayahnya? kenapa takdir membuat kehidupannya berbeda? ia merasa dunia ini sungguh tidak adil, seandainya kalau situasinya dibalik menjadi dirinya yang berada di posisi Tari, apakah ayahnya bisa meminta tolong pada Tari untuk menyelamatkan hidupnya? hatinya nyeri memikirkan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status