Suara Di Bilik Iparku (2)
(Suamiku diarak warga karena berselingkuh)**
"Arak saja, Mbak, Mas. Aku ridho," tuturku final, membuat suami dan iparku yang baru saja ketahuan berselingkuh itu tertunduk semakin dalam.
Rasa sakit hati yang mereka torehkan di dalam hatiku begitu dalam. Bagaimana bisa mereka memadu kasih di dalam rumah yang kami jadikan sebagai tempat dalam membangun sebuah cita-cita dan harapan bersama? Terlebih ia melakukannya dengan iparnya sendiri, istri dari adik laki-lakinya. Keterlaluan!
Kedua orang terdekatku itu pias ketika Mas Agus dan Mbak Mawar menyerahkan semua keputusan pada ketua RT dan para warga. Hanum mulai menangis, mengusap pelan pipinya yang telah basah. Sedangkan Mas Akbar hanya tertunduk dengan kedua tangannya yang saling meremas.
Rasakan sendiri, Mas. Apa kamu pikir diamku tak pernah ada batasnya? Kamu lihat sendiri, kan? Sekali aku tahu kelakuan burukmu, tamatlah riwayatmu.
"Arak saja Pak RT. Kami tidak sudi punya tetangga tak bermoral seperti ini," tutur salah seorang warga dengan diikuti anggukan oleh beberapa yang lain.
Pak RT diam sejenak, lalu memberi isyarat agar mereka terdiam tak menghakimi sendiri.
"Hentikan, biarkan saya bicara dulu," kata Pak RT bijaksana, "inikan rumah tangga Bu Anisa, biarkan beliau yang membuat keputusan. Mau diselesaikan secara kekeluargaan atau memang sesuai prosedur dan tradisi yang ada di lingkungan kita," ungkapnya lagi seraya memandangku.
Hatiku bergemuruh, suara menjijikkan dari mulut Mas Akbar dan Hanum masih terngiang jelas di telingaku. Bagaimana bisa, aku diam sedangkan hatiku tengah tercabik dan diinjak-injak oleh mereka.
"Dek, tolong. Kita selesaikan secara kekeluargaan saja, ya? Aku minta maaf," ungkap Mas Akbar mohon ampun, tapi tak sedikitpun aku mau menatapnya.
"Mbak aku mohon, jangan arak kami. Kami malu, kita selesaikan baik-baik saja, ya?" Hanum pun ikut memohon kepadaku, tapi lantas di sentak oleh Mbak Mawar.
"Enak sekali mulutmu bicara seperti itu, Hanum! Apa kamu tidak punya perasaan? Tidur dengan suami kakak iparmu sendiri?"
Lagi-lagi air mataku tumpah saat Mbak Mawar dengan jelasnya mengatakan tentang tidur dengan suami kakak iparnya. Jahat memang, terlebih aku telah banyak berbuat baik padanya selama ini.
"Bagaimana Mbak Anisa?" tanya Pak RT lagi padaku, membuatku mau tak mau harus membuat keputusan secepatnya.
Aku menelan saliva berat, lalu menarik nafas dalam saat semua orang menatapku menunggu jawaban dari mulutku.
"Arak saja, Pak. Ikuti tradisi di lingkungan kita, bahwa jika ada orang yang kedapatan berselingkuh dan berbuat zina, maka akan di arak keliling desa," tandasku membuat para warga riuh dan bersorak gembira.
Sedangkan Mas Akbar dan Hanum menatapku nanar, mungkin mereka marah dengan keputusan yang kubuat. Namun, apa sebelum ini mereka tak pernah berfikir kalau suatu saat akan ketahuan dan hal ini akan terjadi juga? Dasar, bisanya hanya mengedepankan hasrat saja!
"Anisa, kamu tega! Di mana hati nuranimu!" hardik Mas Akbar ketika aku telah membuat keputusan.
Aku hanya tersenyum miring, lalu berdiri menjauh darinya.
"Tak usah bicara hati nurani kalau hatimu sendiri sudah mati. Mana ada seorang suami yang tega meniduri iparnya sendiri di dalam rumah yang masih ia huni dengan istri sahnya?"
Beberapa orang yang ada di dalam rumah ini mengangguk dan setuju dengan pendapatku, bahkan Mbak Mawar selaku kakak kandung Mas Akbar saja sudah enggan membela adik kandungnya itu.
"Arak saja, Pak. Lakukan apa yang seharusnya kita lakukan pada pasangan yang berselingkuh!" tandasku lagi pada para warga yang tengah menunggu pertunjukan manis di dini hari ini.
Para warga pun lantas menyeret Mas Akbar dan Hanum ke luar rumah, lalu mengikat kedua tangannya dan membawa keliling desa sembari berteriak mengelukan tentang keburukan mereka. Kudengar para tetangga sudah menunggu di depan rumah mereka sendiri untuk menyaksikan pertunjukan yang memang sering terjadi di lingkunganku setiap kali kedapatan pasangan yang tengah berselingkuh ataupun berzina di luar nikah.
Aku tersenyum miring, ketika para warga membawa Mas Akbar dan Hanum berjalan menjauhi rumahku. Bisa kupastikan saat ini mereka tengah menahan rasa malu karena serasa dikuliti oleh masyarakat.
Biar saja. Memang itu kan balasan yang setimpal untuk mereka yang telah berbuat dzalim?
Mbak Mawar menuntunku ke dalam rumah sesaat setelah Mas Agus juga ikut mengarak adiknya keliling desa bersama warga. Air mataku jatuh lagi, aku memeluk tubuh gempal Mbak Mawar dan menumpahkan segala rasa sesak di dalam dada. Rasa sakit ini lebih dalam daripada sikap acuh Mas Akbar selama ini.
Ya, selama ini pula aku terlalu bodoh dan polosnya hanya diam ketika Mas Akbar selalu bersikap acuh padaku. Bahkan hampir setiap hari ia hanya memperlakukanku bak asisten rumah tangga di rumah ini.
Mungkin selama ini aku hanya diam, tapi sekali aku mendapat bukti tentang kecurangannya maka tak akan ada ampun lagi. Seperti kali ini. Bagaimana? Mengejutkan, bukan?
Tapi tunggu. Bagaimana dengan Bara? Suami Hanum?
"Mbak, gimana sama Bara?" tanyaku pada Mbak Mawar setelah hatiku mulai tenang.
Ia menatapku dalam, seolah menyerahkan semua keputusan padaku.
"Aku harus menghubunginya, Mbak. Dia harus tau," ungkapku lagi dengan diikuti anggukan kepala oleh Mbak Mawar.
Aku dan Kekasih SuamikuPart 28Satu tahun kemudian ...."Sarapannya sudah siap, Mas," ucapku pada Mas Chandra ketika aku baru saja menyiapkan dua lembar roti tawar dengan selai kacang di atasnya, juga susu hangat di samping piringnya."Iya, sebentar," jawabnya dari kamar.Aku tersenyum tipis, lalu melanjutkan menyiapkan sayuran yang hendak kumasak untuk makan siang. Namun, sebelum itu aku mengelus lembut perutku yang mulai menyembul.Ya, tepat bulan ini usia kandunganku sudah memasuki bulan ke tujuh, rencananya sepulang dari kantor Mas Chandra akan mengantarkanku pergi ke dokter untuk kontrol bulanan.Tak berselang lama, Mas Chandra menghampiriku dengan melingkarkan tangannya di perut buncitku. Dia menciumi pipiku brutal hingga aku meletakkan pisau yang kugunakan untuk mengupas bawang."Ini masih pagi, Mas," ledekku, membuatnya terkekeh kecil lalu melepaskanku."Kamu cantik banget hari ini," ujarnya.Aku mendengus, lalu mundur darinya. "Jadi aku cantiknya hari ini saja?"Dia tak han
Aku dan Kekasih Suamiku (27)“Kamu sudah tahu kalau Lusi kecelakaan?” tanya ibu ketika aku baru saja pulang bekerja.Aku memicingkan mata, “dari mana Ibu tahu?”Wanita yang telah melahirkanku itu tersenyum, lalu berjalan mendekat ke arahku. “Apa kamu pikir gara-gara Ibu tidak perna bertanya padamu mengenai masalahmu lantas Ibu tidak tahu?”Sampai ibu berkata demikian pun aku masih belum paham mengenai apa yang beliau maksud. Memang selama ini aku sangat jarang sekali menceritakan masalah pribadiku pada ibu maupun bapak karena aku takut jika apa yang kuceritakan akan menganggu pikirannya.“Bu ….”“Sayang … selama ini Ibu dan Bapak hanya diam, tapi diamnya kami bukan karena tidak perduli melainkan kami memilih mengawasimu seperti sebelumnya,” kata ibu lagi memotong pembicaraanku.“Selama ini Ibu pun kesana kemari mencari informasi tentangmu dan semua yang berhubungan denganmu. Semua itu kulakukan karena semata-mata kami tidak ingin ada yang menyakiti hatimu, Nak.”Kedua mataku berkaca-k
Aku dan Kekasih Suamiku (26).Untuk beberapa saat kedua orang yang baru saja kubongkar rahasianya itu terdiam, terlebih dihadapan Lusi. Mana mungkin mereka akan mengakui kebobrokan masalalunya di hadapan anaknya?"Pa, Ma. Kenapa diam? Katakan apa yang sebenarnya terjadi."Aku tersenyum kecut, melihat orang yang hendak menghancurkan rumah tanggaku nyatanya justru akan hancur dengan sendirinya. Mungkin ini yang dinamakan 'karma'."Pak Akbar, Bu Hanum. Kenapa? Lebih baik jujur, bukan?""Lancang kamu!" bentak perempuan yang duduk di atas kursi roda itu.Bukan aku ingin menjadi wanita yang jahat, hanya saja mereka sudah lebih dulu menjahatiku. Mungkin dulu ibuku diam, dan menerima semuanya. Namun, aku tak terima. Mereka harus mendapatkan sanki atas apa yang sudah dilakukannya.Kulihat Pak Akbar menarik rambutnya kasar, lalu menatapku dan Lusi secara bergantian. Bisa kulihat jelas bahwa dia tengah tertekan dengan keadaan saat ini.
Aku dan Kekasih Suamiku (25).“Dari mana kamu yakin bahwa orang tuaku lah yang telah membuat hidup mamamu menjadi seperti ini? Dan juga, bagaimana kamu bisa yakin bahwa orang tuaku pula telah merebut semua milik mamamu?” tanyaku ketika telah duduk berhadapan dengan Lusi di meja nomor 8.Dia tampak santai, raut tenang tergambar jelas di wajahnya. Semua ini terlihat berbanding terbalik dengan apa yang biasa dia tunjukkan padaku. Jika biasanya dia selalu saja terlihat menjengkelkan tapi kali ini dia terlihat jauh lebih tenang.“Kamu tau hanya dari ucapan mamamu, kan?”“Mana mungkin aku bisa mempercayai orang lain, sedang aku yakin Mama tidak akan pernah berbohong kepadaku,” tandasnya begitu percaya dengan mamanya.Memang, kuakui bahwa di dunia ini tidak ada orang yang patut kita percayai selain perempuan yang telah melahirkan kita. Namun, bukankah seharusnya kitak boleh menelan kebenaran itu secara mentah-me
Aku dan Kekasih Suamiku (24).Aku masih tertegun setelah mendengar penuturan Mas Chandra mengenai alasannya mengenai foto itu. Rasanya kini untuk percaya dengannya terlihat sangat lah sulit, karena aku pernah dikecewakan olehnya."Hanan, kamu percaya, kan?" ucapnya lagi ketika aku masih terdiam.Jika dilihat dari gerak-gerik dan mimik wajahnya, dia terlihat seperti benar-benar tidak berbohong. Namun, bukankah tidak seharusnya aku percaya begitu saja dengannya?"Terserah, sekarang kamu kamu percaya atau tidak denganmu. Namun, yang pasti aku telah mengatakan semua kejujuran ini padamu."Hatiku bimbang, sejujurnya aku sangat ingin percaya padanya. Aku juga tidak ingin rumah tanggaku hancur hanya karena wanita seperti Lusi."Baik, aku percaya. Tapi jangan memaksaku untuk bersikap baik seperti dulu lagi," tuturku setelah beberapa saat memikirkan mengenai hal ini.Mas Chandra tersenyum, sepertinya dia memang menunggu jawaban ini dar
Aku dan Kekasih Suamiku (23).Pak Akbar masih menatapku heran, ketika dengan sengaja aku mengatakan tentang hubungan saudara antara diriku dan juga Lusi. Hatiku sudah terlanjur panas, terlebih setelah aku mengetahui semua kebenaran yang terjadi antara mama, papa dan juga Pak Akbar."Apa maksud kamu?"Aku memutar bola mata malas, lalu berdiri dan berjalan sedikit menjauh darinya. Bagaimana bisa, aku berbaik hati pada orang yang telah berbuat buruk pada mamaku. Bahkan dia juga tidak berniat mengakuiku sebagai anaknya."Tentunya Anda ingat bukan dengan Anisa dan Oki Wijaya? Sudah lah, aku lelah dengan sandiwara ini, Pak. Lebih baik, jika Anda dan istri Anda masih memiliki dendam pada kedua orang tuaku, jangan bawa-bawa aku dan Mas Chandra. Setidaknya aku hanya ingin rumah tanggaku ini baik-baik saja. Terlepas bahwa ternyata Anda adalah ayah kandungku, itu sudah bukan menjadi prioritasku lagi karena bagiku ayahku cuma satu, yaitu Papa Oki Wijaya."