The Achilles segera dibanjiri telepon serta email begitu video pendek berisi cuplikan Keenan, sang pewaris The Achilles tengah berhubungan badan dengan seorang wanita di salah satu kamar hotel.
Wanita berusia tiga puluhan yang bertugas berjaga di belakang meja lobi nyaris meradang untuk menghadapi dering telepon yang berbunyi tiap detik.
The Achilles sibuk bukan main. Leo Karlisle bahkan harus melempar telepon genggamnya, sambil terus mengoceh. “Bagaimana cara kerja kalian? Kenapa video itu terus bermunculan?”
Sebagai tangan kanan Keenan, Leo harus bekerja efektif. Dia tidak mau merasakan amukan Keenan jika masalah ini tak kunjung selesai.
“Tuan Leo, sumber daya kita tidak mampu memblokir seluruh ID pengguna internet. Kita tidak bisa melakukannya.”
Leo meradang. Dia hilir mudik, lalu berkata, “Temukan alamat pertama yang mengunggah video itu.”
Sementara itu di kediaman keluarga Achilles, istana megah itu pun tak luput dari kesibukan. Telepon terus berdering dan Madam Veronika bahkan lebih memilih duduk sambil menunggu telepon berikutnya alih-alih melanjutkan pekerjaannya di dapur.
Di ruang khusus keluarga Achilles, Charles Achilles terlihat menegang, sorot matanya tajam menatap layar tab yang diberikan oleh asistennya. Istrinya, Cecilia Achilles berusaha menenangkan Charles, berharap kabar itu tidak terlalu mengganggu kesehatan jantung suaminya.
“Tenanglah.” Cecilia mengusap pundak Charles.
Wanita paruh baya itu menyerahkan kembali tab pada sang asisten, lalu memintanya keluar dan menyisakan mereka bersama Keenan. Sedari tadi Keenan tidak bicara. Terlihat kilatan amarah di wajah pria itu lewat rahangnya yang mengetat.
Sial. Dia terlalu meremehkan gadis itu. Ternyata diam-diam dia juga meletakkan kamera untuk merekamnya. Kenapa dia tidak terpikir ke sana? Pantas saja dia meminta menyudahi pembicaraan. Ternyata dia sudah memiliki cara lain untuk menjebakku.
“Katakan, apa yang terjadi.” Charles menatap Keenan setelah berusaha meredam emosinya.
“Aku dijebak, Dad,” sahut Keenan.
“Dijebak? Tapi kenapa aku tidak melihat tanda-tanda kamu dijebak?” Nada bicara Charles mulai naik.
“Dia memasukkan obat ke minumanku dan berakhir... Seperti itu.”
“Dia yang memasukkan obat ke minumanmu atau kamu yang memasukkan obat ke minumannya?”
Keenan mengernyit. “Tentu saja dia.”
“Tapi kamu yang begitu liar bak binatang di atas tubuhnya.” Charles berdiri, meninju meja hingga gelas keramik di atasnya terjatuh. “Kamu...” Charles menunjuk Keenan. “Apa kamu tidak melihat bagaimana gadis itu hanya diam tak bergerak? Kamu bilang dia menjebakmu?”
“Tenanglah.” Cecilia kembali mengusap pundak Charles.
“Dad, kamu tidak percaya padaku?”
“Apa yang harus ku percaya setelah melihat sisi bejatmu dalam video itu?” Charles mengumpat. “Sungguh, kamu tidak layak menjadi penerus keluarga Achilles dengan tabiat buruk seperti ini.”
“Aku bahkan tidak pernah melakukan kesalahan apapun.” Keenan berdiri. Dia merasa Charles tak adil padanya. Memojokkannya setelah satu kesalahannya tersebar menurut Keenan sangat tidak pantas.
“Aku dijebak, gadis itu memasukkan obat ke alkoholku dan aku tidak bisa menahan diri. Percaya atau tidak, itu urusanmu, Dad. Tapi aku tidak akan pernah melakukan kesalahan sefatal ini. Pun kalau aku butuh menyalurkan nafsuku, kenapa harus gadis seperti dia?”
“Tutup mulutmu.” Cecilia setengah berteriak. “Keluarga Achilles tidak seperti itu, Nak. Kita berwibawa, tidak geragapan seperti itu.”
“Mom, kalian harus percaya jika aku memang dijebak!” tegas Keenan sekali lagi.
“Sudah bicaranya?”
Seorang wanita lanjut usia terlihat memasuki ruang khusus. Dia dibimbing oleh Axel dan Charles langsung menarik kursi dengan sigap. Wanita itu duduk, tongkat di tangannya dia pegang erat.
Dia Dorothy Achilles, wanita yang masih sangat berpengaruh walau rambutnya sudah semuanya berubah menjadi uban putih. Keenan berkuasa, namun di atasnya masih ada Charles. Charles pun berkuasa, namun di atasnya masih ada Dorothy.
“Apa keluarga ini tidak bisa bicara lagi dengan nada yang tak didengar oleh tembok?” Dorothy menatap anak cucunya bergantian. “Semuanya duduk. Kamu juga Axel.”
Axel duduk di samping Keenan. Dia menepuk pundak sepupunya itu untuk menenangkannya.
“Keenan, katakan apa yang terjadi pada video itu.”
“Aku sungguh dijebak Granny. Aku tidak berniat melakukannya, tapi pengaruh obat itu sangat kuat dan aku tidak bisa menahan diri. Maafkan aku.”
Dorothy menghela nafas. “Sekarang semuanya sudah terjadi, apa rencanamu?”
“Mom, aku akan mengerahkan sumber daya kita untuk melenyapkan video itu,” kata Charles.
“Aku bertanya pada puteramu, bukan denganmu.” Doroty mengelus kepala tongkatnya. “Keenan, bicaralah!”
“Sama seperti yang Dad katakan, Granny.”
Dorothy memperbaiki letak kaca matanya. “Maksudku pada gadis itu.”
Keenan menganga, dia melongo menatap Dorothy. “Gadis itu?”
“Kamu menidurinya, video itu menunjukkan semuanya. Keluarga Achilles tidak pernah lepas dari tanggung jawab. Katakan, apa solusimu.”
Kemarahan semakin mengaduk-aduk dada Keenan. Ini yang dikhawatirkannya. Sang nenek akan memaksanya untuk bertanggung jawab atas kesalahan yang tidak sepenuhnya dia lakukan.
“Berikan saja uang padanya sebagai konpensasi. Seharusnya ratusan ribu dollar sudah lebih dari cukup.”
Dorothy terlihat tenang, namun tangannya kembali mengusap kepala tongkatnya. Dia membuka kaca matanya yang secara otomatis menggantung di dadanya karena sudah memiliki rantai.
“Gadis itu puteri keluarga Matilda bukan?”
Charles dan Cecilia menegakkan tubuhnya bersamaan. “Gadis itu Isloisa Matilda?”
Keenan mematung, tidak menyangka jika cara kerja Dorothy masih sama seperti dulu. Cepat dan rapi. Di saat semua orang tidak bisa mengenali siapa wanita yang digaulinya, Dorothy malah menemukan fakta itu secepat kilat.
“Apa yang akan kamu lakukan pada Emmely Isla?”
“Dia Emmy?” Cecilia mengatupkan mulut. “Anak tiri keluarga Matilda?”
Kepala Keenan nyaris pecah. Dia benar-benar tak akan bisa lolos dengan mudah kali ini. Dorothy tidak sedang bermain-main dengannya.
Nada serius dalam setiap kata yang keluar dari mulut Dorothy adalah bukti jika Keenan harus mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan terburuk.
Dan dia tahu, semua hal yang diperintahkan Dorothy harus dilaksanakan.
“Granny, jika memberinya uang sedikit tidak sopan, bagaimana kalau menghadiahkan dia posisi di perusahaan atau memberinya salah satu villa? Atau kita bisa memintanya untuk memilih, dia mau apa. Kita bisa mengundang keluarga Matilda untuk datang makan malam lalu...”
“Nikahi dia!”
Pintu kamar terbuka, seolah Emmy sudah menunggu kedatangan Keenan ketika pria itu pulang dari kantor. Emmy menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang dibukanya sedikit. Keenan mengernyit, dia bersandar di dinding.“Suamimu tak boleh masuk?” tanyanya.“Bukan.” Emmy menggeleng. “Tunggu sebentar. Lima menit. Ah, mungkin sepuluh menit.”“Apa yang kamu lakukan di dalam sana?”“Sabar sedikit.” Emmy kembali menutup pintu. “Jangan masuk sebelum aku mengizinkannya,” serunya lagi.Emmy menyusun satu per satu balon hias yang ditempel di dinding. Tak lupa tulisan ‘happy birthday’ dia gantung, lalu dia mengecek kembali kue ulang tahun Keenan. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Emmy berjalan menuju kamar mandi.Digenggamnya alat tes kehamilan yang menunjukkan garis merah muda sebanyak dua garis, menunjukkan jika dia sedang hamil. Ini akan menjadi kejutan yang tidak akan pernah dilupakan Keenan, Emmy sangat yakin sekali.Dia memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Aksen pita merah muda
Hari yang cerah di awal Januari. Dalam balutan gaun putih tulang yang menutupi tubuhnya hingga ke kaki, Emmy berjalan didampingi oleh ayah Josiah, Stevano Miller. Dia tampak anggun dengan tiara yang dipasangkan ke rambutnya. Dia seperti puteri dari negeri dongeng.Para tamu tampak bersorak, berdiri menyaksikan kesakralan pernikahan antara Emmy dan Keenan. Lily bertugas menjadi pendamping wanita, Edmund menjadi pembawa kerajang bunga didampingi Liz dan Ivy. Ketiga wanita itu mengenakan gaun kuning lembut sementara Edmund tampil gagah dengan jas mungilnya.Aroma harum dari bunga-bunga azalea putih, rosemary dan juga marygold menguar dari bunga-bunga yang ditaburkan mereka. Di altar, Keenan menunggu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan menemukan hari ini dalam hidupnya.Pria itu sempat berpikir kalau semuanya sudah berakhir. Ketika dia kehilangan Emmy dalam hidupnya, Keenan merasa kalau takdir memang begitu adanya. Siapa yang tahu kalau ternyata masi
“Jadi, kamu adalah pemilik Sid and Co? Itukah alasan kenapa dulu kamu memintaku untuk bekerja di sana?”Leo mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Dia berbohong pada Ivy soal identitasnya, mungkin kekasihnya itu akan marah besar padanya. Leo mencoba memikirkan bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Dia tidak mau Ivy akan meminta perpisahan. Sungguh, dia tidak mau.“Vy, aku hanya...”“Stop!” Ivy berbalik, menatap Leo dan menemukan pria itu kelihatan gelisah. Ivy nyaris tertawa dalam hati. Tapi ini kesempatan yang bagus untuk menguji seberapa besar Leo menginginkannya. “Kamu berbohong padaku. Sungguh! Kamu keterlaluan.”“Ivy, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku.”“Lalu apa yang kamu lakukan ini?”“Aku hanya...”Ivy mendelik, menunggu dengan sabar sampai Leo menyelesaikan kalimatnya. Tapi ternyata setelah menunggu selama beberapa detik, pria itu malah bungkam dan tidak bicara. Perlahan Ivy mulai kesal. Padahal Leo tinggal mengatakan alasannya apa, tapi dia malah me
Ketika Leo menjemput Ivy di kantornya, hari sudah menjelang malam. Pria itu menyandarkan pinggulnya di depan sedan Maybacth yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Tak ada yang salah dengan SUV yang membawanya selama beberapa tahun ini.Tapi Leo tahu, mobil dengan body bongsor seperti itu kurang disukai oleh wanita. Walau Ivy tak pernah protes dengan SUV-nya, tapi Leo ingin Ivy nyaman di dalam kendaraannya sendiri saat dia bersama Ivy.Leo melirik ke dalam gedung bertingkat sambil menghela nafas panjang. Ivy tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri walau Leo menawarkannya. Padahal, Leo tidak memberitahu kalau Sid and Co adalah miliknya, tapi Ivy tetap tidak mau bekerja di sana.Sebenarnya, Leo bukan datang dari keluarga yang kurang beruntung. Dia memiliki keluarga kaya raya, hanya saja kondisi anggota keluarganya memaksa dia keluar dari rumah pada usia empat belas tahun. Dia menjelajah seorang diri, menjadi objek bully bagi teman-teman sekolahnya hingga Keenan menemukannya.Tapi tah
Axel menurunkan atap Stingray dan bersandar di bagasi, menunggu Lily turun dari apartemennya. Kerena Keenan sudah kembali, maka Axel kini memiliki waktu libur untuk dirinya sendiri. Pagi ini, dia akan menebus waktunya yang dihabiskan lebih banyak di perusahaan alih-alih bersama Lily.Lily turun dengan mengenakan dress selutut dan sepatu sneakers berwarna putih. Gadis itu lincah, bergerak ringan dan tersenyum menyapa Axel. Dia adalah hadiah yang tak terharga, begitu Axel menyebut Lily. Karena kehadiran Lily, dia tak perlu khawatir soal kehidupannya karena Lily selalu memiliki banyak cara untuk menghiburnya.“Apakah aku terlalu cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” goda Lily.Axel mengangguk membenarkan. “Kamu memang cantik. Sudah siap?”Lily mengangguk. Dia setengah berlari mengitari mobil dan masuk. Axel tertawa kecil. Dia terlalu mandiri. Bahkan para gadis akan mengantri untuk dibukakan pintu secara khusus bak tuan puteri. Tapi dia? Dia bahkan tidak menungguku melakukannya.Mer
“Aku tidak tahu kalau kamu hamil saat aku pergi. Maafkan aku.”Liz menangis tersedu-sedu, tapi dia tahu itu bukan kesalahan Josiah. Liz menggeleng kuat. “Ini juga salahku. Maaf karena aku egois dan menyembunyikan semua ini darimu.”Josiah melepas pelukannya. Dihapusnya air mata yang masih terus jatuh di pipi Liz dan menunduk untuk mencium bibir Liz dengan penuh kerinduan. Edmund yang sedari tadi diam saja kini bertindak saat melihat Josiah mencium ibunya. Dia menarik tangan Liz, menghadang dengan sikap protektif.“Hanya aku yang boleh mencium Mom,” katanya dengan suaranya yang melengking.Josiah dan Liz tertawa kecil. Liz menatap Josiah, lalu mengangguk pada pria itu. Josiah bersimpuh dihadapan Edmund, dan pria kecil itu menelengkan kepala menatap Josiah. “Paman mirip sekali denganku,” gumamnya. “Apakah kamu Dad?”Air mata Josiah jatuh, namun dia tertawa menyadari kalau puteranya begitu cerdas. Dia mengusap kepala Edmund sambil berpikir, bahkan telapak tanganku masih lebih lebar dari
Emmy buru-buru melepas pelukan Keenan dari tubuhnya. Dia berdiri, menahan diri untuk langsung menganggukkan kepalanya. Dia memilih bersikap biasa saja walau dia nyaris melompat waktu Keenan mengajaknya menikah lagi.“Kita sudah bercerai, Tuan,” sahut Emmy santai.“Aku tahu.” Keenan meraih jemari Emmy lagi. “Berikan aku kesempatan kedua.”“Pun kalau aku memberimu kesempatan kedua, keluargaku mungkin tidak akan menerimamu.”“Aku akan berusaha merebut kembali kepercayaan mereka. Dengan cara apa pun, aku akan melakukannya.”“Bahkan kalau mereka memberi syarat kalau kita harus tinggal di sini?”Keenan melihat sekitarnya. Memangnya apa yang salah tinggal di desa? Ini cukup nyaman, bahkan Keenan semakin terbiasa hidup tanpa kemewahan. Dia tidak menggunakan pendingin ruangan, tidak bepergian ke klub, tidak berbelanja barang-barang mewah, tidak menggunakan mobil. Itu bagus dan dia nyaman.“Tinggal di desa tidak buruk, tahu?” sahut Keenan.Emmy merasakan wajahnya mulai merona merah. Jantungnya
“Sepertinya kamu makin betah di sini.”Tiba-tiba Keenan dikejutkan oleh bisikan Josiah ketika pria itu muncul membawakan topi milik Emmy. Keenan nyaris berteriak karena kaget. untung saja dia bisa mengontrol emosinya dan tidak bersuara sedikitpun.“Aku akan tinggal di mana pun Emmy berada,” gerutunya pada Josiah. “Dan kamu jangan pernah mengacaukan rencanaku.”“Kamu mengancamku? Kamu tidak ingat aku siapa?”“Kamu kakak Emmy. Kamu sudah mengatakannya lebih dari seribu kali.”“Bagus kalau kamu tahu,” ejek Josiah. “Sebentar, aku akan memberikan topi ini pada Emmy lalu kita bisa mengobrol.”“Siapa yang mau mengobrol bersamamu?”“Ck!” Josiah berdecak, lalu berdiri mendekati Emmy.“Em, kamu lupa membawa topi.” Josiah menghampiri Emmy dan memasang topi itu langsung di kepala Emmy. “Aku akan menunggumu di tempat biasa.”Emmy mengangguk. “Thanks,” katanya.Josiah mengusap rambut Emmy dan tindakan itu membuat Keenan mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap tajam Josiah saat pria itu menghampirin
Begitu Liz dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Lily dan Axel langsung menjenguknya. Liz tersenyum, memamerkan wajah pucat pasinya pada keduanya. Namun Lily mendengus kesal. Dia melipat kedua tangannya di dada, tapi tidak mau mendekat ke ranjang Liz.Liz tahu mereka berdua pasti sudah mengetahui kehamilannya. Dan dia juga tahu kenapa Lily memberinya reaksi seperti itu. Lily marah karena dia menyembunyikan kabar sebesar itu dari mereka, Liz pantas mendapatkan reaksi dingin seperti itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel, memilih mendekat ke ranjang rawat Liz.Dia mengangguk, lalu berusaha duduk. Axel membatu menumpuk bantal di belakang punggung Liz untuk membuatnya nyaman saat bersandar. Liz menatap Lily yang berdiri di dekat jendela. Dia melihat jauh ke luar, ke antara pepohonan rindang yang berjejer di sekeliling rumah sakit.“Maafkan aku,” kata Liz, setelah dalam ruangan itu hanya ada keheningan selama beberapa menit. “Aku tidak berniat menutupi semua ini dari kalian.”“Tapi nyatany