Share

Bab 05

Author: Syahfa Thea
last update Last Updated: 2025-06-05 12:36:29

"Saya terima nikah dan kawinnya saudari Jingga Dewi Lestari binti Mustofa dengan maskawin uang lima puluh ribu, dibayar tunai."

Suara ijab kabul mengalun dari mulut Abang Ojol. Atas desakan warga, akhirnya malam itu juga aku dan Abang Ojol yang baru kuketahui saat ijab kabul bernama Putra Dewangga, resmi menikah atas paksaan para warga di sekitar rumahku. Dengan mas kawin hanya lima puluh ribu rupiah saja. Sesuai dengan yang ada di saku celananya. Itu juga ongkos ojek dariku yang belum dia kembalikan. Karena dompetnya tertinggal katanya.

Aku baru menyadari. Kalau ternyata wajah Abang Ojol itu sangat tampan. Tubuhnya juga tinggi proporsional. Menurutku dari wajah dan tubuhnya tidak pantas jadi seorang tukang ojek online. Yang hanya mengendarai motor bebeknya. Dia malah lebih pantas menjadi seorang pembalap yang menaiki motor sport nya.

Tapi sudahlah. Untuk apa memikirkan wajah dan tubuh Abang Ojol bernama Putra itu.

"Bagaimana para saksi? Apakah sudah sah!" Teriak Pak ustad yang menikahkan kami. Aku menggunakan wali hakim untuk waliku. Sebab aku tidak punya ayah ataupun kerabat laki-laki lainnya.

"Sahhh!" Teriak semuanya. Mensahkan ijab kabul pernikahan kami.

Kemudian pak ustad berdoa. Hingga akhirnya acara ijab kabul pun selesai di laksanakan.

Semua orang langsung bubar. Termasuk ibu dan kedua adik tiriku. Mereka tidak peduli padaku. Mereka malah menatapku sinis saat akan pergi meninggalkan aku dan memilih pulang tanpa memperdulikan aku.

Kini di rumah Pak RT tinggal aku, Putra, pak RT, Pak ustad dan tiga laki-laki yang tadi pertama memergoki kami berdua di rumah dalam keadaan berpelukan. Salah satu dari ketiga laki-laki itu bernama Beni. Dia yang tadi membentakku.

Beni ini adalah pemuda pengangguran yang bernasib baik karena memiliki ayah seorang Anggota DPR yang rumahnya paling besar dan mewah di daerah kami. Sudah lama dia menyukaiku dan sering menyatakan cintanya padaku. Tapi tak pernah ku terima. Mengingat kelakuannya yang sombong. Suka memamerkan harta ayahnya.

“Makanya jangan sok jual mahal. Walaupun aku masih pengangguran, tapi setidaknya aku anak seorang pejabat dengan harta warisan yang tidak akan habis tujuh turunan,” ejek Beni. Tersenyum sinis padaku.

“Dari pada dia yang hanya tukang ojek. Bisa sengsara kamu seumur hidup, Jingga,” lanjutnya lagi. Masih tersenyum sinis. Penuh ejekan kepada kami.

"Walaupun dia seorang tukang ojek, tapi setidaknya dia masih punya pekerjaan untuk menghidupi istrinya. Tidak seperti kamu yang hanya pengangguran dan suka pamer harta kekayaan orang tuamu. Mana mau aku menikah dengan pengangguran. Bisa miskin saat orang tua kamu pensiun," balasku akhirnya. Tidak kuat mendengar penghinaannya. Sudah dari tadi aku menahan amarah padanya. Karena dia penyebab aku harus menikah dengan Putra.

"Kau! Kau menghinaku hah!" Bentak Beni, murka. Berjalan ke arahku dengan wajah yang memerah menahan amarah.

Namun dengan cepat Pak RT dan Pak ustad melerai kami.

"Sudah Naik Beni. Jangan berdebat terus. Toh mereka sudah menikah. Tidak perlu berdebat lagi," ujar Pak RT.

"Betul Nak Jingga. Sebaiknya Nak jingga dan Nak Putra juga pulang. Cepat mandi dan ganti baju. Lihat bajumu masih basah. Nanti kamu bisa masuk angin."

"Iya Pak RT dan Pak ustad. Kalau begitu kami pulang," ujarku, akhirnya. Pamit pulang kepada kedua sesepuh kampung itu.

"Yuk Bang. Kita pulang," ujarku. Memegang tangan Putra yang masih diam terpaku. Mungkin masih bingung dengan apa yang sedang terjadi.

Sedangkan aku sengaja memegang tangan Sagara di depan Beni. Sekedar untuk membuat pemuda itu panas dan cemburu melihat kami.

"Huh! Sok mesra. Tadi bilangnya tidak kenal sebelumnya. Sekarang ketahuan kalau kalian memang pasangan mesum. Dasar manusia tak bermoral," sindir Beni, mencibir. Terlihat sekali dari tatapannya yang cemburu.

Aku hanya tersenyum mengejek. Tidak ingin berdebat lagi dengan Beni. Karena aku yakin tidak akan ada habisnya.

Sagara hanya menurut saja apa yang aku lakukan. Dengan masih di tuntun, Sagaraengikuti langkahku dari belakang. Kamu ingin pulang kembali ke rumah yang menjadi penyebab kamu menjadi suami istri yang sah mulai malam ini.

*

Akhirnya kami tiba di depan rumah. Sepanjang perjalanan jalan kaki dari rumah Pak RT, kami diam. Tidak ada satupun yang mengeluarkan suara.

Sejak tadi aku berjalan sambil melamun. Tidak menyangka kalau malam ini aku akan menikah dengan seorang pria yang baru ku kenal. Sebuah pernikahan sederhana yang hanya dibayar dengan mas kawin lima puluh ribu saja. Sebab uang yang dimiliki Bang Putra hanya lima puluh ribu di saku celananya. Itu juga basah karena kehujanan.

Padahal selama ini impianku suatu hari bisa menikah dengan Mas Niko. Dengan konsep pernikahan yang mewah. Sebab Mas Niko sekarang sudah menjadi orang kaya dan memiliki jabatan. Pasti akan sanggup menggelar pesta pernikahan.

Namun nyatanya nasib berkata lain. Apa yang kita impikan belum tentu bisa jadi kenyataan. Buktinya hanya tinggal sebulan lagi aku bisa menikah dengan Mas Niko. Tapi malah memergoki dia sedang berselingkuh dengan wanita lain.

Ditambah malam ini aku malah menikah dengan Abang Ojol bernama Putra. Semakin membuat impianku jauh dari kata kenyataan.

"Mbak. Kita sudah sampai di depan rumah. Mau sampai kapan Mbak memegang tangan saya?" Cetus Putra. Menarikku dari alam lamunan.

Aku kaget. Tatapan mataku langsung mengarah ke tanganku yang memang masih memegang tangan Putra. Aku baru sadar kalau sejak tadi aku terus menuntun tangan laki-laki itu.

"Maaf. Aku lupa," ucapku. Segera melepaskan tanganku darinya.

Dia tersenyum. Tapi tidak berkata apa-apa.

"Kita masuk sekarang," ajakku lagi. Melangkah menuju pintu rumah.

"Mbak," panggil Putra, tiba-tiba.

Aku segera menoleh ke arahnya yang ternyata masih berdiri di halaman. Belum naik ke teras.

"Ada apa?" Tanyaku, heran.

"Apa Mbak yakin akan membawa saya masuk dan menginap di rumah Mbak?" Tanya Putra, ragu.

"Tentu saja. Walaupun aku sebenarnya tidak mau, tapi apa boleh buat. Kamu sudah menjadi suamiku. Tidak mungkin aku menyuruhmu pulang. Nanti dikira warga kamu kabur dan tidak mau bertanggung jawab padaku. Bisa berabe lagi nantinya," jawabku, tiba-tiba ketus. Mendengar pertanyaannya itu, membuat aku kesal. Karena masih bertanya sesuatu hal yang tidak perlu dipertanyakan.

"Ya sudah kalau Mbak yakin mengizinkan saya masuk, saya juga akan masuk." Putra baru mau melangkah. Menaiki teras rumahku.

Namun baru dua langkah berjalan. Tiba-tiba Putra menghentikan langkahnya sambil berteriak,

"Hah! Tunggu sebentar Mbak!"

"Apa lagi?" Bentakku sambil menoleh.

"Itu Mbak. Motor saya ke mana? Tadi saya tinggalkan di sini. Aduh. Bagaimana ini? Kemana motor saya?" Jawab Putra, panik. Mencari motor yang tadi diparkirkan di pojok teras rumah.

Aku segera menoleh ke pojok. Baru sadar ternyata memang motor Putra sudah tidak ada di tempatnya.

"Iya benar. Motor kamu sudah tidak ada. Kemana ya? Jangan-jangan ada yang mencurinya," ucapku, mencoba menebak.

"Tidak Mbak. Jangan sampai motor saya hilang dicuri orang. Bagaimana nanti saya harus bertanggung jawab kepada teman saya?" Putra semakin panik mendengar tebakanku. Dia mondar mandir dengan wajah paniknya. Mencari motor yang tadi ditumpanginya.

"Kenapa kamu harus bertanggung jawab kepada teman kamu? Bukankah itu motor milik kamu?" Aku mengerutkan dahi mendengar kepanikannya.

"Bukan Mbak. Itu motor milik teman saya. Motor saya sedang di bengkel. Makanya saya pinjam motor teman saya. Bagaimana ini Mbak? Apa yang harus saya katakan pada teman saya nanti? Saya juga harus mengganti motor itu. Dari mana saya punya uang sebanyak itu untuk mengganti motor teman saya? Tolong bantu saya, Mbak. Carikan motor saya," rengek Putra. Seperti seorang anak kecil. Meminta tolong aku membantu mencarinya.

"Iya. Aku juga ini lagi ikut nyari kayak kamu," jawabku, ketus lagi. Sebab kepanikannya malah menular padaku.

Di tengah kamu kebingungan mencari motor milik Putra. Tiba-tiba pintu rumah terbuka. Aku langsung menoleh ke arah pintu. Ibu tiriku muncul dari balik pintu. Berdiri sambil berkacak pinggang.

"Ada apa ini? Malam-malam bukannya masuk rumah, malah masih ribut di luar. Memangnya tidak cukup keributan yang kalian buat tadi hah?" Sinis ibu tiriku. Marah melihat kami masih ribut di luar.

"Bu. Ibu melihat motor Bang Putra? Tadi saat di arak ke rumah Pak RT, motor Bang Putra ada di teras. Tapi sekarang tidak ada," tanyaku pada ibu tiriku.

Ibu tiriku langsung merotasikan matanya, jengah mendengar pertanyaanku. Juga kepanikanku.

"Ck... Ck... Motor butut saja di ributkan. Sudah aku simpan motornya di belakang rumah." Ibu tiriku berdecak sambil mengatakan tentang keberadaan motor itu.

"Syukurlah. Ternyata motor itu sudah aman, Bang. Jadi Abang tidak perlu panik lagi. Besok Abang bisa membawa motornya pergi," ujar ku, mengusap dada, lega.

"Iya Mbak. Syukurlah. Motornya bukan dicuri, tapi di simpan ibu. Terima kasih Bu." Putra ikut bicara. Berterima kasih pada ibu tiriku.

"Enak saja. Mulai sekarang motor itu bukan milik dia lagi. Kamu tidak bisa membawa atau memakainya tanpa seizinku. Motor itu sudah menjadi milikku. Anggap saja untuk membayar keributan yang kalian timbulkan malam ini. Juga untuk menebus rasa malu kami kepada tetangga, atas perbuatan kalian tadi." Cerocos ibu tiriku, tenang. Setelah itu dia kembali masuk ke rumah tanpa menutup pintunya dan tanpa menunggu aku dan Putra bertanya dulu apa maksudnya.

"Hah!" Aku dan Putra hanya bisa melongo menatap kepergian ibu tiriku yang menghilang karena masuk ke dalam rumah.

"Bagaimana ini Mbak? Kalau motornya diambil ibu Mbak, itu artinya saya harus mengganti motor itu kepada teman saya. Darimana saya bisa mendapat uang sebanyak itu?" Putra kembali panik. Dia seperti ingin menangis karena memikirkan motor itu.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Kesal dengan sikapnya yang selalu saja gampang panik.

"Sudah! Jangan ribut terus di luar. Nanti para warga datang lagi kemari. Mending Ita masuk ke dalam," ajakku. Menyuruh dia masuk ke dalam rumah.

"Tapi motor saya, Mbak..."

"Aku bilang sudahlah. Besok motor itu aku tebis dari ibu tiriku. Aku masih punya tabungan yang cukup di bank kalau hanya sekedar untuk menebus motor itu. Cepat masuk! Sudah malam," ujarku lagi. Melangkah masuk tanpa memperdulikan Putra lagi.

"Hah! Benarkah Mbak punya tabungan sebanyak itu? Mbak jawab. Jangan malah pergi. Tunggu! Saya ikut," teriak Putra. Melangkah mengikuti ku.

Kami pun segera masuk ke dalam rumah. Ingin segera membersihkan tubuhku dan beristirahat..

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 85

    Sore ini, langit Jakarta terlihat cerah. Seolah ikut merayakan kebahagiaan dua insan yang akhirnya bersatu dengan hati yang utuh. Gedung megah di pusat kota disulap menjadi taman surga. Lampu kristal menggantung di langit-langit yang menjulang tinggi, bunga putih dan ungu tersusun rapi menghiasi setiap sudut, dan musik klasik lembut mengalun memenuhi udara.Hari ini adalah hari resepsi pernikahan Putra dan Jingga—resepsi yang sesungguhnya.Bukan lagi di balai desa dengan kursi seadanya, bukan lagi dengan kebaya pinjaman dan make-up seadanya. Tapi sebuah pesta besar-besaran, tempat mereka menebus janji yang dulu hanya mereka ucapkan di bawah tekanan.Putra berdiri gagah dalam setelan tuxedo hitam berpotongan rapi. Dasi kupu-kupu peraknya serasi dengan bros kecil berbentuk mawar putih di dada kiri. Ia tampak seperti pangeran dari dongeng masa kini. Tapi semua mata tak bisa lepas dari wanita yang perlahan berjalan ke arahnya—Jingga.Gaun pengantinnya menjuntai anggun, dihiasi bordiran m

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 84

    "Jadi karena hal ini makanya kamu membohongi aku selama ini ya Mas?" Ucap Jingga lagi. Mendengar itu, Putra langsung melepaskan pelukannya. Menegakkan kepalanya. "Tidak, Sayang. Sebenarnya awalnya aku tidak berniat membohongimu. Itu tidak Mas sengaja.""Benarkah?" Putra menatap Jingga dalam diam. Matanya masih merah, bibirnya bergetar mencoba menahan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.“Awalnya... aku memang tidak berniat membohongimu,” ucap Putra akhirnya, suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Malam itu... aku baru pulang dari luar negeri. Aku disuruh papa pulang setelah bertahun-tahun berada di luar negeri.""Saat aku pulang, aku tidak langsung ke rumah papa. Juga tidak ke apartemen. Aku malah langsung ke rumah Bambang, Abang Ojol itu.""Tapi saat di rumah Bambang, ada sesuatu yang ingin ku ambil dari apartemen. Karena ingin cepat sampai, aku pinjam motor dan jaket dia. Mungkin kebetulan di waktu ynag sama kamu

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 83

    Mobil kembali melaju pelan setelah momen perkenalan ulang yang manis itu. Jalanan sore mulai tampak lengang. Cahaya matahari senja mengintip dari sela gedung-gedung tinggi, memantulkan cahaya ke kaca mobil.Putra melirik sekilas ke arah Jingga, lalu berkata dengan nada menggoda, “Aku punya kejutan kecil buat kamu.”Jingga mengangkat alis. “Keju...tan? Jangan bilang kamu tiba-tiba mau ngajak aku ke KUA lagi?” candanya, walau separuh hati masih serius.Putra tertawa pendek. “Tenang. Nggak secepat itu juga. Tapi aku mau ajak kamu ke satu tempat. Kita pernah bahagia di sana.”Tak lama, mereka tiba di sebuah gedung apartemen yang tampak familier bagi Jingga. Jingga langsung menatap Putra dengan kening berkerut. “Ini... apartemen kita yang dulu, kan? Bukannya... udah dijual?”Putra hanya tersenyum misterius dan membuka pintu mobil. Dia membukakan pintu untuk Jingga, lalu menuntunnya naik ke lantai atas.Setelah pintu apartemen dibuka, aroma khas ruangan itu langsung menyambut mereka. Sofa a

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 82

    Jingga masih terduduk di lantai, bersandar pada kedua lututnya. Air mata terus mengalir di pipinya, meski pandangannya tertuju kosong ke arah tempat pesawat lepas landas. Dalam hatinya, ia berharap semua ini hanya mimpi. Bahwa Putra belum benar-benar pergi. Bahwa ia masih bisa memutar waktu.Hatinya terasa hampa. Sunyi. Dingin.Meskipun orang-orang masih berlalu-lalang di sekitar, Jingga tidak peduli. Dunia di sekelilingnya seperti kehilangan suara. Bandara yang sibuk itu terasa begitu lengang di matanya.Entah sudah berapa lama ia duduk di sana. Lututnya terasa kaku, tangannya gemetar, dan dadanya sesak. Satu tangan terangkat pelan, menggenggam bajunya sendiri di bagian dada. Ia menekan pelan, mencoba meredakan nyeri yang entah kenapa justru semakin dalam. Air matanya kembali turun.Lalu, sebuah sentuhan mendarat di bahunya. Lembut. Hangat.Jingga tak langsung menoleh. Dalam pikirannya, itu pasti Keysha. Mungkin adik iparnya itu merasa khawatir dan kembali menemaninya."Key... akhirn

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 81

    Pagi masih terasa dingin. Bahkan matahari pun seolah enggan bersinar terang, seakan tahu bahwa hati Jingga sedang diliputi kabut tebal. Ia duduk di kursi dekat jendela, menatap kosong ke luar, sementara secangkir teh di tangannya sudah dingin sejak tadi.Koper kecil masih tergeletak di sudut ruangan. Bukan milik Putra, melainkan miliknya sendiri—kado dari Putra waktu ulang tahun pernikahan pertama mereka. Belum pernah dipakai, belum pernah dibuka. Tapi entah kenapa, tadi malam ia ambil dari lemari dan letakkan di situ. Seolah-olah dirinya sudah bersiap pergi, entah ke mana.Namun, pikirannya masih macet.Pergi ke bandara? Mengejar Putra? Untuk apa?Dia sudah memutuskan semuanya, kan? Sudah siap bercerai. Sudah tidak ingin dibohongi lagi. Sudah cukup.Tapi kenapa hatinya terasa nyeri? Kenapa setiap jam yang berdetak seperti pisau yang menghitung waktu kepergian Putra dari hidupnya… selamanya?Ponselnya tiba-tiba bergetar. Ada nama Keysha di layar ponselnya. Jingga sempat ragu, tapi ak

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 80

    Malam ini adalah malam kedua setelah Keysha memberitahunya kalau Putra akan pergi ke luar negeri. Itu artinya besok. Jingga tak bisa memejamkan mata. Waktu terus bergulir, menit demi menit, tapi kantuk tak juga datang. Yang ada hanya rasa sesak di dada, pikiran yang berkecamuk, dan bayangan wajah Putra yang terus hadir meski sudah berusaha ia buang jauh-jauh.Dia mendesah. Memeluk bantal, memejamkan mata… lalu membukanya lagi. Dada terasa berat. Kata-kata Keisha menggaung kembali di kepalanya."Kalau kamu masih punya sedikit saja rasa untuk Mas Putra, pikirkan baik-baik sebelum dia pergi...""Setelah ini... kamu mungkin tak akan pernah bisa melihatnya lagi."Tiba-tiba, tubuhnya menggigil. Bukan karena dingin. Tapi karena ketakutan. Ketakutan akan kehilangan yang sesungguhnya."Aku marah padamu, Mas... Tapi aku juga takut kehilanganmu..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Dia bangkit perlahan dari tempat tidur. Membuka pintu kamar dengan hati-hati, tak ingin mengganggu siapa pun.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status