Share

Bab 6 - Merasa Dejavu

Pagi-pagi sekali, aku sudah selesai mandi dan tentunya sudah berpenampilan rapi. Akan tetapi, kedua mataku berkaca-kaca pada saat diriku menatap pantulan diri ini pada cermin, apakah dulu aku sangat tidak menarik? Seperti badut Ancol, katanya.

Sakit, sungguh menyakitkan jika kembali mengingat bagaimana Wijaya menghina ku secara blak-blakan kala itu. Jika bukan karena terlalu sibuk mengurus kepentingan nya, mungkin sejak dulu aku sudah rajin mempercantik diri.

Jika ingin saling menyalahkan, tidak akan ada habisnya. Bagaimanapun dulu ku berbakti kepadanya, semuanya tak akan aku sesali, itu semua sudah ku ikhlaskan, hanya saja rasa sakit saat mengetahui perselingkuhan mereka yang sudah terjadi cukup lama, rasanya butuh waktu yang panjang untuk bisa memaafkan sekaligus melupakan.

“Kak, minta tolong dong. Belikan aku makanan untuk sarapan, beli pakai gojek online atau apa kek, yang penting cepat sampai!”

Huft, bisa-bisanya dia meminta ku untuk melayaninya seperti itu di saat semuanya sudah dia hancurkan, dia memang adik kandungku, tetapi semakin lama sikapnya tak bisa ku toleransi lagi. Bisa saja aku menuruti semua keinginan dan perintah nya, tetapi itu sudah bukan urusan ku lagi.

“Ya ampun, Kak! Kenapa masih diam! Kakak nggak tuli, kan?!”

Aku menghela napas berat lalu ku hembuskan perlahan, berusaha untuk tetap elegan dikala emosi ini mulai menguasai diriku, “Apa katamu? Tuli? Harusnya aku yang bertanya, sejak kapan kamu lumpuh, hmm? Kedua kakimu masih sehat, kan? Kedua tanganmu masih baik-baik saja, kan? Lantas, kenapa harus memerintah orang untuk melakukan segalanya?!” hardik ku, sembari menatap kedua matanya.

“Kamu itu kakakku! Bukan orang lain, jadi nggak ada salahnya kalau aku memerintah kakak sendiri,” cicitnya yang sangat tidak tahu malu.

Sumpah, jika ini bukan hidup di dunia penuh dengan keadilan, mungkin sejak tadi sudah ku jambak lagi rambutnya seperti dulu, mengurungkan niat untuk tidak melakukan itu lagi karena proses hukum pasti akan dia bahas, karena bagaimanapun juga ada beberapa urusan yang belum diselesaikan oleh kami, seperti sidang perceraian antara aku dan Wijaya belum selesai, dan juga pembagian harta warisan beserta harta gono-gini belum maksimal diselesaikan.

Sebelum semuanya terselesaikan sampai tuntas, ku tahan emosi ini sampai benar-benar ada waktunya untuk ku lampiaskan jika Ayu ataupun Wijaya mencoba menguji kesabaran ku lagi seperti hari ini.

Ayu masih diam sembari menatapku, dia terlihat seperti orang lain semenjak ku memergoki dia tengah berkhianat dengan mantan suamiku sendiri, sama sekali bukan adikku yang dulu.

Raganya mungkin masih sama, tetapi sikap dan isi hatinya sudah bukan lagi Ayu adikku yang dulu tumbuh besar bersamaku.

“Kenapa kamu masih di sini, bukankah kamu sudah ku persilakan untuk memakai rumah kita agar kamu puas,” tegur ku padanya, tetapi Ayu masih menatapku dengan tatapan seperti tadi.

Tatapan seperti apa itu? Menuntut? Memerintah? Atau mengancam? Entahlah, lebih jelasnya itu adalah tatapan orang yang benar-benar tidak bersahabat.

“Kalau orang bertanya itu langsung jawab, kenapa kamu sekarang menjadi seperti ini, sih, Yu? Apa yang telah membuat mu berubah menjadi diri orang lain?” tanyaku lagi, kini lebih santai.

Dia berpindah posisi, sekarang tengah duduk di pinggir ranjang sembari mengacak-acak rambutnya sendiri, dia menunduk tak mengatakan apapun lagi padaku.

Ada apa dengannya? Selain sering marah-marah, dia pun sering bersikap aneh tak jelas seperti sekarang. Masih sangat pagi untuk bertengkar, lebih baik ku biarkan saja dia melakukan apapun yang dia inginkan hari ini.

***

Sejak tadi pagi hingga sore, Ayu masih saja menekuk wajahnya, tanpa mengatakan apapun padaku, lagi pula aku juga tidak ingin tahu apa yang terjadi padanya, hanya sedikit penasaran saja.

Tadinya memang aku ingin sekali bertanya padanya kenapa dia datang ke apartemen tanpa mau pulang? Akan tetapi, dering telepon yang aku yakin itu bukan berasal dari ponsel ku, terus berdering sampai membuat ku pening mendengarnya.

“Yu, apa itu suara ponsel mu? Kenapa dibiarkan begitu saja? Itu panggilan segera jawab lah, aku pusing mendengarnya,” protes ku.

Dia tak menjawab, tetapi yang aku lihat dia bermain dengan ponsel nya entah melakukan apa lalu kemudian dia menyimpan ponsel nya di dalam tumpukan bantal.

“Benar-benar aneh, ya sudah ... kalau kamu mau makan tinggal pesan saja sendiri, jangan manja. Aku akan pergi untuk mengurusi urusan ku, jangan menunggu ku jika ingin makan segera lah makan,” pamit ku, menatapnya sebentar lalu melenggang untuk segera menyelesaikan suatu urusan.

Benar-benar kota hujan ini tidak membuat ku bosan untuk tetap menetap walaupun sudah banyak hal menyakitkan yang telah dilalui selama hidup, aku memang sudah membuat janji dengan seseorang sebelum pergi dari apartemen, tetapi tidak berharap akan menunggu lama seperti ini juga.

Cafe yang saat ini ku pilih untuk bertemu dengan seseorang itu cukup ramai, sengaja memang, agar tak ada fitnah nantinya jika seseorang itu sudah datang.

Sembari menunggu, aku pun sudah memesan jus kesukaan ku untuk sekadar menyejukkan tenggorokan, belum terpikirkan akan pesan makanan atau tidak jika seseorang itu belum datang.

“Hmm, maaf telah membuat mu menunggu lama,” ucap seseorang.

Aku menoleh ke arahnya, “Ah, ya tidak masalah, Ndre.”

“Apa kamu sudah memesan makanan? Kenapa harus bertemu di tempat ramai seperti ini, saya sedikit risih,” protes Andre.

Dia sudah duduk berhadapan denganku, akan tetapi dia masih saja protes ini dan itu, sama seperti dirinya yang dulu. Yah, aku benar-benar dejavu jika sudah mengingat kembali tentang masa lalu bersamanya.

“Hei? Kok bengong? Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Andre, dia membuat ku tersadar dari lamunan ini.

“Aku baik, tentu saja baik.”

“Kamu ada apa? Meminta saya datang pada sore hari di tempat ramai, dan tempat nya adalah tempat ... ah baiklah langsung katakan ada apa, Mawar.”

Kenapa dia tidak melanjutkan ucapannya? Ternyata, dia masih ingat tempat ini, tempat di mana pertama kali kita menjadi kekasih, pertama kali dia mengatakan perasaannya padaku, dengan cara mengumumkan perasaan itu pada semua orang yang ada di tempat ini, sama seperti sekarang ramai.

“Mawar, kamu sepertinya benar-benar harus ke rumah sakit, terlalu banyak bengong dan menakutkan bagi saya,” cicit Andre dengan tingkahnya yang lucu, seperti dulu.

“Ha ha, apaan, sih, kamu. Rumah sakit jiwa maksud kamu, hmm? Sembarangan, oke biarkan aku langsung mengatakan apa yang ingin aku katakan padamu, tolong serius untuk kali ini,” ucapku, masih ragu sebenarnya.

“Oke, saya akan serius. Katakan, ada apa Mawar? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Andre.

“Apakah kamu benar-benar seseorang yang menjadi ahli waris dari harta kekayaan mendiang orang tuaku? Bukan, bukan maksudnya aku ingin membahas perihal harta, tapi hanya ingin memastikan ini fakta atau hanya trik untuk mengalahkan mereka, katakan padaku yang sebenarnya, Ndre.”

“Jika saya berbohong, itu sama saja saya menyalahgunakan posisi saya sebagai pengacara, percayalah ... semua itu memang fakta, sembuh dari sakit yang sempat saya ceritakan padamu, saya sudah mengurus nya dengan rapi, tapi jangan tanya terlebih dahulu bagaimana ceritanya, akan ada saatnya kamu tahu semuanya, diwaktu yang tepat,” jawab Andre, dengan tatapan yang bisa ku lihat adalah keseriusan.

Aku masih diam, sedang memikirkan bagaimana caranya untuk segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, tetapi jangan sampai aku terkesan seperti memaksa dan terlihat seperti meragukan kebaikan Andre.

“Jangan berpikir yang tidak-tidak, saya bukan orang yang licik, seharusnya kamu lebih percaya pada saya sejak awal, bukan pada orang yang baru kamu kenal,” cecar Andre.

Memang benar apa yang dia ucapkan, aku benar-benar salah dan bodoh dimasa lalu, itu semua biarlah menjadi kebodohan ku yang akan terus ku sesali.

“Jadi, hanya itu yang ingin kamu bahas dengan saya? Hanya itu di tempat ini?” tanya Andre kemudian dia tertawa kecil.

Apa yang dia tertawakan? Dia benar-benar sangat menjengkelkan jika sudah kambuh pada sikapnya yang usil, tentu saja usil, sering sekali membuat ku gelagapan saat menghadapi dirinya.

Ratu Halu

Guys kalau kalian ketemu typo kasih tahu oke? Jangan sungkan komentar.

| Sukai
Komen (49)
goodnovel comment avatar
Ayan Reva
Andre benar . Harusnya dy gk terbujuk rayuan buaya nya Wijaya...... Ngomong2 Ayu kok sgtu mnyebalkn nya sih,ihhh Mawar jgn sia-siain waktu km lg untuk peduli sm Rubah betina mcam Ayu
goodnovel comment avatar
Ayan Reva
Kamu harusnya bisa membedakan mana yg tlus atau hanya modus, Mawar.
goodnovel comment avatar
Emeli Emelia
benar mawar kayanya Andre orang baik dan juga gk licik kaya Wijaya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status