Share

Bab 7 Sisa yang di bagi rata

“Sekarang kamu bikin banner buat di pasang di depan rumah biar orang-orang tau rumah ini mau dijual!” perintah ibu tidak sabar. 

“Jangan lupa kamu foto rumah ini dan unggah di sosial mediamu biar lebih cepat laku,” lanjutnya lagi. 

Kami masih diam mematung. 

“Ayok cepat lakukan, malah diam,mau cepet lunas utang-utangmu gak?” ucap Ibu agak keras. 

“Iya Bu,” jawab mas Bagas sembari bangkit dari duduknya dan meraih hpnya untuk mengambil foto rumah ini. 

"Iklannya di sosmed ajalah Bu, gak usah bikin banner segala, masa rumah masih ditinggali mau ditulis dijual," ucap mas Bagas tak terima.

"Lha terus mau kamu gimana? kamu mau pindah dulu baru rumahnya dijual, lha terus pindahnya mau pake apa, duit aja gak punya kok!" ucap Ibu ketus. 

"Iya iya terserah Ibu aja lah," jawab mas Bagas sambil ke luar rumah hendak mengambil foto. 

**

"Dek, apa kita ngontrak rumah aja nanti, kalo buat beli kayaknya uangnya belum cukup deh, kita juga harus punya modal buat usaha kan?" ujar mas Bagas ketika kami sedang duduk bersantai di depan tivi. 

"Kalo rumah kontrakan berapa rata-rata setahunnya Mas?" tanyaku lesu. 

"Yang rumah kecil dan belum ada tambahan apa-apa 10 juta Dek, kemarin mas udah muter-muter cari rumah kontrakan yang paling murah itu 10 juta," jawab mas Bagas sambil mengusap wajahnya kasar. 

"Yang penting utang kita lunas dulu semua ya Dek?" lanjutnya. 

"Iya Mas, adek juga maunya gitu, kalau uangnya cukup jadi buat beli mesin sablon aja," kataku menyemangatinya.

"Biar nyablonnya gak manual lagi kerjanya jadi lebih cepet, adek rasa itu lebih manfaat daripada beli rumah sekarang, siapa tau setelah beli mesin itu kita bisa nabung buat beli rumah," ucapku semangat. 

"Aamiin... , sukur deh kalo kamu juga berfikir begitu Dek,” jawab mas Bagas tampak lega. 

"Dari postingan Mas di sosial media sudah ada yang nawar belum Mas?” tanyaku berharap.

"Alhamdulillah Dek banyak komentar yang masuk entah komentar rumah ataupun harganya, dan ada beberapa yang nawar juga," ucap mas Bagas antusias sambil tetap menatap hpnya.

"Besok mas mau ketemuan sama salah satu penawar Dek, do'akan ya mudah-mudahan jodoh dan harganya maksimal," lanjut mas Bagas dengan semangat. 

"Iya Mas, adek pasti selalu do'akan Mas," ucapku semangat tapi hatiku sedih.

Pernah aku berfikir tau begini dulu aku nyicil rumah sendiri, dulu aku masih kerja dan punya penghasilan.

Setidaknya cukup untuk bayar cicilan  rumah tiap bulannya. Sedang untuk dpnya, waktu itu penghasilan mas Bagas masih sangat cukup kalau sekedar untuk dp. 

Dulu aku pernah mengutarakan niatku ini tapi mas Bagas bilang sudah ada rumah Ibu yang akan ditempati. 

Sejak Rafif anak keduaku lahir aku resign dan mengabdikan diri sepenuhnya pada keluarga.

Kemudian usaha sablonan mas Bagas juga mengalami kemunduran karena kurang modal untuk mengikuti perkembangan zaman yang mulai menggunakan teknologi modern. 

***

Ibu dan semua sodara mas Bagas berkumpul karena akan ada pembagian uang dari hasil penjualan rumah. 

" Alhamdulillah rumah ini sudah terjual seharga 475 juta, 25 juta sudah dipakai untuk urusan balik nama dan lain - lainnya," ucap Ibu mulai membuka obrolan di sini. 

"Yang 150 juta Ibu minta untuk badal haji Bapak, umroh Ibu dan sedekah masjid atas nama Bapak sisanya 300 juta silahkan dibagi rata untuk kalian berempat! " lanjutnya dengan panjang lebar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status