Matahari siang itu terasa hangat menyentuh kulit. Di lapangan kampus megah itu, ratusan mahasiswa berkumpul dengan toga berwarna biru tua, menandai hari bersejarah dalam hidup mereka.
Di tengah keramaian, ada satu sosok yang begitu mencolok. Tinggi semampai, wajah tampan seperti aktor Korea, dan senyuman manis yang bisa bikin siapapun lupa cara bernapas. Elvano Dirgantara. Mahasiswa cumlaude, pewaris tunggal perusahaan raksasa Dirgantara Group, dan... bahan lamunan hampir seluruh mahasiswi sekampus. Bahkan mungkin bahan lamunan sebagian dosen perempuan juga. “Vanooo! Selamat, ya! Akhirnya kita lulus juga!” seru Rendra, sahabatnya, sambil menepuk punggung Elvano keras-keras. Elvano tertawa kecil, membalas pelukan sahabatnya. "Iya, akhirnya. Gila, perjuangan skripsi itu beneran kayak mau mati hidup lagi, bro." "Mana kamu cumlaude lagi! Idaman banget, asli!" Rendra menggeleng-geleng takjub. Di sekitar mereka, beberapa cewek sudah mulai berbisik-bisik sambil melirik ke arah Elvano. Ada yang pura-pura selfie, padahal kameranya diam-diam mengarah ke dia. Ada juga yang sengaja lewat sambil menjatuhkan map, berharap Elvano menolong. Dan tentu saja, Elvano—seperti biasa—tersenyum ramah. Membantu, menunduk, bahkan mengucapkan selamat kepada siapa saja. Tanpa sok, tanpa jaim. Karena itulah Elvano bukan cuma dikagumi, tapi dipuja. "Bro," bisik Rendra lagi, kali ini lebih serius, "kamu tahu nggak? Ada rumor lho. Katanya hampir setengah cewek di angkatan kita punya naksir sama kamu." Elvano cuma tertawa kecil. "Halah, biasa aja. Mereka pasti salah lihat." "HALAH?!" Rendra hampir keselek sendiri. "Bro, kamu itu kayak paket lengkap: kaya, tampan, sopan, pinter, dan—uhuk—single!" Elvano hanya mengangkat bahu santai, lalu melangkah menuju tenda besar tempat acara syukuran kampus akan dimulai. Tapi jauh di dalam hatinya, Elvano tahu. Hari ini bukan hanya tentang kelulusan. Hari ini juga awal dari babak baru dalam hidupnya. Sebuah babak... yang akan mempertemukannya dengan seseorang yang sama sekali berbeda dari semua perempuan yang pernah dia temui. Seorang perempuan yang... entah bagaimana, akan mengubah seluruh hidupnya. Namanya? Aya. Dan pertemuan mereka—percaya atau tidak—akan jadi lebih kacau daripada badai. Tapi tentu saja, Elvano belum tahu itu. Untuk saat ini, dia hanya pria muda tampan yang menikmati momen kelulusannya... tanpa tahu bahwa hidup damainya sebentar lagi akan jungkir balik. Sangat. Jungkir. Balik. ---- Setelah acara syukuran kampus selesai, Elvano berjalan menuju parkiran. Setelan toga sudah ia lepas, diganti dengan kemeja putih sederhana dan celana bahan abu-abu yang membuat penampilannya makin berkelas tanpa usaha. Beberapa mahasiswi sengaja memperlambat langkah mereka, berharap bisa mengobrol walau cuma satu dua kata. Namun, sebelum ada yang sempat menghampiri, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan Elvano. Dari dalam, turun seorang pria paruh baya dengan jas necis, wajahnya penuh wibawa. “Elvano!” seru pria itu sambil tersenyum bangga. “Selamat, Nak!” “Papa!” Elvano langsung memeluk pria itu. “Papa sempet datang?” “Tentu saja. Aku nggak akan melewatkan hari spesialmu.” Pria itu, Bernard Dirgantara, CEO Dirgantara Group, adalah ayah Elvano. Di belakangnya, ada seorang wanita anggun—Mama Elvano—yang tersenyum lembut, dan... seorang gadis muda dengan hoodie hitam, celana jeans sobek-sobek, dan ekspresi sebel maksimal. Gadis itu berdiri dengan tangan disilangkan di dada, wajahnya menatap Elvano seperti mau melemparkan sepatu kapan saja. Aya. Aya yang tampangnya seperti siap berkelahi kapan pun, bahkan di acara kelulusan sekalipun. “Nak, kenalkan, ini Aya. Anaknya Om Dion, sahabat Papa waktu di London dulu. Mereka baru balik ke Indonesia.” Papa Elvano berbicara santai, seolah memperkenalkan seorang putri bangsawan, bukan cewek galak yang bahkan lupa tersenyum. Aya mendengus. “Nggak usah kenalan. Gue udah tahu siapa lo.” Suasana mendadak canggung. Mama Elvano tersenyum canggung, sementara Papa Elvano batuk-batuk kecil. Elvano malah tersenyum. Matanya menatap Aya penuh ketertarikan aneh. Sikapnya... berbeda. Tidak seperti gadis-gadis lain yang penuh kepalsuan. Aya terlihat... nyata. "Aya, ini Elvano," kata Papa pelan. "Kalian... nanti sering ketemu, ya. Papa sama Om Dion ada rencana... hehehe..." Belum sempat Papa melanjutkan, Aya sudah menoleh tajam. "Gue nggak peduli rencana siapa. Gue di sini cuma numpang hidup sampai bokap gue beres urusan bisnis." Kasar. Terang-terangan. Beda sekali dari bayangan Papa Elvano. Tapi Elvano justru tertawa kecil. Dia mengulurkan tangan, tetap sopan. "Aku Elvano," katanya santai. "Senang ketemu kamu, Aya." Aya menatap tangan itu dengan pandangan seperti melihat kucing basah di pinggir jalan. Alih-alih membalas, dia hanya melirik lalu berjalan duluan ke arah mobil. Rendra, yang dari jauh melihat kejadian itu, mendekat dan berbisik, "Bro... itu siapa? Calon neraka kecil lo?" Elvano malah tersenyum lebar. "Mungkin. Tapi sepertinya... seru." "Seru apanya, woy!?" Rendra hampir putus asa melihat ekspresi sahabatnya yang malah berbinar-binar. Sementara itu, Aya sudah masuk mobil dan mengetik sesuatu di ponselnya dengan kasar. [Kejebak di keluarga aneh. Sial.] Dan di luar mobil, seorang pria idaman semua wanita baru saja menemukan tantangan terbesarnya. Bukan bisnis. Bukan saingan perusahaan. Tapi... seorang cewek barbar. Namanya Aya. Dan Elvano... tanpa sadar... baru saja menandatangani kontrak hidup paling gila dalam hidupnya. Tanpa hak untuk membatalkan. --- Perjalanan pulang terasa aneh. Di dalam mobil, hanya terdengar suara musik pelan dari radio. Mama Elvano beberapa kali mencoba membuka pembicaraan, tapi Aya hanya menjawab seperlunya, kalau tidak bisa dibilang... dengan nada menyebalkan. "Besok Aya mau jalan-jalan ke mal? Mama anterin, ya," tawar Mama. "Nggak usah. Gue bisa sendiri," jawab Aya sambil menatap ke luar jendela. Mama Elvano tersenyum maklum, walaupun dalam hati mungkin sudah pasrah. Anak satu ini memang... berbeda. Sementara itu, di kursi belakang, Elvano memperhatikan Aya diam-diam. Bukan karena marah atau sebal. Tapi... penasaran. Jarang-jarang dia bertemu perempuan yang nggak peduli sama dia. Kebanyakan cewek berlomba-lomba ingin dekat, mengobrol, bahkan sekadar menyapa saja pakai senyum manis dan suara manja. Aya? Baru kenal, udah kaya mau melempar meja. Bahkan saat mobil berhenti di lampu merah, Aya menghela napas panjang sambil bergumam keras, "Aduh, lambat amat sih. Gue bisa jalan kaki kali lebih cepet." Papa Elvano dan Mama Elvano saling melirik, bingung harus ketawa atau sedih. Elvano malah hampir ketawa beneran. Saat lampu hijau, mobil kembali melaju. Tak lama, Aya menggerutu lagi karena jalanan macet. "Gila, Jakarta makin kacrut aja. Nih orang-orang pada bisa nyetir kagak sih?" katanya sambil mengetuk-ngetuk dashboard. Mama Elvano membelai rambutnya pelan. "Sabar ya, sayang." Aya hanya melotot. "Sabar mulu, sabar mulu. Lama-lama gue jadi biksuni nih." Akhirnya, Elvano nggak tahan. Dia tertawa pelan. Aya langsung menoleh ke belakang. "Apa lo ketawa-ketawa, hah?!" "Enggak kok," jawab Elvano, tetap dengan wajah kalem dan tatapan teduhnya yang terkenal itu. "Lucu aja. Kamu... beda." "Beda kenapa?!" "Beda dari cewek lain." Aya mendengus. "Emang gue peduli?!" Lalu dia kembali menatap ke depan dengan kesal. Di kursi depan, Papa Elvano perlahan menurunkan volume radio. Mama Elvano menatap jalan sambil berdoa dalam hati. Dan Elvano? Dia malah tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya... Dia merasa tertantang. Bukannya menjauh, Elvano justru merasa semakin ingin tahu. Siapa sebenarnya Aya? Dan kenapa... sikap bar-bar begini malah terasa... menyegarkan? --- Begitu sampai di rumah besar milik keluarga Elvano, Aya langsung turun dari mobil tanpa menunggu pintu dibukakan. Dia menatap rumah megah itu sekilas—tinggi, mewah, penuh ukiran dan taman terawat—lalu mengedikkan bahu, tidak terlalu peduli. Sementara Mama dan Papa Elvano sibuk mengurus barang-barang, Elvano berjalan pelan di belakang Aya. "Kamu tinggal di sini, Aya," kata Mama Elvano ramah. Aya hanya mengangguk sekenanya, lalu langsung membuka pintu rumah dengan gaya seenaknya, membuat pelayan-pelayan rumah yang sudah berjejer rapi langsung menahan napas. Langkah Aya mantap, sepatu boots hitamnya menginjak karpet mahal tanpa ragu. Di ruang tengah, Aya melempar jaket ke sofa begitu saja. Mama Elvano tersenyum canggung. "Aya, itu... jaketnya—" "Ya udah. Santai aja, Ma," sahut Aya sambil selonjoran seenaknya. Elvano memperhatikan dengan takjub. Ini rumah super elit. Rumah tempat tamu-tamu penting datang, pejabat, pengusaha papan atas... Dan sekarang, di tengah semua kemewahan itu, ada satu bocah barbar yang merasa ini semua kayak rumah kosan. Rendra, yang tadi ikut nebeng pulang, langsung bisik-bisik ke Elvano, "Bro, sumpah, gue takut dia kebakar karpet mahal lo." Elvano cuma senyum lebar. "Biarkan saja." Sore itu, keluarga Elvano membuat acara makan malam kecil untuk merayakan kelulusan Elvano sekaligus menyambut kedatangan Aya. Makanan-makanan mahal disusun rapi di atas meja panjang. Daging steak premium, salad, sup krim, dan aneka dessert. Semua orang makan dengan sopan. Menggunakan garpu, pisau, dan sendok dengan etika yang sudah diajarkan sejak kecil. Aya? Aya mengambil steak dengan tangan. Dia menggigit daging itu sambil duduk selonjoran di kursinya. Semua pelayan rumah menahan napas. Mama Elvano meneguk air putih cepat-cepat. Papa Elvano hanya bisa pura-pura sibuk mengaduk sup. Sementara Elvano... Dia malah ketawa kecil. Suaranya berat dan hangat. Aya melirik. "Apaan, hah?!" "Kamu... unik," kata Elvano sambil menghela napas panjang. "Dan... seru." Aya menaruh steak di piring dengan gedebuk keras. "Woy! Gue ini manusia biasa, bukan badut buat lo hiburan, ngerti?!" Elvano tertawa makin keras. Pelayan di sudut ruangan hampir pingsan karena takut suasana makin kacau. Aya berdiri, menunjuk Elvano. "Lo jangan suka ketawa-ketawa ya! Kalo gue ngamuk, rumah lo bisa ambruk, tahu?!" Elvano mengangguk serius. "Siap, Bos." Aya melotot, tapi wajah Elvano yang serius malah bikin dia tambah kesel. Dengan kesal, Aya akhirnya keluar dari ruang makan, meninggalkan semua orang melongo. Mama Elvano bergumam kecil, "Yah... Aya belum selesai makan, sayang..." Papa Elvano memijit pelipis. Dan Elvano? Dia tetap di tempat duduknya, tersenyum. Untuk pertama kalinya, makan malam di rumah keluarga Dirgantara... penuh tawa. Penuh kegilaan. Penuh... kehidupan. Dan tanpa Aya sadari, setiap ledakan emosinya... justru membuat Elvano makin sulit mengalihkan pandangan. Seperti magnet. Semakin ditolak, semakin kuat tertarik. --- Aya berjalan keluar rumah, menuju taman belakang yang luas. Dia butuh udara. Butuh ruang untuk mengatur napas supaya tidak melemparkan piring-piring mahal itu ke kepala seseorang. Tepatnya ke kepala si lelaki tampan sok ganteng itu. Di taman, Aya duduk di ayunan yang tergantung di pohon besar. Udara sore mengalir sejuk, wangi bunga samar-samar tercium. Aya mengayun-ayunkan kakinya pelan, berusaha menenangkan diri. Sialan. Baru ketemu orang-orang kaya gitu aja, udah berasa kayak salah tempat. "Gue ngapain sih di sini," gumamnya kesal. Tak lama, langkah kaki terdengar mendekat. Aya langsung melotot ke arah suara. Dan tentu saja... Elvano. Dengan santai, Elvano datang membawa dua gelas minuman. Satu gelas soda dan satu gelas cokelat dingin. Tanpa banyak bicara, dia menyodorkan gelas cokelat ke Aya. Aya menatapnya curiga. "Apaan nih?" "Buat kamu. Katanya cewek barbar perlu tenaga lebih banyak," kata Elvano santai. Aya mendengus, tapi mengambil juga. Setelah menyeruput minuman dingin itu, diam-diam hatinya luluh sedikit. Enak juga. Mereka duduk bersebelahan di taman yang sepi itu. Sesekali terdengar suara burung. Sesekali hanya sunyi, hanya napas mereka berdua yang terdengar. "Kenapa kamu marah terus?" tanya Elvano tiba-tiba. Aya mengernyit. "Emang lo pikir semua orang harus manis kaya cewek-cewek bucin itu?" Elvano tersenyum kecil. "Nggak. Justru... aku suka yang beda." Aya mendengus lebih keras. "Gue bukan buat lo suka." Elvano tidak membalas. Dia hanya menatap lurus ke depan. Matanya memandangi langit yang mulai berwarna oranye, sambil menahan senyum kecil yang entah kenapa makin sulit dikendalikan. Saat Aya kembali menyeruput minuman dan mendongak ke langit, Elvano berpikir... Mungkin di dunia ini ada banyak wanita cantik. Banyak wanita sopan, baik, anggun, dan lembut. Tapi tidak semua bisa membuat hatinya berdetak lebih cepat hanya karena... marah-marah sambil selonjoran. Tidak semua bisa membuat hatinya hangat hanya karena... melempar jaket sembarangan. Dan mungkin... Untuk pertama kalinya, dia mengerti... Kenapa orang jatuh cinta... tanpa alasan. "Suatu hari," gumam Elvano pelan, hampir tak terdengar. Aya melirik sekilas. "Apa?" Elvano menggeleng pelan. "Nggak apa-apa." Aya mengernyit, tapi malas memperpanjang. Di dalam hatinya, ada sedikit... sangat sedikit... rasa aneh. Tapi cepat-cepat dia hempas rasa itu. Mana mungkin dia suka lelaki sok tampan yang kerjanya ketawa-tawa nggak jelas begitu. Tidak mungkin. Pasti. Dengan pikiran masing-masing yang ribut sendiri, mereka tetap duduk di bawah langit senja. Dua dunia berbeda. Dua hati keras kepala. Tapi untuk pertama kalinya, garis takdir mereka diam-diam mulai saling melilit... pelan-pelan. Sama seperti ayunan tempat mereka duduk, yang bergerak perlahan... menuju arah yang sama.Pagi itu, Desa Suka Maju kembali sibuk seperti biasa. Di warung Bu Mimin, aroma kopi hitam bercampur bau gorengan hangat membuat beberapa bapak-bapak betah duduk berlama-lama.Elvano sedang duduk di teras rumah, mengenakan sarung dan kaos lusuh, mencoba menyiram bunga sambil sesekali menguap. Aya sedang di dapur, bergulat dengan minyak panas dan suara Rafi yang nyanyi lagu TikTok.Damai. Sederhana. Nyaman.Sampai terdengar suara motor berhenti tepat di depan pagar.Brmm. Cekik. Berhenti mendadak.Aya melongok dari balik jendela. Elvano ikut menoleh ke arah suara itu.Tampak seorang perempuan dengan blazer krem, celana panjang, dan sepatu heels turun dari motor… bukan motor biasa, tapi matic elegan berwarna merah marun. Di boncengannya, ada anak perempuan kecil berambut sebahu, sekitar 5 tahunan, mengenakan dress kuning dan topi lebar.Elvano membeku. Matanya berkedip dua kali.Aya keluar, masih dengan celemek bertuliskan “Chef Is Bar-Bar”, melipat tangan di dada.“Siapa?” tanya Aya ce
Hari Senin pagi, gang Cempaka mendadak heboh. Bukan karena ribut tetangga atau bocor got, tapi karena kabar mengejutkan: Aya mencalonkan diri jadi Ketua PKK!Elvano yang sedang sarapan roti isi sarden langsung tersedak begitu mendengar pengumuman dari pengeras suara masjid.> “Diberitahukan kepada seluruh warga… bahwa calon Ketua PKK terbaru, Ibu Aya—istri dari Ketua RW kita—akan menyampaikan visi dan misinya sore ini di pos ronda.”Elvano menoleh cepat. “Ay… kamu serius nyalon?”Aya sedang memotong cabai di dapur. Tanpa menoleh, dia menjawab santai, “Lah, kenapa enggak? Masa ketua RW-nya kamu, Ketua PKK-nya Bu Tati terus. Gak balance.”“Tapi Ay… kamu kan… galak,” ucap Elvano hati-hati.Aya menoleh tajam, pisau di tangan kanan, cabai di tangan kiri.“Justru karena aku galak. PKK butuh yang galak. Biar ibu-ibu itu gak saling rebutan mic pas arisan. Gak saling intip panci tetangga. Gak saling sok tahu soal bumbu rendang.”
Pagi pertama sebagai Ketua RW, Elvano bangun lebih awal. Ia menyeduh kopi, mencatat daftar rencana kerja di buku kulit coklat, dan sesekali melirik ke arah Aya yang masih tertidur, mulut sedikit menganga, rambut acak-acakan, dan selimut setengah lepas.Elvano tersenyum.“Ini pemilik hatiku dan sekaligus ketua tim orasi paling barbar sedunia.”Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Dari arah dapur terdengar…“PRUKK!!”Aya tergagap bangun. “ADA BOM?!”Ternyata ember bocor yang biasa dipakai menampung air di dapur, jatuh karena penuh dan licin. Air membasahi hampir seluruh lantai.“ELVANO! INI GIMANA?! LANTAI KAYAK KOLAM RENANG MINI!”Elvano segera menghampiri sambil membawa pel. “Maaf, tadi malam aku lupa mindahin air hujan.”Aya melipat tangan di dada. “Ketua RW kok gak bisa ngurus ember bocor? Nanti warga tahu, bisa jadi headline: ‘RW Baru Gagal Atasi Banjir Skala Ember.’”---Tapi
“Van, kamu tahu gak... aku mulai curiga sama cara pandang Ibu RT ke kamu belakangan ini,” ucap Aya sambil menyuapi Raka, anak tetangga yang sedang titip sementara karena ibunya ikut lomba senam.Elvano yang baru pulang kerja membuka jasnya, menaruh tas di sofa, dan menjawab tenang, “Lho? Kenapa emangnya?”Aya menyipitkan mata. “Tiap kamu lewat, dia senyum-senyum sambil nyari alasan nyiram tanaman. Padahal tanamannya itu... kaktus. Nyiram tiap sore bisa jadi tenggelam tuh tanaman.”Elvano tertawa kecil. “Mungkin dia cuma ramah aja.”Aya meletakkan sendok dan menatap Elvano lurus. “Ramah itu beda tipis sama modus.”Elvano mengangkat tangan menyerah. “Oke, oke. Tapi serius nih, kamu tahu gak? Ada kabar, katanya Ketua RW sekarang mau pensiun, dan ibu-ibu RT malah mau... nyalonin aku jadi Ketua RW.”Aya refleks bangkit. “APA?! Jadi Ketua RW? Van! Kamu belum siap mental buat dunia gelap itu!”Elvano bingung. “Gelap?”
Hari itu dimulai seperti biasa. Aya terbangun dengan wajah masih bantal, rambut acak-acakan seperti singa kelaparan, dan suasana hati... lumayan. Elvano baru saja menyeduh kopi ketika Aya keluar dari kamar sambil nyeret selimut.“Aku mimpi kamu nikah lagi,” gerutu Aya.Elvano menoleh dengan wajah polos. “Waduh... aku selamat nggak di mimpi itu?”“Nggak. Aku tonjok kamu sampai masuk got.”Elvano cuma tersenyum dan menyerahkan segelas susu hangat. “Makanya jangan nonton sinetron sebelum tidur.”Aya mendesis pelan.Namun ketenangan pagi itu pecah saat suara notifikasi HP terdengar bertubi-tubi.Aya membuka grup WA RT bernama “Ibu-Ibu RT 07 Jaya Selalu”. Notifikasi mencapai 137 pesan belum dibaca.Dan semuanya... tentang dirinya.> “Katanya si Aya itu udah ambil uang arisan tapi nggak nyetor lagi.”“Iya bener, Bu Yuyun cerita. Katanya buat beli masker Korea sama lip tint.”“Tapi uangnya bukan cuma 100 ribu, Bu. Katanya dua juta!”“Waduh... suaminya kaya, kok istrinya kayak gitu ya?”Aya m
Pagi itu, udara di rumah mereka terasa lebih segar dari biasanya. Aya bangun lebih dulu dari Elvano—hal yang sangat jarang terjadi. Ia berjalan pelan-pelan ke dapur, menyapu rambutnya ke belakang dengan jepitan bebek warna-warni, lalu mulai memasak sarapan sambil bersenandung pelan.“Iya, Riko,” gumamnya pada boneka yang duduk di pojokan kulkas, “hari ini aku masakin yang spesial buat Papa Elvano. Kan kemarin aku udah bilang sayang, tuh. Jadi harus kasih bukti lewat perutnya.”Tangannya sibuk memecah telur, mengaduk, menumis, dan sekali-sekali mencicipi rasa dengan gaya chef profesional—meskipun bumbu garam dan micin tetap dilempar pakai gayung kecil.Saat Elvano turun dari tangga dengan rambut masih berantakan dan mata sipit mengantuk, ia terhenti di anak tangga terakhir, memandangi pemandangan langka itu: Aya memasak tanpa ngedumel.“Kamu sakit?” tanyanya spontan.Aya menoleh cepat sambil menunjuk sendok penggorengan. “Jangan mulai pagi-pagi udah cari masalah, Van!”Elvano tertawa d