Share

Bab 7 - Kegilaan Wijaya

“Hello? Apakah masih ada orang?”

Aku merasakan ada air yang terkena wajahku saat ini, benar saja ternyata Andre pelakunya. Benar-benar usil dan menjengkelkan, bagaimana mungkin bisa sudah berkepala tiga masih saja bersikap seperti dulu. Andre tetaplah Andre yang dulu aku kenal dengan sangat baik.

“Nah, gitu dong. Masa harus dikepret dulu sama air baru sadar, kebiasaan,” cicit Andre masih dengan tawanya.

“Ish, Andre! Hentikan, aku basah jadinya.”

Setelah dia berhenti usil, aku baru menyadari bahwa air yang sedari tadi terkena wajahku adalah jus bukan hanya air biasa, oh Andre! Pantas saja wajah ini sangat lengket tak nyaman dirasa, ingin rasanya ku balas semua ulahnya hari ini akan tetapi dering telepon berhasil membuyarkan semua yang terjadi.

Ku periksa ternyata bukan ponsel ku, lalu aku menatapnya dengan tatapan mata bertanya, seperti sudah mengerti akan arti dari kode mataku, Andre pun memeriksa ponsel nya masih berada di hadapan ku.

Sesaat dia diam, aku pun diam menunggu pergerakannya lagi, kenapa Andre masih saja membisu? Memangnya siapa yang menghubungi dia? Ah, sudah cukup hentikan semua rasa ingin tahu ini Mawar, bagaimanapun juga Andre pasti sudah memiliki kehidupan yang baru, kehidupan yang tidak ada aku didalamnya.

“Hmm, apakah ada lagi hal yang ingin kamu tanyakan? Atau mungkin sesuatu yang kamu ingin sampaikan pada saya?” Tiba-tiba Andre bertanya seperti itu padaku.

“Aku memang berniat untuk bertanya perihal warisan itu kepadamu seperti yang sudah ku tanyakan tadi, tapi ....”

“Kalau begitu, nanti kita kembali bicarakan kelanjutannya melalui telepon oke? Sekarang, saya harus pergi. Bukan berarti saya lari dari tanggung jawab permasalahan ini, hanya saja ... Saya perlu pergi saat ini.”

Tadinya aku ingin lebih lama mengobrol dengannya untuk menebus segalanya yang sudah berlalu dimasa lalu, tetapi aku lihat dan ku rasakan sepertinya memang ada sesuatu yang terjadi, entah apa itu alasannya aku yakin Andre memiliki masalah lain sekarang.

Mengenalnya sejak kecil, jadi ku bisa rasakan dari perubahan sikapnya. Dari mulai tatapan matanya, lalu pergerakan bibir saat dia berbicara pada lawan bicaranya, itu semua masih sama seperti dulu.

“Hei? Kamu tidak keberatan jika saya tinggal duluan, kan? Tadinya memang saya ingin mengantar kamu pulang sebelum malam, tapi kali ini benar-benar mendesak, Mawar.”

“Oh, gitu. Tidak masalah kok, aku bisa pesan taxi lagi atau naik angkutan umum juga gapapa, tapi apa ada masalah, Ndre? Semuanya oke, kan?” tanyaku agar tidak terlihat cuek padanya.

“Oke, maksudnya semuanya baik-baik saja. Kalau begitu saya pamit oke? Saya yang bayar jus ini, jaga dirimu dengan baik, kabari saya jika terjadi sesuatu padamu, assalamualaikum Mawar,” pamit nya dengan salam yang ditutup dengan senyuman.

Aku pun berusaha untuk tersenyum juga, “Iya kamu juga hati-hati, waalaikumussalam.”

Aku melihat dengan jelas Andre begitu terburu-buru setelah membayar jus kami, sebenarnya apa yang terjadi? Setelah ponsel nya berdering seperti tadi, sikap serta tingkahnya aneh sampai tak bisa ku tebak dengan jelas ada apa dengannya.

Jika Andre sudah pergi, sebaiknya aku pun kembali ke apartemen sebelum malam, memesan taxi lagi dan menunggu di parkiran cafe dengan memainkan ponsel untuk sekadar melihat-lihat sosial media sejenak, agar tidak terlalu bosan karena menunggu.

“Jangan pulang naik taxi, sebaiknya aku antar karena itu jauh lebih aman,” ucap seseorang yang berhasil membuat ku mengangkat kepala dan menatapnya.

“Kamu? Mas Wijaya? Apa yang kamu lakukan di sini?!”

“Jangan marah-marah, aku hanya ingin memastikan laki-laki brengsek tadi tidak melakukan hal yang tak baik padamu, Mawar.”

Kedua mataku membulat dengan sempurna, tanpa ada sebab dan juga tak ada alasan yang pasti tetapi seorang Wijaya tiba-tiba berkata seperti itu seolah dirinya tidak brengsek juga, tunggu? Apa katanya? Laki-laki brengsek? Siapa yang dia maksud? Aku pun menatapnya lagi.

“Tunggu, apa katamu? Laki-laki brengsek? Siapa yang kamu maksud?” tanyaku, tanpa harus berlemah lembut kepadanya.

“Dia, siapa lagi kalau bukan Andre! Mantan kekasih mu yang sedari dulu menjadi pengangggu!”

Kali ini, mataku tidak hanya membulat dengan sempurna tetapi juga membelalak terkejut setelah mendengar apa yang sudah Wijaya katakan hari ini, dengan penuh keyakinan dirinya berbicara tanpa adanya kesadaran diri terhadap dirinya sendiri.

“Jangan sembarangan kamu kalau bicara, orang yang kamu bilang brengsek itu dialah yang menjadi korban atas keegoisan mu selama ini! Jika ....”

“Sudah mendung, sebentar lagi pun akan magrib, sebaiknya kita segera pulang, aku antarkan sampai ke depan apartemen, jangan membantah, atau sidang perceraian kita tidak akan pernah selesai nantinya,” cecarnya, seperti memaksa diriku tetapi dengan caranya sendiri.

Sungguh begitu berani dirinya sekarang, menarik tangan kanan ku sampai berhasil membuat ku masuk ke dalam mobil nya, ah lebih tepatnya mobil kami yang dulu. Tadinya ingin sekali keluar lagi untuk kabur, tetapi sayang sekali hujan sudah turun membasahi bumi, membuat ku kembali mengurungkan niat untuk kabur.

***

“Hei, kenapa kita tidak berhenti? Apartemen sudah terlewat, apa yang kamu lakukan, Wijaya?!”

Aku terkejut lagi, karena mobil yang kami tumpangi sudah melewati apartemen sejak tadi. Sungguh ini gila, sebenarnya apa yang akan dia lakukan padaku? Kenapa kami tidak pulang ke apartemen, ingin sekali meloncat ke luar tetapi sangat sulit untuk membuka pintu mobil, aku kesakitan karena cengkraman tangannya saat ini, yang mencoba untuk menahan ku agar tidak berontak.

“Aw, sakit! Lepaskan tanganku, kenapa kamu seperti ini? Lepas, Wijaya. Aku bisa berdarah jika kamu ....”

Mulutku tak bisa berkata-kata lagi karena dia sudah mengunci mulut ini dengan mulutnya, ciuman yang sungguh salah jika tetap dilanjutkan, sungguh dia keterlaluan. Semakin ku berontak, pasti mobil kami akan oleng dan bisa saja terjadi kecelakaan.

Dia melepaskan bibirku, kembali mengemudi seperti tadi tanpa mengatakan sepatah kata pun padaku. Untung saja ada air mineral di dalam tas ku, meneguk nya dengan cepat lalu berkumur dan membuang air kumuran itu tepat di hadapannya.

“Oh, astaga! Apa yang kamu lakukan Mawar! Kenapa kamu jorok sekali.”

“Apa katamu? Apa yang aku lakukan? Aku jorok? Kamu yang apa-apaan, kita sudah bercerai tapi kamu mencium ku seperti tadi, itu sangat tidak sopan!” hardik ku berapi-api karena sangat emosi, tak bisa ku tahan lagi.

“Aku hanya menjatuhkan talak dalam ucapan, belum sepenuhnya terjadi, bukan? Bahkan sidang perceraian pun belum terjadi, jangan so suci kamu.”

“Terkutut mulutmu itu, Wijaya! Aku bukan so suci, tapi aku benar-benar tak sudi jika salah satu anggota tubuhku ada yang kamu sentuh ataupun ....”

Tiba-tiba mobil yang kami tumpangi berhenti di pinggir jalan, aku melihat sangat sepi, tidak begitu banyak kendaraan yang berlalu lalang karena memang jalanan ini jauh dari keramaian, jarang ada rumah warga juga, bagaimana ini? Apa yang akan dia lakukan padaku? Aku benar-benar sangat takut.

Wijaya terlihat sangat marah saat kedua matanya bertatapan langsung dengan kedua mataku, dia gila! Aku benci dia, bagaimanapun caranya aku harus bisa kabur sebelum hal-hal buruk terjadi padaku.

Baru saja ku akan membuka pintu mobil, “Ah, apa yang akan kamu lakukan padaku, Wijaya ....”

Aku tak bisa berbicara lagi, saat dia berhasil mengukung tubuhku dengan tubuhnya, dia sudah membuat suasana yang sangat kacau sekarang, apalagi tangannya tak berhenti memaksa ku untuk melepaskan beberapa kancing yang ada pada baju ku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Kenapa Andre terburu buru pergi?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status