LOGINKeira menatap Carlos yang duduk dengan wajah murung di sofa. Sudah beberapa bulan sejak kehamilannya diketahui, dan Carlos benar-benar menahan diri. Tapi dampaknya mulai terlihat—pria itu jadi sering melamun, sering menarik napas panjang, bahkan mulai rajin ibadah.
Keira menghela napas. Jujur, dia mulai kasihan. Setelah melahirkan nanti, dia bakal sibuk mengurus bayi, belum lagi pekerjaan sebagai arsitek. Kalau Carlos tetap seperti ini, bisa-bisa dia jadi suami yang stres. "Aku udah pikir-pikir," kata Keira tiba-tiba, memecah keheningan. Carlos menoleh dengan ekspresi malas. "Pikirin apa?" Keira ragu sejenak, lalu akhirnya berkata, "Gimana kalau kamu nikah lagi?" Carlos terbatuk keras, hampir tersedak air minumnya. "APA?!" Keira tetap tenang. "Aku serius, Carlos. Aku kasihan lihat kamu. Setelah lahiran nanti, aku bakal sibuk. Aku juga nggak bisa selalu menemani kamu. Dan... jujur aja, aku nggak yakin aku bisa bertahan kalau kamu masih hyper seperti ini." Carlos menggeleng cepat. "Enggak! Aku nggak mau! Aku cinta kamu, Keira! Aku nikah sama kamu bukan buat cari istri kedua!" Keira tersenyum tipis. "Tapi kalau begini terus, lama-lama kamu bisa stres. Aku juga kasihan. Aku nggak mau kamu tersiksa, Carlos." Carlos menatapnya dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. "Jadi, kamu rela aku nikah lagi?" Keira mengangguk pelan. "Asal kamu tetap adil dan nggak ninggalin aku dan anak kita." Carlos memijat pelipisnya. "Ini... ini aneh banget. Aku nggak pernah kepikiran. Maksudku, iya, dulu aku nakal, tapi sejak sama kamu, aku nggak pernah lihat wanita lain lagi." Keira tertawa kecil. "Carlos, aku tahu kamu setia. Tapi kita harus realistis. Aku nggak mau kamu depresi gara-gara aku nggak bisa memenuhi kebutuhanmu nanti." Carlos termenung lama. Kemudian dia menatap Keira dengan ekspresi serius. "Jadi kalau aku nikah lagi... kamu bakal baik-baik aja?" Keira mengangguk. "Asal dia wanita baik-baik dan bisa nerima keadaan kita." Carlos masih terdiam. Dalam hati, dia tidak pernah menyangka istrinya sendiri yang akan menyarankan ini. Tapi... apakah dia benar-benar ingin melakukannya? Carlos bersandar di sofa dengan ekspresi frustrasi. Dia mengusap wajahnya beberapa kali, lalu menatap Keira yang masih tenang duduk di hadapannya. "Kamu itu, serius banget sih ngomongnya..." gumam Carlos, masih belum percaya dengan usulan istrinya. Keira tersenyum kecil. "Aku serius, Carlos. Aku mau yang terbaik buat kita berdua. Aku nggak mau kamu tertekan gara-gara aku nggak bisa selalu ada buatmu." Carlos menghela napas panjang. "Keira, kamu ngerti nggak sih? Aku nikah sama kamu karena aku cinta sama kamu. Aku udah insaf. Masa lalu aku udah selesai. Terus sekarang kamu malah nyuruh aku cari istri lagi? Itu tuh kayak... kayak nyuruh orang diet tapi beliin dia satu loyang pizza!" Keira tertawa kecil mendengar analogi suaminya. "Tapi pizza bisa dimakan beramai-ramai, Carlos. Bukan cuma satu orang yang menikmati." Carlos menatapnya dengan wajah tak percaya. "Oh, jadi aku ini sekarang boleh berbagi juga, gitu?" Keira mengangguk sambil tetap tersenyum. "Kalau itu bisa bikin kamu lebih bahagia, kenapa nggak?" Carlos bangkit dari duduknya, "Keira, aku nggak tahu harus mikir gimana. Selama ini aku tuh berusaha banget buat berubah, buat jadi suami yang baik. Sekarang kamu malah nyuruh aku nikah lagi. Aku ini suami macam apa kalau terima saran itu?" Keira tetap bersikap tenang. "Suami yang realistis. Aku nggak mau munafik, Carlos. Aku tahu kamu orangnya hyper, dan aku nggak mau kamu jadi kesusahan gara-gara harus menahan diri terus-terusan." Carlos mengacak rambutnya frustrasi. "Tapi aku juga nggak mau sembarangan cari istri! Lagian, aku nggak mungkin bisa sayang sama perempuan lain kayak aku sayang kamu." Keira menghela napas. "Aku ngerti, Carlos. Aku juga nggak bilang kamu harus buru-buru. Aku cuma minta kamu pikirin ini baik-baik." Carlos berhenti berjalan dan menatap Keira dengan mata penuh kebingungan. "Kamu serius banget, ya?" Keira tersenyum lembut. "Aku cuma nggak mau kamu tersiksa, Carlos. Aku nggak mau kamu depresi atau jadi orang yang berbeda karena terus menahan sesuatu yang sudah jadi bagian dari dirimu." Carlos terdiam lama. Dia tahu Keira ada benarnya. Tapi ini tetap keputusan yang berat. Nikah lagi? Hanya karena dia terlalu kuat di ranjang? Carlos duduk di tepi ranjang, menatap Keira dengan perasaan campur aduk. Dia menggenggam tangan istrinya erat, seperti takut Keira akan menghilang kalau dia melepaskannya. "Jadi... kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini?" Suaranya terdengar serak, nyaris berbisik. Keira mengangguk pelan. "Aku nggak ngelakuin ini karena aku nggak cinta sama kamu, Carlos. Justru karena aku cinta, makanya aku mau yang terbaik buat kamu dan buat kita." Carlos mengusap wajahnya, matanya memerah karena terharu. "Tapi Keira... aku ini nikah sama kamu karena aku mau hidup sama kamu. Aku nggak mau ada perempuan lain. Aku udah selesai dengan masa lalu, aku nggak butuh siapa-siapa lagi." Keira tersenyum lemah. "Aku tahu, Carlos. Tapi kamu sendiri lihat kan apa yang terjadi sama aku? Aku hampir mati. Bukan cuma karena kehamilan ini, tapi karena kamu terlalu... kuat." Carlos meringis, merasa bersalah. "Aku nggak pernah nyangka kalau aku bakal nyakitin kamu sampai segitunya..." Keira mengusap pipinya lembut. "Kamu nggak salah, Carlos. Ini bukan salah siapa-siapa. Kamu memang seperti ini, dan aku tahu kamu sudah berusaha ngerem. Tapi kalau terus kayak gini, lama-lama aku bisa benar-benar mati." Carlos mengepalkan tangannya. "Aku nggak mau kehilangan kamu, Keira..." "Aku juga nggak mau kehilangan kamu," balas Keira dengan lembut. "Makanya aku nyari solusi. Kamu itu terlalu kaya, terlalu perkasa, dan aku sadar kalau aku nggak bisa sepenuhnya mengimbangi kamu. Aku cuma manusia biasa, Carlos. Kalau aku harus memilih antara melihat kamu tersiksa karena harus menahan diri atau berbagi sedikit, aku lebih pilih yang kedua." Carlos menatap Keira dalam-dalam. Hatinya bergejolak. Dia terharu dengan keikhlasan istrinya, tapi di sisi lain, dia juga merasa dilema. "Tapi... siapa yang mau nikah sama aku kalau alasannya kayak gini?" gumamnya. Keira terkekeh. "Carlos, kamu itu miliarder. Kaya raya, tampan, badan bagus, dan... ya, kamu tahu sendiri kelebihanmu yang lain." Carlos memutar bola matanya. "Iya sih, tapi aku nggak mau sembarang orang. Aku nggak bisa sembarangan milih perempuan buat jadi istri keduaku." Keira menatapnya serius. "Itulah kenapa aku mau kita pilih bareng. Aku nggak akan ninggalin kamu sendirian buat mutusin ini." Carlos terdiam lama, hatinya penuh perasaan yang sulit dijelaskan. Dia bersyukur punya istri seperti Keira, tapi juga merasa berat dengan keputusan ini.Edgar baru benar-benar panik saat Mariana berjalan menjauh tanpa menoleh lagi. Bukan karena kata-katanya. Tapi karena satu fakta kecil yang tiba-tiba terasa sangat besar: Itu istrinya yang barusan dia biarkan pergi dengan wajah tenang tapi aura pembunuhan tingkat pasif-agresif. Edgar dengan napas terengah, menyusul Mariana di trotoar. “Mariana!” panggilnya lagi. “Aku cuma bercanda tadi! Aku nggak mikir kamu bakal ngambek—” Mariana berhenti mendadak. Edgar hampir nabrak punggungnya. “Kamu seneng direbutin,” kata Mariana tanpa menoleh. “Itu bukan bercanda. Itu karakter. Edgar membuka mulut. Menutup lagi. Salah semua kata. “Aku cuma… nggak nyangka Dinda bakal sejauh itu,” ujarnya akhirnya. Mariana berbalik perlahan. Senyumnya tipis. Terlalu rapi. “Edgar,” katanya lembut. “Dia nggak ngasih kamu makanan. Tapi kamu masih nikmatin perhatiannya.” “Itu cuma ego sesaat,aku minta maaf mar,aku salah—” “Nah,” potong Mariana. “Dan ego sesaat itu cukup bikin aku sadar
Mariana memilih tempat yang sepi tapi tetap publik. Bukan karena takut ditusuk, melainkan karena takut menonjok Dinda. Sebuah kafe kecil di sudut kota, dengan lampu kuning redup, musik jazz pelan, dan aroma kopi yang—anehnya—bikin perutnya mules, bukan tenang. Dinda datang sepuluh menit telat. Tapi tetap dengan gaya penuh percaya diri: jaket kulit, sepatu boots tinggi, dan senyum yang selalu membuat orang waspada. Begitu dia duduk, dia langsung buka mulut. "Eh, Edgar bilang apemku enak, lho," katanya santai, sambil menaruh tasnya di kursi sebelah. Mariana melotot. Satu kalimat, dan perang sudah dimulai. "Apem?" tanya Mariana datar. Dinda menyeringai. "Yang aku kasih pas di kantor. Yang bulat-bulat, manis, lembut. Dia suka banget katanya. Nambah tiga kali." Mariana mencengkeram cangkir kopi yang belum sempat dia seruput. "Aku tahu apemmu yang itu." Dinda mengangkat alis. "Lah, aku cuma niat baik. Kasih camilan tradisional. Masa sekarang ngasih apem jadi tindakan kriminal?" M
Sore itu, awan menggantung seperti kapas kelabu yang belum sempat dijahit angin. Hawa lengket khas pukul lima sore merambat dari jemuran yang baru saja diangkat Mariana. Ia baru selesai melipat handuk terakhir ketika suara notifikasi ponsel Edgar berbunyi pelan di meja makan.Ponsel itu tidak pernah dikunci. Mereka memang begitu—terbuka, katanya. Tapi Mariana tahu, keterbukaan bisa menjadi hal yang relatif, tergantung siapa yang sedang membuka dan apa yang ditemukan.Pesan itu datang dari nama yang cukup dikenalnya.Dinda:Makasih ya tadi udah nganterin. Ntar dirumah cobain Boluku yaMariana membacanya pelan. Sekali. Lalu dua kali. Jantungnya memukul lebih keras di dada, dan rasa asin seperti meluncur dari ujung lidah sampai ke dasar perut. *Dinda lagi. kemarin Apem sekarang Bolu.Dinda bukan sekedar rekan kerja Edgar. Dia adalah bab lama yang belum pernah benar-benar ditutup. Mantan pacar Edgar semasa kuliah. Cantik, pandai bicara, dan kalau Mariana tidak salah, dulu sempat menulis na
Mariana duduk santai di sofa ruang tamu, kaki selonjor ke meja kopi yang penuh remah-remah biskuit sisa semalam. HP Edgar ada di tangannya—bukan karena mau kepo, tapi karena tadi ia transfer lewat m-banking. Biasa lah… saldo Mariana tinggal empat puluh ribu,semenjak menikah dengan Edgar,fasilitas Mariana dicabut bapaknya. Kayak hubungannya yang tinggal ampas kopi. HP itu jadi korban, bukan karena ia niat ngintip, tapi karena ia yang pegang, dan… manusiawi banget kalau jempol kebablasan ke notifikasi. Pas lagi scroll pelan-pelan, sok nggak niat, sok santai… ada satu notifikasi yang nongol kayak setan dari masa lalu. > Dinda: Edgar, gimana tadi… Apemku enak nggak? Mariana mendadak bengong. Apemku? Apemku??? Apa-apaan ini? Kenapa terdengar begitu… menjijikkan dan sensual sekaligus? Mariana diam. Otaknya langsung loading. Mulut kaku. Mata nanar. Makhluk apakah itu, Edgar? A-P-E-M-K-U? Mariana nggak langsung marah. Nggak. Ia bahkan nggak teriak. Nggak banting HP. Cuma diam. Tapi d
Senja merayap turun ketika Mariana menatap Edgar, suaminya, dengan sorot mata penuh kenal. Ia mencondongkan tubuh, seolah hendak membocorkan rahasia yang tidak semua laki-laki sanggup mendengar. “Kalau kamu mau belajar soal… kekuatan laki-laki,” katanya perlahan, “datanglah ke Mas Carlos.” Edgar mengangkat alis. “Carlos? kakakmu yang nikah enam kali itu?” Mariana tersenyum kecil. Senyum yang mengandung gosip, nostalgia, dan sedikit kasih sayang terhadap kakaknya yang satu itu. “Dulu, iya. Tapi masa lalunya sudah jadi legenda keluarga. Sekarang dia hanya setia pada satu istri. Kamu bakal heran lihat perubahannya.” Edgar terdiam sejenak. Sulit membayangkan lelaki yang pernah heboh dengan empat istri serentak itu kini menjelma menjadi lambang stabilitas rumah tangga. Tapi Mariana melanjutkan pembicaraan dengan, ringan tapi pasti: “Dia lagi di kafe barunya. *Café Del Corazón*. Kamu nggak mungkin kelewatan. Dari luar saja sudah seperti hotel butik.” Ada nada bangga di sua
Jam 21:30. Kamar terasa hening sampai hampir menakutkan, sepi yang membuat setiap detik terdengar terlalu jelas. Lampu kuning remang menyapu sudut-sudut ruangan dengan cahaya yang lembut, tapi cukup untuk menyorot bayangan kami di kasur. Aroma minyak nyong nyong masih tersisa di bantal, menguar samar, membawa kenangan pagi yang hangat dan menenangkan. Mariana baru saja selesai mandi, rambut dibungkus handuk yang mulai basah, daster longgar yang di kenakan melorot setengah ke bahu—sinyal tak tersurat, tapi jelas: “Ayo, kita mulai.” Edgar duduk di ujung kasur, tubuh tegap tapi tegang, wajahnya tampak serius tapi matanya berkilat. Ada sesuatu yang berbeda malam ini. Momen ini sudah lama dinanti, semacam ritual yang ia sebut sebagai “momen malam pertama.” “Sayang,” katanya sambil menyunggingkan senyum penuh percaya diri, “Aku siap. Aku minum jamu Afrika.” Mariana berhenti memegang daster, menatapnya dengan mata membelalak. “JAMU APA?!” Dia buru-buru mengeluarkan botol plastik d







