“Ayah, ke mana lagi kita akan dibawa pergi?” Mardian menatap kapal besar yang baru sesaat lalu berlabuh dengan cemas.
Pak Mantri mendesah. “Entahlah, Nak. Ayah sendiri tidak tahu ke mana kita akan dibawa pergi. Tapi, sepertinya ke tempat yang sangat jauh. Mungkin Sumatera atau Kalimantan.”
“Apa kita akan dipenjara lagi?”
“Ayah tidak tahu, Mardian. Apa pun itu, Ayah yakin sekali cobaan ini pasti ada maknanya. Bersabarlah, Nak. Terkadang cobaan memang begitu keras hingga tak dapat dipahami maknanya. Namun, pasti ada pembebasaan dalam kemeranaan hidup ini meski dalam bunyi gumamannya sekalipun.”
“Tapi aku takut, Ayah. A
Palka selalu bagaikan sarang lebah. Orang-orang berbicara dalam berbagai bahasa, melontarkan lelucon, mengutuk, dan berkelekar. Mereka tidak menggubris suara langkah kaki di atas mereka atau debur ombak lautan. Sampai pada suatu ketika terdengar percakapan awak kapal yang mengusik hati semua tahanan. “Barang-barang kita turunkan di Gulag dan kita langsung menuju Halmahera.” Seseorang mengulangi percakapan itu. “Kira-kira apa maksudnya Gulag?” “Sepertinya kita akan dibuang sangat jauh. Gulag, di mana pun tempat itu, kedengarannya sangat mengerikan,” ujar seorang lain. “Semoga saja yang dimaksud barang itu bukan kita,” sahut seseorang lain lagi. “Mustahil!” temannya menyela, “barang itu sud
Dua buah sekoci diturunkan dari kapal, mesinnya dihidupkan. Kelompok pertama dan kelompok kedua bersiap-siap berangkat. Sambil menunggu gilirannya tiba, Mardian mengalihkan pikirannya dari laut dengan mengamati segerombolan pohon bakau mati yang batangnya miring karena susunan akarnya yang membusuk tak jauh dari dermaga. Sudah tak ada satu pun daun di dahan pohon-pohon itu, batangnya yang kelabu tampak bertambah kelabu oleh proses pembusukannya yang lambat. Hal itu mengingatkan Mardian pada akar pohon pidada yang tumbuh subur di sekitar rawa-rawa Pada Suka. Ketangguhannya menghadapi curahaan air dan terpaan badai membuat Mardian iri sekaligus takjub. Mereka benar-benar pejuang tangguh, batinnya sambil terus mengamati gerombolan bakau mati itu. Tiba-tiba Mardian seolah melihat lapisan kabut tipis yang menggantung di sekitar pohon bakau itu—tidak, bukan kabut, tetapi pembusukan tumbuhan tersebut tengah mewujudkan diri—
Setelah semua tahanan selesai diangkut sekoci komandan peleton yang berusia sekitar tiga puluh tujuh tahun dan tampak tidak berprikemanusiaan berkata, “Kami ucapkan selamat datang di kamp kosentrasi Pulau Buru.” Dia berhenti sejenak. Memandang para tahanannya seakan-akan mereka sekawanan anjing berpenyakit kusta yang tak mau mati. “Ingat ini,” sambungnya, “kalian berada di kamp kosentrasi. Di sini, kalian harus bekerja sangat keras jika ingin bertahan hidup. Jika tidak, kalian akan mendapatkan hukuman yang sangat pedih. Bekerja atau dihukum, pilihannya ada di tangan kalian. Namun, sebelum kalian mulai bekerja, kalian akan kami bagi ke dalam beberapa kelompok terlebih dahulu. Sekarang, bentuk empat barisan. Cepat!” Hiruk pikuk. Orang-orang berlari ke sana-ke mari, para tentara saling meneriaki. Mardian mengambil barisan di belakang ayahnya, dan
Senja berlalu seperti awan kecil di musim kemarau, sebagai mimpi di waktu fajar. Malam luruh bersama hawa dingin yang tajam menggores kulit semua tahan. Bintang-bintang di langit tidak lebih dari percikan kecil api, yang sekiranya api itu padam suatu malam nanti, maka tak akan ada lagi cahaya lain yang tertinggal di langit malam selain rembulan malas yang enggan bergerak dari atas hutan. “Kau belum tidur?” Mardian menoleh. “Ah, Pram. Membuat kaget saja. Aku tidak bisa tidur. Kau sendiri mengapa tidak tidur?” Pramoedya duduk. “Setelah apel malam tadi, aku jadi terus berpikir-pikir, Kawan. Menurutku, negara kita ini masih sakit dan terlalu rapuh sistim pemerintahannya. Di sisi lain, bayang-ba
Sebelum apel pagi di mulai mereka harus berlatih baris-berbaris. Danton yang memberi komando. Semua orang harus mengikuti komandonya dengan irama ketat. Bagi siapa yang bergerak tidak sesuai irama akan mendapat pukulan dari anak buahnya. Kiri, kanan, pukul! Kiri, kanan, pukul! Latihan baris-berbaris itu memakan waktu setengah jam. Meski banyak tahanan yang belum bisa mengganti langkah dan patuh irama, Danton menunjuk beberapa Tonwal sebagai petugas upacara. Selesai apel ada pengumuman tentang apa-apa yang harus mereka kerjakan. Hari itu hari yang cerah di pertengahan bulan Agustus. Dengan suaranya yang lantang Danton mengumumkan semua tahanan mulai hari itu harus bekerja membabat hutan di lembah Waepo di bawah pengawasan ketat Tonwal. Semua tahanan wajib tunduk dan patuh pada perintah Tonwal. Di kamp tidak disedia
Gelombang kedua pembuangan tahanan politik ke Pulau Buru tiba seminggu kemudian. Ada sekitar empat ratus orang lebih tahanan yang di deportasi. Salah satunya Tan Djiman. Seorang wartawan kantor berita Antara yang diciduk karena dituduh terlibat PKI. “Bung Tan, apa yang Bung lakukan di sini?” Pramoedya yang tak sengaja berpapasan dengannya saat hendak melapor terkejut bukan main. “Wah, Pram, kau juga dideportasi ke sini?” lelaki bertubuh tinggi-besar berusia sekitar dua puluh itu balik tanya. Pramoedya tertawa. “Apa yang Bung Tan herankan? Saya ini kan penulis, musuh terbesar pemerintah saat ini.” “Tapi, bukankah kau tidak
Kehidupan di kamp kosentrasi semakin hari semakin tidak tertahankan. Perlakuan dari para penjaga yang tidak manusiawi, ketidaktersediaannya makanan yang layak, dan ancaman berbagai penyakit memicu berbagai konflik di antara sesama tahanan. Perselisihan pun menjadi nyala api yang mendapat bahan bakar dari kesalahpahaman. Pada suatu pagi di tahun kedua, Pak Mantri terserang sakit disentri. Dia terbaring di atas papan, pucat, gemetar dan kejang-kejang. “Mardian, Anakku … bawakanlah Ayahmu setetes minum,” gumamnya. Suaranya yang sendu memancing belas kasihan dan menghantam jiwa Mardian. “Tapi, Ayah…. ” “Anakku, Ayah sangat haus. Tolong … setetes air.”  
Tan Djiman membakar rokok kawung pemberian Sersan Andi dan menyandarkan punggungnya ke dinding barak. Di samping Tan Dijman, Pramoedya menggulung sarungnya yang bergaris-garis dan sudah sangat lusuh. “Di masa ini kita bisa melihat bagaimana perang yang baru saja usai membuat begitu banyak kehancuran. Terutama moral,” kata Pramoedya. “Kita akan dengan mudah menemui orang yang berdiri diam menyaksikan anak-anak yang menangis kelaparan. Mereka bersikap acuh, tidak mau memedulikan orang lain hanya karena tak mau mendapat masalah. Mereka ingin hidup dengan tenang dan aman, meski mereka tahu sebenarnya mereka tak hidup sama sekali. Mereka menganggap menghubungkan hidupnya dengan hidup orang lain akan menghapusnya. Jadi mereka tidak mau melakukannya. Kita sedang berada di dalam krisis moral yang sangat mengerikan.” “Ya, kau benar, Pram. Kau ingat bagaimana dulu Bung Hadi? Dia adalah seorang fanatik agamanya yang sejati. Barulah saat dia ditampar kenyataan oleh temannya, dia