Share

Bab 007

Penulis: Syahfa Thea
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-08 15:16:38

Malam semakin larut. Tapi aku masih belum bisa memejamkan mataku. Masih memikirkan yang terjadi. Baik tentang perselingkuhan Niko, tentang pertemuanku dengan Putra dan tentang pernikahan dadakanku dengan Putra.

Aku kesal dengan Putra. Aku merasa sial karena bertemu dengannya. Aku ingin menyalahkan Putra atas keadaan ini.

Tapi setelah dipikir lagi, semua ini bukan salahnya. Dia masuk ke dalam rumah karena mendengar teriakan ku. Sebagai laki-laki tentu dia ingin menolongku.

Dan itu artinya akulah yang salah. Kenapa aku harus takut kecoak, gelap dan petir. Selain itu keadaanpun ikut salah. Kenapa saat aku memeluknya, malah datang orang-orang hingga kami terjebak menikah.

Aku membalikkan badan untuk kesekian kalinya, mencoba mencari posisi yang nyaman. Namun, sekeras apa pun aku berusaha memejamkan mata, tetap saja kantuk tak kunjung datang.

Aku melirik ke lantai. Putra masih terbaring di sana, tapi tubuhnya tampak meringkuk, jelas tidak nyaman. Dia hanya menggunakan selimut tipis, padahal lantai rumah ini dingin. Di luar juga baru selesai hujan petir. Pastinya cuaca akan semakin dingin.

Aku menghela napas, merasa sedikit kasihan.

Ah, peduli amat! Aku berusaha mengabaikan, tapi lima menit kemudian, aku masih memikirkan pria itu.

Akhirnya, dengan kesal, aku bangkit duduk. "Putra," panggilku. Menatap ke arahnya.

Dia tidak menjawab. Matanya pun terpejam. Tapi aku tahu dia belum tidur. Nafasnya terdengar tidak stabil.

"Putra!" Aku memanggilnya lagi, kali ini lebih keras.

"Hmm?" Dia membuka mata, menatapku dengan kantuk yang dipaksakan.

Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Naik ke kasur."

Putra mengerjap. "Hah?"

"Kubilang, naik ke kasur. Tidur di lantai begitu nggak nyaman, kan?" Aku mendecak kesal.

Dia terdiam, tapi aku bisa melihat sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas.

"Kenapa senyum-senyum? Jangan salah paham!" Aku melotot. "Aku cuma kasihan. Aku ini manusia, tahu? Punya hati. Nggak mungkin aku membiarkan orang lain menderita di depanku."

Putra terkekeh pelan, lalu bangkit dari lantai. "Baiklah, Mbak. Terima kasih atas kebaikannya," ucapnya santai.

Aku mendengus. "Jangan senang dulu. Ada syaratnya!"

Dia mengangkat alis. "Syarat?"

Aku langsung mengambil guling dan dua bantal, lalu meletakkannya di tengah kasur. "Ini batasnya. Kamu tidur di sana, aku di sini. Kalau kamu berani melewati batas ini, jangan salahkan aku!"

Putra tertawa kecil, lalu berbaring di sisi kasur. "Siap, Mbak. Saya nggak berani macam-macam," ujarnya sambil mengangkat tangan seperti orang menyerah. Lalu naik ke kasur dan mulai berbaring.

"Mmm.... Tapi bagaimana kalau Mbak sendiri yang malah menyentuh saya?" Tanyanya, tiba-tiba.

Mataku langsung membelalak mendengar pertanyaannya.

"Ya enggak mungkinlah aku nyentuh kamu! Mimpi kali kalau aku nyentuh kamu!" Ucapku, mendengus. Membantah pertanyaannya.

"Hehe... Jangan marah Mbak. Saya kan cuma bilang seandainya. Namanya juga orang tidur. Pasti tidak sadar," ucap Putra, terkekeh.

Aku menggerutu kecil dan ikut berbaring, membelakangi dia. Tidak lagi bicara. Karena menurutku tidak ada habisnya jika diteruskan bicara. Yang ada kami bakalan berdebat sepanjang malam.

Selanjutnya hening. Baik aku maupun dia tidak ada lagi yang berbicara. Berusaha memejamkan mata untuk tidur.

Aku bisa mendengar suara napasnya yang perlahan mulai teratur.

Kenapa rasanya aneh?

Aku menggelengkan kepala, mencoba mengusir perasaan aneh itu.

Malam pertama sebagai suami-istri? Cih. Ini lebih seperti malam pertama dua orang asing yang terpaksa tinggal serumah.

*

Aku memejamkan mata, mencoba fokus untuk tidur. Tapi meskipun tubuhku lelah, pikiranku terus bekerja, menolak untuk tenang.

Di sampingku, Putra sudah lebih dulu terdiam. Napasnya terdengar stabil, seolah dia benar-benar tertidur.

Tapi aku tak yakin apakah dia benar-benar sudah tertidur atau masih terjaga.

Aku menghela napas pelan. Aku tak terbiasa tidur dengan orang lain di kasur yang sama, apalagi dengan seorang pria yang baru beberapa hari lalu kutemui.

Perasaan aneh itu masih menggangguku.

Aku menoleh sedikit. Dalam remang-remang cahaya lampu tidur, aku bisa melihat punggung Putra yang berbalik ke arah berlawanan dariku. Dia benar-benar mengikuti peraturanku—tidur di balik batas guling dan bantal yang kutetapkan.

Diam-diam aku mengamati wajahnya.

Ekspresinya santai, jauh dari kesan pria menyebalkan yang membuatku kesal. Aku tak bisa memungkiri bahwa dia punya wajah yang enak dipandang. Tapi yang lebih membuatku heran adalah caranya menghadapi situasi ini.

Dia tidak mengeluh, juga tidak membalas dengan marah.

Aku sendiri yang sejak tadi bersikap ketus padanya.

Aku membuang napas perlahan, lalu membalikkan badan lagi, berusaha mengabaikan pikiranku sendiri.

Tapi sial. Aku masih belum bisa tidur.

Aku membuka mata. Sekilas, aku melirik ke batas guling yang kutaruh di tengah kasur. Masih di sana. Putra pun tetap di tempatnya.

Aman.

Tapi... bagaimana kalau aku yang tanpa sadar melewati batas itu?

Aku menatap langit-langit, teringat ucapan Putra tadi.

"Tapi bagaimana kalau Mbak sendiri yang malah menyentuh saya?"

Tiba-tiba, bayangan tanganku tanpa sengaja menyentuhnya di tengah tidur muncul dalam pikiranku. Aku langsung menggeleng cepat.

Gila. Kenapa aku malah memikirkan hal bodoh seperti itu? Tidak mungkinlah aku menyentuhnya.

Aku mendengus kesal pada diri sendiri. Sudahlah, yang penting aku tidur di sisi kasurku sendiri.

Aku memejamkan mata lagi.

Tapi baru beberapa menit berlalu, tubuhku refleks menegang saat merasakan sesuatu yang hangat menyentuh tanganku.

Aku membuka mata cepat-cepat.

Dan saat aku melihat apa yang terjadi...

Aku membeku.

Tangan Putra.

Di luar batas.

Menyentuh tanganku.

Hanya sekilas, tapi cukup membuat jantungku berdebar tak karuan.

Aku segera menarik tanganku menjauh, lalu melirik ke arahnya.

Dia tetap diam, napasnya tetap stabil. Apakah dia benar-benar tidur?

Aku menatapnya curiga. Apa dia sengaja atau ini hanya refleks tidur?

Aku mengerucutkan bibir, lalu menggeser guling di tengah sedikit lebih dekat ke sisiku, memastikan batas tetap ada.

"Tanganmu awas aja kalau lewat batas lagi," gumamku pelan.

Aku membelakanginya lagi, menarik selimut lebih erat.

Aku benar-benar harus tidur.

Tapi entah kenapa, aku merasa malam ini akan jadi malam yang panjang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 85

    Sore ini, langit Jakarta terlihat cerah. Seolah ikut merayakan kebahagiaan dua insan yang akhirnya bersatu dengan hati yang utuh. Gedung megah di pusat kota disulap menjadi taman surga. Lampu kristal menggantung di langit-langit yang menjulang tinggi, bunga putih dan ungu tersusun rapi menghiasi setiap sudut, dan musik klasik lembut mengalun memenuhi udara.Hari ini adalah hari resepsi pernikahan Putra dan Jingga—resepsi yang sesungguhnya.Bukan lagi di balai desa dengan kursi seadanya, bukan lagi dengan kebaya pinjaman dan make-up seadanya. Tapi sebuah pesta besar-besaran, tempat mereka menebus janji yang dulu hanya mereka ucapkan di bawah tekanan.Putra berdiri gagah dalam setelan tuxedo hitam berpotongan rapi. Dasi kupu-kupu peraknya serasi dengan bros kecil berbentuk mawar putih di dada kiri. Ia tampak seperti pangeran dari dongeng masa kini. Tapi semua mata tak bisa lepas dari wanita yang perlahan berjalan ke arahnya—Jingga.Gaun pengantinnya menjuntai anggun, dihiasi bordiran m

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 84

    "Jadi karena hal ini makanya kamu membohongi aku selama ini ya Mas?" Ucap Jingga lagi. Mendengar itu, Putra langsung melepaskan pelukannya. Menegakkan kepalanya. "Tidak, Sayang. Sebenarnya awalnya aku tidak berniat membohongimu. Itu tidak Mas sengaja.""Benarkah?" Putra menatap Jingga dalam diam. Matanya masih merah, bibirnya bergetar mencoba menahan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.“Awalnya... aku memang tidak berniat membohongimu,” ucap Putra akhirnya, suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Malam itu... aku baru pulang dari luar negeri. Aku disuruh papa pulang setelah bertahun-tahun berada di luar negeri.""Saat aku pulang, aku tidak langsung ke rumah papa. Juga tidak ke apartemen. Aku malah langsung ke rumah Bambang, Abang Ojol itu.""Tapi saat di rumah Bambang, ada sesuatu yang ingin ku ambil dari apartemen. Karena ingin cepat sampai, aku pinjam motor dan jaket dia. Mungkin kebetulan di waktu ynag sama kamu

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 83

    Mobil kembali melaju pelan setelah momen perkenalan ulang yang manis itu. Jalanan sore mulai tampak lengang. Cahaya matahari senja mengintip dari sela gedung-gedung tinggi, memantulkan cahaya ke kaca mobil.Putra melirik sekilas ke arah Jingga, lalu berkata dengan nada menggoda, “Aku punya kejutan kecil buat kamu.”Jingga mengangkat alis. “Keju...tan? Jangan bilang kamu tiba-tiba mau ngajak aku ke KUA lagi?” candanya, walau separuh hati masih serius.Putra tertawa pendek. “Tenang. Nggak secepat itu juga. Tapi aku mau ajak kamu ke satu tempat. Kita pernah bahagia di sana.”Tak lama, mereka tiba di sebuah gedung apartemen yang tampak familier bagi Jingga. Jingga langsung menatap Putra dengan kening berkerut. “Ini... apartemen kita yang dulu, kan? Bukannya... udah dijual?”Putra hanya tersenyum misterius dan membuka pintu mobil. Dia membukakan pintu untuk Jingga, lalu menuntunnya naik ke lantai atas.Setelah pintu apartemen dibuka, aroma khas ruangan itu langsung menyambut mereka. Sofa a

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 82

    Jingga masih terduduk di lantai, bersandar pada kedua lututnya. Air mata terus mengalir di pipinya, meski pandangannya tertuju kosong ke arah tempat pesawat lepas landas. Dalam hatinya, ia berharap semua ini hanya mimpi. Bahwa Putra belum benar-benar pergi. Bahwa ia masih bisa memutar waktu.Hatinya terasa hampa. Sunyi. Dingin.Meskipun orang-orang masih berlalu-lalang di sekitar, Jingga tidak peduli. Dunia di sekelilingnya seperti kehilangan suara. Bandara yang sibuk itu terasa begitu lengang di matanya.Entah sudah berapa lama ia duduk di sana. Lututnya terasa kaku, tangannya gemetar, dan dadanya sesak. Satu tangan terangkat pelan, menggenggam bajunya sendiri di bagian dada. Ia menekan pelan, mencoba meredakan nyeri yang entah kenapa justru semakin dalam. Air matanya kembali turun.Lalu, sebuah sentuhan mendarat di bahunya. Lembut. Hangat.Jingga tak langsung menoleh. Dalam pikirannya, itu pasti Keysha. Mungkin adik iparnya itu merasa khawatir dan kembali menemaninya."Key... akhirn

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 81

    Pagi masih terasa dingin. Bahkan matahari pun seolah enggan bersinar terang, seakan tahu bahwa hati Jingga sedang diliputi kabut tebal. Ia duduk di kursi dekat jendela, menatap kosong ke luar, sementara secangkir teh di tangannya sudah dingin sejak tadi.Koper kecil masih tergeletak di sudut ruangan. Bukan milik Putra, melainkan miliknya sendiri—kado dari Putra waktu ulang tahun pernikahan pertama mereka. Belum pernah dipakai, belum pernah dibuka. Tapi entah kenapa, tadi malam ia ambil dari lemari dan letakkan di situ. Seolah-olah dirinya sudah bersiap pergi, entah ke mana.Namun, pikirannya masih macet.Pergi ke bandara? Mengejar Putra? Untuk apa?Dia sudah memutuskan semuanya, kan? Sudah siap bercerai. Sudah tidak ingin dibohongi lagi. Sudah cukup.Tapi kenapa hatinya terasa nyeri? Kenapa setiap jam yang berdetak seperti pisau yang menghitung waktu kepergian Putra dari hidupnya… selamanya?Ponselnya tiba-tiba bergetar. Ada nama Keysha di layar ponselnya. Jingga sempat ragu, tapi ak

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 80

    Malam ini adalah malam kedua setelah Keysha memberitahunya kalau Putra akan pergi ke luar negeri. Itu artinya besok. Jingga tak bisa memejamkan mata. Waktu terus bergulir, menit demi menit, tapi kantuk tak juga datang. Yang ada hanya rasa sesak di dada, pikiran yang berkecamuk, dan bayangan wajah Putra yang terus hadir meski sudah berusaha ia buang jauh-jauh.Dia mendesah. Memeluk bantal, memejamkan mata… lalu membukanya lagi. Dada terasa berat. Kata-kata Keisha menggaung kembali di kepalanya."Kalau kamu masih punya sedikit saja rasa untuk Mas Putra, pikirkan baik-baik sebelum dia pergi...""Setelah ini... kamu mungkin tak akan pernah bisa melihatnya lagi."Tiba-tiba, tubuhnya menggigil. Bukan karena dingin. Tapi karena ketakutan. Ketakutan akan kehilangan yang sesungguhnya."Aku marah padamu, Mas... Tapi aku juga takut kehilanganmu..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Dia bangkit perlahan dari tempat tidur. Membuka pintu kamar dengan hati-hati, tak ingin mengganggu siapa pun.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status