Home / Romansa / Suami Perkasa / Daripada Mati Kecapekan

Share

Daripada Mati Kecapekan

last update Last Updated: 2025-07-03 02:30:21

Keira menatap Carlos yang duduk dengan wajah murung di sofa. Sudah beberapa bulan sejak kehamilannya diketahui, dan Carlos benar-benar menahan diri. Tapi dampaknya mulai terlihat—pria itu jadi sering melamun, sering menarik napas panjang, bahkan mulai rajin ibadah.

Keira menghela napas. Jujur, dia mulai kasihan. Setelah melahirkan nanti, dia bakal sibuk mengurus bayi, belum lagi pekerjaan sebagai arsitek. Kalau Carlos tetap seperti ini, bisa-bisa dia jadi suami yang stres.

"Aku udah pikir-pikir," kata Keira tiba-tiba, memecah keheningan.

Carlos menoleh dengan ekspresi malas. "Pikirin apa?"

Keira ragu sejenak, lalu akhirnya berkata, "Gimana kalau kamu nikah lagi?"

Carlos terbatuk keras, hampir tersedak air minumnya. "APA?!"

Keira tetap tenang. "Aku serius, Carlos. Aku kasihan lihat kamu. Setelah lahiran nanti, aku bakal sibuk. Aku juga nggak bisa selalu menemani kamu. Dan... jujur aja, aku nggak yakin aku bisa bertahan kalau kamu masih hyper seperti ini."

Carlos menggeleng cepat. "Enggak! Aku nggak mau! Aku cinta kamu, Keira! Aku nikah sama kamu bukan buat cari istri kedua!"

Keira tersenyum tipis. "Tapi kalau begini terus, lama-lama kamu bisa stres. Aku juga kasihan. Aku nggak mau kamu tersiksa, Carlos."

Carlos menatapnya dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. "Jadi, kamu rela aku nikah lagi?"

Keira mengangguk pelan. "Asal kamu tetap adil dan nggak ninggalin aku dan anak kita."

Carlos memijat pelipisnya. "Ini... ini aneh banget. Aku nggak pernah kepikiran. Maksudku, iya, dulu aku nakal, tapi sejak sama kamu, aku nggak pernah lihat wanita lain lagi."

Keira tertawa kecil. "Carlos, aku tahu kamu setia. Tapi kita harus realistis. Aku nggak mau kamu depresi gara-gara aku nggak bisa memenuhi kebutuhanmu nanti."

Carlos termenung lama. Kemudian dia menatap Keira dengan ekspresi serius. "Jadi kalau aku nikah lagi... kamu bakal baik-baik aja?"

Keira mengangguk. "Asal dia wanita baik-baik dan bisa nerima keadaan kita."

Carlos masih terdiam. Dalam hati, dia tidak pernah menyangka istrinya sendiri yang akan menyarankan ini. Tapi... apakah dia benar-benar ingin melakukannya?

Carlos bersandar di sofa dengan ekspresi frustrasi. Dia mengusap wajahnya beberapa kali, lalu menatap Keira yang masih tenang duduk di hadapannya.

"Kamu itu, serius banget sih ngomongnya..." gumam Carlos, masih belum percaya dengan usulan istrinya.

Keira tersenyum kecil. "Aku serius, Carlos. Aku mau yang terbaik buat kita berdua. Aku nggak mau kamu tertekan gara-gara aku nggak bisa selalu ada buatmu."

Carlos menghela napas panjang. "Keira, kamu ngerti nggak sih? Aku nikah sama kamu karena aku cinta sama kamu. Aku udah insaf. Masa lalu aku udah selesai. Terus sekarang kamu malah nyuruh aku cari istri lagi? Itu tuh kayak... kayak nyuruh orang diet tapi beliin dia satu loyang pizza!"

Keira tertawa kecil mendengar analogi suaminya. "Tapi pizza bisa dimakan beramai-ramai, Carlos. Bukan cuma satu orang yang menikmati."

Carlos menatapnya dengan wajah tak percaya. "Oh, jadi aku ini sekarang boleh berbagi juga, gitu?"

Keira mengangguk sambil tetap tersenyum. "Kalau itu bisa bikin kamu lebih bahagia, kenapa nggak?"

Carlos bangkit dari duduknya, "Keira, aku nggak tahu harus mikir gimana. Selama ini aku tuh berusaha banget buat berubah, buat jadi suami yang baik. Sekarang kamu malah nyuruh aku nikah lagi. Aku ini suami macam apa kalau terima saran itu?"

Keira tetap bersikap tenang. "Suami yang realistis. Aku nggak mau munafik, Carlos. Aku tahu kamu orangnya hyper, dan aku nggak mau kamu jadi kesusahan gara-gara harus menahan diri terus-terusan."

Carlos mengacak rambutnya frustrasi. "Tapi aku juga nggak mau sembarangan cari istri! Lagian, aku nggak mungkin bisa sayang sama perempuan lain kayak aku sayang kamu."

Keira menghela napas. "Aku ngerti, Carlos. Aku juga nggak bilang kamu harus buru-buru. Aku cuma minta kamu pikirin ini baik-baik."

Carlos berhenti berjalan dan menatap Keira dengan mata penuh kebingungan. "Kamu serius banget, ya?"

Keira tersenyum lembut. "Aku cuma nggak mau kamu tersiksa, Carlos. Aku nggak mau kamu depresi atau jadi orang yang berbeda karena terus menahan sesuatu yang sudah jadi bagian dari dirimu."

Carlos terdiam lama. Dia tahu Keira ada benarnya. Tapi ini tetap keputusan yang berat. Nikah lagi? Hanya karena dia terlalu kuat di ranjang?

Carlos duduk di tepi ranjang, menatap Keira dengan perasaan campur aduk. Dia menggenggam tangan istrinya erat, seperti takut Keira akan menghilang kalau dia melepaskannya.

"Jadi... kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini?" Suaranya terdengar serak, nyaris berbisik.

Keira mengangguk pelan. "Aku nggak ngelakuin ini karena aku nggak cinta sama kamu, Carlos. Justru karena aku cinta, makanya aku mau yang terbaik buat kamu dan buat kita."

Carlos mengusap wajahnya, matanya memerah karena terharu. "Tapi Keira... aku ini nikah sama kamu karena aku mau hidup sama kamu. Aku nggak mau ada perempuan lain. Aku udah selesai dengan masa lalu, aku nggak butuh siapa-siapa lagi."

Keira tersenyum lemah. "Aku tahu, Carlos. Tapi kamu sendiri lihat kan apa yang terjadi sama aku? Aku hampir mati. Bukan cuma karena kehamilan ini, tapi karena kamu terlalu... kuat."

Carlos meringis, merasa bersalah. "Aku nggak pernah nyangka kalau aku bakal nyakitin kamu sampai segitunya..."

Keira mengusap pipinya lembut. "Kamu nggak salah, Carlos. Ini bukan salah siapa-siapa. Kamu memang seperti ini, dan aku tahu kamu sudah berusaha ngerem. Tapi kalau terus kayak gini, lama-lama aku bisa benar-benar mati."

Carlos mengepalkan tangannya. "Aku nggak mau kehilangan kamu, Keira..."

"Aku juga nggak mau kehilangan kamu," balas Keira dengan lembut. "Makanya aku nyari solusi. Kamu itu terlalu kaya, terlalu perkasa, dan aku sadar kalau aku nggak bisa sepenuhnya mengimbangi kamu. Aku cuma manusia biasa, Carlos. Kalau aku harus memilih antara melihat kamu tersiksa karena harus menahan diri atau berbagi sedikit, aku lebih pilih yang kedua."

Carlos menatap Keira dalam-dalam. Hatinya bergejolak. Dia terharu dengan keikhlasan istrinya, tapi di sisi lain, dia juga merasa dilema.

"Tapi... siapa yang mau nikah sama aku kalau alasannya kayak gini?" gumamnya.

Keira terkekeh. "Carlos, kamu itu miliarder. Kaya raya, tampan, badan bagus, dan... ya, kamu tahu sendiri kelebihanmu yang lain."

Carlos memutar bola matanya. "Iya sih, tapi aku nggak mau sembarang orang. Aku nggak bisa sembarangan milih perempuan buat jadi istri keduaku."

Keira menatapnya serius. "Itulah kenapa aku mau kita pilih bareng. Aku nggak akan ninggalin kamu sendirian buat mutusin ini."

Carlos terdiam lama, hatinya penuh perasaan yang sulit dijelaskan. Dia bersyukur punya istri seperti Keira, tapi juga merasa berat dengan keputusan ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Perkasa   Hatiku Tetap Milikmu

    Beberapa jam kemudian, Steve berada di depan apartemen Sukma. Ia menekan bel dengan jantung berdebar. Ketika pintu terbuka, Sukma menatapnya dengan mata waspada, menahan emosi yang bercampur—marah, khawatir, dan rindu. “Sukma… aku sudah bercerai dari Sasa,” kata Steve dengan suara tegas namun lembut. “Aku di sini untukmu. Untuk kita.” Sukma menelan ludah, hatinya berdebar. “Steve… aku masih… aku masih takut. Aku tidak mau lagi jadi penyebab kehancuran rumah tangga seseorang.” Steve melangkah lebih dekat, menatap mata Sukma dengan penuh pengertian. “Aku tahu. Itu sebabnya aku membuat semua rapi bukan kamu perusak rumah tanggaku. Sasa… sudah selesai. Dan aku tidak lagi terikat dengan siapa pun, kecuali dengan hatiku sendiri—yang selalu untukmu.” Sukma menarik napas, matanya berkaca-kaca. “Steve… aku janda empat kali. Aku… aku pernah tidur dengan tujuh laki-laki, termasuk kamu. Aku takut… takut kalau semua ini akan menyakiti kita lagi.” Steve tersenyum tipis, pahit tapi jujur. “Dan

  • Suami Perkasa   Aku Mencintai Sukma

    --- Pagi itu, udara di kota terasa berat, seakan menandai akhir dari sesuatu dan awal dari yang baru. Steve berdiri di depan rumah, memandangi dokumen perceraian yang baru saja mereka tandatangani dengan Sasa. Rasanya aneh—lega, tapi juga ada rasa hampa yang tidak bisa ia jelaskan. Beberapa minggu terakhir begitu melelahkan, penuh konflik dan kebohongan, hingga akhirnya semuanya berakhir dengan kejujuran pahit. Siska menunggu di mobil, tangannya memeluk tas kecil. Matanya menatap Steve dengan campuran rasa ingin tahu dan kekhawatiran. Ia tahu perasaannya terhadap Steve rumit—cinta, harapan, tapi juga ketakutan. Hari ini, semuanya akan terjawab. Steve menutup pintu rumah perlahan dan berjalan ke arah mobil. “Siska… terima kasih,” katanya, suaranya berat tapi tulus. “Jika bukan karena kau… mungkin aku tidak akan bisa melepaskan Sasa dengan benar.” Siska menatapnya, jantungnya berdebar. “Aku… aku hanya membantu. Tapi… apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanyanya, suara lembut, h

  • Suami Perkasa   Pelakor

    ---Siska menatap ponselnya dengan jantung berdebar. Pesan-pesan dari teman-teman kuliahnya terus berdatangan, menuduhnya “pelakor”, “simpanan”, bahkan “wanita yang merusak rumah tangga orang.” Ia menelan ludah, merasa dunia tiba-tiba sempit di sekelilingnya. Setiap nada dering, setiap getar notifikasi membuat hatinya berdebar. Ia menatap layar ponsel, membaca satu per satu komentar yang menusuk, seakan setiap kata adalah jarum yang menusuk hatinya. Dunia terasa tak adil; hanya karena ia dekat dengan Steve—yang bagi orang lain tampak sebagai “suami orang”—Siska harus menerima segala celaan.Namun, satu hal yang membuatnya tetap tenang adalah Steve. Keberadaannya selalu menenangkan, selalu menegaskan bahwa Siska tidak bersalah, dan selalu membela dengan tegas. Steve tidak peduli apa yang orang lain katakan. Ia menatap Siska dengan mata yang penuh keteguhan, seakan mengatakan, “Aku tahu kebenarannya, dan aku memilihmu.”“Jangan dengarkan mereka,” kata Steve dengan lembut, suaranya menen

  • Suami Perkasa   Mengadu

    Sasa menelan ludah, tangannya gemetar saat menekan bel rumah ibu Steve. Ia tahu ini gila, tapi hatinya tak bisa diam. Ia harus memberi tahu ibu Steve—tentang Siska,.Pintu terbuka, dan ibu Steve menatapnya dengan alis terangkat. “Sasa? Ada apa kau datang sendiri?”Sasa menunduk sebentar, menahan air mata yang mulai menggenang. “Mami… aku… aku harus bicara. Tentang Steve… dan Siska,” suaranya parau.Ibu Steve menyuruhnya masuk. “Baik, duduklah. Ceritakan apa yang terjadi.”Sasa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Mami… aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku hanya ingin ibu tahu. Steve… dia selingkuh. Dengan Siska.”Wajah ibu Steve berubah seketika. Matanya melebar, alisnya berkerut. “Apa yang kau katakan, Sasa? Selingkuh? Dengan Siska?”Sasa mengangguk, suaranya gemetar. “Iya, Bu… dan bukan hanya itu. Siska… dulunya simpanan seorang om-om kaya. Bahkan… ia pernah menjadi pelacur. Aku tidak ingin Steve terluka. Aku… aku ingin ibu tahu semua ini sebelum… sebelum

  • Suami Perkasa   Dulu Dia Simpanan

    --- Malam itu, Sasa masih terduduk di ranjang dengan mata sembab. Pipinya basah, suaranya parau karena terlalu lama menangis. Rumah besar ini terasa bagai penjara: setiap sudut menyimpan luka, setiap dinding memantulkan tawa Siska dan dinginnya tatapan Steve. Namun di tengah keputusasaan itu, sesuatu mulai tumbuh. Bukan lagi tangis, melainkan bara kecil yang membakar dada. “Cukup sudah,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku tak akan biarkan diriku diinjak-injak lagi. Jika Steve pikir aku hanya akan menangis… dia salah besar.” Tangannya meremas sprei, matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Air mata terakhir jatuh, lalu berhenti. Malam itu, Sasa berubah. --- Keesokan harinya, Sasa bangun lebih pagi dari biasanya. Ia berdiri di depan cermin, menatap wajah pucatnya sendiri. Lama ia hanya terdiam, sebelum akhirnya bibirnya melukis senyum tipis. Bukan senyum bahagia, melainkan senyum penuh rahasia. Ia merias wajahnya perlahan. Sentuhan bedak tipis, lipstik merah muda, gaun ruma

  • Suami Perkasa   Siska Sainganmu

    Malam itu rumah Steve sunyi. Dari luar, orang-orang selalu melihat pernikahan Steve dan Sasa sebagai gambaran ideal: pasangan mapan, tampan dan cantik, hidup berkecukupan. Tapi di dalam, kenyataan jauh berbeda. Steve duduk di ruang tamu dengan tatapan dingin. Ia baru saja pulang bersama Siska, yang melenggang masuk begitu saja tanpa rasa bersalah. Rambut panjangnya tergerai, gaun mini ketat menempel di tubuh, hak tinggi berderap di lantai marmer. Sasa muncul dari dapur, wajahnya kaku. “Steve… apa maksudmu membawa dia ke sini lagi?” Steve menoleh, tatapannya tajam. “Sasa, aku sudah bilang. Rumah ini bukan milikmu seorang. Aku pemiliknya juga. Dan aku bebas membawa siapa pun yang aku mau.” Siska tersenyum sinis, duduk manja di sebelah Steve, lalu merangkul lengannya. “Malam, Mbak Sasa…” sapanya dengan nada mengejek. Wajah Sasa memucat. Hatinya bergetar hebat melihat Steve sama sekali tidak menolak pelukan Siska. Justru sebaliknya, Steve membiarkannya, bahkan menepuk paha Siska de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status