Beberapa pesan masuk di aplikasi hijau milik Brian. Lelaki itu masih diam enggan membaca apa lagi membalasnya. Dia yakin itu pesan dari Sandra yang menanyakan keberadaannya. Kriiingg.... Ponsel Brian berbunyi nyaring. Alunan lagu pop terdengar kala Sandra menghubunginya. Sesaat Brian bimbang, diangkat atau dibiarkan hingga akhirnya mati sendiri. Namun dengan ragu ia menggeser gambar telepon ke atas. "Kamu di mana? Mami menunggu sampai sopnya dingin!" ujar Sandra tanpa mengucap salam terlebih dahulu. Kebiasaan Sandra selalu begitu. Urung mengucapkan salam saat ingin memastikan sesuatu. Seperti saat ini. Di restoran milik Hazna, Sandra dan Bagas masih duduk sembari menikmati sop buntut yang mereka pesan. Andre sendiri memilih tak datang karena masih muak dengan perbuatan kedua orang tua mereka. Putra kedua Sandra kian tertutup. Apa lagi di depan kedua orang tuanya. Namun Sandra tak juga mengetahui perubahan sikap sangat putra. Hati dan pikirannya sudah disibukkan dengan Bagaska
Yasmin sudah siap dengan baju kerjanya. Tangannya masih sibuk merapikan hijab yang sebenarnya sudah rapi. Rasa takut yang membuatnya kian merasa bingung. Ingin kembali bekerja tapi malu dengan semua karyawan restoran apa lagi Hazna. Namun jika keluar, dia ragu akan segera mendapatkan pekerjaan. Di tambah dia hanya lulusan SMA. "Belum berangkat kerja?" Suara Cindy memecahkan lamunannya. Yasmin menoleh ke arah Cindy pelan. Sahabatnya itu tengah berdiri dengan punggung menempel di pintu. Matanya menatap Yasmin lalu menggelengkan kepala. Cindy sangat tidak menyukai seragam kerja Yasmin. Memalukan dan kampungan. Dua kata itu yang selalu ia ucapkan saat mengomentari penampilan Yasmin. "Sudahlah, Yas, ganti saja pekerjaanmu itu. Apa kamu tak malu berpenampilan seperti orang alim tapi kelakuan malu-maluin!" sindir Cindy sambil menarik ujung bibirnya. Mencibir. Sebenarnya Cindy ingin menggoyahkan pendirian Yasmin agar mau ikut bersamanya ke dunia malam. Wanita berpakaian ketat itu yak
"Apa kamu benar-benar menjadi wanita simpanan, Yasmin?" tanya Bu Hazna tanpa tedeng aling-aling. Aku hanya bisa diam, tak mampu mengeluarkan sebuah kata. Mulut ini mendadak menjadi kelu. Sebenarnya aku sudah yakin ini akan terjadi tapi kenapa aku jadi takut begini? Aku kehilangan keberanian di hadapan Bu Hazna. Bahkan kata-kata yang sempat ku rangkai hilang tak berbekas. "Jadi benar isu itu?" ucapnya penuh penekanan. Nada suaranya tidak tinggi, tapi mampu membuatku gemetar ketakutan. Yasmin yang bar-bar dan tak tahu malu seakan hilang. Kini hanya tinggal Yasmin yang berubah menjadi pengecut. Payah. "Yasmin kamu tidak tuli, kan?" "Ti-tidak, Bu. Sa-saya memang pernah menjadi simpanan pengusaha," ucapku menunduk. Entah kenapa aku justru membuka aibku sendiri. Namun mau bagaimana lagi? Semua orang sudah tahu video yang sempat tersebar di dunia maya. Mengelak juga percuma, tak akan mengubah keadaan. "Astagfirullahaladzim ...." Bu Hazna memegangi dadanya seraya menggelengkan kep
Ting... Ting.... Beberapa pesan masuk di aplikasi berwarna hijau milikku. Kuabaikan begitu saja. Aku ingin menenangkan diri. Ting... Ting.... Lagi dan lagi notifikasi pesan masuk kembali terdengar. Tidak hanya satu tapi beberapa pesan. Entah siapa yang mengirimkan pesan beruntun itu. Terpaksa ku rogoh benda pipih yang ada di dalam saku celana. [Kamu di mana?] [Aku ada di restoran tapi kenapa kamu tidak terlihat?] [Kamu tidak masuk? Kamu sakit?] Tiga pesan dari Rian hanya ku baca tanpa ada niat kubalas. Bukan aku menghindar, aku hanya ingin sendiri. [Terima kasih sudah menjadi pelanggan ojek pertamaku. Nanti sore ku jemput ya? ] [Yasmin.] Aku tersenyum membaca pesan dari Farel. Lelaki itu sungguh lucu. Mana ada tukang ojek yang memakai jas putih. Ada-ada saja. Kembali kumasukkan benda pipih di dalam saku celana. Tak ada satu pesan yang ku balas. Aku ingin menyendiri. "Kakek, pelan-pelan dong! Nenek capek jalan terus." Aku menoleh mencari sumber suara yang tiba-tiba
Pov Gilang "Kamu gila, Gilang!" "Ya, aku gila karena mencintaimu. Semenjak kejadian itu aku selalu memikirkan kamu. Aku merasa bersalah. Rasa salah yang justru membuat aku semakin menyukaimu. Mau kah kamu menikah denganku, Yasmin Nabila Putri?" Aku menggenggam tangan Yasmin. Namun dengan cepat Yasmin menepis tangan ini. "Pergi jangan pernah temui aku lagi! Aku membencimu seumur hidup!" ucapnya penuh penekanan lalu pergi meninggalkanku. Aku tatap punggungnya hingga hilang dari pandangan. Mungkin aku benar-benar gila. Jatuh hati kepada selingkuhan kakak ipar sendiri. Namun aku bisa apa? Rasa itu hadir sendiri. Aku memang benci saat tahu Nabila adalah orang ketiga dalam pernikahan kakak kandungku. Rasa benci yang membuatku nekad melecehkan dia. Ya, aku memang salah. Aku gelap mata. Dan kini dia membenciku. Berhari-hari aku mencari tahu tentang Nabila. Dia adalah putri seorang pengusaha. Sayang orang tuanya meninggal dan mewariskan hutang yang begitu banyak. Disaat ia terpuru
Pov Gilang Aku memasuki kawasan perumahan elit. Rumahku terletak paling ujung. Aku harus melewati empat rumah berpagar tinggi. Aku bahkan tak tahu siapa pemilik rumah-rumah ini. Kami hanya bertemu diacara tertentu. Kalau setiap hari kami tak pernah bertemu atau sekedar saling sapa. Sibuk, salah satu alasan aku tak kenal dengan mereka. Aku sudah berhenti tepat di halaman rumah bernuansa eropa klasik dengan tiang besar dan tinggi. Cat putih menambah kesan elegan dan mewah. Segera aku melangkahkan kaki masuk ke dalam. "Sudah ditunggu di ruang keluarga, den," ucap Bik Darmi ramah. Aku mengangguk lalu berjalan menuju ruangan luas tempat kami bersantai sembari bercerita hangat. Senyum dari mama, papa dan Mbak Sandra menyambut kedatanganku. Segera kusalami tangan mereka satu persatu. "Ada apa, Mbak? Kenapa memintaku segera pulang?" tanyaku seraya menjatuhkan bobot di sofa tepat di samping Mbak Sandra. "Pengennya sih Mbak yang jelasin mumpung lagi bahagia begini. Tapi sepertinya pa
Pov Yasmin Gila! Dia benar-benar wanita gila! Kemarin dengan sombongnya dia melecehkan aku. Dia perlakukan aku bagai seorang pel***r tapi sekarang dia bilang cinta. Astaga! Ini pasti rencana Sandra agar bisa semakin menghancurkan hidupku. "Taksi!" Kulambaikan tangan saat mobil berwarna biru melintas. Seketika mobil itu berhenti. Untung tak ada penumpang di dalamnya. Aku harus segera pulang sebelum Gilang mengikuti. "Ke jalan mawar, Pak." Sopir itu mengangguk lalu melajukan kendaraan roda empat miliknya. Kini aku dapat bernafas lega. Sepanjang jalan kulihat luar jendela. Melihat orang dengan pekerjaan dan kesibukan masing-masing. Bayangan masa lalu kembali menari-nari dalam kepalaku. Dari mulai kecelakaan papa dan mama hingga membuatku seperti ini. Tuhan seakan terus memberiku cobaan di luar kemampuanku. Kini hidupku semakin rumit. Aku bahkan tak tahu lagi apa yang harus ku lakukan? Siapa yang bisa kuandalkan. Aku seorang diri menjalani kehidupan yang kejam ini. Tanpa terasa
Perlahan aku ubah posisiku. Duduk dengan punggung bersandar di kepala ranjang. "Maaf sayang, ini bangunin temenku," ucapnya dengan mata fokus ke layar ponsel. Cindy sedang video call entah dengan siapa. Wajahnya dibuat manja dengan tangan melambai mengisyaratkan aku untuk keluar. "Maleslah, kamu aja yang keluar!" Kudorong Cindy yang berada di sampingku. "Ada tamu! Sana!" ucapnya seraya menarik tanganku agar mengikutinya. Dengan langkah gontai aku keluar kamar, meninggalkan Cindy yang masih asyik melakukan panggilan video call. Bahkan kini dia menggantikan posisiku, tidur di atas ranjang setelah bisa mengusirku. Aku berjalan menuju teras. Siapa gerangan tamu yang dimaksud Cindy. Mataku membulat sempurna melihat Farel sudah duduk di kursi di teras depan. Sudut bibirnya ditarik ke atas saat mata kami saling bertemu. "Farel...." "Baru bangun, Yas?" tanyanya sambil menatapku dari kepala hingga ke ujung kaki. Astaga,aku baru sadar jika penampilanku tak karuan. Rambut masih a