Share

BAB 3

KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNG

BAB 3

Kami sudah sampai setelah setengah jam perjalanan dari rumah ibuku. Lokasinya tidak begitu jauh.

"Sabar, ya? Walau bagaimana pun Ibu, dia tetap ibu kita," ucap Mas Ilham sembari memarkirkan motor di samping rumah.

Rumah sederhana yang hanya memiliki satu kamar, sudah dua tahun kami meninggalkan rumah ini demi menjaga ibuku di rumahnya.

Rumah panggung ini terbuat dari papan, dinding papan dan lantainya juga dari papan. Atap daunnya sudah banyak yang bocor karena sudah lama tidak diganti.

Kupandangi halaman rumah yang sudah ditumbuhi rumput ilalang setinggi lutut, yang tampak bergoyang saat angin bertiup pelan.

Tanah ini adalah tanah Mas Ilham yang dibeli sebelum menikah denganku. Setelah menikah denganku, kami membangun rumah sederhana.

Kami menikah tanpa dihadiri keluarga suamiku. Karena orang tuanya tidak menyetujui pernikahan kami, alasannya karena aku anak bungsu dan Mas Ilham juga anak bungsu.

Kata suamiku, ibunya percaya dengan mitos-mitos yang mengatakan. Bahwa anak bungsu tidak boleh menikah dengan anak bungsu, karena dapat mengakibatkan terjadinya perceraian yang pernikahannya masih seumur jagung, karena anak bungsu yang dipercaya keras kepala dan manja mana mungkin bisa bertahan lama bila sampai menikah.

Aku anak bungsu, tapi aku tidak pernah manja. Suamiku juga tidak pernah keras kepala. Aneh saja, kenapa sebagian orang-orang bisa percaya dengan mitos yang tidak masuk akal itu? Menurutku itu sangat aneh bukan?

Aku menghela napas panjang. Menumpukan dagu di kedua belah tangan. Sambil membayangkan betapa tidak adilnya sikap dan perlakuan ibu padaku. Padahal, aku ini anak kandungnya juga.

"Sudah, jangan dipikirkan." Mas Ilham mencabut rumput yang menjalar di anak tangga.

Aku melihatnya lekat. Mencoba mencari sisi yang tidak baik pada suamiku. Tapi tidak kutemukan. Dia baik dan selalu menghormati ibuku. Tapi sayang, ibuku selalu menghina pekerjaan dan membencinya hanya karena suamiku kekurangan harta.

"Mas, apa kamu pernah sakit hati dengan ibuku?" tanyaku, saat Mas Ilham duduk di tangga bersamaku.

"Tidak sama sekali, Sayang. Namanya juga orang tua." Jawabannya selalu sama. Tapi, aku merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakannya itu. Setiap manusia pasti punya rasa sakit hati bukan?

"Kamu dengar apa yang Ibu bilang tadi 'kan?"

"Dengar, tapi jangan dipikirin, ya? Mungkin, Ibu lagi emosi, makanya ngomongnya ngelantur gitu, namanya juga orang tua. Insyaallah, nanti juga baik dengan sendirinya," tutur Mas Ilham sambil mengusap sisa air mata di pipiku.

______

Jam sepuluh malam, hujan turun sangat deras. Aku bangkit dari pembaringan dan melipat tilam yang sudah menipis. Karena, tilam ini di beli saat suamiku masih bujangan.

Mas Ilham membawa ember dan baskom kecil untuk menampung air hujan yang menerobos atap yang bocor.

"Besok, Mas mau memanen karet, hasil dari bagian uangnya Mas belikan atap daun dulu, ya?" ucapnya sambil meletakkan baskom di tengah-tengah air yang menetes dari langit-langit atap.

"Aku punya tabungan, sebentar ya?" Aku beringsut meraih tas ransel yang berisi pakaian. Pakaian yang belum sempat kususun ke dalam lemari plastik yang warnanya hampir pudar.

"Banyak juga tabungannya, pintar sekali istriku menabung," puji suamiku saat aku menyerahkan uang lima ratus ribu padanya.

"Alhamdulillah, sebelum musim hujan, aku sudah menyimpan uang sedikit-sedikit saat musim panas, dan masih ada lagi sedikit untuk membeli kebutuhan dapur," ucapku seraya memberikan seulas senyum manis kepadanya.

"Mas butuh segini saja, ini kamu simpan lagi untuk belanja ya?" ujarnya sambil menyerahkan uang dua ratus ribu padaku.

Mas Ilham membawa tilam dan bantal ke luar dari kamar. Mencari tempat yang tidak terkena hujan untuk kami tidur.

"Berbaringlah," ucapnya sambil menepuk bantal yang berada di sampingnya.

Aku berbaring dibawah ketiaknya, semenjak menikah dengannya. Aku lebih suka tidur di peluk karena merasa sangat nyaman berada disisinya.

Saat sedang mengobrol, tiba-tiba lampu mati. Mas Ilham meraih ponselnya dan menghidupkan lampunya.

"Tokennya habis, Mas lupa mengisinya, Mas mau ke konter dulu ya?"

"Tidak apa-apa, Mas. Besok saja baru di isi, ini masih hujan deras. Baterai ponsel dan senternya masih full, cukup kok untuk pencahayaan sampai pagi," ucapku dan meminta suamiku untuk berbaring kembali.

_______

Pagi harinya aku dikejutkan dengan kedatangan Mbak Gina, yang tiba-tiba langsung menyelonong masuk ke dalam rumah menuju dapur.

"Mbak! Ngapain?" Aku menyusulnya ke dapur dan melihat Mbak Gina sedang mengambil beras di dalam tempat penyimpanan beras.

"Pinjam dulu, gajian Mas Fadli masih lama. Lagian kamu pergi kenapa membawa beras ini? Bisa kudisan siku kamu nanti, karena mengambil apa yang sudah kamu berikan pada Ibu," ucapnya sambil memasukkan beras ke dalam plastik besar menggunakan mangkok kecil.

"Itu bukan urusanku, Mbak! Balikin berasnya! Itu beras kami, bukannya masih ada satu karung beras di dapur Ibu!"

"Beras itu sudah kujual," jawabnya.

"Kenapa dijual, Mbak? Itu untuk stok Ibu di rumah!" ucapku yang tidak bisa memelankan suaraku bila berbicara dengan Mbak Gina.

"Buat beli lauk, sudah lah jangan banyak tanya!" ketusnya.

"Kembalikan beras itu!"

"Kamu mau dikatain orang-orang, kalau kamu sudah menelantarkan Ibu? Ibu belum makan karena berasnya tidak ada! Masih untung aku cuma mengambil sedikit!" tukasnya sambil berdiri dan memasukkan bawang merah ke dalam kertas.

Mendengar Ibu yang belum makan, aku hanya bisa diam tanpa bersuara. Jangan sampai ibuku kelaparan sedangkan aku di sini dalam keadaan kenyang.

Alih-alih tanpa berterimakasih sama sekali, Mbak Gina langsung pergi mengendarai motornya meninggalkan rumahku.

Setelah motor yang dikendarai Mbak Gina menjauh, sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan rumah.

Aku terpana melihat seorang wanita paruh baya yang wajahnya sangat mirip sekali dengan suamiku. Dia turun setelah seorang supir membuka pintu belakang mobil.

Siapa dia?

BERSAMBUNG...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status