INICIAR SESIÓN
“Aduh, kepalaku sakit…” Suara seraknya terdengar asing di telinganya sendiri. Winter bangkit perlahan, ruangan di sekitar tampak berputar sesaat. Ia menekan pelipisnya, merasa aneh saat kepalanya berdenyut hebat.
Ini… lebih parah dari mabuk biasa. “Aku minum sebanyak apa semalam?” gumamnya bingung. Ia memandang sekeliling kamar apartemen yang biasanya rapi. Sepatu haknya tergeletak sembarangan, jaketnya tergantung asal di kursi, dan tas kecilnya terbuka. “Ya Tuhan, apa yang terjadi denganku?” katanya lirih. Ia memejamkan mata, mencoba memaksa diri mengingat sesuatu. Yang muncul hanya potongan, lampu neon, suara bass, Stella tertawa, Zain memegang pinggangnya, lalu kemudian gelap. Winter mengambil ponselnya yang menunjukkan puluhan pesan tidak terbaca. Tapi sebelum ia sempat membuka satu pun, ketukan keras di pintu apartemen membuatnya hampir menjatuhkan ponsel. Winter menegang. Siapa yang datang sepagi ini? “Winter Sanders?” suara berat terdengar dari balik pintu. “Kami dari pihak kepolisian.” Napas Winter langsung tercekat. Apa? Kenapa ada polisi datang ke apartemennya sepagi ini? Dengan langkah limbung, ia berjalan ke pintu. Tangannya gemetar ketika memutar knop. Begitu pintu terbuka, tiga orang berdiri di hadapannya, dua petugas polisi berseragam, satu wanita berjas abu-abu dengan ID dari Departemen Narkotika. Tatapan mereka dingin, profesional, dan tidak menyisakan ruang untuk keraguan. “Betul Anda Winter Sanders?” tanya salah satu petugas. Winter menelan ludah. “Ya saya. Ada apa, Pak?” Wanita itu maju satu langkah, mengeluarkan sebuah surat resmi. “Kami mendapat laporan hasil pemeriksaan sementara dan bukti yang mengarah pada dugaan penggunaan obat terlarang. Kami harus membawa Anda untuk dimintai keterangan.” Darah Winter rasanya berhenti mengalir. “Saya … apa?” suaranya nyaris tidak keluar. “Saya cuma minum. Saya tidak pakai apapun!” “Kami mengerti,” jawab wanita itu dingin tapi formal. “Namun kami tetap perlu Anda ikut ke kantor untuk pemeriksaan lanjutan.” *** Hasil pemeriksaan resmi keluar lebih cepat dari yang Winter duga. Tesnya memang menunjukkan jejak obat terlarang, namun konsentrasinya terlalu kecil untuk dikategorikan sebagai penggunaan sadar. Tidak ada cukup bukti bahwa ia mengonsumsi dengan sengaja. Setelah membuat pernyataan singkat dan menandatangani beberapa dokumen, Winter akhirnya diperbolehkan pulang. Tapi itu tidak menghentikan apa pun. Begitu teleponnya kembali aktif, layar ponsel langsung dipenuhi notifikasi berita. Judul-judul besar memenuhi timeline, berani, sensasional, dan sama sekali tidak akurat. Aktris Winter Sanders Positif Narkoba. Sumber Internal: Winter Sudah Lama Pecandu? Karier Emas yang Hancur Karena Obat. Tidak ada satupun yang sesuai kenyataan. Tapi itulah masalahnya, kebohongan selalu lebih cepat menyebar daripada klarifikasi. Winter mematikan layar ponselnya. Ia tidak tahan melihatnya lagi. Ketika melangkah masuk ke gedung agensi, tatapan orang-orang mengikuti setiap gerakannya. Beberapa staf memberhentikan pekerjaannya hanya untuk melihatnya lewat. Ada yang berbisik, ada yang pura-pura sibuk. Tidak ada yang menyapa. Di dalam lift yang kosong, Winter menatap pantulan dirinya di dinding metal. Wajahnya tampak rapi, tapi pucat. Lingkar hitam di bawah matanya masih terlihat jelas meski tertutup concealer. Ia menarik napas perlahan, mencoba menenangkan diri, namun dadanya terasa sempit. Lorong menuju ruang manajemen terasa lebih panjang dari biasanya. Begitu pintu ruang rapat dibuka, suasana langsung terasa dingin. Winter duduk di sofa, tangannya saling menggenggam di pangkuan untuk menahan gemetar. Raffi, manajer utamanya, berdiri di depan meja. Ia menyalakan tablet dan memperlihatkan deretan berita yang sudah terlanjur tersebar. “Kau tahu ini?” tanyanya datar. Winter mengangguk. “Sudah saya baca.” “Sudah kubilang,” ucap Rafi pelan namun tegas. “Kau seharusnya lebih berhati-hati.” Winter menunduk sedikit, tidak membantah. Tenggorokannya terasa kering. “Karirmu baru mulai naik,” lanjut Rafi. “Kau baru dapat beberapa peran kecil, mulai dikenal publik, banyak project yang menunggu. Dan sekarang…” Ia berhenti, menghembuskan napas berat. “Semuanya berubah hanya karena satu malam.” Kalimat itu seperti menekan dadanya. Winter menggigit bibir, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. “Aku tidak memakai apa pun. Hasil tes resminya …” “Kami tahu,” potong Rafi cepat. “Tapi publik tidak peduli detail itu. Yang mereka lihat adalah judul berita.” Winter menunduk lebih dalam, punggungnya menegang. Sebenarnya ia ingin protes bahwa ia korban, bahwa ia tidak bodoh untuk menghancurkan karirnya sendiri. Tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Bukan karena takut, tapi karena percuma. Belum ada yang akan percaya sampai bukti yang sebenarnya muncul. “Kami tidak bisa membantumu dalam keadaan ini.” “Kau mungkin harus vakum untuk sementara,” lanjut Rafi. “Sampai situasinya mereda dan publik lupa.” Ada jeda panjang. Suara AC terdengar lebih keras dari biasanya. Winter mengangguk kecil, gerakan yang hampir tidak terlihat, tapi cukup menunjukkan bahwa ia paham. Meski hatinya seperti ditarik turun. “Kau harus siap dengan konsekuensi, Winter.” Suara itu datar, tanpa emosi. “Karirmu belum kuat. Skandal kecil saja bisa menghancurkan segalanya. Dan jika publik belum lupa…” Ada jeda singkat. “…kau tahu jawabannya. Karirmu berhenti di sini.”Langkah keduanya berhenti tepat di depan pintu keluar gedung catatan sipil. Tanda tangan sudah dibubuhkan, stempel sudah ditekan, dan buku nikah resmi ada di tangan Winter, buku kecil itu terasa lebih berat dari yang seharusnya.Udara luar lebih dingin dari perkiraannya. Winter masih mencoba menata napas ketika Greyson merapikan lengan jasnya, tak terlihat terpengaruh sedikit pun oleh fakta bahwa mereka baru saja menikah.Greyson menoleh singkat. “Aku ada urusan hari ini.”Nada suaranya datar, profesional, hampir seperti ia baru saja menyelesaikan transaksi bisnis, bukan pernikahan.Winter mengangguk pelan, meski tenggorokannya terasa kering. “Baik.”Greyson memasukkan ponselnya ke saku celana. “Pindahlah ke apartemenku malam ini.”Winter terkejut, tapi Greyson tidak memberi ruang untuk bertanya. Ia sudah berbalik, melangkah menuju mobil hitam yang menunggu di tepi jalan.Tanpa ucapan selamat, tanpa obrolan ringan, tanpa jeda. Hanya instruksi.Winter menatap punggung Greyson yang menj
Winter melangkah masuk, dan baru setelah itu Greyson menutup pintu. Ia berjalan ke sofa, menjatuhkan tubuh dengan santai dan menyandarkan satu tangan di punggung sofa. Tatapannya mengikuti setiap gerak Winter yang terlihat lebih kaku dari biasanya. “Kau sebenarnya bisa langsung masuk tanpa menunggu,” katanya, nada datarnya tetap sama. “Kode sandi ku masih sama.” Winter mengangkat wajah, mencoba terlihat tenang. “Aku harus memastikan kau ada di rumah. Tidak mungkin aku menerobos masuk begitu saja.” Greyson mengangguk pelan, seolah menerima jawaban itu tanpa komentar tambahan. “Lalu,” ia menatap lebih fokus, “maksud kedatanganmu kemari?” Winter menggenggam ujung jaketnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Soal tawaran mu yang kemarin …” Greyson menghela napas pendek, menatap ke arah meja seolah ingin mengakhiri pembicaraan itu. “Benar. Soal itu. Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Anggap saja—” “Aku setuju,” potong Winter tiba-tiba. Greyson terdiam. Tatapannya kembali ke Winte
Winter hampir berlari ketika keluar dari mobil dan memasuki rumah. Serena mengabari lewat pesan bahwa ayah mereka terjatuh saat berusaha mengambil minuman di meja kecil dekat tempat tidur. Tubuh ayahnya yang lumpuh sebagian sejak kecelakaan kerja lima tahun lalu membuat hal sederhana seperti itu menjadi berbahaya. “Bagaimana ayah?” tanya Winter begitu melihat Serena di ruang tengah. Serena hanya mengangguk ke arah kamar, wajahnya tegang. Winter masuk dan napasnya tercekat. “Oh, Tuhan…” Lututnya melemas melihat kening ayahnya yang robek, darahnya sudah mengering bercampur obat merah seadanya. Perbannya kusut, jelas dipasang terburu-buru. Winter langsung mendekat, meraih tangan ayahnya yang tergeletak lemah di sisi tubuh. Telapak tangannya dingin. “Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?” suara Winter pecah, tapi ia menahannya tetap stabil. Serena menunduk. Sebelum adiknya menjawab, Maia muncul di ambang pintu. “Kita tidak punya uang,” ucap ibu tirinya datar. Maia berdiri dengan tang
Winter terbangun ketika ponselnya berdering berkali-kali. Ia mengerjap, menyadari dirinya tertidur di sofa apartemen dengan posisi miring dan leher pegal. Dengan gerakan lambat, Winter menyibak rambutnya ke belakang lalu mengangkat panggilan yang terus memaksa masuk.“Hallo,” ucapnya lirih.“Winter, Ibu sudah lihat berita tentang kau di TV,” suara Maia, ibu tirinya terdengar langsung menghakimi. “Siapa yang akan membayar biaya berobat ayahmu dan kuliah Serena?”Winter menutup mata sejenak. Tentu. Yang ditanyakan bukan kabarnya, bahkan bukan apakah ia baik-baik saja setelah diterpa skandal nasional.“Aku akan cari pekerjaan lain setelah ini,” ucap Winter, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil.“Kau harus ingat siapa yang merawatmu sejak kecil. Sebagai balas budimu, pastikan adikmu kuliah tinggi. Jangan sampai dia cuma lulusan SMA seperti dirimu.”Setiap kata itu menusuk. Winter menggenggam ponselnya erat, menahan napas agar tidak pecah.“Iya, aku tahu,” jawabnya perlahan.“Dan ja
Pagi harinya, Winter terbangun seorang diri di kamar hotel dekat bar yang ia kunjungi semalam. Kepalanya berat, seperti baru dipukul dari dalam. Ia mengerjap beberapa kali, ruangan masih gelap, tirai tertutup rapat. Hanya samar-samar ia ingat Greyson yang membawanya ke sini.Setelah sadar penuh, ia segera terduduk dan memeriksa dirinya. Pakaiannya masih lengkap.Winter mendesah lega sambil menepuk keningnya. “Astaga… apa yang kupikirkan semalam?” gumamnya frustrasi. Untung saja Greyson tidak menanggapi omongan ngawurnya.Namun saat ia bergeser, Winter merasakan sesuatu yang lembap di antara pahanya. Ingatan semalam datang seperti potongan cepat. Greyson yang menariknya, cara pria itu menciumnya tanpa ragu, dan bagaimana Winter tidak sempat mengelak.Winter mengusap wajahnya keras-keras. “Brengsek… dia memang jago,” gumamnya frustrasi. Ia harus mengakui jika Greyson memang mahir mencium. Sayangnya, itu tidak membuktikan apa pun. Di drama pun dia sering mencium lawan mainnya, hanya bagi
Bar itu tidak ramai, tapi cukup penuh untuk menenggelamkan suara di kepala Winter yang sejak pagi terus berputar. Lampu temaram membuat wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya. Ia mengangkat gelas, menenggak isinya tanpa benar-benar memikirkan rasa. Jika dunia luar ingin menertawakan dan menghakiminya, biarlah. Karirnya sudah rusak. Namanya dicaci. Orang yang mengaku mencintainya menghilang. Setidaknya disini, ia bisa diam tanpa harus menjelaskan apa pun. Kepalanya jatuh ke meja bar, napasnya berat. Suara kursi di sampingnya bergeser perlahan, menandakan ada seseorang baru saja duduk. Winter tidak peduli, sampai orang itu membuka suara memesan minuman. Nada suaranya rendah, familiar. Winter mengangkat kepala dengan susah payah. Tepat di sampingnya, dengan topi yang menutupi sebagian wajahnya, Greyson Hale. Winter tersenyum tipis, miris. “Pria itu lagi,” gumamnya pelan. Apa yang dilakukan seseorang seperti Greyson di tempat semacam ini? Dengan karir gemilang, wajah sempurna, dan







