Aku tahu Mas Firman itu ketakutan jika semua yang dilakukan olehnya terbongkar. Orang yang menyembunyikan kesalahan pasti akan seperti itu. Dia berusaha menyimpan bangkai, tapi aku sangat percaya bahwa semuanya akan tercium dan secepatnya akan terkuak. "Kenapa curiga dengan istri sendiri? Aku ini mau meeting bukan di kantor, tanya saja Felly kalau tidak percaya," jawabku sambil memegang dada. Sebenarnya ini bukan cara efektif untuk mengalihkan, sebab bisa jadi Mas Firman malah menanyakan langsung ke Felly."Kenapa nggak bilang dari tadi? Aku sudah ikut masuk tol," jawabnya malah menyalahkanku. Padahal nggak ada yang menyuruhnya untuk curiga."Itu kan maunya kamu, Mas. Aku nggak pernah minta kamu untuk over protective," timpalku membuat Mas Firman mematikan sambungan teleponnya. Aku menoleh kembali, lalu melihat mobilnya yang belok ke rest area, itu artinya dia sudah percaya dan tidak lagi mengikutiku. Aku menghela napas sambil menurunkan bahu ini. Lalu meminta sopir untuk menurunka
"Ini kenyataan pahit untuk Mbak Giska, jadi aku mohon persiapkan mental dan lapangkan dada ya, jangan sampai Mbak Giska jadi lemah karena mendengar percakapan Mas Firman dengan gundiknya itu," pesanku sebelum memutar rekamannya. Namun, mata Mbak Giska kembali menyipit, alisnya ditautkan, "Aku tidak paham dengan ucapanmu, Nurma. Jangan bikin aku takut deh," ancamnya sambil mencubit tangan ini. Aku tersenyum sambil mengusap layar ponsel yang sudah mulai redup kembali. Kemudian menekan menu mulai, lalu menyuruh Mbak Giska untuk mendengarkan dengan seksama. Kini wajahnya mulai serius ketika kata demi kata ia dengar dari mulut suami dan selingkuhannya. Matanya terkadang melirik ke arahku, yang lebih mencengangkan lagi ketika Mbak Giska mendengar pernyataan suaminya itu. Mulutnya berubah menganga saat Mas Firman jelas-jelas membeberkan bahwa ini semua rencananya. Helaan napas terdengar dari mulut Mbak Giska setelah ia mendengarkan percakapan Mas Firman sampai habis. Aku segera meraih k
Jantungku hampir saja copot, aku pikir yang datang adalah Mas Firman dan Airin. Namun ternyata ketika keduanya muncul, mereka adalah Felly dan Adnan. Aku menurunkan bahu ini ketika pikiranku salah. "Syukurlah kalian yang ke sini, aku pikir Mas Firman.""Maaf Bu kami tidak bilang-bilang, kami langsung meluncur begitu tahu Bu Nurma tengah menuju kediaman Dokter Lucky," jelas Adnan. Kemudian, aku meminta suster untuk memanggil Mbak Giska yang tadi kutinggal di kamarnya. Setelah kakak maduku ikut bergabung, barulah kami bicara berempat. Sebenarnya awal tujuanku berkunjung ke rumah praktek tempat Mbak Giska dirawat adalah untuk memberikan informasi tentang percakapan Mas Firman dengan gundiknya. Namun, berhubung Felly dan Adnan berada di sini juga, aku ingin mengusulkan satu rencana pada mereka. "Fel, aku tahu kamu ke sini karena Mas Firman tanya soal meeting ya?""Loh Bu Nurma tahu?""Ya, tadi aku beralasan ada meeting di luar," jawabku. Felly mengelus dadanya, lalu tersenyum. "Untun
"Jantungku berdegup kencang, Airin, rasanya sulit menahan hasrat ini," ucap Mas Firman membuat darah ini mendidih. Aku mengelus dada supaya tidak terbakar api cemburu. "Iya, Mas, aku juga rasanya sulit kuungkapkan," balas Airin. Bodohnya aku malah tidak mematikan penyadap suara itu setelah keduanya bercakap mesra, aku terbawa emosi sampai harus mendengarkan sepasang kekasih itu melakukan adegan ranjang. Suara desahan semakin kedengaran tajam di telinga ini. Keduanya saling bersahut-sahutan. Akhirnya jari lentik ini mematikan sambungan penyadap suara pada telepon genggam yang kupegang. Kemudian berdiri dengan dada bergemuruh. "Tenang, Nurma, kamu harus pura-pura santai, supaya berhasil mendapatkan tanda tangan dari suamimu itu," tuturku menenangkan diri sendiri. Aku ambil kertas yang akan ditandatangani Mas Firman, lalu langkah kaki ini melangkah ke kamar Mbak Giska dengan pelan. Ya, supaya Mbok Tuti tidak tahu aku masuk ke kamarnya juga. Mata ini meneliti ke setiap sudut ruanga
"Ya ampun, Non Nurma yang meleng, tapi malah saya yang disalahkan," celetuk Mbok Tuti. Namun, mataku tetap tertuju pada kertas yang ada di dalamnya. Sebab, surat ini adalah berkas penting yang harus kulindungi.Beruntungnya tas yang kupakai kali ini cukup besar, ada resleting juga dan tahan air tentunya. Aku menurunkan bahu sambil tersenyum. "Syukurlah, aman," celetukku keceplosan. Aku menghela napas sambil tersenyum. Mbok Tuti memperhatikanku secara diam-diam. "Apanya yang aman sih? Kok kayaknya bahagia banget?" Mata-mata Mas Firman menyorotiku penuh. "Jangan kepo urusan majikan! Kapan sih kamu bersikap dan bertindak sesuai kodratmu? Yaitu sebagai pembantu!" Aku sengaja bicara seperti itu dengan nada penekanan. "Non Nurma jangan bicara seolah-olah orang kaya raya, ya, Non Nurma tidak tahu kalau saya ini bukan pembantu sembarangan, jangan sampai mulutmu itu saya sumpal dengan kain basah," ancam Mbok Tuti berani. Aku terkekeh mendengar ucapannya. Pembantu berlagak majikan, punya sa
"Saya tidak terlalu dekat sih dengan Firman, bisa dibilang saudara jauh. Makanya tadi agak lupa-lupa ingat wajahmu, terakhir ketemu Firman, Giska, itu pas nikah denganmu," ucapnya sedikit membuat napas ini lega. "Oh gitu, Bapak di sini ketemu siapa?" tanyaku hanya basa-basi. "Abis kumpul sama teman, karena besok saya berangkat ke Yogyakarta, rencananya akan tinggal di sana," jawabnya. Napas ini berhembus begitu saja, bahuku pun sontak menurun karena ucapannya tambah membuatku hilang kekhawatiran. Mataku melirik ke arah Adnan yang berada di dekat notaris. Kami memohon izin pamit pada semuanya, ini supaya tidak banyak yang dibicarakan atau dipertanyakan lagi. Aku pikir kepergok dengan salah seorang sanak keluarga Mas Firman adalah akhir dari segalanya. Cerita yang kusimpan rapat akan meluap begitu saja, namun ternyata perkiraan dan dugaanku salah. Di parkiran, aku pastikan pada Adnan untuk mempercepat semuanya. Sebab, khawatir Mas Firman akan tahu sebelum surat kuasa itu diproses
Aku menelan saliva, rasanya jantung ini benar-benar tak bisa diatur degupannya. Namun, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar sangat keras. Ia bahkan menggedor pintu seperti ingin menggerebek. "Buka nggak!" Aku tahu itu Airin, ia pasti takut kehilangan Mas Firman. Tubuh laki-laki yang sudah wangi itu kembali berdiri, padahal tadi ia sempat menindihku kasar. Namun, setelah mendengar teriakan calon istrinya, suamiku itu begitu takut dan berdiri tegak sempurna sambil mendengus kesal. "Sial," umpat Mas Firman sambil meraih jas dan kemejanya. "Kancingin piyamamu," suruhnya. Aku terduduk sambil merapikan piyama dan rambut yang sedikit berantakan. Sedangkan Mas Firman merapikan kemeja dan jas nya. Setelah itu ia beranjak membuka pintu yang terkunci. Dibukanya daun pintu lebar-lebar, ada Airin yang tengah melipat kedua tangan di atas dada. "Hm, asik ya berduaan di kamar, ngapain aja kalian?" Mata Airin menyorot Mas Firman dengan tatapan sinis. Padahal kami suami istri, justru masih pas
"Nurma! Nurma!" Suara melengking suamiku terdengar memekikkan telinga. Aku segera keluar kamar dan menghampirinya yang tengah sarapan. Langkahku sengaja berlari, sebab ingat pesan Adnan bahwa hari ini aku diperintahkan untuk mencegah Mas Firman ke mana-mana. "Ya, Mas," ucapku dengan napas tersengal-sengal. "Aku mau berangkat, kamu ikut aku ya, kita akan ke pengacara," timpalnya membuatku terdiam lalu menyorot Airin yang tumben tidak marah. "Sudah sana ikut! Mau pemindahan aset tahu. Lagian udah lebih dari seminggu, bahkan hampir satu bulan kan Giska si bisu dan lumpuh itu tidak ada kabarnya, bisa lah minta pengacara langsung pembagian aset warisan, wanita itu kan tidak punya sanak saudara," papar Airin sambil mengunyah sepotong roti yang tengah ia pegang. "Aku sarapan dulu," jawabku sambil melihat jam yang melingkar di tangan ini. "Lima menit," celetuk Mas Firman. "Sepuluh ya, aku ingin minum susu," jawabku agak sedikit manja. Mas Firman langsung duduk pertanda setuju dengan p