Home / Romansa / Suami yang Kuperjuangkan / Bab 7 Sisa yang di bagi rata

Share

Bab 7 Sisa yang di bagi rata

last update Last Updated: 2023-04-13 10:40:29

“Sekarang kamu bikin banner buat di pasang di depan rumah biar orang-orang tau rumah ini mau dijual!” perintah ibu tidak sabar. 

“Jangan lupa kamu foto rumah ini dan unggah di sosial mediamu biar lebih cepat laku,” lanjutnya lagi. 

Kami masih diam mematung. 

“Ayok cepat lakukan, malah diam,mau cepet lunas utang-utangmu gak?” ucap Ibu agak keras. 

“Iya Bu,” jawab mas Bagas sembari bangkit dari duduknya dan meraih hpnya untuk mengambil foto rumah ini. 

"Iklannya di sosmed ajalah Bu, gak usah bikin banner segala, masa rumah masih ditinggali mau ditulis dijual," ucap mas Bagas tak terima.

"Lha terus mau kamu gimana? kamu mau pindah dulu baru rumahnya dijual, lha terus pindahnya mau pake apa, duit aja gak punya kok!" ucap Ibu ketus. 

"Iya iya terserah Ibu aja lah," jawab mas Bagas sambil ke luar rumah hendak mengambil foto. 

**

"Dek, apa kita ngontrak rumah aja nanti, kalo buat beli kayaknya uangnya belum cukup deh, kita juga harus punya modal buat usaha kan?" ujar mas Bagas ketika kami sedang duduk bersantai di depan tivi. 

"Kalo rumah kontrakan berapa rata-rata setahunnya Mas?" tanyaku lesu. 

"Yang rumah kecil dan belum ada tambahan apa-apa 10 juta Dek, kemarin mas udah muter-muter cari rumah kontrakan yang paling murah itu 10 juta," jawab mas Bagas sambil mengusap wajahnya kasar. 

"Yang penting utang kita lunas dulu semua ya Dek?" lanjutnya. 

"Iya Mas, adek juga maunya gitu, kalau uangnya cukup jadi buat beli mesin sablon aja," kataku menyemangatinya.

"Biar nyablonnya gak manual lagi kerjanya jadi lebih cepet, adek rasa itu lebih manfaat daripada beli rumah sekarang, siapa tau setelah beli mesin itu kita bisa nabung buat beli rumah," ucapku semangat. 

"Aamiin... , sukur deh kalo kamu juga berfikir begitu Dek,” jawab mas Bagas tampak lega. 

"Dari postingan Mas di sosial media sudah ada yang nawar belum Mas?” tanyaku berharap.

"Alhamdulillah Dek banyak komentar yang masuk entah komentar rumah ataupun harganya, dan ada beberapa yang nawar juga," ucap mas Bagas antusias sambil tetap menatap hpnya.

"Besok mas mau ketemuan sama salah satu penawar Dek, do'akan ya mudah-mudahan jodoh dan harganya maksimal," lanjut mas Bagas dengan semangat. 

"Iya Mas, adek pasti selalu do'akan Mas," ucapku semangat tapi hatiku sedih.

Pernah aku berfikir tau begini dulu aku nyicil rumah sendiri, dulu aku masih kerja dan punya penghasilan.

Setidaknya cukup untuk bayar cicilan  rumah tiap bulannya. Sedang untuk dpnya, waktu itu penghasilan mas Bagas masih sangat cukup kalau sekedar untuk dp. 

Dulu aku pernah mengutarakan niatku ini tapi mas Bagas bilang sudah ada rumah Ibu yang akan ditempati. 

Sejak Rafif anak keduaku lahir aku resign dan mengabdikan diri sepenuhnya pada keluarga.

Kemudian usaha sablonan mas Bagas juga mengalami kemunduran karena kurang modal untuk mengikuti perkembangan zaman yang mulai menggunakan teknologi modern. 

***

Ibu dan semua sodara mas Bagas berkumpul karena akan ada pembagian uang dari hasil penjualan rumah. 

" Alhamdulillah rumah ini sudah terjual seharga 475 juta, 25 juta sudah dipakai untuk urusan balik nama dan lain - lainnya," ucap Ibu mulai membuka obrolan di sini. 

"Yang 150 juta Ibu minta untuk badal haji Bapak, umroh Ibu dan sedekah masjid atas nama Bapak sisanya 300 juta silahkan dibagi rata untuk kalian berempat! " lanjutnya dengan panjang lebar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami yang Kuperjuangkan   Bab 149 Ayah gak pernah maksa

    "Alhamdulillah sekarang Rehan udah bisa pulang," ucapku seraya memeluk Rehan. "Ayah mana Bun? katanya mau jemput Rehan?" tanya Rehan seraya memandang arah pintu. "Mungkin sebentar lagi datang, atau sepertinya Ayah akan langsung menyusul ke rumah," jawabku menyemangati Rehan. "Tapi Rehan takut Ayah gak datang," ucap Rehan dengan tertunduk lesu. "Bunda telepon Ayah sekarang yah," ucapku seraya meraih hpku di tas. "Iya Bunda, telepon sekarang cepat, Rehan mau pulang sama Ayah," ucap Rehan begitu semangat. "Rehan mau pulang ke tempat Ayah?" tanyaku cemas. "Iya, kan kemarin Bunda bilang, kalau Rehan udah sembuh Rehan boleh ikut Ayah," jawabnya dengan mata berkaca. Aku seperti tak mau merelakan, tapi juga tak kuasa merusak kebahagiaan Rehan yang baru sembuh dari sakitnya. "Bunda akan tepati janji Bunda kan," ucap Rehan menyadarkanku. "Iya Iyah, tentu saja," jawabku gugup. "Kalo gitu Bunda telepon Ayah sekarang, Rehan pengin mainan sama Ayah cepet," ucap Rehan seraya menggoyang-go

  • Suami yang Kuperjuangkan   Bab 148 Rehan akan ikut Ayah

    "Mbak Sari aku minta nasehatnya aku minta sarannya aku lagi bingung banget Mbak," rengekku pada mbak Sari. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, sudah serahkan saja pada dokter tugas kamu sekarang tinggal berdo'a," jawab mbak Sari bijak. "Masalahnya sudah tiga hari panasnya belum turun juga, dan Rehan terus saja memanggil Ayahnya, dokter juga menyarankan untuk segera memanggil Ayahnya," ucapku ragu. "Apa gak sebaiknya kamu beritahu Bayu tentang keadaan Rehan sekarang," ucap mbak Sari memberi saran. "Itu dia masalahnya Mbak, aku sempat berfikir jika Rehan bisa melewati masa ini maka Rehan akan benar-benar bisa lepas dari Bayu," ucapku penuh harap. "Jika Rehan sudah bisa lepas dari Bayu maka aku akan segera mengajukan permohonan cerai,” ucapku ragu. “Tapi keadaan Rehan sekarang membuatku bingung juga, baiknya gimana ya Mbak," lanjutku dengan putus asa. "Aku tau ini hal yang berat untukmu, tapi ini juga berat buat Rehan, mungkin untuk saat ini, kamu ngalah dulu aja ya, biarkan Rehan

  • Suami yang Kuperjuangkan   Bab 147 Kita perbaiki semuanya

    "Tania mau mampir dulu gak?" tanya Niar ketika sampai di rumah tantenya Niar. "Udah malam ya, besok-besok aja, udah main seharian mau istirahat dulu ya Tan," ucapku menolak. "Apa kita mampir dulu sebentar Yah, sebentar aja," rayu Tania padaku. "Kan udah main seharian ini, besok juga ketemu lagi sama tantenya," bujukku. "Sebentar aja, sebentaaaaar banget Yah," Tania terus saja merengek. "Ya sudah tapi bentaran aja," ucapku menyerah. "Oke, makasih Ayah," ucap Tania seraya ke luar mobil. Aku pun menepikan mobilku kemudian turun dari mobil. "Kayaknya ada tamu di dalam?" tanyaku seraya berjalan ke dalam. "Kayaknya si iya," jawab Niar dengan terus melanjutkan langkahnya. "Assalamu'alaikum," ucap kami serempak di depan pintu. "Wa'alaikumsalam.. " jawab serempak orang-orang dari dalam. Kemudian Niar membuka pintu dan masuk rumah, aku dan Tania lekas mengikutinya. "Niar ini Halim sudah lama nungguin kamu," ucap tantenya Niar. Aku mendekat menyalami semua orang di dalam tak lupa T

  • Suami yang Kuperjuangkan   Bab 146 Tak ada yang tidak ku ketahui

    "Tunggu-tunggu, kok Mbak Niar bisa kenal juga sama suaminya Bening, dan berarti Bening masih punya suami?" ucap Nisa terlihat bingung. "Kan sudah ku bilang, gak ada yang gak aku ketahui," jawab Niar dengan khas sombongnya. "Tadi kebetulan kami lihat mereka di rumah makan yang kami datangi," jawabnya lagi menjelaskan. "Dia kayaknya masih berstatus istri orang tapi kemungkinan besar dia akan menceraikan suaminya, karena di lihat tadi dia sudah gak mau lagi peduli sama suaminya," ucap Niar yakin. Sekarang aku tau kenapa Niar begitu tertarik ingin tau masalah Bayu tadi, ternyata benar dia ingin membantu Nisa, aku yang kakanya bahkan tak ada usaha apapun untuk membantunya. "Terus untuk Rehan gimana Mbak, gimana kalau Bayu menuntut hak asuh anak juga," ucap Nisa khawatir. "Sebernarnya kalau Bayu terbukti dengan kuat dia selingkuh maka hak asuh anak akan jatuh padamu Nis," ucapku meyakinkan. "Tapi, percuma juga Rehan bersamaku kalau dia terus-terusan maunya sama ayahnya," keluh Nisa.

  • Suami yang Kuperjuangkan   Bab 145 Sekarang jadi Bunda Niar

    "Assalamu'alaikum.. " ucapku seraya mengetuk pintu rumah Nisa. "Wa'alaikumsalam.. Oh Om Ardi Rehan kira Ayah yang pulang," ucap Rehan sambil membuka pintu rumah.“Siapa yang datang Re?” tanya Nisa dari dalam. “Tania Bun,” jawab Rehan. "Eh Mas Ardi kok sama mbak Niar, ada Tania juga sini masuk," ucap Nisa mempersilahkan kami masuk. "Duduk Mas, Mbak aku ambil minum dulu ya," ucap Nisa seraya berjalan ke belakang. "Kopi ya Nis," ucap Niar sedikit berteriak. "Iya Mbak,Mas Ardi juga kopi?" ucap Nisa juga berteriak. "Ya boleh," jawabku. "Rehan kok sedih, Rehan gak suka ya aku datang ke sini?" tanya Tania murung. "Suka kok, aku cuma kangen Ayah, Ayah sudah lama gak pulang," ucap Rehan sedih. "Kamu telepon aja, vidio call sama Ayahmu," ucap Tania memberi saran. "Bunda sudah mencoba, tapi Ayah gak bisa di hubungi," jawab Rehan putus asa. "Pakai ponsel Ayahku aja sini," ucap Tania seraya menggandeng tangan Rehan mendekat padaku. "Ayah coba telepon Ayahnya Rehan Yah," pinta Tania pa

  • Suami yang Kuperjuangkan   Bab 144 Dia ini anakku

    "Akhirnya bisa jalan-jalan dan makan di luar sama tante Niar, Tania seneng banget deh," ucap Tania semangat. "Jalan-jalannya memang udah tapi makannya belum, jangan bilang udah makan, tante lapar ini," ucap Niar seraya mengusap perutnya dengan ekspresi memelas. Niar nih lucu banget bersamanya bener-bener rame dan gak ada bosennya. "Oh iya kita baru mau makan ya, Tante jangan nangis dong yuk kita makan makanan kesukaan Tante," ucap Tania seraya menggandeng Niar ke dalam. "Mereka terlihat begitu kompak, Niar benar-benar memposisikan diri seperti teman bagi Tania," batinku. "Ayah kenapa senyum-senyum sendiri, ayo cepat masuk ini tante sudah kelaparan," ucap Tania mengagetkan dari lamunanku. "Aduh aw," teriak Niar karena tertabrak oleh orang tak di kenal. Untung saja aku sudah berada di dekatnya sehingga aku bisa menopang tubuhnya agar tidak jatuh. "Heh punya mata gak si, main tabrak aja!" teriak Niar. "Kamu gak papa?" tanyaku khawatir seraya membantunya berdiri tegak. "Heh berh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status