Pertanyaan papanya sejenak membuat Anita lemas, dia salah tingkah di hadapan pria yang paling mengenal dirinya sejak ia bayi. 'Apa aku sudah bosan dengan Radit?' batinnya galau."Ehh ... nggak kok, Pa. Kok tanya begitu sih ke Nita?" kelit Anita dengan lincah. Dia melirik ke arah Agus yang lebih tertarik memandangi kolam renang di samping rumah yang biru cemerlang tertimpa sinar mentari sore.Mereka bertiga pun duduk berbincang di sofa ruang keluarga."Mama lagi pergi kemana, Pa?" tanya Anita kepada papanya yang mulai menyulut batang rokok yang baru dengan korek api.Pak Subroto mengisap dalam-dalam rokok Djarum Super favoritnya sejak masih muda lalu mengepulkan asapnya. "Biasa, arisan emak-emak rempong. Hehehe," jawab pria itu dengan ringan sembari terkekeh.Anita terkikik mendengar jawaban papanya, mereka berdua memang lebih satu aliran yaitu paling tidak suka yang ribet-ribet, berbeda dengan mamanya yang lebih mementingkan gengsi pergaulan sosial papan atas yang memboroskan waktu, u
"Oohh ... Masss ...," lenguhan panjang meluncur sekali lagi dari bibir wanita yang tergolek tak berdaya di atas ranjang yang seperti terkena gempa bumi. Sementara sang pejantan tangguh seolah pantang kendor dengan perjuangannya mereguk sebuah kenikmatan duniawi yang nyaris tergapai itu. Tatapan matanya jatuh ke sosok indah yang terbaring polos di bawah tubuh perkasanya, panas dan menggoyahkan imannya kala mereka berbagi gairah yang tak kunjung padam.Bunyi bibir yang saling beradu terdengar di keheningan malam seiring hentakan pinggul yang mengantarkan hasrat yang kuat dari seorang pria atas sesosok wanita bertubuh lembut dan hangat yang tengah ia rengkuh. Hingga rasa puas itu meledak dalam diri mereka yang berpadu mesra. Tubuh Agus dan Anita bermandikan peluh usai pergulatan panas mereka di atas peraduan.Sejenak Anita rebah di dekapan pria simpanannya, meresapi rasa manis dan hangat yang masih terasa pekat di tubuhnya. Sejujurnya rasa suka itu tak terelakkan baginya, betapa berbeda
Anita melepas kepergian suaminya ke kantor dengan lambaian tangan di teras depan rumah megahnya. Radit membalas dengan kiss bye dari dalam mobil Fortunernya yang dibuka kaca jendelanya. "Bye, Nita Sayang!" ucap Radit.Sebersit senyum sendu terpulas di wajah cantik itu, dia menghela napas dalam-dalam lalu masuk ke dalam rumah mencari sopirnya untuk mengantarnya berangkat kerja juga."Mas, ayo kita berangkat sekarang!" seru Anita dari kejauhan kepada Agus yang duduk di kursi teras depan kamarnya bersama beberapa karyawan lainnya."Pamit duluan ya, Pak, Mas," ujar Agus seraya bangkit berdiri dari tempat duduknya lalu bergegas menuju garasi mobil. Dia menjinjing sebuah tas berisi kaos olahraga, celana pendek, handuk, serta sepatu sepak bola.Anita menanyainya dan teringat bahwa kemarin papanya memang meminta sobatnya yang orang Batak itu untuk melatih Agus bermain bola."Mbak Anita hari ini nggak ada rencana pergi keluar siang 'kan? Saya janjian dengan Pak Rinto di lapangan bola jam 11 so
Hari Senin selalu menjadi hari yang sibuk di balai kota. Pekerjaan Raditya Poncobuwono juga berjubel sedari pagi sejak usai mengikuti upacara bendera di halaman balai kota bersama atasan, rekan-rekan, serta bawahannya."Selamat pagi, Pak Radit. Mohon tanda tangan dan capnya untuk surat berikut ini," ujar Pak Heru, sekretaris bidang pariwisata kota Jakarta."Saya baca sebentar, Pak Heru, silakan duduk menunggu sejenak," jawab Radit lalu membaca draft surat edaran yang dibawa Pak Heru.Setelah merasa segalanya bagus, dia pun membubuhkan tanda tangan serta stempelnya di atas surat itu. "Sudah, Pak Heru, silakan," ujarnya."Saya permisi, Pak Radit!" pamit Pak Heru meninggalkan ruangan kepala dinas itu.Tak lama kemudian disusul seorang lagi bawahannya yang juga meminta tanda tangan dan segera dia selesaikan.Menjelang jam makan siang sudah habis antrean para peminta tanda tangan itu. Radit pun memanggil Sheila, si anak magang yang juga menjadi ayam kampus bookingannya ke ruangannya."TOK
Sesuai janjinya dengan Pak Rinto Sibutar Butar, maka Agus mengendarai sepeda motor Yamaha Vixion barunya menuju ke stadion Gelora Bung Karno. Ada rasa berapi-api dalam dadanya, dia akan mendapat latihan dari pelatih bola profesional sekalipun sudah dalam masa pensiun sang pelatih.Agus penasaran juga apa ada teknik bermain sirkuit bundar itu yang belum ia kuasai. Di kampung dan di lapangan hijau manapun, dia selalu jagoan pencetak gol.Akhirnya dia pun sampai di parkiran sepeda motor pengunjung stadion megah itu. Agus turun dari atas sepeda motornya lalu meletakkan helm standarnya yang baru di atas stang sepeda motornya lalu menjinjing tas ranselnya masuk ke dalam stadion. Dia mengedarkan pandangannya mencari-cari sosok pelatihnya itu di lapangan hijau.Seorang pria beruban putih melambaikan tangan kepadanya dari seberang lapangan. Agus segera berlari kecil mendekati pria itu."Hai, apa benar kau yang bernama Agus Sampurna?" sapa pria berusia sekitar 60 tahun ke atas itu.Agus mengulu
Dengan berat hati, sore itu Anita ikut pulang ke rumah dengan mobil suaminya yang menjemput ke butiknya. Dia menyerahkan kunci mobil sedan Camry miliknya ke Agus yang pulang sendirian tanpa dirinya.Sepanjang perjalanan pulang yang terjebak kemacetan jam pulang kantor di jalanan ibu kota, Radit begitu mesra kepada istrinya di dalam mobil. Persoalannya hati Anita sudah berpaling, dia merasa pria itu melakukan kemesraan hanya karena papanya. "Nita Sayang ... kamu masih sayang 'kan sama aku?" tanya Radit sambil mendaratkan kecupan-kecupan mesranya ke wajah dan leher istrinya yang sepertinya adem-adem saja menanggapinya.Tubuh ramping wanita itu seolah tenggelam dipepet oleh Radit di jok kursi tengah mobil Fortuner itu. Anita berusaha bersikap sewajar mungkin menanggapi kemesraan suaminya yang sudah mirip pasangan pengantin baru."Masih sayang kok, Mas. Apalagi kalau nggak sering ditinggal pergi keluar kota apa keluar negeri ... pasti lebih sayang!" sindir Anita halus sembari menatap mat
Seusai mandi, Anita mengenakan daster batik untuk menemui mamanya. "Mas Radit, Nita keluar dulu ya nemuin mama. Mas mandi dulu aja!" pamit Anita dengan nada halus seraya berjalan menuju pintu keluar kamarnya.Namun, Radit mengejarnya lalu menangkap pinggangnya dan memepet tubuh Anita hingga bersandar di pintu. Dia menghirup aroma wangi memabukkan di tubuh istrinya lalu memagut ceruk leher Anita hingga berbekas merah jelas. "Sudah dulu, Mas. Nanti lagi aja ... kasihan mama nungguin," bujuk Anita agar suaminya melepaskannya. "Hmm ... nanti lagi ya, Nita Sayang!" balas Radit lalu membiarkan Anita keluar dari kamar itu. Dia merasa agak bosan dengan istrinya yang sok alim dan cenderung dingin menurutnya.Dengan segera Radit mencari ponselnya di tas kerjanya lalu mengetik pesan mesra untuk Sheila si ayam kampus. Gayung bersambut, tanggapan gadis itu begitu mesra dan manja menggoda. Radit pun mereka-reka jalan untuk bisa bertemu dengan Sheila sepulang kerja besok.Sementara Anita berjalan
Waktu bergulir perlahan hingga malam yang gelap berganti pagi yang cerah ditingkahi kicau burung menyambut hangatnya mentari yang menyinari dunia. Di kamarnya Anita sedang duduk di depan cermin riasnya menyelesaikan dandanan naturalnya dengan sepulas lipstick berwarna red coral pastel yang membuat bibir ranumnya sewarna buah persik masak yang jingga kemerahan lembut.Segera ia mengambil tas tangannya dan mengenakan sepatu wedges 10 cm favoritnya yang berwarna putih merk Charles and Keith. "Mas Radit, kutunggu di meja makan ya?" ucapnya seraya keluar dari kamar.Semalaman dia menunggu hari menjadi pagi, Anita mengambil piring kosong dan mengisinya dengan nasi dan lauk yang melimpah seperti biasa. Kemudian dia memanggil Agus untuk menerima sarapan yang sama menunya dengannya."Pagi, Mas Ganteng. Makan yang banyak ya biar semangat latihan bola!" sapa Anita dengan volume pelan yang hanya terdengar oleh Agus."Makasih, Mbak," jawab Agus singkat tak ingin membuat seisi rumah curiga dengan