Home / Romansa / Suamimu Masih Mencintaiku / Detak yang Hampir Hilang

Share

Detak yang Hampir Hilang

Author: Borneng
last update Huling Na-update: 2025-06-04 15:21:04
Dunia seolah runtuh bersamaan dengan detak jantungku yang ikut lenyap.

Detak itu—detak kecil dalam rahimku yang selama ini menjadi sumber kekuatan—seakan menguap dari semesta. Aku meraba perut dengan pelan, tanganku gemetar. Tidak ada gerakan yang biasanya aktif menendang dan memutar.

‘Kamu harus kuat Sayang, kamu sduah berjuang sampai sejauh ini, Mari kita lakukan sampai finis’ ucapku memohon dalam hati.

Aku memang bukan dokter. Bukan perawat. Tapi naluri seorang ibu…

Ia lebih tajam dari pisau bedah, lebih cepat dari suara monitor rumah sakit.

Naluri itu bicara lewat gelisah, lewat nyeri yang tak terdefinisikan.

“Aslan… aku serius, aku nggak merasakan detaknya lagi,” bisikku.

Suaraku begitu lirih, nyaris tak terdengar, seperti doa yang terlepas di antara tangis yang tak tumpah.

Mataku menatap matanya. Bukan sekadar menatap—aku memohon.

Sekali saja... kumohon, percaya padaku.

“Lakukan sesuatu,” bisikku dengan suara begetar.

Wajah dingin Aslan—pria tinggi berwibawa itu dengan mata
Borneng

Kakak mohon bantuannya untuk mendukung karya ini ya, terimakasih.

| 1
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Menjadi Istri.

    Saat aku membuka mata, cahaya lembut dari jendela besar langsung menyilaukan pandanganku. Aroma laut yang segar menyeruak masuk lewat tirai tipis yang melambai pelan. Aku terbaring di sebuah kamar asing, namun terasa begitu tenang. Segalanya berwarna putih. Dinding, tirai, seprei... semua bersih dan menenangkan. Tapi ketenangan itu segera berubah menjadi was-was ketika aku menyadari satu hal—aku berada di kamar pribadi Aslan."Kamu sudah bangun. Ayo kita sarapan."“Pas Aslan … Kenapa ka-“ Kalimatku mengantung, otakku seketika melihat gaun pengantin tergantung di depan lemari‘Oh … Apa aku kembali menjadi istri laki-laki ini?’“Kenapa? Apa kamu mengharapkan Panji yang di sini?”Suaranya terdengar begitu datar, tak berperasaan. Aslan berdiri di dekat jendela, siluetnya membingkai cahaya pagi. Posturnya tegak, berwibawa, tapi ekspresinya tetap dingin seperti biasa."Apa yang terjadi?" tanyaku pelan, mencoba mengingat apa pun yang bisa menjelaskan kenapa aku ada di sini.Aslan membalikkan

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Ijab Kabul di Tengah Luka

    Aslan membawaku masuk ke dalam kamar hotel yang dingin dan sunyi. Langkahnya cepat, matanya tajam, namun di balik sorot itu, ada kelelahan yang tak ia sembunyikan.“Jangan bilang kamu masih mengharapkan kakak iparku kembali, Sany. Hubungan kita sudah membaik... jangan mulai lagi dengan pertengkaran,” ucapnya pelan namun tegas.Aku menatapnya, mencoba tetap tenang.“Aku tidak begitu, Pak Aslan.”‘Sungguh... aku merindukan Panji. Pelukannya, suaranya, caranya memperlakukanku seperti manusia—bukan seperti barang buangan. Lima tahun bukan waktu singkat. Semua tentangnya terasa nyata dan hangat. Beda dengan dinginnya tatapan pria di depanku ini’.“Mata kamu nggak bisa bohong, Sany,” suaranya lirih, tapi setiap katanya seperti belati. “Matamu bilang kamu masih mencintai suami kakakku. Apa aku salah?”Aku menggigit bibir. Diam. Karena kalimat itu benar—dan kebenaran memang selalu menyakitkan. Tapi kalau memamg tulus mencintaiku aku juga tidak akan seperti itu’ bisikku dalam hati.“Aku nggak

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Jejak Cinta di Antara Ombak

    Setelah satu minggu di rumah sakit. Aslan membawaku pulang.Pagi itu, udara villa Aslan terasa lebih hangat dari biasanya. Setelah merasa cukup pulih, aku memutuskan untuk kembali bekerja. Setidaknya, pikiranku akan sedikit teralihkan dari pusaran hidup yang kian rumit ini.Begitu keluar kamar, aroma gurih dan manis dari dapur menyambutku lebih dulu. Seperti pelukan samar yang tak pernah aku minta. Di meja makan, sudah tertata rapi sarapan dengan tampilan semewah restoran berbintang.“Mari duduk, kita sarapan bersama,” suara Aslan terdengar dari arah dapur, tenang tapi penuh kuasa.Aku menghela napas. “Aku berangkat kerja duluan. Nanti saja sarapannya di hotel.” Ucapku datar, dingin, tanpa nada selera.Namun, lelaki itu tetap berdiri tegak, menyandarkan diri di pintu dapur. “Makan saja dulu. Kita berangkat bersama.”Nada bicaranya membuatku sulit menolak. Seolah, setiap katanya memiliki kunci untuk mengunci langkahku.Dengan setengah hati, aku duduk. Menyendok salad buah yang terlihat

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Malu Saat Kau Masuk.

    Aslan pergi setelah menitipkanku sama seorang suster. Melihatnya pergi ingin rasanya juga pergi.‘Apa yang akan terjadi selanjutnya? Haruskah aku pasrah?’Aku menghela napas panjang. Entah mengapa, kehadiran suster perempuan di ruangan ini justru membuatku merasa lebih tenang. Ada aura hangat dan bersahabat darinya yang membuatku merasa… tidak sendiri.“Sus… bantu aku duduk, ya. Aku mau ke kamar mandi. Dari tadi aku menahan,” bisikku lirih.Suster itu tersenyum ramah. “Lah, tadi kan suaminya ada. Kenapa nggak minta bantuan bapaknya aja, Bu?”‘ Dia bukan suamiku Sus’ bisikku dalam hati.Aku mengalihkan pandangan. “Dia sibuk. Banyak urusan,” jawabku sekenanya.“Hati-hati ya, Bu. Rahim Ibu masih dalam masa pemulihan.”Baru selangkah aku berdiri, tiba-tiba perutku terasa seperti hendak jatuh. Nyeri yang menyengat menjalar dari perut ke punggung, membuatku meringis sambil memekik. Aku merasa rahimku seperti ingin jatuh, hanya bisa memegang bawah perut sembari meringis menahan sakit.“Aduh

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Janji yang Tak Pernah Selesai

    Malam itu aku memilih diam, tidak ingin mengatakan apa-apa lagi. Aku merasa setiap kata yang aku ucapkan terbuang sia-sia, karena Aslan tidak pernah mau. Ia mendengar tapi menolak melakukannya. Aku merasa sangat lelah, lelah dengan waktu yang sudah aku lalui namun pada alkhirnya berahir bersamanya dengan kebimbangan.Malam itu terlalu sunyi. Bahkan suara mesin infus dan detak lemah monitor terasa seperti nyanyian duka yang menegaskan kesendirianku. Di luar jendela, langit tampak kelam, seakan ikut menelan seluruh ketakutanku yang belum juga reda.Perutku terasa berat. Tapi bayi kecil di dalam sana… masih bertahan. Masih berjuang. Ia mulai melakukan kebiasaannya menendang halus dinding perutku dan berputar santai. Seolah ia ingin mengatakan;‘Aku masih berjuang Ibu’Aku mengusap perut dengan pelan.“Terimakasih sudah bertahan, Nak.”Dan di sampingku—lelaki itu.Aslan menatapku dengan tatapan dalam, tatapan yang tidak bisa aku baca.“Apa kamu lapar?”“Tidak?”“Mungkin dia lapar Sany.

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Detak yang Hampir Hilang

    Dunia seolah runtuh bersamaan dengan detak jantungku yang ikut lenyap. Detak itu—detak kecil dalam rahimku yang selama ini menjadi sumber kekuatan—seakan menguap dari semesta. Aku meraba perut dengan pelan, tanganku gemetar. Tidak ada gerakan yang biasanya aktif menendang dan memutar.‘Kamu harus kuat Sayang, kamu sduah berjuang sampai sejauh ini, Mari kita lakukan sampai finis’ ucapku memohon dalam hati. Aku memang bukan dokter. Bukan perawat. Tapi naluri seorang ibu… Ia lebih tajam dari pisau bedah, lebih cepat dari suara monitor rumah sakit. Naluri itu bicara lewat gelisah, lewat nyeri yang tak terdefinisikan.“Aslan… aku serius, aku nggak merasakan detaknya lagi,” bisikku. Suaraku begitu lirih, nyaris tak terdengar, seperti doa yang terlepas di antara tangis yang tak tumpah.Mataku menatap matanya. Bukan sekadar menatap—aku memohon. Sekali saja... kumohon, percaya padaku.“Lakukan sesuatu,” bisikku dengan suara begetar.Wajah dingin Aslan—pria tinggi berwibawa itu dengan mata

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status