Share

Bab 5 - Antara Harta, Tahta, dan Cinta

Pulang ke rumah untuk menyimpan beberapa yang ku beli tadi, memastikan juga apakah mereka masih mengikuti ku atau tidak, sejauh ini belum ada siapapun di luar, aku rasa memang keduanya berhenti saat di toko tadi.

“Apa yang harus ku lakukan sekarang? Andre mati-matian membuktikan semuanya padaku, bahwa dimasa lalu dia sama sekali tak bersalah.”

“Oh, iya? Lalu siapakah yang bersalah dimasa lalu? Aku, begitu maksudmu?”

Ku terperanjat melihat sosok yang sudah ada di hadapan ku saat ini, sejak kapan dia ada di dalam rumah? Dan sejak kapan juga aku menjadi seseorang yang ceroboh, tidak mengganti kunci pintu rumah ini.

Bagaimanapun juga aku tahu, jikalau dia masuk secara diam-diam mungkin karena bantuan kunci cadangan yang lama, dia masih simpan itu, atau ada cara lain? Entahlah ku tak ingin berpikir banyak saat ini.

“Kenapa diam? Jawab, siapa yang dulu bersalah jika bukan laki-laki itu!”

“Kamu, kamu lah seseorang yang sejak dulu bersalah tapi tak pernah mau mengaku salah, kamu juga yang melempar kesalahan itu pada orang lain, orang baik seperti Andre!”

“Jadi, jika laki-laki lain itu baik, apa maksudmu suamimu dulu tidak baik begitu, hah?!”

Kenapa dia meninggikan suaranya? Apa salahnya jika aku memuji Andre yang memang sudah jelas-jelas benar, lagi pula sekarang dia bukan suamiku lagi.

“Ya, setidaknya dia tidak mengkhianati pasangannya, tidak seperti kamu,” cecar ku dengan tegas.

Sama sekali tidak ada raut wajah yang kecewa, bersalah, ataupun sedih, aku melihat wajahnya biasa saja, apakah dia benar-benar manusia? Sangat tidak punya hati nurani.

Ku lihat dia hanya diam, duduk di sofa lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, apa maksudnya? Dia benar-benar sudah membuat ku habis kesabaran.

“Kenapa jadi kamu yang diam, hmm? Apa ucapan ku tadi salah? Itu adalah kenyataan yang sama sekali tak salah, apa maumu sebenarnya? Ke mana kamu saat sidang perceraian itu harusnya terjadi, ke mana kalian?!”

“Karena aku benar-benar tidak ingin sepenuhnya berpisah denganmu, Mawar.”

“Apa?” Aku kembali terkejut.

“Aku tidak benar-benar ingin berpisah denganmu, itu yang aku katakan!” Dia mengulang kembali ucapannya.

Ku hembuskan napas ini perlahan, aku benar-benar membutuhkan udara segar, tidak mungkin juga kami terus berduaan dalam satu ruangan sedangkan sebelumnya dia sudah mengucap talak padaku, belum resmi berpisah di pengadilan agama, tetapi sudah resmi berpisah dari kenyatannya.

“Terserah apa katamu, aku benar-benar sudah tak ingin tahu lagi, secepatnya aku akan urus kembali sidang itu, jangan sampai melakukan hal yang sama, datanglah, maka selesai semuanya, mengenai harta, kita pikirkan nanti, sebaiknya begitu,” ucapku.

“Satu hal lagi, jika kamu masih seenaknya masuk ke dalam rumah ini tanpa izin atau permisi terlebih dahulu, lebih baik aku yang mengalah, aku akan tidur di apartemen, dan jangan coba-coba datang ke sana,” lanjut ku.

Dia hanya diam tak bergeming, entahlah yang terpenting ku sudah mengatakan semuanya saat ini, beberapa pakaian susah ku kemas juga, tidak ingin membawa terlalu banyak, taxi yang ku pesan sudah datang, dan tidak harus menunggu terlalu lama melihat wajahnya.

Setiap kali ku melihat wajahnya yang murung seperti tadi, ingin rasanya hati ini mengeluh, kenapa bisa laki-laki yang aku cintai, sayangi, dan ku hormati melakukan itu semua padaku? Apakah hanya karena harta? Atau hal lain, yang jelas tidak ada pengkhianatan yang dibenarkan dalam alasan apapun juga.

***

Sesampainya diriku di apartemen, peninggalan orang tua, ku rapikan terlebih dahulu isi nya, dan ku beri beberapa bahan makanan di dalam pendingin untuk stok makan ke depannya.

Aku tidak ingin memikirkan hal lain sampai sidang perceraian selesai beserta urusan-urusan lainnya yang masih bersangkutan dengan itu.

Pada saat ku dudukan bokong ini di sofa, ponsel ku bergetar menandakan ada seseorang yang menghubungi ku, setelah ku pastikan ternyata nomor adikku, ada apa dia berani menghubungi ku? Tidak ada hati sama sekali, tak ada rasa malu sedikitpun sepertinya.

Suaranya terdengar parau, ada apa dengan adikku? Dia terdengar seperti menangis sesenggukan, tidak ingin penasaran terlalu banyak, ku bukakan pintu apartemen ini untuknya, yang entah tahu dari siapa aku ada di sini sekarang, mungkinkah dia memberitahu? Sungguh meresahkan.

“Ada apa? Kenapa kamu menangis seperti ini, ke mana kekasih mu itu,” tanyaku dengan sedikit sinis.

Dia tiba-tiba memeluk ku, menangis tergugu, air matanya saja sampai terasa di bagian pundak ini, menetes dan terus begitu.

“Hei, katakan. Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa juga tadi kamu tak ikut pulang bersamanya? Ke mana kamu?” Aku kembali bertanya.

Akan tetapi, adikku tak menjawab apapun selain ketidak sopanan dirinya kembali bangkit, langsung masuk begitu saja ke dalam tanpa menghiraukan aku.

Mungkin jika dia bukan adik kandung, sudah ku peringatkan sejak tadi, mau bagaimana lagi? Dia juga ada hak untuk masuk ke dalam apartemen ini, walaupun seharusnya harus lebih sopan.

“Ayu, jawab aku. Kamu kenapa menangis dan datang ke sini, tahu dari mana kamu? Bahwa aku berada di sini.”

“Bisa, kan, Kakak gak usah banyak tanya dulu sampai aku benar-benar tenang? Jika bisa, maka diam lah.”

“Diam? Haruskah aku menurut padamu, hmm? Dan haruskah semua ucapan mu orang-orang turuti? Jangan terus begitu, seseorang yang terlihat sabar akan ada batas nya juga, ada saatnya dia bangkit,” ucapku kepadanya dengan berapi-api.

Ayu semakin mendekat, dia terlihat lesu tetapi masih saja berusaha so kuat, ada apa sebenarnya dengan dia? Dan juga tadi dia tidak ikut pulang bersama mantan suamiku, apapun yang terjadi itulah yang harus ku abaikan terlebih dahulu.

“Bisakah Kakak mengikhlaskan dia untukku? Bisakah Kakak membawa seluruh harta terkecuali dia?” tanya Ayu.

“Apa? Tunggu, apa maksudmu?” Aku kembali bertanya.

Ada sedikit kejanggalan disini, Ayu berkata seolah-olah dia memang tak terlalu menginginkan harta, tetapi apa yang membuat dirinya seperti itu.

“Hei, jawab aku, apa maksudnya? Kalau bicara itu ....”

“Aku ikhlas, jika semua harta keluarga jatuh padamu, Kak. Asalkan, kamu ikhlaskan dia, mantan suamimu sepenuhnya untuk aku, tanpa menganggu lagi, tanpa ikut campur lagi ke depannya mulai sekarang.”

“Kenapa bengong? Heran aku bisa berbicara seperti itu? Ya, sejak awal memang aku sangat mencintainya, tak peduli harta keluarga, dia yang peduli harta itu, bukan aku. Jadi, bisakah Kakak melakukan ....”

“Stop! Hentikan! Sekarang, aku mengerti kenapa kamu berpenampilan lesu datang ke sini tanpa dia, apakah dia membuang mu, hmm? Apakah dia juga meninggalkan kamu dari toko itu? Katakan, ya, maka kamu adalah seseorang yang bodoh, Ayu!”

Ayu, dia tidak menjawab lagi. Dia lebih memilih untuk merebahkan tubuhnya begitu saja di atas kasur yang semula ku rapikan untuk diriku beristirahat, Ayu benar-benar sembrono sejak kecil, tak ada kesopanan sama sekali.

Comments (57)
goodnovel comment avatar
Cyya Yaya
Apa hebatnya Wijaya hingga Ayu dengan tega mengkhianati kakaknya sendiri
goodnovel comment avatar
Cyya Yaya
Eh ayu kalo gak mau kakakmu banyak tanya gak usah nangis nangis mendatangi kakakmu ,kalo bisa jangan menemui mawar sekalian. Ayu apakah kamu sungguh tak tahu malu bukannya minta maaf udh selingkuh dengan suami kakakmu malah minta mawar mengikhlaskan Wijaya untukmu
goodnovel comment avatar
Cyya Yaya
Mawar kalo kamu gak mau Wijaya datang ke apartemen jangan bilang padanya kamu akan tinggal di apartemen Mawar mau ayu adik kandungmu atau bukan kamu harus tegas padanya yang sopan kalo bertamu ,udah dewasa gak kelakuannya gak sopan.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status