Tujuan Ronald berkunjung ke kantor Pak Bambang adalah untuk mereview bahan produk yang ia gunakan, sebelumnya Pak Bambang memasukkan surel kerja sama ke perusahaan Ronald, melihat alamat yang tertera di surel yang ia kirim, Ronald tertarik untuk datang, karena alamat itu dekat dengan lokasi dimana Tari kecelakaan, beruntungnya secara kebetulan ia menemukan tujuan utamanya.
Beberapa hari kemudian Ronald mengirim kembali surel dari perusahaan Pak Bambang yang sudah ia tanda tangani. Ronald sengaja menyetujui kerja sama dengannya walaupun produk dari brandnya masih di bawah standar alias belum layak untuk masuk ke daftar produk perusahaannya, ia mau menerima lamaran kerja sama dengan Pak Bambang tapi dengan syarat salah satu karyawan dari bagian pemasarannya pindah ke perusahaannya, dan yang ia menunjuk Nadin sebagai perwakilan, untungnya Pak Bambang antusias menyambut itu dan menyetujui apapun syaratnya.Hari itu Nadin, merasa seperti mendapatkan rejeki nomplok, karena salah satu perusahaan besar di pusat kota menerima lamaran kerja sama dari perusahaan tempatnya bekerja, lebih dari itu, yang paling mengejutkannya adalah ia dipindah tugaskan juga ke perusahaan besar itu, semua orang selalu kagum saat mendengar nama perusahaan itu, nama perusahaannya adalah Bramasta. Salah satu perusahaan besar yang sangat terkenal, ia menaungi banyak bisnis, namanya bertebaran dimana-mana, ada hotel, pusat perbelanjaan, sekolah, cluster, apartemen, dan banyak lagi, semua bisnis yang ia naungi selalu menggandeng nama Bramasta, sementara itu brand dari perusahaan Nadin sendiri akan di pasarkan di salah satu pusat perbelanjaan milik Bramasta."Oh tuhan, mimpi apa aku semalam?" Ucap Nadin setelah keluar dari ruang Dirut. Ia buru-buru kembali ke meja kerjanya, ia ingin memamerkannya pada Ferdi."Kenapa sih, Nad? Datang- datang langsung heboh sendir" ucap Ferdi mengawasi Nadin sejenak, lalu ia kembali menatap monitor di depannya."Fer, tau gak? aku akan dipindah tugaskan ke perusahaan besar Fer" ucap Nadin semangat."Oh ya? perusahaan besar yang mana Nad?" Tanya Ferdi tanpa menoleh ke arah Nadin, matanya sibuk menekuri layar komputer di depannya."Perusahaan Bramasta, Fer. Kamu tau sendiri kan, semua orang memimpikan untuk bekerja di perusahaan itu, aku yang merasa tidak akan punya kesempatan di tempat itu malah dipilih Tuhan, oh my good! Aku sungguh beruntung." ucap Nadin berapi-api tapi Ferdi tampak tidak senang, apakah dia iri? Atau mungkin ia tidak mau jauh dari Nadin? mengingat mereka sudah cukup lama bersama, mereka sudah saling mengenal sejak di bangku kuliah, dia juga yang membantu Nadin mendapat pekerjaan di tempat ini."Ya sudah, kalau begitu selamat ya!" Ucap Ferdi datar, Nadin jadi merasa sia-sia memberitahunya dengan semangat. Tapi Nadin tidak peduli, ia tetap senang.Setelah jam kerja berakhir, Nadin buru-buru pulang, Ia tidak sabar ingin segera bertemu ibunya dan memberitahunya kabar gembira ini.Ia membawa mobil sedannya melesat pergi dari parkiran sambil menyetel lagu Impossible yang dipopulerkan oleh James Arthur dari speaker mobilnya dan ia ikut berdendang menyanyikan lagu itu.Begitu ia sampai di rumahnya, ia langsung mencari keberadaan ibunya, kali ini ia menemukan ibunya di dapur,sedang bergelut dengan pisau dapur dan bahan makanan yang tampak segar. Walaupun ibunya juga seorang pekerja seperti dirinya, ibunya selalu di rumah sebelum Nadin datang."Ibu...!" Nadin berseru seraya menghampiri ibunya yang sedang memotong wortel dengan lihai, ia lalu memeluk punggung ibunya."Ada apa nih, Kok tiba-tiba manja begini? pasti ada sesuatu yang menyenangkan" Tebak Bu Sinta, ia menoleh dan tersenyum lembut pada putrinya."Iya dong Bu, Nadin ada kejutan" kata Nadin masih bermanja di punggung ibunya yang terasa hangat."Kejutannya apa?" Ucap Bu Sinta lanjut melakukan kembali aktifitsnya."Nadin akan bekerja di sebuah perusahaan besar dan terkenal, Bu. Nadin dipindah tugaskan oleh perusahaan tempatku bekerja saat ini." Ucap Nadin bangga, Nadin bergeser ke samping ibunya, ia ingin melihat ekspresi ibunya."Oh ya? Dimana, Nad? Perusahaan apa namanya?" tanya Bu Sinta, ia terlihat kaget dan penasaran, seperti mengkhawatirkan sesuatu, tapi sejurus kemudian ia kembali tenang, demi mendengarkan cerita anaknya. Dari dulu apapun eksperesi Bu Sinta, ia selalu tenang, lembut dan hangat, saat marah pun ia masih bisa mengomel dengan tenang."Di ibu kota, Bu. Namanya perusahaan Bramasta, keren kan?" Ucap Nadin bersemangat, tapi ibunya malah diam bahkan ia berhenti dari aktifitasnya."Itu di ibu kota, Nad. Apa kamu sudah lupa pesan ibu? Ibu tidak setuju" Perkataan ibunya meruntuhkan rasa bahagia Nadin."Kenapa Bu? Ibu takut, Nadin bertemu keluarga ayah? Nadin bisa mangatasi itu, Bu. Ibu tidak perlu khawatir, bukankah ini kesempatan bagus? Kita tidak bisa terus bergantung dan mengharapkan ayah di sepanjang hidup kita, Bu. Ibu tau sendiri ayah punya keluarga lain, kita harus bisa mandiri" Nadin sedikit menantang."Bukan hanya itu Nadin, ayah bekerja sama dengan perusahaan Bramasta." ucap Bu Sinta, berharap Nadin mundur saja."Terus kenapa Bu? aku bisa mengatasinya Bu, percaya pada Nadin, lagi pula ayah hanya bekerja sama kan? Ayah tidak bekerja di perusahaan itu" Nadin meyakinkan ibunya, ia tidak mau mengalah. Ia tidak mau melepaskan kesempatan emas itu."Nad, ibu khawatir terjadi apa- apa padamu." ucap Bu Sinta melemah, ia masih melihat putrinya sebagai anak kecil yang selalu ia jaga selama ini."Ibu tenang saja, Nadin sudah dewasa, ibu sudah cukup mengkhawatirkan Nadin, sekarang saatnya Nadin yang akan membantu ibu. Ibu harus tau, apa yang kita dapatkan dari ayah hanya sebagian kecil dari yang ia berikan kepada kelurganya, kita harus bangkit, Bu." Ucap Nadin, memahamkan ibunya.Bu Sinta hanya bisa diam, ia tau apapun yang ia katakan saat ini, tidak akan bisa mengganggu gugat keputusan anaknya. Ia menyerah."Baiklah" ucap Bu Sinta sedikit kecewa, tapi ia bisa apa? Sekarang putrinya bukan anak kecil lagi, Nadin juga sudah bisa menilai apa yang baik untuk dirinya."Besok Nadin sudah mulai bekerja, Bu. Nadin akan pergi ke ibu kota, dan hanya kembali ke rumah ini saat libur" jelas Nadin. Matanya menyisir setiap sudut dapur yang selalu menjadi tempat favoritnya."Karena itu, kamu tidak usah kerja di sana" sergah Bu Sinta, ia mencoba berusaha mencegah, karena merasa ada cela."Ibu, kita harus bangkit, kalau ibu tidak bisa, biar Nadin yang membantu ibu. Nadin tau ibu punya kesalahan yang sangat fatal, tapi itu masa lalu, Nadin tidak mau terus bersembunyi seperti ini dari dunia, orang yang salah tetap saja manusia, tidak ada bedanya dengan yang lain, kita hanya perlu berbenah." Ucap Nadin, ia ingin ibunya paham.Akhirnya tiba waktu yang telah ditentukan, Nadin mulai mengepak barangnya untuk pindah ke kost di ibu kota, ia tidak mungkin melakukan perjalanan dari rumah ke kantor setiap hari karena jaraknya cukup jauh, jadi ia menyewa kost yang dekat dengan perusahaan Bramasta.Ia begitu bersemangat masuk kerja di hari pertamanya. Begitu tiba di pelataran kantor ia berhenti untuk mengamati sekitar, ia takjub melihat bangunan bersusun yang menjulang tinggi di hadapannya, jika melihatnya dari bawah, bangunan itu seperti menyentuh langit, mengingat dirinya akan bekerja di dalam bangunan itu membuatnya merasa gugup.Ia mengambil nafas panjang lalu membuangnya perlahan, setelah itu ia melangkah dengan bangga memasuki pintu utama, beberapa satpam berdiri di sekitar pintu utama tersebut, pakaian mereka tampak elegan, tidak seperti satpam dengan seragam putih hitamnya disertai tongkatnya di perusahaan sebelumya. Sepertinya mereka tau kalau Nadin adalah orang baru yang memasuki kantor, sebab salah satuny
Esoknya Nadin merasakan nyeri hampir di seluruh tubuhnya, ia bangun dan merasakan kepalanya pening, setelah memeriksa keadaan tubuhnya sendiri, sepertinya ia demam. Ia ingin kembali berbaring di tempat tidurnya tapi dering ponsel membuatnya urung. "Halo!" ia menjawab panggilan dari nomor yang tidak dikenalnya."Saya Selfi, kenapa sudah jam segini tapi anda belum ke kantor?" ucap Selfi di seberang sana."Maaf Bu, saya sedang sakit demam" ucap Nadin terdengar lemah. "Jangan banyak alasan, segera datang ke kantor, sekarang juga" suara di seberang berubah, ia tahu itu Ronald."Tapi saya sedang sakit, Pak. Bolehkah saya...." Ucapan Nadin terpotong."Saya tidak akan menerima alasan apapun." ucapnya sarkas, bunyi Tut tiga kali mengakhiri obrolannya.Dengan terpaksa ia pergi ke kantor, sebelum berangkat ia memaksakan diri menelan beberapa suap makanan untuk sarapan lalu dalam perjalanan ia mampir ke apotek untuk membeli beberapa butir obat penurun panas dan pereda nyeriTiba di pelataran ka
Nadin menatap Ronald tidak percaya, ia langsung menjawab tanpa berpikir dua kali."Maaf, Pak. Saya tidak bisa" Nadin menolak dengan yakin."Oh ya? ternyata kamu berani menolakku?" Ucap Ronald, ia hanya berbasa-basi, Nadin mau atau tidak ia akan tetap berniat menikahinya, "Coba sebutkan alasan kamu menolak!" tantang Ronald. "Bukannya sudah jelas alasannya, memangnya pernikahan semudah mengucapkannya? Pasti kau merencanakan sesuatu kan?" omel Nadin, tentu saja dalam hati, mana Berani dirinya mengomeli Ronald."Banyak alasannya, Pak. Pertama, ini terlalu tiba-tiba. Kedua, saya dan Pak Ronald tidak punya hubungan apa-apa selain bos dan karyawan. Ketiga tidak ada rasa cinta di antara kita, Pak. Sementara sebuah pernikahan harus dibangun dengan rasa cinta dan yang keempat, anda tau bagaimana rumitnya keadaan keluarga saya." jelas Nadin.Ronald tau alasan-alasan itu memang benar, adapun tentang cinta? sepertinya cintanya telah dibawa pergi oleh Tari karena ia benar-benar tidak memiliki cint
Setelah sepakat untuk menikah, Nadin akhirnya bekerja dengan layak, ia juga sudah mendapatkan meja kerjanya di kantor bagian marketing. Meski begitu, ia belum merasa senang dan tenang, karena dihantui oleh rencana Ronald yang akan menikahinya untuk balas dendam atas kematian Tari.Pak Dion secara kebetulan berkunjung ke kantor Bramasta. Nadin kaget melihat ayahnya memasuki kantornya, sebelum ketahuan ia segera bersembunyi di bawah kolong meja, orang-orang melihatnya bingung. Tapi orang-orang itu tidak sempat bertanya pada Nadin karena harus menyambut kedatangan orang yang paling terhormat di perusahaan itu. Nadin langsung menebak apa yang terjadi di atas sana. Benar, Pak Dion datang bersama Ronald."Di mana karyawan dari perusahaan Mega Food?" Ronald menanyakan tentang Nadin. Ia menyebutkan perusahaan Pak Bambang.Nadin semakin membungkukkan tubuhnya seraya memberi isyarat pada rekan kerja yang melihat ke arahnya, sayangnya arah pandangan rekan kerjanya itu sudah memberi petunjuk pada
Tiga bulan berlalu, waktu yang cukup untuk mengatur segalanya, sebenarnya Ronald selesai mengatur rencana pernikahan tanpa cintanya dalam waktu seminggu tapi ia memperlambat waktunya agar tidak terkesan buru-buru, ia memperkirakan waktu tiga bulan sudah bisa diterima akal untuk berpaling pada wanita lain setelah ditinggalkan kekasih.Ia akan mengatur pernikahan sebagaimana adanya, hal pertama yang ia lakukan adalah mengenalkan Nadin pada keluarganya. Ternyata keluarganya tidak begitu peduli dengan keputusannya, ia sudah tahu itu, ia memperkenalkan Nadin kepada mereka sebagai rasa hormat saja, meskipun pernikahannya bukan atas dasar cinta, tetap saja pernikahan adalah sesuatu yang dianggap sakral, mungkin mereka tidak begitu peduli karena selama ini Ronald dianggap pemberontak oleh ayahnya, begitu juga Ronald, ia tidak mengambil pusing tanggapan ayahnya karena mereka tidak sedekat itu.Berbeda dengan ibunya, wanita paruh baya itu sangat antusias mendengar putranya akan menikah, Ronald
Hari pernikahan yang harusnya indah dan mendebarkan itu akhirnya tiba. Seperti kesepakatan sebelumnya, mereka akan melangsungkan pernikahan di kota kediaman Nadin, karena itu keluarga Ronald menyewa penginapan termewah di kota itu dan tentu saja harganya tidak main-main, mereka tidak bertanya kenapa dan bagaimana, mereka hanya menuruti semua keputusan Ronald. Pernikahan Ronald dan Nadin akan berlangsung di hotel itu juga, menggunakan aula hotel yang masih layak disebut mewah.Adapun Nadin, ia kini berada di dalam salah satu ruang pengantin di hotel itu, wajahnya akan disulap seperti putri yang keluar dari dunia fairy tale oleh seorang perias handal, ia yang memilih konsep dan sebagainya, Ronald tidak peduli dengan itu, ia hanya bertanggung jawab untuk pembayarannya saja, harga dirinya bisa jatuh kalau Nadin juga yang membayar semuanya. Baginya pernikahan sudah tidak istimewa lagi karena pernikahan impiannya sudah terkubur dalam-dalam, ia hanya ingin acara pernikahan ini segera selesai.
Di tempat lain, Nadin masih sibuk mencari kamar melati yang di maksud Ronald. Ia sumringah saat menemukan pintu kayu dengan ukiran mewah bertuliskan Melati Room. Saat ia bingung harus bagaimana untuk membuka pintunya, seorang pelayan kabin yang dikhususkan bertugas di lantai VIP datang menghampiri."Apakah anda Nona Nadin?" ucapnya dengan sopan."Iya, saya Nadin" Balas Nadin."Ini keycard kamar anda, selamat beristirahat, Nona" ucapnya sopan seraya menyerahkan benda pipih berbentuk persegi panjang kepada Nadin."Iya, terima kasih." Balas Nadin, sang pelayan membungkuk memberi hormat lalu pergi.Nadin berhasil membuka kamar itu, tampaklah ruangan mewah dengan interior yang megah di dalamnya, ia merasa tidak sedang berada di atas kapal, ia tidak merasakan ada guncangan sama sekali. Setelah matanya menyisir seluruh ruangan dan mengaguminya, ia terpaku pada kasur king size, benda itu seperti menghipnotisnya, tiba-tiba ia merasakan matanya mengantuk ditambah tubuhnya yang lelah setelah seh
Nadin bangkit dari kasur lalu berjalan dengan lunglai menuju kamar mandi, ia masuk ke dalam bath up lalu menyalakan shower. Dengan perlahan ia merasakan dinginnya air yang menetes menembus pakaian yang masih menempel di tubuhnya, air matanya keluar bersamaan dengan itu."Apakah dosa orang tuaku begitu besar, Tuhan? Harusnya engkau tidak menciptakan aku dari mereka." Lirihnya sambil meraba pipinya yang perih. Ia juga membasuh bibirnya lalu menggosok tubuhnya dengan kasar, mengingat Ronald telah menyentuh di bagian itu. Ia menyalahkan dirinya yang terlalu lemah, ia harusnya bertahan untuk tidak menikah dengan Ronald, ia terlalu memandang enteng balas dendam yang akan dilancarkan Ronald padanya, dipikirnya laki-laki itu pasti tidak akan memberinya hukuman yang berat apalagi memukulnya. Lalu bagaimana nasibnya jika pernikahan ini tidak usai, apakah ia akan disiksa di sepanjang hidupnya? Ia menenggelamkan seluruh tubuhnya ke dalam bath up yang sudah dipenuhi air. Sepertinya ia ingin melaku