“Ah, aku jadi semakin tak sabar untuk mengenalkanmu pada orang tuaku!” suara Davin terdengar begitu antusias di seberang.
"Aku juga! Tapi kita harus menunggu dua hari lagi sampai pemotretanku yang ini selesai, tidak apa, kan?” balas Tania.
“Yep, aku akan sabar menunggu. Kau jangan sampai terlalu lelah, ya! Istirahatlah yang cukup agar kau tak sakit saat berkunjung ke rumah orang tuaku nanti.”
“Tentu, sayang. Aku akan tutup teleponnya, jaga dirimu.”
“Sure, I love you, Tania.”
“I love you too, Dan.”
Tania menutup telepon dan kembali membereskan barang-barangnya.
“Tania, kau akan pulang dengan siapa?” rekan modelnya, Clara bertanya sambil membereskan barang-barangnya. Ia memandang ke luar jendela studio. “Uh, langitnya sangat mendung.”
“Seperti biasa,” jawab Tania santai. Tak lama setelah itu, seseorang masuk.
“Hei, sweetheart, bagaimana harimu?” Ia melangkah mendekati Tania dengan senyum hangatnya lalu memeluk perempuan itu mesra. Seorang lelaki yang mengenakan setelan jas yang amat rapi. Rambutnya yang cokelat dengan garis keperakan di sana-sini membuat siapa pun yang melihatnya dapat menerka, usianya tak lagi muda.
“Luar biasa, seperti biasa, daddy.” Tania mengecup bibirnya singkat tanpa diketahui oleh Clara.
“Clara, aku duluan!” ucap Tania seraya meraih tas. Clara melambaikan tangannya dan kembali mengalihkan pandangan ke ponselnya.
Tania masuk ke mobil dan mendapati seikat lili putih di tempat duduk. Bunga favoritnya.
“Ah, Gerald … kau-”
“Aku ingin memastikan harimu ditutup dengan manis.” Ia mengedipkan sebelah matanya lalu melajukan Range Rover-nya menuju flat Tania.
Gerald Bentley, pria kaya raya yang sudah dua tahun terakhir ini menjadi sugar daddy Tania. Usia Gerald sekitar tiga puluh tahun lebih tua darinya, tapi meski ia telah berusia setengah abad, ketampanan dan karismanya tak akan bisa ditolak oleh siapa pun, termasuk oleh Tania.
Pertemuan pertama mereka terjadi saat Tania sedang berbelanja. Ketika itu ia sudah sampai di kasir dan baru menyadari bahwa dompetnya hilang. Gerald yang mengantri tepat di belakangnya dengan ringan membantu. Tania sempat meminta nomor rekening Gerald agar bisa mengembalikan uangnya tapi Gerald malah memberikan kartu nama dan mengajaknya untuk bertemu.
Keduanya menjadi dekat dan pada akhirnya sugar dating itu pun dimulai.
Pada awalnya Gerald memang sempat menawarkan semacam perjanjian mengenai lama waktu yang mereka sepakati. Satu tahun. Kemudian tanpa mereka sadari, semua berlalu begitu cepat dan Gerald menawarkan perjanjian yang sama kembali dan tak butuh waktu lama bagi Tania untuk mengiyakannya.
Meski Gerald begitu baik dan memanjakan Tania, Gerald tak banyak bercerita tentang kehidupan pribadinya. Yang Tania tahu ialah Gerald telah sejak lama bercerai dengan istrinya dan anak tunggal mereka kini tiggal di luar negeri, jauh dari ayah atau ibunya. Hanya itu yang ia ceritakan. Namun semua itu cukup untuk membuat Tania tak takut menjadi sugar baby-nya karena ia tak perlu cemas akan dianggap sebagai perusak rumah tangga orang. Dia sudah bercerai, kan?
Hal lain tentang menjadi sugar baby-nya bagi Tania? Luar biasa. Gerald punya banyak perusahan yang bergerak di berbagai bidang. Salah satunya adalah perusahaan agensi tempat Tania bekerja sebagai model kini. Gerald yang memasukkannya ke dalam agensi ini dan pada akhirnya menjadi dikenal, dan mudah saja bagi Tania merebut banyak perhatian sejak awal karena ia memang sudah begitu cantik.
Rambut cokelat dengan sepasang mata sebiru lautan, tinggi semampai dan kulit yang indah, seperti para model pada umumnya. Dua tahun lamanya Tania telah menjadi model majalah, menghadiri banyak acara fashion penting serta menjadi bintang iklan.
Sebelumnya kehidupan perempuan itu sangat biasa. Berkuliah sambil bekerja paruh waktu dan menghabiskan seluruh gajinya untuk membayar sewa flat karena kedua orang tuanya terlibat konflik sejak ia kecil dan mereka telah berpisah. Tak ada yang peduli padanya bahkan kakak-kakaknya pun tak pernah terdengar lagi kabarnya. Tania telah lupa tentang apa itu rumah atau keluarga.
Kini ia tak lagi pusing memikirkan semua itu. Gerald telah mengurus semuanya. Terkecuali tentang pendidikan yang pada akhirnya dilepaskan dan tak dilanjutkan lagi oleh Tania karena ia sudah terlalu menikmati pekerjaannya.
“Kau bilang kau akan berangkat lusa?” Gerald bertanya sambil tetap fokus mengemudikan mobil mewahnya.
“Ya,” jawab Tania tanpa bisa menyembunyikan senyum.
“Ceritakan seperti apa lelaki itu, kau terus merahasiakannya.”
“Jika aku ceritakan padamu, kau pasti akan langsung mengenalnya. Dia cukup terkenal.”
“Oh, ya? Ada begitu banyak selebriti. Menurutmu aku bisa menebak satu kali dan langsung benar?
“Haha, dia bukan selebriti. Tapi, ya … dia memang terkenal.” Tania enggan menceritakan pada Gerald mengenai apa pun tentang Davin. Meski sejak awal ia sudah memberitahu bahwa Tania boleh berpacaran dengan siapa pun, tapi bukan hal yang bagus jika membicarakannya dengan pria yang menjadi sugar daddy-nya. Tania merasa itu akan jadi sedikit canggung.
Tentu saja mereka tak benar-benar saling mencintai seperti sepasang kekasih—setidaknya itulah yang Tania yakini—hanya saja kami memang saling membutuhkan. Gerald telah memberikanku segala hal yang tak pernah didapatkan Tania. Kasih sayang, cinta, dimanja dalam kemewahan materi, dukungan karir. Semua itu tak akan bisa dibalas.
Yang bisa dilakukan Tania hanyalah selalu ada untuknya, menemaninya kapan pun dia ingin. Terkadang hanya bermesraan, dan yah, memang tak jarang juga berakhir di tempat tidur terutama saat mereka berpesta atau terlalu banyak minum.
Gerald tetap menghargainya. Ia memperlakukan Tania dengan baik dan tak pernah bicara dengan nada merendahkan bahkan saat dia tidak suka dengan sikap Tania yang seringkali terlalu boros atau malas.
“Kau bilang dia orang London yang tinggal di Paris?” Gerald bertanya lagi.
“Yeah, bukankah kau juga punya rumah di Paris?” Tania mengingat-ingat.
“Sweetheart, aku punya rumah di setiap negara.” Ia memasukkan nada sombong dalam bicaranya yang tentu saja hanya gurauan. Namun itu memang benar, dia punya rumah di setiap negara. “Salah satu kantorku juga ada di Paris.”
“Apa kita harus mengenalkanmu padanya?” Tania tertawa.
“Lalu membuatnya terkena serangan jantung? Sebaiknya jangan.” Gerald menggeleng dan tawanya pecah. “Baiklah, kita sampai.”
Mobil Gerald berhenti di area basemen dan mereka pun berjalan menuju flat Tania. Saat Gerald sedang tidak sibuk seperti ini, ia akan mampir dan keduanya akan mengobrol—terkadang lebih.
“Mungkin sedikit wine? Selama dua minggu aku akan berada di Paris dan aku tak akan bisa minum wine denganmu, pasti aku akan sangat merindukannya.” Tania mengeluarkan dua gelas lalu menuangkan wine ke dalamnya.
“Bersulang untuk Tania dan kekasihnya.” Gerald mengangkat gelas. Tania tertawa dan menggeleng.
“Bersulang untuk kita berdua,” sahutnya lalu mereka menyesap wine dari gelas masing-masing.
“Jadi, Tania … kurasa sebelum kau benar-benar menemui orang tua kekasihmu itu, aku harus mengingatkanmu tentang sesuatu.” Gerald meletakkan gelasnya lalu menatap sugar baby-nya itu dengan serius.
“Apa itu?” Tania ikut meletakkan gelas. Gerald mendekat dan menahan kedua tangannya.
“Langkah terakhir sebelum mendapatkan izin,” bisiknya dan Tania tertawa, mengerti maksudnya. Tanpa berlama-lama Gerald kemudian mendekat, membuat wangi parfumnya memenuhi indera penciuman Tania.
Gerald begitu ketat dalam menjaga pola makan dan kebugaran tubuhnya hingga berapa pun usianya sekarang, ia masih begitu menawan dan memesona.
“Tania ….”
“Yes, daddy ….” Kedua tangan Tania merangkul lehernya dengan erat. Mereka saling memandang lekat-lekat satu sama lain tanpa berkata-kata. Senyum simpul terlukis di wajah Gerald sebelum akhirnya ia mulai mengecup Tania dengan mesra.
Tania tiba di Paris dan mendapati Davin telah menunggunya di bandara. Lelaki itu menyambut kekasihnya dengan seikat lili favoritnya. Sungguh Davin tampak begitu keren meski hanya mengenakan hoodie hitam dari brand miliknya, Casualads. Rambut aslinya coklat gelap dan terkadang ia mewarnainya, kini ia memiliki highlights pirang di rambutnya. Sepasang matanya hijau dan tinggi sekitar 180 cm, membuat orang-orang berpikir bahwa ia adalah model dan bukan desainer. Memang, seringkali Davin menjadi model untuk produknya sendiri.“Bienvenue à Paris, mon amour.” Davin meraih tangan Tania dan mengecupnya seraya mengucapkan selamat datang untuk kekasihnya itu.“Jadi kau sudah pastikan bahwa kau tak akan berurusan dengan pekerjaanmu dulu selama dua minggu ke depan, kan?”“Tentu. Aku sudah berjanji. Minggu ini kita akan habiskan waktu di Paris untuk menemui Ayahku. Lalu minggu berikutnya k
Davin adalah putra Gerald. Dia putra sugar daddy Tania.“Jadi, Ayah … ini adalah kejutan yang kubicarakan di telepon saat aku memintamu untuk hadir di sini,” Davin bercerita tanpa senyum terlepas dari wajahnya. “Gadis ini, Tania Wood, adalah kekasihku. Aku bermaksud mengenalkannya padamu.”Hanya dalam waktu beberapa detik Tania merasakan lututnya melemah. Secara spontan ia meraih lengan Davin agar tak terjatuh.“Kau baik-baik saja?” Davin berbisik cemas. “Kau tidak mau bersalaman dengan ayahku?”Tania masih memandang Gerald, antara memastikan bahwa itu memang dia atau berharap penglihatannya salah. Tapi tidak, itu memang dia. Gerald Bentley. Davin sudah menyebutkan namanya. Gerald balas memandang Tania dengan ekspresi yang tak pernah ia kenali sebelumnya. Apa itu? Apakah itu ekspresi terkejut? Marah? Tidak percaya?Entahlah. Ekspresinya sulit ditebak.Namun, tak lama kemudian ia
Tania pernah ke Jerman beberapa kali, tapi ia tak pernah ke Munich. Hanya Berlin. Kini saat ia akhirnya menginjakkan kaki di kota itu, mendadak ia jadi begitu gugup. Bukan hanya karena akan menemui ibu Davin, tapi juga karena menyadari kenyataan bahwa ia akan bertemu Catherine, mantan istri dari sugar daddy-nya.“Ibuku orang yang menyenangkan, dia pasti akan sangat menyukaimu!” Davin menggandeng tangan Tania saat mereka keluar dari taksi menuju sebuah rumah sederhana dengan kotak pos berwarna coklat tua di halamannya.“Jangan cemas, ibuku tidak sesibuk ayahku. Dia tidak akan pergi begitu saja setelah kukenalkan kalian berdua,” lanjut Davin, “lagipula ini rumahnya, dia selalu tahu bagaimana menyambut tamu dengan baik.”Davin memencet bel beberapa kali dan pintu terbuka, menampakkan sosok wanita paruh baya yang cukup tinggi—kurang lebih sama dengan Tania, mengenakan kaus longgar dan celana panjang. Sekilas ia terl
Sudah lebih dari seminggu lamanya Tania tak menerima panggilan atau pesan apa pun dari Gerald. Mungkinkah Gerald begitu sibuk? Atau ia sangat marah?Catherine tidak ada di rumah hari ini. Ia bekerja sebagai salah satu tutor di sebuah kelas memasak yang tak jauh dari rumah dan mengajar setiap akhir pekan. Ia sudah berpesan pada Davin dan Tania bahwa mereka boleh pergi berjalan-jalan dengan mobilnya dengan catatan tetap membiarkan rumah terkunci, tapi sepasang kekasih itu sepakat bahwa mereka hanya akan bermalas-malasan di rumah seharian dan menghabiskan camilan yang memenuhi lemari.“Kau kelihatan gelisah, apa yang kau cemaskan?” Siang itu Davin menghampiri Tania yang sedang duduk termenung memandangi halaman belakang. “Apa kau bosan berada di sini?”“Tidak.” Tania menggeleng cepat.“Jangan khawatir, tiga hari lagi kita akan kembali ke Paris. Setelah itu kau bisa kembali ke London.”“Tidak, Dan.
“Ibu lega kau sudah mengenalkan Tania pada ayahmu, Dan.” Catherine memecah hening kala mereka menikmati makan malam. Tania memandangnya, mencoba untuk tersenyum. “Ayah Davin sangat kaku,” lanjutnya.“Dia sudah jauh lebih baik, sepertinya,” sambung Davin.“Mungkin dia sudah memiliki kekasih? Who knows?”“Ibu ....” Davin tampak tidak senang mendengar kalimat Catherine. Tania sendiri? Jantungnya berdetak lebih cepat. “Dia tak akan lakukan itu. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.”“Bagaimana kau tahu, Dan? Katakan, apa kau hanya berprasangka baik karena dia ayahmu?” Catherine bicara dengan lembut, di situasi ini Tania merasa bersalah, entah kenapa.“Well, maksudku, kurasa ayah tak akan mau repot-repot menikah lagi jika dia masih seperti itu. Semua orang yang mengenalnya tahu bahwa dia sangat dingin.&rdqu
Tania tiba di London dan segera menuju flat dengan pikiran yang kacau. Begitu banyak fakta yang harus ia terima dan ia bahkan tak tahu bagaimana harus menerimanya. Mungkin ia bisa menerima kenyataan bahwa sugar daddy-nya selama ini adalah ayah kekasihnya, tapi bagaimana ia bisa menjalani hidupnya sekarang dan setelahnya? Apa ia harus memilih di antara mereka berdua? Oh tentu, dalam hal ini, Davin adalah kekasihnya. Namun Gerald adalah orang yang telah memberi Tania kehidupan. Bisa dibilang, Gerald telah menyelamatkan Tania.Tania melangkah masuk ke dalam flat dan menyadari aroma marijuana. Segera ia melangkahkan kaki ke dapur dan benar, Gerald di sana. Duduk dengan selinting marijuana yang tinggal tersisa sedikit lagi di tangannya. Jasnya terletak di atas meja.“Kau sudah kembali, sweetheart,” suaranya terdengar berat, “dua minggu tanpa menelepon, rasanya lama sekali, ya?”Apa yang harus Tania katakan? Ia pun tak tahu.
Apa maksudnya ini? Apa tamu yang baru saja dibicarakan Gerald adalah Davin? Kenapa dia meminta Davin datang kesini? Apa dia sedang menyiapkan rencana untuk menjebak Tania? Jika ini memang rencananya, dia sungguh keterlaluan. Setidaknya itulah yang dipikirkan Tania.Davin terdiam di sana, sementara manajer restoran itu telah berlalu menuruni tangga. Tania dan Gerald saling berpandangan.“Tania? Kau ada di sini?” Davin mengangkat alis.“A-aku-”“Davin!” Gerald berseru tertahan lalu tertawa ceria. “Kau datang tanpa memberitahu?”“Ya, ini sangat mendadak. Aku sudah menghubungi Tania tapi dia tak menjawab telepon atau pesanku.” Jelas Davin masih dengan ekspresi bingung. “Kalian … sedang apa?”“Ahaha! Kau tahu? Ini kebetulan yang sangat gila. Ayah baru tahu ternyata Tania menjadi model di perusahaan agensi milik Ayah!” Gerald menghampiri putranya. Tania meng
Paris. Di kota inilah Tania akan menjalani kehidupan barunya, bersama Davin. Jelas ini bukan tempat yang buruk untuk memulai sebuah lembaran baru, meski Tania tidak yakin lembaran baru macam apa yang kini ia buka. Tampaknya bukan lembaran dari buku yang masih kosong, melainkan lembaran lama sebuah buku catatan berisi konflik tak berkesudahan.Walaupun panik, ia mencoba terlihat tenang dan berusaha untuk tak merepotkan Davin dengan membiarkannya terus-terusan bertanya apa Tania baik-baik saja karena sepanjang perjalanan Tania terus melamun. Ia terus-terusan membuka ponsel dan memeriksa media sosial, memastikan ia telah mengunggah foto bersama Davin dengan keterangan bahwa ia akan mulai tinggal di Paris hari ini.Beberapa teman-temannya berkomentar dan mengucapkan selamat, tetapi Tania sangat sibuk dalam dua minggu pertama karena selain harus beradaptasi, ia juga ikut membantu pekerjaan Davin dalam mengurus Casualads entah itu dalam hal perancangan atau mempromo