Share

Simpanan Cantik Sang Presdir
Simpanan Cantik Sang Presdir
Penulis: AgilRizkiani

Hari Apes

 "Pembunuh!"

Arini berdiri sembari memegangi kendaraan matiknya. Ia menggeleng dengan cepat tanda membantah tuduhan itu.

"Kau, pembunuh!" Lagi Dan lagi kata itu terus berulang keluar dari mulut seorang laki-laki.

Lelaki itu menatap Muchi yang telah berlumuran darah dan tergeletak di aspal. Bola mata yang tak lagi berada di tempat serta organ-organ tubuh lain yang telah bercecer.

"Pak, eh, Mas aduh Om ... saya minta maaf." Ia segera turun dari sepeda motornya. Menatap ke kiri dan kanan. Jalanan sepi, bisa saja dirinya langsung melarikan diri.

"Tapi sungguh, bukan saya yang menabraknya." Bibirnya telah pucat, tubuh dengan tinggi di bawah rata-ratanya pun bergetar. Peluh juga sudah membasahi pelipis.

"Jika semua penjahat jujur, mungkin penjara akan penuh." Setelah mengatakan itu, dirinya segera merengkuh tubuh Muchi, lalu melangkah memasuki gerbang.

Arini menepikan motor. Ia melepas helm, lalu mengikuti langkah lelaki yang tengah dirundung duka. Kenapa harus dibawa ke rumah? Mengapa tak langsung ke rumah sakit saja? Ah, itu hanya buang-buang uang, hingga pada akhirnya dia akan dikubur juga.

Langkahnya terhenti saat lelaki itu sudah berdiri di bawah pohon kamboja dan membawa cangkul.

Kain putih itu berlumuran darah.

"Kau membunuh Muchi, dia yang selalu menemaniku setiap waktu, teman tidur dan yang menyambutku sepulang kerja. Apa salahnya hingga kau sampai hati menabraknya?"

Apa salahnya? Bahkan Arini dan lelaki itu saja baru bertemu serta Muchi pun.

"Bukan aku yang menabraknya, Pak. Sungguh."

"Teruslah mengelak."

Arini menghela napas gusar. Dirinya harus mengatakan apa lagi, jika apa yang telah diungkapkan itu semuanya adalah kebenaran yang ada.

"Lalu Bapak, ingin saya bertanggungjawab? Katakan ...." Arini sangat yakin di zaman sekarang orang-orang yang dipikirkan hanyalah perihal rupiah.

Lelaki itu diam, lalu menggeleng.

"Serahkan nama, nomor telepon dan alamat rumahmu."

"Saya Arini, eh, untuk apa nomor telepon dan alamat? Saya tidak akan lari, kok. Walaupun, itu memang bukan salah saya," tutur Arini.

Arini heran mengapa lelaki itu meminta alamatnya juga, memangnya dari wajah sudah tersirat jika dirinya memiliki sifat-sifat penjahat?

"Cepat sebutkan nomormu atau saya teriak dan Anda bisa dihabisi massa."

Arini menyebutkan nomor teleponnya beserta alamat rumah dan ciri-ciri spesifiknya. Setelah itu dirinya segera pergi. Bertemu lelaki gila adalah hal yang paling memuakkan untuknya. Ia memilih aman daripada mati muda karena salah paham. Terlebih lagi dirinya belum menikah, banyak yang mengatakan jika orang meninggal sebelum menikah maka arwahnya akan menjadi arwah penasaran itulah yang dikatakan tetangganya.

***

"Aku, enggak menabraknya!" seru Arini.

Mimpi buruk yang sudah tiga kali hadir secara berturut-turut. Ia tidak menabraknya, tetapi hanya berniat menolong. Namun, justru dirinya yang tertuduh sebagai pelaku pembunuhan.

Gedoran pintu bersahutan dengan bunyi bel. Ia melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 15.00. Siapa yang bertamu? Padahal dirinya tidak ada janji dengan siapapun, apalagi dirinya sudah mengecek tidak ada jadwal paket yang datang.

"Tunggu sebentar." Arini menjawab sembari mencepol rambutnya asal. Ia menghela napas dan mengumpulkan nyawanya secara utuh.

"Bapak ...." Tubuh gadis itu bergetar hebat saat mengetahui siapakah tamu yang bertandang pada kontrakan sepetak miliknya.

"Mau apa Bapak, ke sini?" tanya Arini pelan.

"Meminta pertanggungjawaban."

Netra gadis yang baru saja bangun tidur itu membulat seketika. Biasanya kaum wanita yang menuntut pertanggungjawaban, tetapi di sini beda. Lelakilah yang meminta hal itu. Dunia benar-benar sudah tua.

"Ayo, Pak, masuk." Arini membuka pintu dengan lebar. Ia segera duduk di karpet rafsur. Ya, diluar dapat mengundang banyak tetangga datang.

"Saya ingin pertanggungjawaban."

Arini mengangguk. Dirinya sudah bosan mendengar kalimat tersebut.

"Saya tidak pernah lari dari hal apa pun. Walau, sebenarnya saya bukan pelaku yang menabrak." Arini menghela napas panjang. Dari pakaian dan rumah lelaki itu sudah dapat menjamin. Dia dari golongan atas. Untuk apa sampai mengejarnya? Pemerasan?

"Untuk ganti rugi uang, saya ada sedikit tabungan hasil kerja di warung soto bu Ayu." Arini mengatakannya sembari meraih tas selempang yang berada di bawah bantal.

"Berapa jumlah tabunganmu?" 

"Ada dua juta lima ratus ribu," jawab Arini. uang itu adalah hasil dari keringatnya sendiri selama bekerja di warung makanb selama ini.

Lelaki itu menggeleng. Ia tersenyum sombong, uang tabungan dari gadis itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan harta yang telah dirinya miliki.

"Saya tidak butuh uangmu. Dia lebih berharga dari itu. Gara-gara kamu Muchi, mati! Padahal kami baru saja merayakan ulang tahunnya yang keempat."

Mendapat bentakan dari orang yang tidak ia kenal membuat Raline bungkam. Harusnya waktu itu dirinya langsung pergi saat melihat truk di depannya melindas, bukan berhenti dan sok jadi pahlawan yang akhirnya menjadi korban.

"Terus saya harus apa?" tanya Arini. Kali ini gadis itu sudah mulai lelah, percuma saja membela diri jika akhirnya tetap disalahkan.

"Kau harus menggantikannya. Menemaniku setiap waktu dalam keadaan apa pun!"

Netra gadis itu membulat. Dirinya benar-benar tidak menyangka dengan permintaan pertanggungjawaban dari lelaki itu hal yang sangat di luar nalar.

'Enggak waras.'

"Dasar Om-om yang doyan nyari kesempatan. Sukanya nindas orang kecil aja!" seru Arini. Memang sekarang ini kebanyakan laki-laki seperti itu menganggap semua wanita sama saja murahan yang bisa dibeli dengan uang ataupun tas branded.

"Apa katamu?" Lelaki itu menatap Arini dengan sengit.

"Udah sukanya nyari kesempatan, tuli lagi," sahut Arini.

"Masih muda, etika itu dijaga. Jangan mencoba lari dari tanggungjawab, ya."

"Bapak, butuh temen curhat? Kesepian? Makannya nikah cari pasangan," ujar Arini.

"Jangan asal bicara saya sudah punya istri."

Arini menghela napas. Opini pertama bila lelaki itu kesepian salah, berarti yang kedua jika lelaki itu memiliki gangguan kejiwaan.

"Terus saya harus gimana?" tanya Arini.

Gadis itu mencoba untuk melakukan negosiasi dengan sang lelaki agar bisa menemukan solusi.

"Seperti yang saya katakan tadi."

Arini menggeleng. Apa yang tadi dikatakan sebuah hal gila untuknya.

"Saya memang bukan wanita saleha, belum bisa menutup aurat, tapi enggak usah disamain kayak mbak-mbak yang suka mangkal juga dong. Kalau Bapak butuh teman curhat mending ke Mamah Dedeh aja, deh, biar jawabannya benar bukan ke saya," papar Arini.

Dadanya telah sesak oleh api amarah yang terus berkobar.

"Bukan dia yang menyebabkan Muchi mati!"

"Ayo, menikah."

Netra Arini membulat. Ia menggeleng. Dirinya menaruh jari telunjuk di kening dengan posisi miring. Kenal saja baru beberapa hari yang lalu.

"Nikah? Nama, Bapak saja saya tidak tahu," ujar Arini.

"Saya, Elsyam Hanafiah," ucap Elsyam.

"Terus saya jadi istri kedua gitu? Ogah!" seru Arini.

Arini menggeleng dengan tegas pertanda ia menolak pinangan itu.

Cukup ia yang tidak tahu asal-usul dirinya dan keluarganya. Lari dari panti asuhan karena selalu mendapat ketidakadilan dari ibu dan anak panti lainnya. Jangan sampai terjadi pada anaknya kelak. Dirinya ingin memiliki keluarga utuh bukan hasil merusak rumah tangga wanita lain. Dirinya juga percaya jika karma itu ada kepada setiap orang dan hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja. Dirinya juga tidak ingin menuai karma tersebut.

"Istri siri atau simpanan, saya," ucap Elsyam.

Arini menggeleng. Ia tak mau menjadi bahan omongan orang lagi. Dari sekian sinetron yang dirinya lihat dapat diambil kesimpulan. Bila dirinya menikah dengan pria beristri akan kecil kemungkinan untuk bahagia bisa saja ditinggalkan karena bosan atau ancaman istri pertama, lalu viral dan dirinya akan dihakimi netizen yang maha benar.

"Enggak."

"Siap-siaplah. Kita akan menikah secepatnya," ucap Elsyam.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status