Share

Bab 06

Penulis: Syahfa Thea
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-23 15:17:58

"Tak kusangka ternyata ada perempuan murahan di rumah ini. Lagaknya sok suci, tapi diam-diam melakukan hal tidak senonoh," sindir Rina begitu aku dan Putra melangkah masuk ke rumah. Seperti biasa, dia mengejekku dengan nada meremehkan.

Kami baru saja pulang dari akad nikah yang mendadak.

Aku memilih diam, meski dalam hati terasa panas. Sudah biasa dicemooh oleh mereka, tapi kali ini mereka menuduhku yang tidak-tidak.

"Tampan sih, tapi cuma tukang ojek. Di mana lebihnya? Sampai rela menyerahkan diri segala," cibir Yeni sambil melipat tangan di dada. Setali tiga uang dengan Rina, adiknya.

Tanganku terkepal di balik rok. Aku ingin membalas, tapi apa gunanya? Mereka selalu merasa benar, dan aku hanya dianggap benalu di rumah ini.

"Lagaknya sok jual mahal. Menolak Beni hanya gara-gara dia pengangguran. Padahal, walaupun nganggur, orang tuanya kaya raya! Anak tunggal pula. Kalau menikah dengannya, hidupmu pasti terjamin sampai ke cucu buyut!" Rina semakin menjadi, suaranya penuh ejekan.

Aku menarik napas panjang, berusaha mengabaikan mereka. Tak ada gunanya memperpanjang pertengkaran. Aku melirik Putra, berharap dia tidak tersinggung dengan ucapan mereka.

Namun, pria itu hanya menatap Rina dan Yeni dengan ekspresi datar. Tidak marah, tidak tersinggung—seolah mereka hanya angin lalu.

Sejurus kemudian, dia justru tersenyum miring, membuat kedua adik tiriku sedikit terintimidasi. "Mbak Rina, Mbak Yeni, kalian ini kok kepo banget, ya? Jangan-jangan iri sama istri saya? Punya suami setampan saya," ucapnya santai.

Rina langsung melotot. "Siapa yang iri?! Ngimpi aja lu! Tampan juga percuma kalau kantung bokek. Memangnya kebutuhan hidup bisa dibeli dengan wajah tampan?" ejeknya, berusaha meremehkan.

Putra mengangkat bahu, masih dengan wajah tanpa beban. Sementara aku hanya diam, membiarkan Putra mewakili aku membalas mereka.

"Oh, syukurlah kalau nggak iri. Kalau sampai iri, kasihan juga. Kan kalian berdua belum ada yang melamar, ya? Sepertinya kalian produk gagal, ya? Makanya tidak laku," balas Putra dengan santai, tapi tepat sasaran.

Aku menyenggol lengannya, menyuruhnya berhenti, tapi pria itu tetap tenang melawan kata-kata mereka.

Wajah Rina dan Yeni memerah seketika. Aku bisa melihat betapa kesalnya mereka, tapi tak bisa membalas.

Aku akhirnya melangkah lebih cepat ke kamar. Saat menyentuh gagang pintu, aku ragu sejenak, lalu menoleh ke arah Putra.

"Ayo masuk," kataku ketus.

Putra mengangkat alis, tapi tidak membantah. Aku sendiri masih berusaha menerima kenyataan bahwa pria ini sekarang adalah suamiku.

Begitu masuk ke dalam, aku buru-buru berbalik. "Kamu tunggu di sini. Aku mau mandi dan ganti baju," ujarku dingin.

Putra mengamati sekeliling kamar, lalu bertanya, "Ini kamar siapa, Mbak?"

"Tentu saja kamarku. Makanya aku ajak kamu masuk. Masa ini kamar ibu," jawabku ketus.

"Oh." Putra mengangguk. "Saya kira kamar tamu."

Aku mendesah kesal. "Rumah sekecil ini mana mungkin ada kamar tamu? Sudahlah, jangan banyak tanya. Aku sudah kedinginan, mau cepat mandi."

Tanpa menunggu balasannya, aku segera keluar kamar.

Di ruang tengah, Rina dan Yeni sudah tidak terlihat. Syukurlah. Aku tidak ingin mendengar ocehan mereka lagi.

Setelah mengambil baju dan handuk, aku menuju kamar mandi di dekat dapur. Aku membiarkan air dingin mengalir, mencoba menenangkan pikiranku. Segalanya terasa begitu cepat. Aku menikah hari ini—dengan pria yang hampir tidak kukenal.

Hatiku? Jangan tanyakan. Aku masih sakit atas tindakan Mas Niko padaku.

Entah berapa lama aku berada di kamar mandi. Aku lama karena di sana aku banyak melamun, memikirkan semua yang terjadi.

Setelah selesai, aku kembali ke kamar.

*

Putra masih duduk di tepi kasur, tampak menunggu. Saat melihatku masuk, matanya sekilas mengamati wajahku yang kini tanpa makeup.

"Mbak sudah selesai?" tanyanya pelan.

Aku mengangguk sambil berjalan ke meja rias, mengeringkan rambut dengan handuk.

"Kamu nggak mau mandi juga?" tanyaku, sekadar basa-basi.

Putra menggeleng cepat. "Enggak, Mbak. Dingin. Brrr…"

Aku mendengus, lalu duduk di kursi rias. "Ya sudah, urusanmu."

Hening menyelimuti kami beberapa saat, sampai akhirnya Putra membuka suara.

"Mbak, kenapa tadi diam saja?"

Aku mengerjapkan mata. "Hah?"

"Saat adik-adik Mbak bicara seperti itu. Kenapa diam saja?" Putra menatapku serius.

Aku terdiam sejenak, lalu mendesah. "Karena percuma. Mereka memang begitu sejak Ayah meninggal."

"Tapi kalau dibiarkan terus, mereka akan selalu merendahkan Mbak."

Aku tersenyum miris. "Biar saja. Mereka bicara apa pun, aku nggak peduli. Kalau dilawan, malah makin ribut. Mereka bertiga, sedangkan aku sendiri. Ibu mereka juga berkuasa. Kalau aku macam-macam, aku bisa diusir. Terus nanti aku tinggal di mana?"

Putra terdiam, seperti memikirkan kata-kataku.

Setelah beberapa saat, dia berkata, "Mbak bisa mengontrak rumah. Bukankah Mbak sudah bekerja?"

Aku menghela napas. "Gajiku lumayan. Tapi setengahnya habis buat membiayai sekolah Rina. Belum lagi harus... bayar utang," jawabku, sedikit ragu.

Alis Putra bertaut. "Utang? Utang bekas apa? Memangnya utangnya banyak? Kenapa Mbak yang harus membayarnya?"

Aku menggigit bibir, menyesali ucapanku. "Nggak usah tanya. Itu bukan urusanmu," jawabku ketus.

Putra menatapku lama sebelum akhirnya mengangguk pelan.

Aku melirik jam di dinding—sudah sangat larut. Aku harus segera tidur.

Aku melirik kasur, lalu ke arah Putra. Aku tahu dia pasti merasa canggung.

"Sudahlah, Bang. Kamu nggak ngantuk?" tanyaku, berusaha mengalihkan suasana.

Putra tampak ragu. "Bingung, Mbak."

Aku mengernyit. "Bingung kenapa?"

"Saya mau tidur di mana? Kalau saya tidur di kasur, Mbak mau tidur di mana? Masa Mbak mau sekasur sama saya?"

Mataku langsung mendelik mendengar ucapannya.

"Apa? Tidur sekasur denganmu? Enggak-enggak-enggak." Aku langsung menolak. Enak saja mau tidur sekasur denganku. Nanti kalau dia modus dan nerkam aku kayak yang dilakukan Niko pada selingkuhannya, bisa gawat.

"Terus saya harus tidur dimana, Mbak? Di lantai?" Tanya Putra, bingung.

"Ya tentu saja di lantai. Dimana lagi? Ranjang do kamar ini cuma satu. Masa harus aku yang tidur di lantai kamu yang di kasur?" Ucapku sinis.

"Tapi di lantai sangat dingin, Mbak? Hiiy!!" Putra bergidik sambil menatap lantai.

"Halah! Tidak usah lebay. Bilang di lantai dingin. Kamu kan hanya seorang tukang ojek, pasti sering tidur di lantai yang dingin. Lagian kamu itu laki-laki. Jadi harus kuat lebih dari aku yang seorang perempuan," ujarku, mengejek.

"Sudah jangan cerewet! Tidur di lantai atau tidak usah tidur sekalian!" Tegasku, tidak mau dibantah. Kemudian berjalan ke arah lemari. Mengambil selimut biasa, bantal serta selimut bedcover.

Membawa semua alat tidur itu dan menaruhnya di lantai.

"Itu! Kamu tidur di sana. Selimut bedcover kamu jadikan alasnya," ucapku lagi. Menunjuk lantai dengan mataku.

Putra dism sambil menatapku dengan tatapan enggan. Tapi pada akhirnya dia berdiri dari kasur. Lalu berjalan ke arah bedcover. Menggelar selimut bedcover itu. Menata bantal dan selimut. Lalu berbaring di sana.

Aku naik ke kasur. Berbaring membelakangi Putra.

Hening.

Aku menarik selimut lebih erat, menutup mataku rapat-rapat.

Malam pertama sebagai istri? Cih! Aku tidak bisa menerimanya. Bagaimana mungkin aku bisa terjebak menikah dengan laki-laki asing. Sudah begitu dia hanya seorang tukang ojek online lagi. Apa kata Niko nanti kalau bertemu. Dia pasti menghinaku. Lepas dari dia ternyata hanya menikah dengan seorang tukang ojek online.

Coba kalau aku terjebak menikahnya dengan seorang direktur perusahaan. Walaupun kami tidak kenal sama sekali. Walaupun aku belum tentu juga mau padanya. Tapi setidaknya aku bisa membanggakan dia di depan Niko, ibu, Yani dan Rina. Agar mereka tidak meremehkan ku.

Bukannya aku merendahkan profesinya sebagai tukang ojek. Bukan. Tapi.... Ya sudahlah. Percuma dibahas juga. Semua sudah terlanjur terjadi. Tinggal aku memikirkan bagaimana langkah selanjutnya. Tidak mungkin kan aku meneruskan menikah dengan dia?

Bukan karena dia tukang ojek, tapi lebih ke karena aku tidak mengenalnya sama sekali. Bagaimana kalau dia sudah memiliki istri dan aku dijadikan istri kedua?

Hiiiy! Kalau aku dijadikan istri kedua, juga bohong. Aku putus dengan Niko karena dia selingkuh dengan wanita lain. Masa aku malah mau dijadikan istri kedua. Aku enggak mau lah ya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
kutunggu kelanjutannya thoer
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 85

    Sore ini, langit Jakarta terlihat cerah. Seolah ikut merayakan kebahagiaan dua insan yang akhirnya bersatu dengan hati yang utuh. Gedung megah di pusat kota disulap menjadi taman surga. Lampu kristal menggantung di langit-langit yang menjulang tinggi, bunga putih dan ungu tersusun rapi menghiasi setiap sudut, dan musik klasik lembut mengalun memenuhi udara.Hari ini adalah hari resepsi pernikahan Putra dan Jingga—resepsi yang sesungguhnya.Bukan lagi di balai desa dengan kursi seadanya, bukan lagi dengan kebaya pinjaman dan make-up seadanya. Tapi sebuah pesta besar-besaran, tempat mereka menebus janji yang dulu hanya mereka ucapkan di bawah tekanan.Putra berdiri gagah dalam setelan tuxedo hitam berpotongan rapi. Dasi kupu-kupu peraknya serasi dengan bros kecil berbentuk mawar putih di dada kiri. Ia tampak seperti pangeran dari dongeng masa kini. Tapi semua mata tak bisa lepas dari wanita yang perlahan berjalan ke arahnya—Jingga.Gaun pengantinnya menjuntai anggun, dihiasi bordiran m

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 84

    "Jadi karena hal ini makanya kamu membohongi aku selama ini ya Mas?" Ucap Jingga lagi. Mendengar itu, Putra langsung melepaskan pelukannya. Menegakkan kepalanya. "Tidak, Sayang. Sebenarnya awalnya aku tidak berniat membohongimu. Itu tidak Mas sengaja.""Benarkah?" Putra menatap Jingga dalam diam. Matanya masih merah, bibirnya bergetar mencoba menahan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.“Awalnya... aku memang tidak berniat membohongimu,” ucap Putra akhirnya, suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Malam itu... aku baru pulang dari luar negeri. Aku disuruh papa pulang setelah bertahun-tahun berada di luar negeri.""Saat aku pulang, aku tidak langsung ke rumah papa. Juga tidak ke apartemen. Aku malah langsung ke rumah Bambang, Abang Ojol itu.""Tapi saat di rumah Bambang, ada sesuatu yang ingin ku ambil dari apartemen. Karena ingin cepat sampai, aku pinjam motor dan jaket dia. Mungkin kebetulan di waktu ynag sama kamu

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 83

    Mobil kembali melaju pelan setelah momen perkenalan ulang yang manis itu. Jalanan sore mulai tampak lengang. Cahaya matahari senja mengintip dari sela gedung-gedung tinggi, memantulkan cahaya ke kaca mobil.Putra melirik sekilas ke arah Jingga, lalu berkata dengan nada menggoda, “Aku punya kejutan kecil buat kamu.”Jingga mengangkat alis. “Keju...tan? Jangan bilang kamu tiba-tiba mau ngajak aku ke KUA lagi?” candanya, walau separuh hati masih serius.Putra tertawa pendek. “Tenang. Nggak secepat itu juga. Tapi aku mau ajak kamu ke satu tempat. Kita pernah bahagia di sana.”Tak lama, mereka tiba di sebuah gedung apartemen yang tampak familier bagi Jingga. Jingga langsung menatap Putra dengan kening berkerut. “Ini... apartemen kita yang dulu, kan? Bukannya... udah dijual?”Putra hanya tersenyum misterius dan membuka pintu mobil. Dia membukakan pintu untuk Jingga, lalu menuntunnya naik ke lantai atas.Setelah pintu apartemen dibuka, aroma khas ruangan itu langsung menyambut mereka. Sofa a

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 82

    Jingga masih terduduk di lantai, bersandar pada kedua lututnya. Air mata terus mengalir di pipinya, meski pandangannya tertuju kosong ke arah tempat pesawat lepas landas. Dalam hatinya, ia berharap semua ini hanya mimpi. Bahwa Putra belum benar-benar pergi. Bahwa ia masih bisa memutar waktu.Hatinya terasa hampa. Sunyi. Dingin.Meskipun orang-orang masih berlalu-lalang di sekitar, Jingga tidak peduli. Dunia di sekelilingnya seperti kehilangan suara. Bandara yang sibuk itu terasa begitu lengang di matanya.Entah sudah berapa lama ia duduk di sana. Lututnya terasa kaku, tangannya gemetar, dan dadanya sesak. Satu tangan terangkat pelan, menggenggam bajunya sendiri di bagian dada. Ia menekan pelan, mencoba meredakan nyeri yang entah kenapa justru semakin dalam. Air matanya kembali turun.Lalu, sebuah sentuhan mendarat di bahunya. Lembut. Hangat.Jingga tak langsung menoleh. Dalam pikirannya, itu pasti Keysha. Mungkin adik iparnya itu merasa khawatir dan kembali menemaninya."Key... akhirn

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 81

    Pagi masih terasa dingin. Bahkan matahari pun seolah enggan bersinar terang, seakan tahu bahwa hati Jingga sedang diliputi kabut tebal. Ia duduk di kursi dekat jendela, menatap kosong ke luar, sementara secangkir teh di tangannya sudah dingin sejak tadi.Koper kecil masih tergeletak di sudut ruangan. Bukan milik Putra, melainkan miliknya sendiri—kado dari Putra waktu ulang tahun pernikahan pertama mereka. Belum pernah dipakai, belum pernah dibuka. Tapi entah kenapa, tadi malam ia ambil dari lemari dan letakkan di situ. Seolah-olah dirinya sudah bersiap pergi, entah ke mana.Namun, pikirannya masih macet.Pergi ke bandara? Mengejar Putra? Untuk apa?Dia sudah memutuskan semuanya, kan? Sudah siap bercerai. Sudah tidak ingin dibohongi lagi. Sudah cukup.Tapi kenapa hatinya terasa nyeri? Kenapa setiap jam yang berdetak seperti pisau yang menghitung waktu kepergian Putra dari hidupnya… selamanya?Ponselnya tiba-tiba bergetar. Ada nama Keysha di layar ponselnya. Jingga sempat ragu, tapi ak

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 80

    Malam ini adalah malam kedua setelah Keysha memberitahunya kalau Putra akan pergi ke luar negeri. Itu artinya besok. Jingga tak bisa memejamkan mata. Waktu terus bergulir, menit demi menit, tapi kantuk tak juga datang. Yang ada hanya rasa sesak di dada, pikiran yang berkecamuk, dan bayangan wajah Putra yang terus hadir meski sudah berusaha ia buang jauh-jauh.Dia mendesah. Memeluk bantal, memejamkan mata… lalu membukanya lagi. Dada terasa berat. Kata-kata Keisha menggaung kembali di kepalanya."Kalau kamu masih punya sedikit saja rasa untuk Mas Putra, pikirkan baik-baik sebelum dia pergi...""Setelah ini... kamu mungkin tak akan pernah bisa melihatnya lagi."Tiba-tiba, tubuhnya menggigil. Bukan karena dingin. Tapi karena ketakutan. Ketakutan akan kehilangan yang sesungguhnya."Aku marah padamu, Mas... Tapi aku juga takut kehilanganmu..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Dia bangkit perlahan dari tempat tidur. Membuka pintu kamar dengan hati-hati, tak ingin mengganggu siapa pun.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status