Home / Rumah Tangga / Skandal dengan Mertua / Bab 1 Hutang yang Menumpuk

Share

Skandal dengan Mertua
Skandal dengan Mertua
Author: RaySya

Bab 1 Hutang yang Menumpuk

Author: RaySya
last update Last Updated: 2024-06-21 08:16:25

"Ika, tuh ada yang beli. Kok malah manyun sih diem aja dari tadi." Yuni yang ada di samping Ika menowel pundaknya. Ika sedang terlena dengan lamunan. Ia kaget mendengar teguran sahabatnya itu, "Ya Allah, yuun, kamu bikin kaget saja." 

 Kesadaran Ika langsung kembali, lamunannya langsung buyar. Ia melihat pembeli di depannya sedang menatapnya, menunggu untuk dilayani tepatnya. 

  "Iya, Bu. Aduuuh maaf Bu saya malah melamun begini. Monggo silakan mau beli kue apa, Bu?" Seperti kepergok, ah Ika jadi sangat malu. 

 "Kue lemper sama putu ayu aja mba. Masing-masing 15 ribu saja." Ibu itu merogoh kantongnya untuk membayar kue. Sigap Ika pun membungkus kue-kue yang dipesan tadi. 

 "Ini Bu kuenya." Sambil tersenyum semanis mungkin ia menyerahkan bungkusan kresek warna hitam. 

 "Iya terima kasih, Mbak. Masih pagi Mbak, jangan melamun mbok nanti ada yang nempel." si pembeli menggoda sambil cekikikan. 

 "Iiih, apa Ibu yang menempel, kok jadi seram amat?" Ika menimpali dengan wajah jenaka, ia mengerti membuat pembeli betah dengannya adalah cara agar mereka kembali lagi. 

 "Aduuuh, Mbak. Asal jangan duda aja yang menempel." Tambah keras mereka tertawa. Yuni pun ikut masuk dalam obrolan pagi yang hangat. 

 "Buu, duren nggak apa-apa kali yah. Duda keren yang banyak duitnya," Yuni menimpali sambil cengengesan. 

 "Hush! Sudah-sudah. Pagi-pagi kok ngomongin duren. Saya duluan ya, Mbak. Ini buat kirim orang ke sawah." 

 "Iyaa, Bu. Mari!"

 Setelah pembeli pergi, mata Ika mulai menatap kosong lagi. Entah kenapa lamunan yang tadi malah berlanjut, seperti ada gambar-gambar yang berseliweran. Daftar kebutuhan rumah tangganya semakin panjang. 

  Yuni yang geregetan melihat Ika dari tadi jadi terdiam melamun tambah kesel. 

  "Kaa, Ika. Kenapa sih ngelamun mulu. Kamu lagi mikirin apa sebenernya?" tegur temannya. 

  Ika hanya menoleh sebentar dan menjawab, "Gak apa-apa, Yun," jawab Ika lesu. 

  Yuni jelas tidak percaya. Akhir-akhir ini Ika memang agak lain. Raganya memang ada di sini jagain dagangan kue seperti biasanya, tapi pikirannya entah melayang-layang kemana. 

  "Kita kan temen, Ka. Siapa tahu aku bisa bantu," bujuk Yuni. 

  Ika cuma mesem aja sebentar mendengar temanya itu menawarkan bantuan. 

  "Yun-yun, kamu ngak akan bisa bantu, Yun. Ini masalah uang. Sedangkan kamu aja kerjanya sama aku. Gaji kamu kan ngak seberapa. Kamu juga punya banyak kebutuhan untuk ibu dan adik -adik kamu," jawab Ika dengan lesu. 

  "Oalah uang toh. Kamu belum bayar cicilan?" tebak Yuni. 

  Yuni tahu kalau Ika punya banyak hutang. Ada hutang di bank yang harus ia bayar bulanan dan juga hutang bank mingguan yang harus dicicil seminggu sekali. Belum lagi hutang-hutang dia sama orang lain. 

  Ika sebenarnya tidak ingin bercerita tentang beban hidupnya, tetapi akhirnya ia menyerah. Dia juga butuh tempat untuk menceritakan semua permasalah yang semakin berat menghimpit dadanya, rasanya sesak, tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi. Setiap hari ia hanya bisa berpikir mau gali lubang lebih besar lagi sama siapa. Sedangkan lubang hutang yang sudah ia gali belum pernah bisa ia tutup. 

 "Belum. cicilan bulan ini belum kebayar. Uang arisan teman-teman juga sudah aku pakai. Anak-anak harus bayaran sekolah. Dan suamiku tetap hanya jadi beban hidupku. Kumplit sudah semua aku tanggung sendiri. Harus bagaimana, Yun? Apa aku harus kabur aja ya?" keluh Ika.

  "Hush! kamu gak boleh ngomong begitu Ka. Suamimu ke mana?" Yuni duduk mendekat ke arah Ika yang sudah terduduk lemas sedari tadi. 

 "Suamiku sudah mati kali, Yun," jawab Ika putus asa. Tak ada harapan lagi ia dan suaminya. 

 "Jangan ngomong begitu, Ka." Yuni memegang bahu temannya. "Walaupun suamimu itu kerjaannya cuma mancing, paling tidak kamu harus ajak dia diskusi semua hutang-hutang kalian." 

 Ika menoleh. Wajahnya seperti sudah tidak percaya lagi kalau suaminya bisa membantu. 

 "Wong dia aja nggak pernah pulang kok, Yun." 

 "Oalahhh, tapi jangan bunuh diri ya, Ka. Nanti kamu nggak bayar utangmu sama aku dong. Uang arisanku aja kamu pakai. Hidup memang berat, tapi harus tetap dihadapi. Cobalah kamu minta tolong sama mertuamu aja. Enak banget punya anak nggak mau ngasih nafkah, nggak mau tanggung jawab. Yasudah biar mertuamu aja yang tanggung jawab. Begitu kan aturannya?" sergah Yuni.

 Ika terdiam sejenak. Ia berpikir mungkin perkataan temannya itu ada benarnya. 

  "Tumben Yun kamu bener. Kayaknya memang aku harus ke rumah mertua, Yun. Sudah mentok otakku kalau harus mikir semuanya sendiri."

 Waktu sudah beranjak siang. Pembeli kue sudah mulai berkurang, tapi dagangan masih tersisa. Akhir-akhir ini banyak kue yang harus dibagi-bagikan secara gratis karena penjualan tidak habis. 

  Keduanya akhirnya hanya bisa menarik nafas berat bersama. Mengeluh pun tidak ada gunanya. Kehidupan orang yang berdagang memang seperti ini. Tapi kalau kue ini tidak habis, maka upah untuk Yuni pun harus berkurang. 

  Ika dan Yuni terpaksa menggulung dagangan mereka. 

  **

  Sesampainya di rumah, anak anak Ika sudah ribut tentang uang jajan. 

  "Ibu mana uang jajannya? aku mau jajan ciki di tempat Bu Umi." Iwan merengek minta uang. 

  "Iya Ibu, Azka juga mau. Kemarin Ibu janji mau ngasih uang jajan banyak ke Azka hari ini." Azka anak bungsu Ika pun mengikuti tingkah kakaknya. 

  "Dagangan Ibu masih banyak sayang. Hari ini libur dulu ya jajannya. Kalian makan kue bikinan Ibu saja ya. Mau kan sayang?" Ika mencoba membujuk kedua anaknya. Uang yang dibawa pulang terlalu sedikit. Untuk modal lagi besok pagi saja belum cukup. Harga gula, minyak dan tepung pada naik. Ika semakin pusing. Ika berpikir mungkin Ika memang harus berkunjung ke rumah mertuanya. 

  Iwan langsung ngambek dan pergi. "Ibu pelit banget." 

  Sedangkan Azka langsung menangis.

  Ika teringat suaminya yang entah di mana. Ia mencoba menghubungi suaminya. Berkali kali dia memencet nomor suaminya tetapi tidak di angkat. Baru pada panggilan ke 5 suara suaminya terdengar. 

  "Halo, ada apa, Bu?"

  "Kamu di mana, Pak? anak-anak sendiri di rumah. Mereka pada nangis semua merengek minta jajan." Mumpung telponnya diangkat, Ika mau menumpahkan semua kekesalannya pada suaminya. 

  "Aduuuh, Bu. Berisik amat sih. Gak kedengeran Bu suaramu. Aku lagi mancing di tempat biasa," jawab suaminya dengan datar. 

  "Pulang, Pak. Sekarang!!!" teriak Ika di telepon.

  "Bu, aduh, ini nanggung, umpanku mau disamber nih. Udah dulu ya, Bu," jawab Karyo sekenanya. Suara panggilan diakhiri membuat Ika semakin kesal. 

  "Paaaak?!!" Ika berteriak, ingin rasanya ia membanting hp di tangannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Skandal dengan Mertua   Kabur- End

    "Bener apa yang dikatakan Ibu, Pak. Bapak dan Ika yang harus segera dihukum. Kenapa malah bawa-bawa aku sama ibu? Aneh banget! Sudahlah, lebih Pak Lurah segera lakukan saja hukuman buat kalian berdua!" Karyo menghembuskan nafasnya dengan kasar. Sejujurnya tangannya mengepal sejak tadi, ingin memberi bogem mentah pada bapaknya yang kurang ajar. Tak peduli menjadi anak durhaka, kali ini bapaknya memang pantas diberi pelajaran. Mendengar itu emosi Pak Tio terbakar. Apa? Dihukum? "Tunggu dulu, Pak Lurah. Tolong bapak-bapak tenang dulu, kamu juga tenang dulu, Yo. Kami memang berdosa, tapi tolong jangan sampai ada arak-arakan. Biar kami selesaikan dengan kekeluargaan saja." "Nggak bisa lah, Pak Tio. Masalah ini bukan cuma soal keluarga. Tindakan kalian sangat meresahkan dan menjadi contoh buruh untuk masyarakat. Kalau Pak Tio dan Mbak Ika nggak diarak, nanti bisa saja diulangi lagi," bapak-bapak mulai tidak sabar karena waktu sudah beranjak larut.

  • Skandal dengan Mertua   Bab 45 Mau diarak?

    Saat itu Ika duduk menunduk di sebuah kursi di kamar itu. Tidak ada yang menemani, tidak ada yang mengajaknya bicara. Bagaimana mau bicara, sebagai pesakitan yang sudah pasti akan dihukum, bahkan menatap wajah ibu mertuanya saja dia tidak berani. Tak hanya ibu mertuanya, tatapan mata orang lain seperti menelanjanginya. Ibu Ika berjalan gontai mendekati anaknya. Ia terkejut tadi Karyo berteriak padanya, tapi ia ingin mendengarnya sendiri dari mulut anaknya. Perasaanya bercampur baur, tidak percaya, benci, berharap semua tuduhan itu hanya salah sangka, marah, dan kasihan melihat anaknya hendak dihakimi masa. "Jadi bener kamu sama bapakku!?" bentak Karyo di depan wajah Ika yang masih menunduk. Namun bukannya menjawab, Ika kembali tersedu-sedu melihat suami dan ibunya ada di depan matanya. Kepalanya tetap menunduk seakan ada beban berat di lehernya. Tapi beban yang sesungguhnya adalah ketakutannya. Ia takut menghadapi suami dan ibunya sendiri. "Jawab, Ka!!"

  • Skandal dengan Mertua   Bab 44 Proses menuju sidang

    Nur memandang bapaknya dengan kebencian. Matanya mulai berkaca-kaca. Tak terlukiskan bagaimana kekecewaannya begitu besar pada bapak yang selama ini jadi panutan. Ia merasa jijik dan muak. Apalagi saat melihat Ika, rasanya isi perutnya mau keluar. "Apa bener semua ini, Pak?" tanya Nur hampir meledak amarahnya. Namun, suaminya dengan lembut mengusap punggungnya. Pak Tio benar-benar bungkam, tak tahu harus menjawab apa. Ia menyugar rambutnya ke belakang, terlihat sangat frustasi. "Kamu panggil Karyo ke sini, Nur. Biar Karyo tahu kelakukan istrinya seperti apa!" seru Bu Hasna dengan geram. "Iya, Bu." Nur dan suaminya bergegas ke luar rumah. Sialnya di luar ternyata sudah ramai bapak-bapak ronda yang berkumpul karena teriakan-teriakan ibu. Mereka pikir ada seseorang yang sakit atau meninggal. Jadi ketika Nur dan suaminya keluar, mereka langsung beringsut mendekat. "Ada apa, Nur?" tanya Pak Dafa, ketua RT di lingkungannya. Yang lain juga langsung ikut bertanya. "Iya, ada a

  • Skandal dengan Mertua   Bab 43 Terkuak

    Malam itu, seperti biasa, Pak Tio memastikan seluruh keluarganya sudah tertidur. Gerimis rintik-rintik dengan udara yang lumayan dingin pasti membuat tidur lebih pulas. Kesempatan bagi Pak Tio untuk menikmati tubuh menantunya tanpa was-was. Semua orang sedang bergelung di bawah selimut. Malam ini dan malam besok harus dimanfaatkan dengan baik karena lusa ia harus pergi ke area proyek lagi. Maunya sih tetap di rumah, berleha-leha dan tetap bisa bermesraan dengan menantunya. Tapi, beberapa hari ini Bu Hasna sudah bertanya tentang pekerjaan dan uang yang mulai menipis. Jadi, mau tak mau Pak Tio harus segera kembali ke proyek.Sekarang sudah jam 10 malam, Pak Tio berjalan mengendap seperti biasanya ke kamar Ika. Ternyata, Ika belum tertidur. Wanita itu sedang duduk di tubir kasur dengan memakai pakaian yang seksi, sengaja betul menunggu Pak Tio datang. "Wah! Ini yang bikin aku ketagihan sama kamu, Ka! Kamu selalu siap membuat bapak tegang. Beda sama istriku,

  • Skandal dengan Mertua   Bab 42 Hubungan yang Panas

    Jam 3 pagi alaram di hp Ika berbunyi. Ia membuka matanya yang terasa berat. Baru 3 jam lalu ia memejamkan mata, sekarang ia mau tak mau harus segera membuka matanya dan bangun.Akhirnya ia bangkit dari kasurnya dan berjalan keluar. Suasana sangat sepi. Ia berjalan ke kamar sebelah, kamarnya Miranda dan Diana kemudian mengetuk pintunya. Beberapa saat kemudian terdengar sahutan dari dalam kamar dan nyala lampu mulai terlihat dari sela-sela pintu. Setelah itu, baru ia pergi ke dapur dan mulai menyalakan kompor. "Bikin apa dulu, Mbak?" tanya Diana saat masuk ke dapur. "Bikin adonan roti dulu, Na. Itu terigu sama telurnya." Ika menunjuk ke wadah dan terigu yang terletak di atas meja. Tak lama kemudian, datang Miranda sambil mengucek matanya. Mereka bertiga akhirnya membuat kue-kue yang akan dijual pagi itu. Bu Hasna terbangun ketika suara adzan subuh dari masjid terdengar. Sementara Pak Tio keluar dari kamarnya ketika Ika sudah mulai berdagang.

  • Skandal dengan Mertua   Bab 41 Hubungan Berlanjut

    "Ya Allah, Pak!" Ika terlonjak sampai hampir terlempar ke belakang. Untung Pak Tio yang tepat di depannya bergerak dengan cepat. Tangannya terayun dengan cepat menangkap tubuh Ika. "Sssst!" satu tangan Pak Tio membungkam mulut Ika, namun satu tangan yang lain memegang tubuh Ika. "Jangan berisik, nanti pada bangun!" Jantung Ika berdebar sangat kencang. Tubuh mereka menempel dengan mata saling beradu. Beberapa saat waktu seakan terhenti. Namun, Pak Tio segera menyadari kalau mereka sedang berada di rumahnya. Bu Hasan bisa saja tiba-tiba muncul. Karena itu, ia segera melepas tubuh Ika. Keduanya berdiri berdekatan dengan canggung. Ika membenarkan bajunya yang berantakan. Tiba-tiba seseorang muncul dan berdiri di ambang pintu dapur. "Bapak! Bapak sama Mbak Ika lagi ngapain?" tanya Miranda memberikan tatapan menyelidik. Pak Tio lantas reflek menjauhkan tubuhnya dari tubuh Ika. Ia berbalik dan gelagapan menjawab, "Bapak lagi ngopi, ngg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status