"Ardy, kamu tahu ini tidak mudah. Keluargamu pasti tidak akan pernah menerimaku."
Ardy mendekat, mengangkat dagu Kinasih dengan lembut. "Demi dirimu, badai akan kuterjang, gunung akan kudaki, dan dunia pun akan kulawan, asal aku bisa terus bersamamu, Sayang," ucap Ardy, tangannya menggenggam lembut jemari wanita yang sangat ia cintai. Kinasih, gadis desa berparas cantik yang biasa dipanggil Asih, menatap mata Ardy yang berbinar. Hatinya berdesir mendengar kata-kata itu. Selama ini, ia hanyalah seorang pemetik kopi dari keluarga miskin, sementara Ardy adalah anak dari pemilik perkebunan yang kaya raya. Namun, cinta mereka tumbuh secara alami, melampaui sekat-sekat sosial yang menghalangi. Mereka merebahkan diri di atas hamparan rumput di antara tanaman kopi yang rimbun. Ardy berbaring menyamping, memandang wajah Asih yang terlihat sangat cantik diterpa cahaya senja. Ardy menarik Asih mendekat, saling berhadapan. Ia menabrakkan bibirnya pada bibir Asih dengan kerinduan yang menggila. "Sayang ...." Nafas Ardy semakin memburu. Jemari Ardy menelusuri setiap lekuk tubuh Asih. Sementara Asih hanya diam tak mengerti. Maklum saja, ini kali pertama ia menjalin hubungan dengan seorang pria. "Asssh ...." Asih meremas bahu Ardy dan mendesah pelan saat bibir Ardy mendarat di lehernya yang jenjang. Tak butuh waktu lama. Ardy melepas gaun lusuh gadis itu, menyisakan tubuh polos di bawah langit senja. Kemudian, ia melepas kemejanya sendiri, menghempaskannya ke tanah. "Sssh .... Jangan Ardy," kata Asih mencoba menghentikan. Namun, Ardy yang sudah tidak bisa menahan hasratnya, semakin liar menelusuri tubuh kekasihnya itu. "Aku sangat mencintaimu, Sayang, dan aku sangat menginginkanmu," bisik Ardy. Asih menggeliat, menjerit kecil saat sesuatu dari tubuh Ardy masuk penuh ke dalamnya. "Assh, sakit ...." Asih merintih. "Sssst ... jangan bersuara, Sayang. Nanti ada yang mendengar," bisik Ardy menghentikan rintihan Asih dengan ciuman lagi. Mereka bercinta. Ardy bergerak liar di atas tubuh Asih. Rasa sakit pun perlahan menghilang, dikalahkan gelombang kenikmatan yang terus memuncak. Hingga akhirnya, Ardy mengerang, tubuhnya mengejang penuh kepuasan. "Sayang, aku mencintaimu." Ardy mengecup kening Asih, merebahkan tubuhnya disamping Asih dengan napas terengah-engah. ©©© Dua bulan berlalu .... "Tidak biasanya Ardy lama," gumam Asih. Gadis cantik itu duduk dengan gelisah di atas bangku kayu yang sudah dimakan usia. Pandangannya menyapu jalanan berbatu yang mengarah ke perkebunan kopi tempat dirinya berada. Sudah hampir satu jam ia menunggu, tapi sosok yang ditunggunya belum juga muncul. Jemarinya menggenggam bungkusan kecil yang tersembunyi di saku rok lipatnya. Sebuah senyum tipis tersungging di bibir mungilnya setiap kali tangannya menyentuh bungkusan itu. Hari ini adalah hari istimewa, di mana hidupnya akan berubah selamanya. Dari kejauhan, terdengar derap langkah tergesa-gesa. Asih menegakkan tubuhnya, matanya berbinar penuh harap. Sosok lelaki berjaket denim yang dinanti akhirnya muncul, berlari terengah-engah dengan peluh membasahi dahinya. "Maaf, kamu lama menunggu," ucap Ardy dengan napas tersengal, tangannya bertumpu pada lutut sementara dadanya naik turun berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin. Wajahnya yang tampan memerah karena berlari. "Tadi, ada masalah di kantor yang tidak bisa kutinggalkan." Asih tersenyum manis, jemarinya menyeka keringat di dahi pria yang telah menjadi kekasihnya selama lima bulan itu. "Tidak apa-apa," bisiknya. "Yang penting kamu sudah di sini sekarang." Ardy duduk di samping Asih, masih berusaha mengatur napasnya. Matanya menatap teduh wanita yang dicintainya itu. "Jadi ... apa kejutan yang ingin kamu berikan, Sayang?" tanyanya, menggenggam tangan Asih yang terasa dingin meski hari cukup terik. Asih menatap Ardy dengan mata yang berbinar-binar, seolah ada jutaan bintang yang menari di kedua iris hazelnya. Jantungnya berdegup kencang. Inilah saat yang ditunggu-tunggu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengeluarkan bungkusan kecil dari sakunya. "Aku hamil," bisik Asih, sementara tangannya menyodorkan alat tes kehamilan dengan dua garis merah yang tampak jelas. Kedua mata Ardy membelalak lebar. Tubuhnya tiba-tiba menegang, dan genggaman tangannya pada jemari Asih mengendur. Wajahnya yang semula sumringah perlahan berubah pucat pasi, seolah seluruh darah tersedot dari tubuhnya. Ia menatap benda dalam genggamannya dengan tangan yang bergetar hebat, seakan sedang memegang bara api yang panas. "Ardy?" Asih memanggil namanya ragu, keningnya berkerut melihat reaksi kekasihnya yang jauh dari ekspektasi. Seharusnya, ini menjadi momen bahagia mereka berdua. Seharusnya Ardy memeluknya erat, menciumi wajahnya, dan berjanji akan segera menikahinya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. "Apakah kamu tidak suka dengan kejutan yang aku berikan?" Ardy mengusap wajahnya dengan kasar, lalu menghela napas berat. Matanya tak berani menatap langsung mata Asih yang mulai berkaca-kaca. Ada jeda panjang yang menyiksa sebelum akhirnya ia memberanikan diri bersuara. "Maaf Asih," ucapnya dengan suara serak, setiap kata terasa seperti silet yang mengiris tenggorokannya sendiri. "Aku tidak bisa menikahimu." Asih tersentak, jantungnya seakan berhenti berdetak. "Apa maksudmu?" "Sebenarnya ...," Ardy menelan ludah dengan susah payah, "... aku sudah mempunyai istri dan dua anak di Jakarta." Dunia Asih seakan runtuh dalam sekejap. Telinganya berdenging, pandangannya mengabur. Ia menatap Ardy dengan tatapan tak percaya, berharap pria di hadapannya ini sedang membuat lelucon yang sama sekali tidak lucu. "Tidak, itu tidak mungkin."Asih dan Galih langsung menoleh."Eh, Ibu sudah pulang," kata Asih sambil mengusap keringat di dahinya. "Aku sedang menyiapkan makan sore.""Mau ibu bantu?""Sudah selesai, Bu," kata Galih sambil tersenyum. Ia mengambil serokan dan memindahkan ikan yang sudah matang ke dalam piring."Ya sudah, kalau begitu Ibu mau mandi dulu.""Aku juga, Bu," kata Galih. "Tapi Ibu duluan saja, nanti saya belakangan."Bu Darmi mengangguk dan meletakkan bakul di atas lantai semen di pojok ruangan seperti biasa, kemudian melangkah ke luar rumah menuju kamar mandi tradisional yang terletak di belakang rumah.Kamar mandi itu sangat sederhana, terbuat dari dinding bambu dengan atap seng. Di dalamnya hanya ada bak air besar dari semen dan gayung plastik. Tidak ada kloset modern, hanya lubang tradisional yang sudah lazim digunakan di desa-desa terpencil.Setelah semua selesai mandi, mereka berkumpul di ruang tengah yang tidak terlalu luas untuk makan bersama. Tikar pandan tua digelar di lantai, di atasnya ter
Satu minggu berlalu dengan tenang. Pagi itu, Bu Darmi baru saja keluar rumah untuk berjualan jamu seperti biasa. Bakul anyaman bambu sudah tertata rapi di punggungnya, berisi berbagai macam jamu tradisional yang masih hangat.Ketika melewati warung Pak Bambang yang terletak tidak jauh dari rumahnya, Bu Darmi disapa oleh beberapa tetangga yang sedang duduk-duduk sambil menikmati teh pagi."Pagi, Bu Darmi!" sapa Bu Ima yang sedang menyeruput teh manisnya. "Mau kemana? Tumben pagi-pagi sekali.""Pagi juga, Bu Ima. Seperti biasa, mau jualan jamu," jawab Bu Darmi sambil tersenyum ramah.Bu Wati, yang duduk di sebelah Bu Ima, ikut menyahut. "Wah, rajin sekali ya Bu. Padahal sekarang kan sudah ada menantu, masa masih kerja keras begitu?"Bu Darmi hanya tersenyum tipis. "Ah, biasa saja kok, Bu. Lagipula, hidup kan harus tetap berusaha.""Iya, sih," timpal Bu Ima sambil mengangguk-angguk. "Tapi semoga saja menantu ibu bisa bantu-bantu, ya. Kan kasihan kalau ibu terus yang kerja keras.""Amin,"
Ardy masih terduduk di atas batu besar itu, jemarinya menelusuri permukaan kasar yang pernah menjadi saksi bisu cinta mereka. Matanya menatap kosong ke arah semak-semak tempat mereka pernah berbagi kehangatan, sementara pikirannya berputar-putar seperti pusaran air.Tidak sedikitpun ia memikirkan anak dan istrinya yang ada di Jakarta. Wajah mereka seakan terhapus dari ingatan, digantikan oleh bayangan Asih yang terus menghantui. Rahangnya mengeras ketika mengingat pernikahan Asih dengan pria yang entah siapa."Aku harus menemui Asih," gumamnya, tangannya mengepal erat. "Pokoknya Asih harus mencabut pernikahannya dengan pria itu. Aku tidak rela anakku mempunyai ayah pengganti."Ardy bangkit dengan gerakan tiba-tiba, namun langkahnya terhenti ketika ingatannya kembali pada ancaman Bu Darmi yang mengatakan akan membongkar semuanya pada ayahnya. Dadanya naik turun, nafasnya tersengal-sengal karena pergolakan batin yang hebat.Sejenak ia goyah, tangannya meremas rambut dengan frustasi. Nam
Sesampainya di rumah, Bu Darmi belum sempat meletakkan bakul jamunya ketika Galih yang baru saja keluar dari kamar, bersiap hendak pergi, langsung menghampiri mereka dengan wajah heran."Loh, mengapa sudah pulang, Bu?" tanya Galih sambil memperhatikan bakul jamu Bu Darmi yang masih penuh. Matanya kemudian beralih pada Asih yang berdiri di samping ibunya dengan wajah pucat dan mata sembab bekas menangis.Bu Darmi melirik Asih sekilas, lalu dengan cepat mencari alasan. "Ah, ini ... katanya Asih mual-mual," ucapnya sambil menurunkan bakul dari punggungnya dengan gerakan sedikit terburu-buru."Mual?" Galih langsung panik, alisnya berkerut dalam. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia segera menghampiri Asih dan dengan lembut menuntunnya masuk ke dalam rumah. "Ayo masuk dulu, jangan berdiri terus."Dengan gerakan cekatan, Galih mengambil air hangat dari termos dan menuangkannya ke dalam gelas. Ia duduk di samping Asih yang terduduk lemah di atas tikar, kemudian menyodorkan gelas tersebut
Dua hari berlalu, saatnya Bu Darmi kembali ke rutinitas, yaitu berkeliling desa untuk berjualan jamu. Kali ini, ia tidak sendirian. Asih bersikeras ingin menemani."Tidak usah, Nak. Kamu istirahat saja di rumah. Kondisimu kan sedang tidak baik-baik saja," kata Bu Darmi sambil menyiapkan bakul jamu.Asih menggeleng keras. "Tidak, Bu. Asih tidak betah terus-terusan di rumah. Asih bosan. Lagipula, jalan-jalan sedikit tidak apa-apa untuk ibu hamil muda.""Tapi nanti kamu capek, Nak.""Asih janji tidak akan memaksakan diri. Kalau capek, nanti Asih langsung bilang. Asih rindu sekali berkeliling desa seperti dulu," rayu Asih sambil menggenggam tangan ibunya.Bu Darmi menghela napas. "Baiklah, tapi jangan sampai memaksakan diri."Sebelumnya, keseharian Asih adalah memetik kopi di perkebunan milik keluarga Wijaya. Namun, sudah dua minggu ini Asih tidak pernah kembali ke perkebunan kopi karena tidak ingin bertemu lagi dengan Ardy."Jamu ... jamu ...." Asih dan Bu Darmi berjalan sambil menawarka
Tiga hari kemudian, pagi yang cerah menyambut hari bahagia Asih dan Galih. Di kamar kecil yang beralaskan tikar pandan, Asih duduk di depan cermin retak yang dipasang di dinding kayu. Bu Darmi dengan tangan gemetar merias wajah putrinya."Tahan ya, Nak," bisik Bu Darmi sambil mengoleskan bedak tipis di wajah Asih. Tangannya yang biasa kasar menangani rimpang-rimpang kini bergerak lembut di wajah putrinya. Asih hanya mengangguk pelan. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tampak pucat, bukan karena riasan, melainkan karena kegugupan yang memenuhi dadanya. Ia mengenakan kebaya putih sederhana, warisan mendiang neneknya. Kain batik yang sudah mulai pudar warnanya diselipkan dengan rapi di pinggang. Rambut hitamnya diikat sanggul sederhana, dihiasi dengan bunga melati yang dipetik Bu Darmi dari pohon di halaman."Cantik sekali putri Ibu," bisik Bu Darmi sambil menyisir anak rambut Asih yang terjuntai di pelipis. Air matanya hampir menetes melihat putrinya yang cantik itu.