LOGINJulia segera keluar dari penthouse megah namun begitu keluar separti ada kelegaan yang tak terperi, tanpa membuang waktu dia segera memesan taksi dari lobi. Begitu taksi yang dipesannya datang, Julia cepat-cepat masuk, meraih botol air mineral di tas kecilnya, dan tanpa ragu menelan satu butir pil kontrasepsi pemberian Diego. tak ada rasa apa pun, seperti tablet salut gula tapi pahit di hatinya, sepahit kenyataan yang harus dia telan mentah-mentah.
Taksi yang ditumpanginya akhirnya tiba di Moratalaz, suatu tempat distrik kelas menengah ke bawah, di kota Madrid tepat pukul 20.30. Lingkungan rumah Julia terasa sepi. Ia yakin sekali Armand, saudaranya, pasti sedang menghabiskan waktu di meja judi atau mabuk-mabukan entah di mana. Saat Julia baru saja turun dari taksi, sebuah mobil dikenalinya berhenti di depannya. Itu adalah mobil Miguel, sang kekasih. "Kamu dari mana saja, Julia?" tanya Miguel, nadanya menuntut, sambil menarik lengan Julia sedikit kasar dan menghentak. "Jawab, Julia!!" Julia berbalik, berusaha menenangkan diri. "Aku baru saja dari rumah sakit." "Aku tidak melihatmu di sana dan kenapa ponselmu mati, Julia?!" desak Miguel, matanya menyiratkan kecurigaan. "Kamu dari mana, hmm?." Menarik Julia agar menghadap padanya. "Baterainya habis," jawab Julia cepat. "Ya, aku memang hanya sebentar di rumah sakit. Setelah menyerahkan uang untuk biaya operasi Ibu, aku langsung pulang." "Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu?" Pertanyaan Miguel menusuk ulu hatinya. "Aku meminjamnya dari teman lama Ibu, Bibi Catalina," jawab Julia, menciptakan kebohongan dengan cepat, Julia yakin satu kebohongan tercipta, maka akan ada kebohongan lain muncul, begitu terus. "Sepertinya aku baru mendengar nama itu. Kamu tidak sedang berbohong, 'kan?" selidik Miguel, dengan senyum penuh arti, kedua tangan Miguèl mencengkeram kuat lengan Julia. Julia merasa terpojok, nada suaranya berubah tajam. "Tentu saja kamu tidak tahu, itu teman lama ibuku. Apa urusanmu aku berbohong atau tidak? Toh, kamu juga tidak bisa membantuku, Miguel." Miguel menghela napas. "Bukannya aku tidak mau membantumu, Julia. Hanya saja jumlah itu memang terlalu besar untukku saat ini.. Aku perlu untuk menata masa depan bersamamu, kamu tahu kan aku ingin membuka bisnis di luar pekerjaanku sebagai akuntan." "Kalau begitu, jangan terlalu ikut campur. Itu urusanku, aku yang akan membayar hutang-hutang itu." balas Julia ketus, sambil berjalan menuju pintu dengan hati berkecamuk. "Kenapa kamu tidak meminta bantuan Laura saja? Uangnya sekarang banyak, apalagi setiap hari ada filmnya beredar dari rumah produksi yang berbeda," ucap Miguel dengan nada yang sangat enteng, tanpa menyadari dampak ucapannya. Julia berhenti mendadak di depan pintu, tubuhnya menegang mendengar nama adiknya dan cara Miguel menyebut profesinya dengan begitu enteng. Ia berbalik, menatap Miguel dengan mata memerah. "Laura... Laura punya jalannya sendiri, Miguel. Dan aku punya harga diri yang tidak bisa kuminta-minta pada orang yang sudah kamu cap sebagai wanita jalang," jawab Julia dingin, tekanan emosi membuatnya berbicara dengan suara tertahan. Ia lalu memegang gagang pintu, melanjutkan, "Masalah uang sudah selesai. Sekarang, biarkan aku masuk. Aku ingin istirahat." Julia segera memutar kunci, tidak memberi Miguel kesempatan untuk merespons lagi. Di depan pintu, Miguel mencoba menggedor daun pintu kayu yang sudah rapuh itu, sambil terus memanggil nama Julia dengan frustrasi. "Buka, Julia! Aku datang kemari karena aku merindukanmu! Jangan bersikap seenaknya sendiri!" teriak Miguel. Julia di balik pintu hanya diam membatu, memilih mengabaikannya. Tubuh, hati, dan pikirannya terlalu lelah untuk meladeni Miguel. Ia tahu betul, perdebatan mereka pasti akan berlarut-larut jika ia tidak segera mengunci diri. Dengan langkah cepat, Julia mengganti pakaiannya dan menyalakan ponselnya. Ada spam chat dari Miguel juga dari Diego di sana. Pesan itu hanya berisi pin ATM yang ia terima tadi malam dan sebuah tautan yang terasa aneh. "Aku ingin kamu mempelajari ini untuk pertemuan kita nanti. Dan jangan lupa, kenakan lingerie terbaik. Tidak ada bantahan," bunyi pesan singkat dari Diego, aura dominasinya begitu terasa meski lewat tulisan. Julia berdecak kesal, merasa diperintah seperti boneka. Namun, rasa penasaran dan kepatuhan yang bercampur aduk membuatnya tetap meng-klik tautan itu. Tautan itu mengarah ke... ...sebuah platform berisi deretan film dewasa yang sangat eksplisit. Jantung Julia sakit. Ia menyadari maksud terselubung Diego: ini adalah materi pelajaran. Film dewasa. Diego ingin Julia mempelajarinya karena pria itu merasa ia terlalu amatir dan kaku dalam permainan mereka. Kebencian dan rasa jijik seketika menyeruak, bercampur dengan fakta getir bahwa ia kini dipaksa mengikuti jejak Laura, adiknya, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Ia menutup ponselnya dengan gemetar, air mata panas mulai membasahi pipinya. "Diego, berengsek!" ucapnya dengan geram dan bergetar. Di sudut jalan, Diego diam-diam mengawasi perdebatan Julia dan Miguel. Ia bisa membaca emosi dari tatapan tajam Julia, reaksi jelas terhadap setiap kata menuntut yang diucapkan pria itu. "Pengecut tak tahu malu. Siapa dia berani-beraninya mengatur milikku?" Kemudi mobil dipukulnya keras. Dalam satu gerakan cepat, Diego meninggalkan Moratalaz. Diego kembali ke rumah orang tuanya di kawasan elit Spanyol untuk mencari pelayan kepercayaannya. Ia mengetuk pintu kamar pelayan itu dengan hati-hati, pandangannya menyapu kanan dan kiri, persis seperti seorang pencuri. "Tuan Diego, ada apa?" Perempuan bertubuh berisi, Jacinta, keluar dari kamar. Rupanya ia baru saja terlelap. "Maaf, Bibi Jacinta, tolong bantu aku mencuci seprai ini. Mesin cuci di apartemenku sedang bermasalah." "Tentu, Tuan. Tapi bukankah lebih mudah langsung dimasukkan ke mesin cuci saja?." "Masalahnya ada ini Bi" Diego menunjukkan noda darah di sprei yang terbungkus laundry bag, "Bi. Aku khawatir nanti mengotori cucian yang lain," jelas Diego dengan nada hati-hati. "Oh, baiklah, saya mengerti," sahut Jacinta tenang. "Nona Lucia sedang berhalangan rupanya." Diego hanya menggaruk tengkuk lehernya. Bingung harus menjelaskan apa, ia hanya meringis canggung. Ekspresi ini sangat berbeda dengan citra dingin, angkuh, dan minim bicara yang selalu ia tampilkan di hadapan orang luar. "Tolong ya, Bi. Cuci ini terpisah. Aku ingin Bibi yang mengerjakannya." Diego menyodorkan beberapa lembar Euro kepada Jacinta. "Tak perlu, Tuan. Ah, Anda ini. Gaji dari Tuan Richard Torres sudah lebih dari cukup. Sudah, sudah, sana... pergilah, istirahat. Bibi lelah sekali. Besok pagi semua akan saya bereskan." Karena sudah terbiasa menghadapi Diego sejak kecil, wanita itu mengusir Diego secara halus sambil membawa seprai itu masuk ke kamarnya, meninggalkan Diego berdiri sendirian di depan pintu. Diego bermaksud menghabiskan malam ini di rumah orang tuanya yang terletak di Aravaca, sebuah kawasan elite terkenal di Madrid. Lingkungan alamnya yang asri, area hijau yang luas, dan suasananya yang sunyi amat ideal bagi siapa pun yang mencari ketenangan dari hiruk pikuk kota. Saat hendak menaiki tangga, ia berpapasan dengan kakak perempuannya yang terkenal cerewet, Amanda Torres "Ingat pulang juga kamu? Bukankah lebih nyaman di apartemenmu agar lebih bebas, Diego?" sindir Amanda, nadanya penuh penilaian. Diego menghela napas pendek. "Hanya untuk semalam, Amanda. Apartemenku sedang berantakan," jawabnya datar, tidak repot-repot menjelaskan masalah mesin cuci tadi. "Ada masalah apa?" "Tidak, ada... hanya saja mencurigakan. Kamu langsung ke kamar pelayan untuk mencuci seprai," Amanda tersenyum miring, penuh selidik. "Ada noda darah, aku lihat. Tak mungkin 'kan tunanganmu, Lucia, masih perawan, mengingat kalian sering berlibur bersama." Diego berhenti di anak tangga pertama dan menatap kakaknya dengan dingin, tatapan yang membuat senyum Amanda sedikit memudar. "Urusanmu apa? Aku tidak punya kewajiban melaporkan kondisi sepraiku padamu," jawab Diego, suaranya rendah dan tajam. Ia melanjutkan langkah, mengabaikan kakaknya. "Jika kau tidak ada urusan penting, sebaiknya aku tidur." Diego langsung masuk ke kamarnya dan mengganti baju dengan pakaian yang lebih santai. Kata-kata Amanda yang penuh curiga itu bukanlah hal baru meresahkan hatinya yang dingin. Sejak kecil, mereka memang rukun, tetapi menjelang dewasa, tingkah Amanda berubah menjadi sangat menyebalkan. Terutama setelah beberapa kali kegagalan dalam hubungan percintaan yang tidak mulus, Amanda semakin sering bersikap sinis pada Diego. Entah iri karena Diego dan Lucia terlihat rukun juga saling mencintai, membuat Amanda juga ingin punya kisah cinta yang mulus dan manis. Di satu sisi, ada rasa iba pada kakaknya yang berulang kali terperangkap dalam hubungan yang toxic. Namun, melihat tingkah Amanda yang selalu ikut campur dan menyebalkan, rasa muak Diego kembali menyeruak. Inilah alasan utama mengapa Diego memilih tinggal terpisah, menjauh dari keluarganya, untuk menghindari tekanan mental dan stres yang ditimbulkan oleh interaksi seperti ini.Julia mengirim pesan pada Armand agar tetap tinggal menunggu Ibunya dan akan memberikan makanan untuknya. "Kamu mau apa lagi?" "Aku rasa cukup ini saja. Biar punya Armand aku yang bayar." "Tak perlu. Aku membayar milik Armand atas namamu, bukan untuk dia," ucapnya sengit, membuat Julia tak bisa berkata-kata. Terkadang di depan Miguel, Julia merasa begitu kecil dan rendah diri. Apalagi Ibu Miguel yang terang-terangan tak suka padanya. "Setelah ini aku kembali ke kantor, Julia. Kamu sudah izin dengan Pak Diego? Bukankah dia kadang keberatan?" "Ya, sama saja. Dia tadi juga keberatan ketika aku minta izin, tapi aku berkata, setelah Ibu sembuh, tentu hanya tinggal pengobatan rawat jalan dan pemulihan di rumah. "Julia, ketika nanti kita menikah, aku ingin kamu di rumah dan mengurusku," pinta Miguel. "Itu tidak bisa, Miguel." Julia menatap Miguel dengan serius, menimbulkan rasa heran di benak Miguel. "Kenapa, Sayang?" "Aku harus membayar utang, dan bagaimana aku bisa member
Di rumah sakit, Julia sedang menata selimut Carmen, ibunya. Operasi akan dimulai pukul 10 nanti. "Julia, kamu meminta izin lagi? Nanti Tuan Diego marah?."Aku sudah meminta izin padanya, Bu. Ibu tak perlu khawatir.""Kamu tampak lelah, Nak? Apa kamu masih lembur seperti biasa?."Julia tersenyum simpul. "Ya, bu." Jeda menghela nafas. "Tuntutan pekerjaan." Ya, seperti biasa lembur. Tapi kali ini, lemburan mengurus gairah bos-nya. Begitu, batinnya."Kamu terlalu lelah mencari uang untuk ibu, ibu merasa bersalah."Julia menggeleng. "Jangan berkata demikian, bu. Siapa yang mau sakit? Sudah jangan dipikirkan, dokter Fabio bilang ibu tak boleh banyak pikiran, bukan?." Hibur Julia."Apa Laura menghubungimu ketika Ibu sakit?""Dia mengganti nomornya lagi, Bu. Aku tak tahu nomor barunya sejak dia pindah ke L.A bu, dia tak memberitahuku.Tapi aku sudah mengirim pesan langsung melalui akun media sosialnya, entah dia mau membacanya atau tidak.""Ibu tak habis pikir, mengapa Laura memilih jalan pint
Paginya, sebuah panggilan masuk dari Julia di ponsel Diego. "Pagi, Tuan... maaf mengganggu sepagi ini," sapa Julia, suaranya terdengar ragu."Hmm... ada apa, Julia? Apa uangnya kurang?" jawab Diego, menggeliat di balik selimut. Suaranya terdengar serak, masih diselimuti kantuk."Bukan itu, Tuan. Saya ingin meminta izin untuk menemani Ibu operasi. Seharusnya operasi dijadwalkan besok, tapi dokter memajukannya menjadi hari ini pukul sepuluh pagi. Apakah Tuan mengizinkan saya?""Bukankah ada kakakmu yang tidak bekerja itu? Siapa namanya? Armand?""Armand... dia tidak bisa dihubungi, Tuan. Saya yakin dia sedang di luar kota atau mabuk di suatu tempat. Hanya ada saya sekarang," jelas Julia cepat, berusaha keras agar suaranya terdengar meyakinkan dan tidak memicu kemarahan Diego. "Saya janji akan segera kembali setelah operasi Ibu selesai.""Kamu punya adik, 'kan? Kamu ini terlalu sering meminta izin, Julia." Diego sengaja berkata seolah adik Julia, Laura, masih di Madrid, padahal Laura sud
Julia segera keluar dari penthouse megah namun begitu keluar separti ada kelegaan yang tak terperi, tanpa membuang waktu dia segera memesan taksi dari lobi. Begitu taksi yang dipesannya datang, Julia cepat-cepat masuk, meraih botol air mineral di tas kecilnya, dan tanpa ragu menelan satu butir pil kontrasepsi pemberian Diego. tak ada rasa apa pun, seperti tablet salut gula tapi pahit di hatinya, sepahit kenyataan yang harus dia telan mentah-mentah. Taksi yang ditumpanginya akhirnya tiba di Moratalaz, suatu tempat distrik kelas menengah ke bawah, di kota Madrid tepat pukul 20.30. Lingkungan rumah Julia terasa sepi. Ia yakin sekali Armand, saudaranya, pasti sedang menghabiskan waktu di meja judi atau mabuk-mabukan entah di mana. Saat Julia baru saja turun dari taksi, sebuah mobil dikenalinya berhenti di depannya. Itu adalah mobil Miguel, sang kekasih. "Kamu dari mana saja, Julia?" tanya Miguel, nadanya menuntut, sambil menarik lengan Julia sedikit kasar dan menghentak. "Jawab, Julia!
Inti tubuh Julia terasa sangat ngilu dan perih akibat tekanan benda tumpul Diego. Tentu malam ini keadaanya tidak akan sama lagi seperti sebelumnya. Mahkotanya telah dilepaskan demi ratusan juta Euro yang selama ini, ia susah payah menjaga keutuhan mahkotanya demi Miguel, calon suaminya kelak. Jawaban apa yang akan ia berikan pada Miguel nanti? Entahlah, Julia bingung. Ia merasa bersalah, rendah diri, dan jijik.Kini, Julia tidak ada bedanya dengan Laura, adiknya, yang menjual diri demi uang. Apa bedanya? Mereka sama-sama wanita yang ternoda, meski jalan yang ditempuh berbeda.Laura meniti jalannya sebagai bintang film dewasa di Los Angeles (L.A.) sejak usia belum genap 20 tahun, tiga tahun silam tepatnya.Sementara dia, menyerahkan dirinya pada sang atasan untuk menjadi simpanan di usia 25 tahun, mati-matian dia pertahankan ketika Miguel membujuknya untuk menyerahkan dengan sukarela tapi dia tolak. Kini dia berikan ke Diego dengan imbalan uang untuk jaminan kesehatan ibunya.Siapa sa
Keesokan malamnya, setelah jam kantor berakhir.Julia berdiri di depan pintu apartemen penthouse Diego Torres di salah satu menara tertinggi Madrid. Jantungnya berdebar kencang, memukul dadanya bertalu-talu. Ia mengenakan gaun yang paling sopan yang ia miliki, tetapi ia tahu, di tempat ini, semua formalitas kantor telah dibakar habis.Ia menekan bel dengan satu tarikan nafas, seolah akan mengumpankan diri ke sarang predator yang paling berbahaya malam ini, seolah ini akhir hidupnya. ini demi operasi ring jantung sang ibu, ibunya sudah terlalu lama menderita dan manahan sakit. Julia sementara ini hanya mengupayakan berobat jalan, meski dokter sudah menyarankan tindakan medis yang lebih efektif.Pintu terbuka. Diego sudah menunggunya, hanya mengenakan celana bahan hitam, kemeja kasual yang mahal kini terbuka di bagian atas, memperlihatkan dada bidangnya. Kilatan matanya membara, tidak lagi sebiru es, melainkan sebiru api."Selamat datang, Nona Rivas," sambut Diego, suaranya dalam dan be







