Share

Bagian 4 Ternyata dia tau semuanya.

Sebulan kemudian...

Nadin sudah melupakan kejadian di rumah sakit, tapi seseorang membuatnya mengingat kejadian itu kembali. Bukan tentang kematian kakaknya Tari, ia justru mengingat keterpesonaannya pada seseorang.

Hari ini Nadin melihat laki-laki itu di kantor tempatnya bekerja.

"Apa yang membawanya ke sini?" Pikirnya, kantor Nadin hanya sebuah perusahaan kecil, itu pun jauh dari ibu kota, ia tau laki-laki itu pasti dari ibu kota.

"Kau mengenal Pak Ronald?" Tanya rekan kerja Nadin, ia bernama Ferdi. Ferdi tampak tidak tertarik, bukan hanya itu ia malah mengenakan headset dan berbalik, tapi karena melihat Nadin sangat terpana dengan kehadiran laki-laki itu, membuatnya ingin bertanya. Nadin pun akhirnya tahu nama laki-laki itu berkat Ferdi.

"Gak Fer, cuma pernah lihat" jawab Nadin masih mengamati laki-laki itu.

"Apakah dia begitu sempurna sampai kamu tidak bisa berhenti melihatnya?" kata Ferdi, membuat Nadin beralih ke arahnya.

"Lalu bagaimana dengan mereka Fer?" Tanya Nadin pada Ferdi, ia pun mengikuti petunjuk Nadin.

Ferdi geleng-geleng melihat para gadis itu, mereka malah lebih parah dari Nadin, sepertinya air liur mereka akan keluar seperti melihat makanan yang sangat lezat. Mereka baru berhenti melongo saat Pak Ronald itu memasuki ruang direktur, sementara itu, Nadin dan Ferdi kembali menekuri laptop di depan mereka.

Tidak berapa lama, Nadin mendapat panggilan ke ruang dirut, ia meminta Nadin membawa produk dari perusahaannya, mungkin ia meminta Nadin karena ia adalah karyawan yang bekerja di bagian pemasaran. Jantungnya berpacu dengan cepat karena ada Ronald di dalam sana, selain itu ia takut Ronald mengenalinya.

Nadin mengetuk pintu lalu masuk ke ruangan itu, entah kenapa degup jantungnya kian bertambah.

"Masuk...!" Terdengar suara dari dalam, Nadin tau itu adalah Pak Bambang, direkturnya.

Nadin masuk sambil mengawasi Pak Ronald yang sedang melihat katalog produk perusahaannya, Ronald sempat melihat ke arah Nadin, pada saat itu Nadin langsung menunduk, Ronald tiba-tiba ingat, pernah melihat gadis itu di rumah sakit, ia mengernyitka dahi memikirkan sesuatu, tapi ia menampik pikirannya, mungkin hanya mirip, bukankah banyak orang yang memiliki wajah yang mirip.

"Ini pesanan Bapak." Ucap Nadin.

"Letakkan di situ" ucap Pak Bambang, sambil menunjuk sudut meja di depan Ronald. Nadin sedikit kaget karena merasa tidak siap. Tapi ia melakukannya juga karena itu merupakan perintah dari atasannya. Ronald menatap Nadin selama melakukan itu, tiba-tiba jantungnya berdegup cepat, jika wajah Nadin dilihat dari dekat, ia begitu mirip dengan mendiang kekasihnya, Tari. Hanya saja gadis di hadapannya itu lebih tinggi dan kulitnya juga lebih putih. Melihat gadis Itu membuatnya merasa Tari hidup kembali, ia sadar kembali saat Nadin menoleh kearahnya dan menganggukkan kepala dengan sopan.

Ronald menebak dengan yakin seratus persen pasti dia orang yang berada di rumah sakit itu. selain itu ia juga merasa yakin pasti orang ini yang dicari Tari sampai menyebabkannya kecelakaan dan meninggal. Tidak mungkin semuanya hanya kebetulan, Pertama ia datang bersama Pak Dion, kedua ia diperkenalkan sebagai pendonor yang ditemukan Pak Dion hanya beberapa jam setelah dokter mengatakan stok darah habis sementara golongan darahnya sangat langka, harusnya mencari darah yang langka butuh waktu lama, ketiga ia berada di sini, tempat di mana Tari ingin menemui selingkuhan ayahnya.

"Apakah masih ada yang harus saya kerjakan Pak?" Tanya Nadin setelah ia merasa, tugasnya selesai. Suaranya membuat analisis Ronald berhenti.

"Tidak ada lagi, silahkan kembali, lanjutkan lagi pekerjaanmu" ucap Pak Bambang.

"Baik Pak" timpah Nadin.

"Terima kasih ya, Nadin" ucap Pak Bambang lagi.

"Iya Pak." Ucap Nadin, disertai anggukan dengan sopan, tampak Ronald memandangnya seusai Pak Bambang menyebutkan namanya. Nadin buru-buru membungkuk padanya, untuk menyapa lagi sebelum keluar.

Beberapa saat telah berlalu, waktu istirahat pun tiba, semua karyawan bergegas ke kantin, sementara Nadin pergi ke toilet. Ketika Nadin keluar berjalan menuju toilet ia merasa diperhatikam seseorang tapi karena sesuatu sudah memaksa untuk keluar ia tidak sempat mencari tahu, ketika ia keluar dari toilet, betapa kagetnya Nadin melihat siapa yang berdiri di depannya.

"Pak Ronald!" Sapa Nadin.

"Nadin, nama yang cukup bagus" Ucap Ronald terdengar seperti ancaman untuk Nadin.

" Terima kasih, Pak" ucap Nadin, ia menganggap itu pujian walaupun terdengar menyeramkan.

"Apa kau benar-benar lupa padaku? Padahal Aku masih mengingatmu dengan jelas" ucap Ronald, membuat bulu kuduk Nadin merinding.

"Maaf, Pak. Saya baru mengenal Pak Ronald hari ini" Nadin mencoba berbohong, setelah itu ia berniat untuk kabur.

"Benarkah? Bukankah kita pernah bertemu di rumah sakit?" Ucap Ronald dengan tatapan membunuh, Nadin tidak tidak bisa mengelak, tapi ia tidak mengerti kenapa Ronald memperlakukannya seperti itu.

"Maaf Pak, saya tidak ingat" ucap Nadin sembari melangkah pergi, tapi Ronald meraih tangan Nadin lalu membanting tubuhnya ke tembok. Nadin sampai merasakan sakit di punggungnya.

"Nadin, kau sungguh membuatku penasaran" ucapnya sambil menyeringai, Nadin merasa takut dibuatnya, tidak ada lagi perasaan yang selalu terpesona dan mengaguminya.

"Saya salah apa Pak? Kita bahkan baru saling mengenal nama" ucap Nadin dengan nada gemetar.

"Kau bertanya kesalahanmu apa? baik aku akan jawab" jawab Ronald, tatapannya seperti ingin membunuh.

"Kau yang menyebabkan tunanganku meninggal, aku sangat yakin itu kau" ucap Ronald tegas, emosinya semakin meningkat ketika menyinggung tentang tunangannya. Nadin terkejut mendengar tuduhan Ronald, pasti yang dia maksud adalah Tari.

"Siapa tunangan Pak Ronald? Aku tidak tahu" ucap Nadin, ia pura-pura bertanya sebagai upaya melepaskan diri

"Apa kau benar-benar lupa Nadin?" ucap Ronald mulai tidak sabar, andai saja Nadin makanan pasti ia sudah dihabisinya.

"Apakah yang anda maksud, Nona Tari?" Ucap Nadin bertingkah polos, jelas ia sudah tahu tapi ia berpura-pura lagi menebak.

"Aku bukan siapa-siapanya, aku hanya pendonor" lanjutnya.

"Kau adalah pendonor? Itu artinya golongan darah kalian sama, bukankah itu sudah cukup membuktikan kalau kamu adalah saudaranya? Tidak hanya itu, kau datang dengan Pak Dion waktu itu, Dia menjemputmu kan? Tentu saja karena kalian adalah keluarga. Lucu sekali" Ucap Ronald. Nadin tidak berkomentar karena semuanya benar.

"Dia kecelakaan karena mencari keberadaanmu dan wanita murahan yang telah melahirkanmu, karena ia menemukan bukti ayahnya yang berselingkuh, karena itu ayahnya menjadi ayahmu juga" ucapnya sarkas tanpa mempertimbangkan perasaan Nadin, tengsi Nadin naik mendengarnya, ia marah saat Ronald merendahkan ibunya, entah kekuatan dari mana tangannya mengayun begitu saja untuk menampar wajah Ronald, Ronald menyeringai tajam, tapi ia tidak membalas.

"Jangan merendahkan ibuku" Teriak Nadin di depan mukanya yang habis kena tamparan, setelah itu Nadin mendorongnya dengan sekuat tenaga, hingga membuat Ronald mundur, akhirnya Nadin bisa melepaskan diri, Ronald membiarkannya pergi tapi ia bertekad untuk tidak akan melepaskannya.

Sepulang kerja, Nadin membawa mobil sedannya keluar dari tempat parkir sambil mengawasi, ia takut Ronald mungkin mengikutinya, Nadin teringat ucapannya tentang Tari yang kecelakaan karena mencari keberadaan dirinya dan ibunya, ia berpikir sepertinya Ronald akan menggantikan Tari melanjutkan misi.

Saat tiba di rumah, Nadin segera mencari ibunya, syukurnya Nadin menemukan Bu Sinta sedang di kamarnya.

"Ibu!" Nadin berseru begitu mendapati ibunya. Ibu berpaling ke arah Nadin.

"Kenapa Nad?" Ucap ibunya tersenyum.

"Bu, mulai sekarang ibu harus berhati-hati, keberadaan kita sedang diawasi seseorang" ucap Nadin menjelaskan.

"Kamu tau darimana?" Tanya ibunya.

"Seseorang mengatakan padaku, kalau Tari kecelakaan karena mencari keberadaan kita"

"Dari mana kamu tau tentang Tari?" Bu Sinta mengernyit menuntut penjelasan. Membuat Nadin terjebak, akhirnya Nadin menjelaskan semua yang ia lakukan sebulan yang lalu.

"Harusnya ibu tidak memberitahumu" ucap ibunya kecewa. Ia seperti memendam rasa yang tidak dapat ditebak. Mungkin ia kecewa pada Nadin karena mau membantu mendonorkan darahnya untuk Tari.

"Maaf, Bu" ucap Nadin.

"Keluarlah, pergi ke kamarmu dan istirahat" titah ibunya, Nadin menurutinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status