Suasana remang-remang yang berisik oleh musik techno rancak dan cahaya lampu disko yang warna-warni berpendar di atas lantai dansa di tengah ruangan menjanjikan malam yang menyenangkan bagi pengunjung The Glam Expat Club.
Brian datang berdua dengan Richard. Dan mereka mendapat tatapan penuh minat dari para kupu-kupu malam yang bertenger di meja-meja bar dan juga dari sofa-sofa empuk warna merah berlapis vinyl. Tangkapan segar bagi para pekerja malam itu. Penampilan ala eksekutif muda selalu menjanjikan segepok uang rupiah yang nikmat.
"Apa butuh teman malam ini, Mas?" tanya seorang wanita cantik berbodi bak gitar Spanyol berbalut dres merah berkerah dada rendah selutut dengan belahan hingga setengah paha. Lipstiknya semerah gaunnya di bibir tebal seksi miliknya.
Richard menganggukkan kepalanya. "Boleh. Temani kami minum di sofa. Apa bisa kau pesankan sebotol Macallan 12 yo dengan es batu, Miss?" jawabnya.
Sementara Brian tak terlalu memedulikan hostes club tadi, dia tidak suka yang gampangan dan berpenampilan terlalu mencolok. Wanita yang vulgar menampilkan segalanya apa adanya dan itu akan cepat membuatnya bosan. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan luas tersebut. Sayangnya tak ada yang menarik saat ini baginya.
Maka dia pun mengikuti Richard membanting bokongnya ke sofa empuk berlapis vinyl yang ditempatkan melingkar membentuk huruf U di sekitar lantai dansa serta panggung setinggi 2 meter.
"Loe tau nggak yang jadi daya tarik night club ini apa?" pancing Richard sambil duduk bertumpang tali santai menyandar pada sofa dengan tubuh bergoyang pelan mengikuti irama musik rancak dari DJ.
Dengan terus terang Brian menggelengkan kepalanya cuek. "Apaan emang?" sahutnya.
"Kabaret shownya. Ada pertunjukan semacam pantomim musik gitu pake nari-nari, serulah pokoknya. Loe mesti nonton deh! Pemain kabaretnya cantik-cantik," terang Richard yang sudah beberapa kali mengunjungi The Glam Expat Club sebelumnya.
Cerita sobatnya membuat Brian menaikkan sebelah alisnya dan penasaran seperti apa wanita kabaret itu. Kalau seperti hostes atau PSK, dia malas untuk mengencani wanita seperti itu. Membayar demi kepuasan seksual sebenarnya sah-sah saja, tetapi wanita bekas pakai banyak orang membuatnya risih. Dia tak ingin cari penyakit sekalipun sedang butuh seorang istri bayaran.
Wanita bernama Eva yang memesankan minuman untuk mereka berdua pun bergabung di sofa dan duduk di sebelah Richard. Dia tahu Brian tak tertarik kepadanya. Waiter yang membawakan minuman keras pesanan Brian meletakkan 3 gelas berisi es batu di meja sofa lalu menuangkan cairan berwarna kecoklatan bening dari botol tinggi yang dipesan tamunya.
"Miss, kabaretnya mulai kapan?" tanya Richard kepada Eva yang menemaninya minum dan bergelanyut manja di sebelahnya.
Eva menatap mesra tamunya sambil menjawab, "Sebentar lagi seharusnya—"
Tak perlu banyak kata dari Eva, tabir kain warna hitam yang menutupi panggung tersibak ke kanan dan kiri bersamaan. Musik heboh ala kabaret mulai mengalun nyaring diikuti sekelompok penari laki-laki dan perempuan yang memainkan peranan.
Kalau dari lagunya sebagian besar orang yang lahir dari tahun 1990an pasti bisa menduga lakon yang dimainkan adalah film Pretty Woman yang dibintangi Julia Roberts dan Richard Gere.
Seorang wanita penari yang berpenampilan sensual melenggak-lenggok memerankan Julia Roberts yang mendatangi penari pria tampan yang berperan sebagai Richard Gere. Tarian seolah berkenalan lalu berkejar-kejaran dengan tarian putaran seperti balet sederhana.
"Wow, so pretty!" Brian bersiul tak mampu melepaskan tatapannya dari wanita penari kabaret utama di atas panggung. Wanita itu menari-nari dengan tawa ceria mengikuti irama lagu Pretty Woman dari penyanyi lawas pria yang dia tak tahu siapa namanya.
"Hey, Brian. Apa dia tipe kesukaan loe?" tanya Richard dengan tawa kering seakan tak percaya dengan selera sobatnya itu.
Senyuman bandel terukir di wajah tampan Brian, dia menoleh ke arah Richard sebentar seraya berkata, "Wanita cantik itu sangat sexy, Bro!"
Eva yang mendengar pujian Brian untuk wanita penari kabaret itu sontak masam raut wajahnya. Dia pun berkata, "Namanya Suzy Malika, dia bintang kabaret di sini. Sayang orangnya jual mahal dan tidak melayani pria iseng untuk mendapat uang."
Kepala Brian sontak menoleh ke Eva. Bingo! Itu yang dia cari, wanita yang bersih dan tidak dijamah sembarang pria. Masalah harga cincay lah, pasti seorang penari kabaret pun butuh uang yang berlimpah bukan?
Musik heboh pengiring tarian kabaret pun usai dan tirai panggung ditutup kembali seiring para pemain kabaret membungkukkan badan memberi hormat kepada para penonton yang bertepuk tangan riuh dan bersiul-siul liar.
Brian masih menatap serius kepada Eva seraya mengatakan, "Apa kau bisa memanggilkan Suzy Malika kemari? Aku akan membayarmu nanti tanpa harus melayaniku, anggap saja ongkos negosiasi."
Kilatan ketamakan nampak jelas di mata Eva, dia pun segera membalas tawaran Brian dengan nada riang, "Tunggulah di sini, Mas. Saya akan panggilkan Suzy secepatnya!" Segera saja Eva bangkit dari sofa lalu bergegas menuju ke arah belakang panggung untuk mencari wanita penari kabaret yang diinginkan tamunya.
Selepas kepergian Eva dari sofa, Richard pun berkata, "Gue nggak paham sama mau loe, Bri. Jelasin dong maksud loe manggil tuh penari kabaret!"
"Intinya gue lagi butuh istri bayaran, ceritanya panjang pokoknya. Loe tau sendiri gue mana ada waktu buat ngedate bla bla bla, cuma kalo disuruh sewa PSK gue jengah. Ini si Suzy cocok sama tipe yang gue demen. Kita liat aja ntar nih, dia setuju kagak sama tawaran gue!" tutur Brian menyeringai misterius.
Dari arah back stage, Eva menggandeng tangan Suzy Malika berjalan mendekati sofa dimana kedua tamunya sedang duduk berbincang santai. Sesampainya di sana, Eva pun memperkenalkan tamunya ke Suzy.
"Suz, ini namanya Mas Brian dan yang itu Mas Richard. Kalo yang minta dikenalin ke kamu yang Mas Brian. Sana duduk di sebelahnya aja ... kosong 'kan?" ujar Eva sok ramah karena ada udang di balik bakwan.
Dengan langkah ragu-ragu Suzy pun menghampiri sofa kosong di samping Brian. Tempatnya agak sempit pikirnya, tetapi dia tetap duduk saja.
Brian tersenyum dengan tatapan menilai yang kentara dari ujung kepala hingga ujung kaki wanita itu. Dia pun mulai berbincang, "Sudah lama kerja jadi penari kabaret, Miss?"
"Lumayan, Mas. Sudah jalan 2 tahun belakangan ini," jawab Suzy kaku, dia bukan berprofesi sebagai wanita pendamping tamu club.
Tanpa membuang waktu karena hari mulai larut malam dan dia harus bekerja di kantornya besok pagi. Brian pun mengutarakan saja maksudnya kepada Suzy Malika, "Sebutkan hargamu, Miss! Aku bisa memberimu uang banyak kalau kamu setuju menjadi istri sementara untukku."
Sedikit terperangah, tetapi itu hal yang wajar terjadi di dunia hiburan malam. Suzy Malika pun bertanya dengan nada tertarik, "Istri? Apakah aku juga harus melayanimu di ranjang ataukah hanya status palsu saja, Mas?"
"Kalau aku butuh servis, apa kamu keberatan?" balas Brian dengan tatapan menilai wanita penari kabaret itu. Ada nada tertarik dari jawaban Suzy dan dia menunggu kepastiannya.
Liburan tanggal merah nasional kali ini, Indra mengundang kakak iparnya untuk bercengkrama bersama keluarga kecilnya di halaman belakang rumah yang dia buat seperti danau buatan dengan anjungan kayu Jati dari Kalimantan yang dia pesan khusus dulu."Hai, Thalita, Indra! Wow, gila gede banget rumah kalian yang baru!" seru Suzy ketika menjumpai pasangan itu di area santai di halaman belakang rumah megah mereka.Thalita tertawa riang menyambut kakak iparnya dengan pelukan hangat. Dia pun menjawab, "Yang bosenan dan suka nomaden Mas Indra tuh, Mbak Suz!""Wajarlah, anak kita sudah empat jadi butuh ruang gerak yang lebih luas 'kan, Cayangku!" jawab Indra ringkas dan logis.Keempat buah hati mereka; Gregory, Aiden, Peter, dan Chloe bermain bebas di lantai kayu yang dipelitur licin berhadapan langsung dengan danau. Bocah-bocah imut dan Gregory 9 tahun yang tertua itu nampak girang didatangi oleh kedua sepupu mereka yaitu William dan Jeremy. Tawa ceria diselingi bahasa anak-anak memeriahkan su
Sosok yang dijemput oleh Hendrawan di Bandara Soekarno-Hatta sore itu bukan sembarang perempuan. Jantung pemuda yang sudah lama menjomblo belasan tahun lamanya tersebut berdetak kencang seakan nyaris lompat dari dadanya menatap sosok berambut brown gold panjang sepunggung dengan sepasang mata birunya."Hello, Handsome! Terima kasih sudah menjemputku lagi. Apa kabar?" Miss Veronica Barnfield melemparkan senyum manisnya kepada Hendrawan seraya berjabat tangan."Hai juga, Cantik. Kabarku baik. Wow, rambut kamu sudah panjang semenjak kita berpisah di Denpasar. Jadi ada pekerjaan dengan Boss Brian ya makanya kamu datang ke Jakarta?" balas Hendrawan seraya mengambil alih koper dari tangan Vero.Namun, wanita berdarah Inggris itu enggan menjawabnya langsung. Dia hanya tersenyum misterius seraya berkata, "Ada deh pokoknya!""Kalau bukan karena pekerjaan, kenapa dong kamu jauh-jauh ke Jakarta, Baby?" tanya Hendrawan dengan penasaran. Dia memasukkan koper ke bagasi belakang mobil pribadinya yai
"Halo, apa kabar, Mas Brian?" sapa Suzy Malika dengan keceriaan yang susah payah dia tampilkan.Brian pun membalasnya dengan senyuman tulus usai menghela napas. Ada kesedihan yang tersirat dalam raut wajahnya. Namun, Brian tetap membalas sapaan istrinya yang selalu menjadi wanita terindah di hidupnya, "Hai, Suzy Sayang. Kabarku selalu baik. Selamat datang kembali di Jakarta. Ayo kita pulang ke rumahku!" "Apa kamu yakin bisa merawat puteriku di rumahmu, Brian? Andaipun tidak mampu, aku masih kuat untuk merawat Serena. Hubungi saja nomor ponselku kalau kamu berubah pikiran, okay?" ujar Tuan Harry Livingstone dengan nada tegas yang pasti dipahami oleh menantunya."Baik, Pa. Saya mengerti, biarkan saya mencoba merawat Serena terlebih dahulu," jawab Brian sekalipun nampak ketidak yakinan dalam ucapannya yang ditangkap oleh ayah dan anak itu.Suzy mengangguk meyakinkan papanya untuk melepaskan kepergiannya bersama Brian. Akhirnya Tuan Harry Livingstone menepuk-nepuk bahu Brian sebelum beli
Proses fisioterapi kedua kaki Suzy Malika yang cedera akibat tabrak lari yang dilakukan oleh Bella telah berlangsung selama nyaris setahun. Atas izin dari fakultas, Suzy menjalani kuliah secara daring terkait keterbatasan fisik yang dia alami. Namun, sisa satu semester kuliah yang harus dia jalani pada akhirnya berhasil ditutup dengan sempurna. Nilai ujian assesment semester 8 Suzy sangat bagus sehingga diputuskan layak diwisuda dengan menilik seluruh nilai mata kuliah lengkap beserta nilai sidang skripsinya yang sempurna, A. Akan tetapi, wisuda itu pun dijalani secara daring saja dari Amerika Serikat dan duduk di kursi roda."Selamat atas wisudamu, Darling. Papa sangat bangga karena kamu telah berjuang mendapatkan gelar Sarjana Psikologi di tengah segala kelemahan yang kamu derita, Serena!" ujar Tuan Harry Livingstone penuh rasa haru hingga mata coklatnya berkaca-kaca."Terima kasih atas dukungan dan juga pendampingan Papa untukku. Itu sangat berarti buatku pribadi. Ini saat-saat te
"Hooeekk hooeekk hooeekk!" Suara mual-mual di pagi hari dari arah dalam kamar mandi itu membangunkan Indra dari tidur panjangnya pasca semalam puas bermain kuda-kudaan bersama istri kesayangannya. Dia pun segera bangkit dari tempat tidur dan refleks menoleh ke kotak tempat tidur bayi. Namun, Gregory masih terlelap tanpa suara di dalam sana."Tha, apa kamu sakit?" tanya Indra cemas dari ambang pintu kamar mandi sebelum menghampiri perempuan muda yang sedang berjongkok menghadap ke kloset yang terbuka itu.Wajah istrinya pucat pasi dan tangannya pun dingin. Indra yang tak kunjung mendapat jawaban dari Thalita pun kesal lalu menegurnya, "Kok nggak dijawab sih? Kamu kenapa ini, Tha?""Ini kayaknya morning sick, Mas. Ngerti nggak sih?" jawab Thalita dengan lemas. Kemudian dia berkumur di wastafel dengan air keran. Suaminya menggendong Thalita kembali ke tempat tidur lalu membaringkan tubuhnya yang lemah di tengah ranjang. Indra terdiam karena bingung memikirkan istrinya yang hamil lagi s
"OEEEKKK ...OEEKK!" Suara tangis bayi nyaring terdengar di tengah malam sunyi.Gregory kecil terbangun karena lapar dan juga pampersnya sudah penuh. Dia tidur di kotak keranjang khusus yang ditutupi kelambu tipis anti nyamuk warna biru muda. Sudah hampir lima menit penuh dia menangis, tetapi mama cantiknya masih tertidur nyenyak dalam pelukan papa gantengnya. Indra yang mengetahui masa nifas Thalita telah usai tak mau melewatkan kesempatan menghajar wanita cantik kesayangannya beronde-ronde di atas ranjang malam ini. Alhasil, putera sulung mereka terabaikan karena orang tuanya kelelahan bercinta."Ohh ... bising banget sih kayak ada kucing jantan minta kawin! Hoamph!" Indra merepet sambil menguap karena kantuk, dia tidak menyadari bahwa itu adalah suara tangis anaknya sendiri.Thalita pun terbangun karena gerakan lasak badan besar suaminya di sampingnya. Dia mendengar tangisan buah hatinya dan langsung bangkit dari tempat tidur. Sementara Gregory yang kesal diabaikan bermenit-menit l