LOGIN“Atau mungkin otakmu sudah geser gara-gara dipukuli para polisi itu.”
Rein tidak melanjutkan perkataannya, ia hanya diam. Mungkin kawan-kawannya benar, itu hanya khayalannya saja. Diskusi berlanjut mereka memiliki rencana untuk unjuk rasa berikutnya, agar berdiskusi secara damai dengan Kepala Distrik maupun dewan distrik. “Ya sudah aku pamit pulang ke kosan dulu lah, pusing kepalaku,” ujar Rein. Ia melenggang pergi dari emperan gedung fakultas pulang menuju ke indekosnya. Ia membuka gagang pintu kamar sederhana itu, kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia hanya menatap langit-langit kamarnya, plafon bolong-bolong dan juga cat dinding usang sudah menjadi pemandangannya sehari-hari. Rein sengaja menyewa tempat murah ini, dengan keadaan ekonominya. “Sistem keadilan surgawi,” gumamnya pelan dengan nada tidak bersemangat. “Sudah kuduga ia hanya khayalanku saj dan tidak akan muncul.” “Selamat datang kembali di sistem keadilan surgawi tuan. Nama Rendi Joseph, level 0 dengan perolehan exp 100, kamu akan naik ke level berikutnya.” Rein melompat dari tempat tidurnya ia terkejut sejadi-jadinya karena suara itu muncul kembali. Ia memang tidak bisa memastikan betul bahwa semua itu nyata karena jelas orang lain tidak bisa mendengarnya, tetapi suara itu terlampai nyata baginya. “Aku tahu keresahanmu tentang keberadaanku, kamu bisa memberitahu orang lain ketika mencapai level 1” “Ya, kamu bisa untuk share item kepada orang lain nantinya,” sambungnya Suara aneh itu berkata, jika level 1 tiba, Rein akan mendapatkan bonus yang dinamakan peta harta karun. Dalam prakteknya ia akan mendapat petunjuk, tentang semua artefak kuno yang tersebar di bumi. Benda-benda itu disebut item khusus, bisa memberi kekuatan Rein atau orang lain yang diberinya. “Aneh sekali ada level dan sebagainya, seperti main game saja.” Rein hanya garuk-garuk kepala keheranan. “Mungkin aku ini sudah benar-benar gila,” gumamnya kemudian. Ia lantas keluar kamar dan masuk ke kamar mandi. Indekos ini terdiri dari dua lantai, untuk lantai atas kamar mandi dalam. Sementara kamar bawah hanya ada satu kamar mandi luar yang digunakan empat kamar secara berganti-gantian. Maklum saja kamar kos harga ekonomis. “Ahhh...Segarnya,” gumamnya ketika air dingin membasahi rambutnya. Benda cair menyegarkan itu membasahi pori-pori kulitnya. Rein juga merasakan sakit pada kulit kepalanya, akibat pukulan yang dilayangkan para oknum polisi kemarin. Usai puas mengguyur tubuhnya, Rein berjalan hendak kembali ke kamar. Ternyata Joko sudah menunggunya tepat di depan pintu. “Rein, ayo cari makan.” “Kemana?” “Warung biasanya lah, cari yang murah saja ayo pakai motorku.” Rein mengangguk, ia masuk ke kamarnya dan berganti baju secepat kilat. Ia kemudian membonceng temannya itu menuju ke warung makan. Menu seperti biasa yang menemaninya, hanya nasi orek tempe dan juga gorengan. Keadaan dompetnya yang tipis, membuatnya tidak terlalu memilih-milih makanan. “Misi baru! Temukan provokator di aksi unjuk rasa berikutnya dan kamu akan mendapat 400 exp dan misi tambahan temukan intelejen yang menyusup di antara mahasiswa dan kamu akan mendap 200 exp.” Rein terbatuk-batuk, ia kemudian minum air putih yang berada di atas mejanya. Suara dari sistem misterius itu datang secara tiba-tiba dan mengagetkannya. Rein tidak melanjutkan makan, rasanya sudah tidak selera. *** Beberapa hari berikutnya aksi unjuk rasa susulan kembali terjadi, kali ini tidak hanya diikuti oleh mahasiswa, tetapi juga masyarakat umum. Sejak awal demo ini berlangsung, memang mengkritisi kebijakan pemerintah daerah soal melonjaknya pajak sepuluh kali lipat. “Hidup mahasiswa! Hidup Rakyat Kerajaan Khatulistiwa!” teriak Joko yang sedang berada di atas mobil bak terbuka mengkomandoi, di sana juga ada perwakilan dari kampus lain dan juga dari berbagai elemen masyarakat. Rein kali in tidak menjadi koordinator aksi, ia memilih ikut berbaur dengan demonstran lain. Pasalnya ia mengikuti kata bisikan misterius itu untuk mencari si provokator. Netranya dengan jeli menjelajah ke semua anggota aksi massa. Sampai akhirnya ia melihat, seseorang dengan rambut gondrong membawa sesuatu yang ia sembunyikan di tangannya. Rein mengejarnya, berusaha membuka jalan diantara ribuan manusia. “Bawa apa, kau hah?” Tangan Rein menangkap tangan pria itu yang disembunyikannya di belakang. “Bom Molotov!” Si gondrong yang panik, melancarkan bogem mentah ke pipi kanan Rein kemudian melarikan diri membelah lautan manusia. “Provokator! Tangkap dia!” ujarnya berteriak.“Selamat kamu mendapatkan 500 exp karena berhasil dalam misi memviralkan tambang ilegal. Nama Rendy Joseph, level 2 poin exp 2500.”Rein tidak menghiraukannya, ia meneruskan berlari dengan rekan-rekannya sampai di Desa Talas. Para ibu-ibu seketika keluar rumah, melihat mereka berempat tergopoh-gopoh berlarian. “Ada apa, Mas? Mbak? Bagaimana dengan warga lain yang sedang protes di tambang.”Sambil mengatur napas yang masih kembang kempis, Hendra mencoba menjelaskan. “Mereka semua tertangkap oleh aparat, Bu.” Warga menunjukkan eksperi terkejut, bahkan ada beberapa yang berteriak.“Ya Allah bagaimana nasib suamiku!” Ada juga yang menangis maupun pingsan. Rein dan Zafran mencoba menenangkan. “Kalian tenang! Semua akan baik-baik saja, sekarang kami akan keluar dari sini mencari bala bantuan. Kebenaran pasti akan menemukan jalannya!”Mereka berpamitan, tujuan Hendra kali ini akan menyusul William yang sedang meliput tambang dari depan. Ia juga ingin melaporkan, tentang teramgkapnya warga da
Keesokan harinya, Zafran benar-benar mengumpulkan kawan-kawan awak media dari Mata Pedang. Mereka kemudian dibagi dua. Meliput depan pertambangan dan juga sebagian ikut dengan Hendra dan Rein masuk ke area Desa Porang dan Talas.Mereka mulai bergerak. Zafran sendiri ikut bersama Rein dan Hendra. Tim wartawan ini hanya berisi dua orang yakni Safitri dan Zafran. “Jangan banyak-banyak yang ikut masuk ke dalam, aku kesusahan juga nanti melindungi kalian. Belum lagi si Rein ini belum bisa diandalkan.”Tidak seperti kemarin, perjalanan kali ini lancar jaya tanpa hambatan. Sampai di Desa Talas Nirmala dan Jo menyambut. Ternyata warga dari Desa Porang juga sudah berkumpul di sini. “Nanti liput saja ya beritanya, aparat yang berpihak kepada tambang pasti akan sangat ganas menghalau kita.”“Siap, kawan-kawan awak media yang lain juga sudah bersiap di depan,” ujar Zafran sambil memegang kamera.Nirmala juga menjelaskan kepada tiga anggotanya, jika terjadi bentrokan nanti diusahakan jangan membun
“Rein, jujur aku belum bisa mengandalkanmu. Namun jika aku memaksa bertarung seorang diri akan fatal akibatnya.”“Lalu, apa solusimu?”Hendra terdiam sejenak, ia kemudian mengusulkan untuk mencari jalan lain. Akhirnya mereka berdua berjalan ke arah hulu sungai, mencoba untuk menjauhi orang-orang itu. Tentu dengan gerakan senyapnya, padang ilalang sekitar juga masih lumayan tinggi. Bisa untuk menyembunyikan tubuh.Mereka berjalan cukup lama, kurang lebih ada sekitar setengah jam. Netra Hendra menjelajah sekitar, ternyata aman. Keadaan sepi tidak ada seorangpun, bahkan gerombolan yang tadi ia lihat sudah tidak ada.“Ayo menyeberang, Rein.” Mereka berdua mulai menceburkan diri ke sunga dan mulai menyeberanginya. “Aku bisa saja menghabisi mereka tadi, sayang sekali ada suangai ini. Seandainya jarak dekat aku pasti mampu.”Hendra memiliki sebuah siasat, ia ingin mencuri seragam para pekerja tambang. Untuk itu mereka berdua bisa dengan mudah keluar masuk. “Bagaimana cara kita mendapatkannya
Pria proyek itu lantas mengambil ht berwarna hitam dari saku bajunya, tetapi gerakannya sudah keduluan para pasukan Guardian. Kaki Hendra mendarat di pundak pria itu dan menancapkan belati ke lehernya.Cairan merah segar keluar dengan derasnya. Rein yang melihat semua itu terkejut sejadi-jadinya, ia kemudian terduduk lesu. “Ken... Kenapa kalian bunuh seseorang yang tidak berguna.”“Bisa panjang urusannya jika dia dibiarkan. Sebagai Guardian kita harus bergerak seefektif mungkin.”“Termasuk membunuh?”“Jika itu untuk melancarkan misi, maka lakukanlah.” Hendra membersihkan bilah belatinya, ia kemudian menyarungkan kembali. Sementara yang lain, menyembunyikan mayat pria tersebut dan berusaha menghilangkan jejak.Nirmala mendekat ke arah sungai, menurutnya lumayan dalam. Untuk itu mereka harus berhati-hati saat berenang. “Semua yang ada di sini bisa berenang. Bagaimana denganmu, Rein? Kamu masuk Guardian lewat jalur undangan khusus. Aku agak meragukanmu.”“Bisa, tenang saja. Rumahku di de
“Silakan pesanannya,” ujar pramusaji sambil membawa satu nampan besar pesanan. Rein mencium aroma yang keluar dari kopi panas miliknya. Ia sangat menikmati, bau harumnya serasa menjadi terapi yang membawa semangat.“Oh iya, kemarin kamu yang sudah ungkap para pelaku penyelewengan uang pajak bukan?” Zafran hanya mengangguk, “Tapi hasilnya kurang memuaskaan, aktor utamanya malah bebas.”“Hah? Aktor utama? Maksudmu Pak...” Belum selesai Gendhis berbicara, Zafran sudah menempelkan jari telunjuknya di antara dua bibir, menyuruhnya untuk berhenti. Tempat tersebut merupakan tempat umum, untuk itu sangat beresiko.Sementara pria dengan topi koboi tetap tenang, ia menikmati secangkir kopinya yang ditemani oleh sebatang cerutu.Telepon Rein berdering, ternyata ada notifikasi pesan dari William. Ketua Guardian itu mengintruksikan untuk berkumpul sekarang juga. “Maaf ya, Kalian. Aku harus pergi sekarang. Ada urusan ini dengan Guardian.”“Kopimu loh, Rein. Bahkan cuma dicium saja aromanya, belum k
William memberi pesan kepada Rein sebelum ia pulang, ia menitahkan agar kasus tambang ilegal ini muncul ke permukaan. “Baiklah aku akan menghubungi kawanku yang seorang wartawan dan juga mengadakan diskusi oleh semua elemen mahasiswa di kampusku.”Rein menghidupkan mesin vespa tuanya, ia kemudian memacunya menuju kembali ke kost. Ia segera masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri ke kasur, tidak sempat rasanya mandi atau sekedar bersih-bersih. Tulangnya serasa remuk semua setelah mendaki gunung.Baru sebentar saja ia berbaring, pandangannya mulai berat lalu terlelap. Ia sangat tenang, soalnya hari ini jadwal kuliah kosong. Itu artinya, Rein bisa beristirahat seharian karena libur. Sampai akhirnya ia terbangun di sore harinya.“Jam berapa ini?” desahnya, sambil memeriksa layar ponsel yang ternyata tepat pukul empat sore. Lelap juga tidurnya. Rein duduk sejenak di ranjang, ia sandarkan punggungnya ke tembok samping kasur.Ia gulir layar di ponselnya, tengah ramai diperbincangkan di sosi







