"Saya terima nikah dan kawinnya saudari Jingga Dewi Lestari binti Mustofa dengan maskawin uang lima puluh ribu, dibayar tunai."
Suara ijab kabul mengalun dari mulut Abang Ojol. Atas desakan warga, akhirnya malam itu juga aku dan Abang Ojol yang baru kuketahui saat ijab kabul bernama Putra Dewangga, resmi menikah atas paksaan para warga di sekitar rumahku. Dengan mas kawin hanya lima puluh ribu rupiah saja. Sesuai dengan yang ada di saku celananya. Itu juga ongkos ojek dariku yang belum dia kembalikan. Karena dompetnya tertinggal katanya. Aku baru menyadari. Kalau ternyata wajah Abang Ojol itu sangat tampan. Tubuhnya juga tinggi proporsional. Menurutku dari wajah dan tubuhnya tidak pantas jadi seorang tukang ojek online. Yang hanya mengendarai motor bebeknya. Dia malah lebih pantas menjadi seorang pembalap yang menaiki motor sport nya. Tapi sudahlah. Untuk apa memikirkan wajah dan tubuh Abang Ojol bernama Putra itu. "Bagaimana para saksi? Apakah sudah sah!" Teriak Pak ustad yang menikahkan kami. Aku menggunakan wali hakim untuk waliku. Sebab aku tidak punya ayah ataupun kerabat laki-laki lainnya. "Sahhh!" Teriak semuanya. Mensahkan ijab kabul pernikahan kami. Kemudian pak ustad berdoa. Hingga akhirnya acara ijab kabul pun selesai di laksanakan. Semua orang langsung bubar. Termasuk ibu dan kedua adik tiriku. Mereka tidak peduli padaku. Mereka malah menatapku sinis saat akan pergi meninggalkan aku dan memilih pulang tanpa memperdulikan aku. Kini di rumah Pak RT tinggal aku, Putra, pak RT, Pak ustad dan tiga laki-laki yang tadi pertama memergoki kami berdua di rumah dalam keadaan berpelukan. Salah satu dari ketiga laki-laki itu bernama Beni. Dia yang tadi membentakku. Beni ini adalah pemuda pengangguran yang bernasib baik karena memiliki ayah seorang Anggota DPR yang rumahnya paling besar dan mewah di daerah kami. Sudah lama dia menyukaiku dan sering menyatakan cintanya padaku. Tapi tak pernah ku terima. Mengingat kelakuannya yang sombong. Suka memamerkan harta ayahnya. “Makanya jangan sok jual mahal. Walaupun aku masih pengangguran, tapi setidaknya aku anak seorang pejabat dengan harta warisan yang tidak akan habis tujuh turunan,” ejek Beni. Tersenyum sinis padaku. “Dari pada dia yang hanya tukang ojek. Bisa sengsara kamu seumur hidup, Jingga,” lanjutnya lagi. Masih tersenyum sinis. Penuh ejekan kepada kami. "Walaupun dia seorang tukang ojek, tapi setidaknya dia masih punya pekerjaan untuk menghidupi istrinya. Tidak seperti kamu yang hanya pengangguran dan suka pamer harta kekayaan orang tuamu. Mana mau aku menikah dengan pengangguran. Bisa miskin saat orang tua kamu pensiun," balasku akhirnya. Tidak kuat mendengar penghinaannya. Sudah dari tadi aku menahan amarah padanya. Karena dia penyebab aku harus menikah dengan Putra. "Kau! Kau menghinaku hah!" Bentak Beni, murka. Berjalan ke arahku dengan wajah yang memerah menahan amarah. Namun dengan cepat Pak RT dan Pak ustad melerai kami. "Sudah Naik Beni. Jangan berdebat terus. Toh mereka sudah menikah. Tidak perlu berdebat lagi," ujar Pak RT. "Betul Nak Jingga. Sebaiknya Nak jingga dan Nak Putra juga pulang. Cepat mandi dan ganti baju. Lihat bajumu masih basah. Nanti kamu bisa masuk angin." "Iya Pak RT dan Pak ustad. Kalau begitu kami pulang," ujarku, akhirnya. Pamit pulang kepada kedua sesepuh kampung itu. "Yuk Bang. Kita pulang," ujarku. Memegang tangan Putra yang masih diam terpaku. Mungkin masih bingung dengan apa yang sedang terjadi. Sedangkan aku sengaja memegang tangan Sagara di depan Beni. Sekedar untuk membuat pemuda itu panas dan cemburu melihat kami. "Huh! Sok mesra. Tadi bilangnya tidak kenal sebelumnya. Sekarang ketahuan kalau kalian memang pasangan mesum. Dasar manusia tak bermoral," sindir Beni, mencibir. Terlihat sekali dari tatapannya yang cemburu. Aku hanya tersenyum mengejek. Tidak ingin berdebat lagi dengan Beni. Karena aku yakin tidak akan ada habisnya. Sagara hanya menurut saja apa yang aku lakukan. Dengan masih di tuntun, Sagaraengikuti langkahku dari belakang. Kamu ingin pulang kembali ke rumah yang menjadi penyebab kamu menjadi suami istri yang sah mulai malam ini. * Akhirnya kami tiba di depan rumah. Sepanjang perjalanan jalan kaki dari rumah Pak RT, kami diam. Tidak ada satupun yang mengeluarkan suara. Sejak tadi aku berjalan sambil melamun. Tidak menyangka kalau malam ini aku akan menikah dengan seorang pria yang baru ku kenal. Sebuah pernikahan sederhana yang hanya dibayar dengan mas kawin lima puluh ribu saja. Sebab uang yang dimiliki Bang Putra hanya lima puluh ribu di saku celananya. Itu juga basah karena kehujanan. Padahal selama ini impianku suatu hari bisa menikah dengan Mas Niko. Dengan konsep pernikahan yang mewah. Sebab Mas Niko sekarang sudah menjadi orang kaya dan memiliki jabatan. Pasti akan sanggup menggelar pesta pernikahan. Namun nyatanya nasib berkata lain. Apa yang kita impikan belum tentu bisa jadi kenyataan. Buktinya hanya tinggal sebulan lagi aku bisa menikah dengan Mas Niko. Tapi malah memergoki dia sedang berselingkuh dengan wanita lain. Ditambah malam ini aku malah menikah dengan Abang Ojol bernama Putra. Semakin membuat impianku jauh dari kata kenyataan. "Mbak. Kita sudah sampai di depan rumah. Mau sampai kapan Mbak memegang tangan saya?" Cetus Putra. Menarikku dari alam lamunan. Aku kaget. Tatapan mataku langsung mengarah ke tanganku yang memang masih memegang tangan Putra. Aku baru sadar kalau sejak tadi aku terus menuntun tangan laki-laki itu. "Maaf. Aku lupa," ucapku. Segera melepaskan tanganku darinya. Dia tersenyum. Tapi tidak berkata apa-apa. "Kita masuk sekarang," ajakku lagi. Melangkah menuju pintu rumah. "Mbak," panggil Putra, tiba-tiba. Aku segera menoleh ke arahnya yang ternyata masih berdiri di halaman. Belum naik ke teras. "Ada apa?" Tanyaku, heran. "Apa Mbak yakin akan membawa saya masuk dan menginap di rumah Mbak?" Tanya Putra, ragu. "Tentu saja. Walaupun aku sebenarnya tidak mau, tapi apa boleh buat. Kamu sudah menjadi suamiku. Tidak mungkin aku menyuruhmu pulang. Nanti dikira warga kamu kabur dan tidak mau bertanggung jawab padaku. Bisa berabe lagi nantinya," jawabku, tiba-tiba ketus. Mendengar pertanyaannya itu, membuat aku kesal. Karena masih bertanya sesuatu hal yang tidak perlu dipertanyakan. "Ya sudah kalau Mbak yakin mengizinkan saya masuk, saya juga akan masuk." Putra baru mau melangkah. Menaiki teras rumahku. Namun baru dua langkah berjalan. Tiba-tiba Putra menghentikan langkahnya sambil berteriak, "Hah! Tunggu sebentar Mbak!" "Apa lagi?" Bentakku sambil menoleh. "Itu Mbak. Motor saya ke mana? Tadi saya tinggalkan di sini. Aduh. Bagaimana ini? Kemana motor saya?" Jawab Putra, panik. Mencari motor yang tadi diparkirkan di pojok teras rumah. Aku segera menoleh ke pojok. Baru sadar ternyata memang motor Putra sudah tidak ada di tempatnya. "Iya benar. Motor kamu sudah tidak ada. Kemana ya? Jangan-jangan ada yang mencurinya," ucapku, mencoba menebak. "Tidak Mbak. Jangan sampai motor saya hilang dicuri orang. Bagaimana nanti saya harus bertanggung jawab kepada teman saya?" Putra semakin panik mendengar tebakanku. Dia mondar mandir dengan wajah paniknya. Mencari motor yang tadi ditumpanginya. "Kenapa kamu harus bertanggung jawab kepada teman kamu? Bukankah itu motor milik kamu?" Aku mengerutkan dahi mendengar kepanikannya. "Bukan Mbak. Itu motor milik teman saya. Motor saya sedang di bengkel. Makanya saya pinjam motor teman saya. Bagaimana ini Mbak? Apa yang harus saya katakan pada teman saya nanti? Saya juga harus mengganti motor itu. Dari mana saya punya uang sebanyak itu untuk mengganti motor teman saya? Tolong bantu saya, Mbak. Carikan motor saya," rengek Putra. Seperti seorang anak kecil. Meminta tolong aku membantu mencarinya. "Iya. Aku juga ini lagi ikut nyari kayak kamu," jawabku, ketus lagi. Sebab kepanikannya malah menular padaku. Di tengah kamu kebingungan mencari motor milik Putra. Tiba-tiba pintu rumah terbuka. Aku langsung menoleh ke arah pintu. Ibu tiriku muncul dari balik pintu. Berdiri sambil berkacak pinggang. "Ada apa ini? Malam-malam bukannya masuk rumah, malah masih ribut di luar. Memangnya tidak cukup keributan yang kalian buat tadi hah?" Sinis ibu tiriku. Marah melihat kami masih ribut di luar. "Bu. Ibu melihat motor Bang Putra? Tadi saat di arak ke rumah Pak RT, motor Bang Putra ada di teras. Tapi sekarang tidak ada," tanyaku pada ibu tiriku. Ibu tiriku langsung merotasikan matanya, jengah mendengar pertanyaanku. Juga kepanikanku. "Ck... Ck... Motor butut saja di ributkan. Sudah aku simpan motornya di belakang rumah." Ibu tiriku berdecak sambil mengatakan tentang keberadaan motor itu. "Syukurlah. Ternyata motor itu sudah aman, Bang. Jadi Abang tidak perlu panik lagi. Besok Abang bisa membawa motornya pergi," ujar ku, mengusap dada, lega. "Iya Mbak. Syukurlah. Motornya bukan dicuri, tapi di simpan ibu. Terima kasih Bu." Putra ikut bicara. Berterima kasih pada ibu tiriku. "Enak saja. Mulai sekarang motor itu bukan milik dia lagi. Kamu tidak bisa membawa atau memakainya tanpa seizinku. Motor itu sudah menjadi milikku. Anggap saja untuk membayar keributan yang kalian timbulkan malam ini. Juga untuk menebus rasa malu kami kepada tetangga, atas perbuatan kalian tadi." Cerocos ibu tiriku, tenang. Setelah itu dia kembali masuk ke rumah tanpa menutup pintunya dan tanpa menunggu aku dan Putra bertanya dulu apa maksudnya. "Hah!" Aku dan Putra hanya bisa melongo menatap kepergian ibu tiriku yang menghilang karena masuk ke dalam rumah. "Bagaimana ini Mbak? Kalau motornya diambil ibu Mbak, itu artinya saya harus mengganti motor itu kepada teman saya. Darimana saya bisa mendapat uang sebanyak itu?" Putra kembali panik. Dia seperti ingin menangis karena memikirkan motor itu. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Kesal dengan sikapnya yang selalu saja gampang panik. "Sudah! Jangan ribut terus di luar. Nanti para warga datang lagi kemari. Mending Ita masuk ke dalam," ajakku. Menyuruh dia masuk ke dalam rumah. "Tapi motor saya, Mbak..." "Aku bilang sudahlah. Besok motor itu aku tebis dari ibu tiriku. Aku masih punya tabungan yang cukup di bank kalau hanya sekedar untuk menebus motor itu. Cepat masuk! Sudah malam," ujarku lagi. Melangkah masuk tanpa memperdulikan Putra lagi. "Hah! Benarkah Mbak punya tabungan sebanyak itu? Mbak jawab. Jangan malah pergi. Tunggu! Saya ikut," teriak Putra. Melangkah mengikuti ku. Kami pun segera masuk ke dalam rumah. Ingin segera membersihkan tubuhku dan beristirahat.."Aaakkkh!"Aku berteriak sekuat tenaga saat melihat seekor kecoak tiba-tiba hinggap di kakiku. Seketika tubuhku merinding, gemetar hebat. Seolah situasi belum cukup buruk, lampu rumah juga mendadak padam, menambah ketakutanku.Aku membeku di tempat, tubuh menggigil bukan hanya karena ketakutan tetapi juga kedinginan. Handuk dan baju yang tadi kubawa tercecer di lantai. Aku benar-benar panik.Tiga hal yang paling kutakuti: kecoak, kegelapan, dan suara petir."Mbak! Mbak nggak apa-apa?" suara seorang laki-laki terdengar dari luar. Itu suara abang ojol yang tadi mengantarku pulang. Kudengar langkahnya mendekat ke arah pintu."Aakkh! To_tolong!" Suaraku bergetar, tertahan oleh rasa takut yang melumpuhkan."Mbak, saya boleh masuk?" tanyanya lagi, kali ini terdengar lebih cemas.Aku tidak menjawab. Aku bahkan tidak bisa berpikir jernih. Aku hanya bisa menangis dan meracau."Aayah… Iibu… tolong Jingga… Jingga takut…"Hingga tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh bahuku dalam gelap."Mbak… ternya
"Saya terima nikah dan kawinnya saudari Jingga Dewi Lestari binti Mustofa dengan maskawin uang lima puluh ribu, dibayar tunai." Suara ijab kabul mengalun dari mulut Abang Ojol. Atas desakan warga, akhirnya malam itu juga aku dan Abang Ojol yang baru kuketahui saat ijab kabul bernama Putra Dewangga, resmi menikah atas paksaan para warga di sekitar rumahku. Dengan mas kawin hanya lima puluh ribu rupiah saja. Sesuai dengan yang ada di saku celananya. Itu juga ongkos ojek dariku yang belum dia kembalikan. Karena dompetnya tertinggal katanya. Aku baru menyadari. Kalau ternyata wajah Abang Ojol itu sangat tampan. Tubuhnya juga tinggi proporsional. Menurutku dari wajah dan tubuhnya tidak pantas jadi seorang tukang ojek online. Yang hanya mengendarai motor bebeknya. Dia malah lebih pantas menjadi seorang pembalap yang menaiki motor sport nya. Tapi sudahlah. Untuk apa memikirkan wajah dan tubuh Abang Ojol bernama Putra itu. "Bagaimana para saksi? Apakah sudah sah!" Teriak Pak ustad yang
"Aaakkkh!"Aku berteriak sekuat tenaga saat melihat seekor kecoak tiba-tiba hinggap di kakiku. Seketika tubuhku merinding, gemetar hebat. Seolah situasi belum cukup buruk, lampu rumah juga mendadak padam, menambah ketakutanku.Aku membeku di tempat, tubuh menggigil bukan hanya karena ketakutan tetapi juga kedinginan. Handuk dan baju yang tadi kubawa tercecer di lantai. Aku benar-benar panik.Tiga hal yang paling kutakuti: kecoak, kegelapan, dan suara petir."Mbak! Mbak nggak apa-apa?" suara seorang laki-laki terdengar dari luar. Itu suara abang ojol yang tadi mengantarku pulang. Kudengar langkahnya mendekat ke arah pintu."Aakkh! To_tolong!" Suaraku bergetar, tertahan oleh rasa takut yang melumpuhkan."Mbak, saya boleh masuk?" tanyanya lagi, kali ini terdengar lebih cemas.Aku tidak menjawab. Aku bahkan tidak bisa berpikir jernih. Aku hanya bisa menangis dan meracau."Aayah… Iibu… tolong Jingga… Jingga takut…"Hingga tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh bahuku dalam gelap."Mbak… ternya
Aku keluar dari apartemen Mas Niko dengan perasaan sakit. Setengah berlari, aku menuju lift apartemen. Kupencet tombolnya, dan tak lama kemudian, lift yang kebetulan kosong langsung terbuka.Aku masuk dan berdiri di depan cermin dalam lift. Begitu pintu tertutup, kedua telapak tanganku terangkat, menutupi wajahku yang kembali dibanjiri air mata. Aku menangis tersedu-sedu."Niko jahat! Niko brengsek! Niko buaya! Tidak tahu diri! Kamu bilang kita putus karena aku anak yatim piatu. Memangnya kenapa kalau aku yatim piatu? Bukan keinginanku ditinggal mati orang tuaku!" umpatku di sela tangisan, meluapkan kekesalanku yang seharusnya tadi kuucapkan langsung di depan wajahnya."Kamu bilang kita putus karena aku hanya karyawan biasa. Tidak selevel denganmu. Memangnya kenapa kalau aku hanya karyawan biasa? Gajiku tinggi! Bahkan dengan gaji itulah kamu bisa menyelesaikan kuliah D3-mu saat keluargamu kesulitan ekonomi!""Kalau aku memang tidak selevel denganmu, kenapa baru sekarang kamu bilang? S
"Dor! Kejut..."“A-apa yang kamu lakukan, Mas?” teriakku saat membuka pintu kamar Mas Niko, ingin memberikan kejutan untuknya.Tapi teriakanku terhenti begitu saja. Aku membeku di tempat. Kejutanku berubah menjadi keterkejutan yang luar biasa.Pandanganku tertuju pada ranjang. Nafasku memburu, dadaku sesak. Kaki terasa berat untuk digerakkan. Mulutku terkunci rapat. Aku hanya bisa berdiri terpaku, menyaksikan pemandangan di depanku—sesuatu yang tidak pernah kubayangkan akan kulihat.Di sana, di atas ranjang Mas Niko, aku melihat sepasang manusia tengah beradu peluh, berbagi saliva dengan rakus. Saling menyerang, saling bertahan.Aku seperti sedang menonton adegan film dewasa secara langsung. Tapi yang lebih menyakitkan, aktor utama dalam pertunjukan itu adalah Mas Niko, kekasihku sendiri!“M-Mas Niko... A-apa yang kamu lakukan?” suaraku bergetar, nyaris tak terdengar.Niko menoleh cepat. Wajahnya yang tadinya dipenuhi gairah berubah pucat pasi. Ia tampak kaget dan panik. Dengan geraka
Namaku Jingga. Kependekan dari Jingga Dewi Lestari. Orang lebih suka memanggilku dengan nama Jingga. Usiaku 23 tahun. Hanya lulusan SMA. Bekerja di sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang produsen berbagai jenis makanan dan minuman. Sebagai seorang karyawan biasa.Mungkin karena ijazahku yang hanya SMA, yang membuatku tidak bisa mengejar jabatan ke jenjang yang lebih tinggi. Meski hanya karyawan biasa. Tapi aku bersyukur bisa bekerja di sana. Sebab gaji yang diberikan kepada setiap karyawan jauh diatas rata-rata gaji UMR. Kata orang wajahku sangat cantik. Terbukti saat sekolah dulu, banyak yang menyukaiku. Namun hanya satu yang kucintai sejak dulu. Sejak aku kelas tiga SMA sampai sekarang. Dia adalah Niko. Teman setingkatku tapi beda sekolah. Dengan Mas Niko aku sudah menjalani hubungan pacaran selama lima tahun. Sebulan lagi kami berencana akan menikah. *Malam ini sepulang kerja, aku berjalan di koridor sebuah apartemen. Hari ini aku ingin menemui Mas Niko. Laki-laki yan