Beranda / Romansa / Sweet Husband / Sikap yang Menyebalkan

Share

Sikap yang Menyebalkan

Penulis: Dwi Maula
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-05 14:41:25

"Nilna, kok kamu sekolah lagi, sih? Bukannya hidup kamu udah terjamin, ya? Ngapain capek-capek mondok?” cerocos Zia tanpa mengerem. Ia menguncang-guncang badan Nilna saking gemasnya.

 

“Aduh, ya nggak gitu juga dong.” Nilna menangkap kedua tangan Zia agar ia berhenti mengganggunya. “Kak Bagas ngizinin aku, kok,” jelas Nilna santai. Ia meninggalkan Zia yang masih shock menuju bangku dan terduduk lega. Zia pun mengikuti dan duduk di samping Nilna.

 

“Terus gimana? Kamu udah nggak perawan lagi, dong?” celetuk Nara tiba-tiba. Ia tergesa menghampiri Nilna dan Zia. Tangannya membawa setumpuk buku yang ia letakkan asal di atas meja.

 

“Nara!” sergah Nilna emosi. “Jangan ngomongin itu, bukan ranahnya di sini,” lanjutnya dengan membungkam mulut Nara.

 

Akhirnya perdebatan mereka pun usai saat bel tanda masuk kelas berdebum. Semua siswi serentak memasuki ruang kelas masing-masing dan menyiapkan peralatan belajar yang dibutuhkan.

 

“Assalamualaikum.” Bu Isma membimbing pelajaran dengan khidmat. Ia mengajar kitab Jauharul Maknun.

 

“Waalaikumusalam,” jawab semua siswi serentak.

 

Setelah membuka kitab dan bersiap melanjutkan pelajaran kemarin, Bu Isma menyisir seluruh isi kelas. Ia memperhatikan semua murid satu persatu. Saat melihat bangku nomor dua, ia terkejut karena Nilna berada di kelas ini lagi.

 

“Nilna, kamu masih tetep sekolah, Nduk?” Bu Isma mengerjap. Ia sangat bersyukur muridnya tetap sekolah meski sekarang sudah menikah.

 

“Alhamdulillah, Bu. Kak Bagas yang mengutus saya tetap sekolah.”

 

“Ciee ...,” goda beberapa siswa bebarengan. Pipi Nilna memerah. Ia sedikit deg-degan karena perhatian seluruh isi kelas tertuju padanya.

 

“Oh, ya? Ibu ikut senang mendengarnya. Sepekan lagi kan ujian kelulusan. Lagipula sayang banget buat diputus sekolahnya.”

 

“Iya, Bu. Saya juga ingin berdaya sebagai perempuan.” Nilna menyunggingkan senyum semangat. Bagaimanapun, ke depannya tidak ada yang tahu. Oleh karena itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Merencanakan dari sekarang apa yang ingin ia capai dan mau jadi apa kelak.

 

“Oke, kalau begitu, kamu bisa menembel kitab yang bolong istirahat nanti atau saat di rumah, ya. Bisa pinjam sama satu temanmu.”

 

“Iya, Bu.”

 

“Baiklah, sekarang buka kitabnya dan kemarin sampai mana?” Bu Isma mencoba membuat anak didiknya fokus. Bertanya sesekali mengenai pelajaran yang ia sampaikan kemarin.

 

Telunjuk Nara dengan jeli menyisir bait demi bait nadzom yang tertulis tangan di bukunya. “Ini, Bu. Bait ke 55,” seru Nara dengan nada ceria. Nilna pun beringsut mendekatinya karena ia telah tertinggal beberapa pertemuan.

 

“Oke, kalau gitu kita baca bersama dulu, ya,” ajak Bu Isma lantang.

 

“ وَكُلُّ مَا صُدِّرَ بِمَا أَوْ بِهَ

فَهْوَ لِاسْتِفْهَامٍ عَلَى مَا يُنْقَلُ"

“Bagus, sekarang gini, bait ini menjelaskan tentang apa? Ada yang tahu, nggak?”

 

Devi, gadis berkacamata menunjuk langit, pertanda ia akan mengungkapkan jawaban.

 

“Bagus, gimana Devi?”

 

“Begini.” Devi membaca dan menelaah bukunya dengan seksama. “Bait ini menjelaskan bahwa setiap kalimat yang diawali dengan “ma" atau “hal", itu biasanya menunjukkan istifham, atau pertanyaan,” lanjutnya runtut.

 

Bu Isma mengangguk. “Iya, tapi nggak cukup sampai situ aja. Ada yang bisa kasih contoh nggak?” imbuh Bu Isma diiringi pertanyaan lain. Suasana kelas menjadi semakin hidup karena ada timbal balik antara pemberi dan penerima materi.

 

Nilna pun mencoba memahami bait itu dan mulai mencerna rangkaian huruf satu demi satu.

 

“Emm, maaf, Bu. Misalnya, ‘Hal zaidun qa'im?’ – apakah Zaid berdiri?”

 

“Bagus, itu contoh yang sesuai. Bisa juga contoh lain seperti ‘ma ismuka?’ – ‘siapa namamu?’. Beberapa contoh yang disebutkan tadi adalah kalimat yang menunjukkan pertanyaan. Ini penting saat kita mau memahami makna Al-Qur'an.”

 

Di sela-sela penjelasan sang guru, Nilna berusaha memahami materi. Dahinya mengernyit dan sesekali memainkan bolpoin dengan kedua tangannya yang masih samar-samar terukir henna.

 

.

 

Hari ini, Bagas sangat sibuk dengan pekerjaan di kantornya. Mengingat ia harus mengejar pekerjaan yang tertinggal beberapa hari, ia juga mendapat tugas baru yaitu menjemput sang istri. Ia melihat jam yang terpasang di tangan. “Sudah pukul sepuluh?” Ia tidak sadar waktu begitu cepat sehingga membuatnya sedikit tergesa dan hampir melakukan kesalahan.

 

“Maaf, Pak. Ini ada beberapa dokumen penting yang masih belum lengkap,” ungkap seorang sekretaris setelah mendapat izin dari sang direktur memasuki ruangan. Jemarinya lincah memilah-milah setumpuk kertas yang tersusun rapi.

 

“Oh, ya?” Bagas spontan berdiri dari duduknya. Ia menyambar berkas yang telah disodorkan. “Ya Allah, kenapa aku bisa teledor begini?” timpal Bagas lesu. Beberapa tetes keringat telah mengalir di pelipisnya.

 

“Sepertinya Bapak kelelahan. Bapak bisa istirahat terlebih dulu. Soal berkas, biar saya yang merapikannya, Pak.” Sang sekretaris mencoba menawarkan solusi.

 

“Terima kasih. Ini adalah berkas yang tertinggal.” Bagas menyodorkan dua lembar berkas yang terselip di mapnya. “Sekarang, bawa ke ruanganmu untuk segera kau susun sesuai urutan yang berlaku,” perintah Bagas pada sekretarisnya.

 

Setelah lega mengenai urusan kantor yang sudah selesai, Bagas melesat dengan mengendarai mobilnya. Membelah jalan menyusuri lalu lintas yang cukup lengang. Sesekali ia meneguk es cappuccino yang telah ia beli di minimarket sebelumnya.

 

Dalam waktu sepuluh menit, ia berhasil sampai tujuan. Membuka pintu mobil dan turun menapakkan kaki pada halaman yang masih berupa tanah. Membuat suasana nyaman karena juga ditumbuhi beberapa pohon yang rindang.

 

“Kak,” panggil Nilna dari arah depan. Ia sedikit berlari kecil menghampiri sang suami. “Tepat waktu banget jemputnya,” lanjutnya mencoba mencairkan suasana. Senyum manis tersungging pada wajahnya.

 

“Tentu. Waktu adalah uang,” timpal Bagas sekenanya. Ia menyentuh daun pintu dan membukakan mobil untuk Nilna.

 

“Kamu kenapa sih, Kak. Kok beda dari sebelumnya?” tanya Nilna ingin tahu. Ia membenarkan posisi duduk yang kurang nyaman di sofa mobil. Meletakkan tas ransel yang sebelumnya ia gendong.

 

“Maksud kamu?” selidik Bagas datar. Dahinya mengernyit.

 

“Waktu Kakak nolongin aku kemarin, keknya sikapnya ramah deh. Kok, sekarang jadi beda?”

 

“Beda bagaimana?” sergah Bagas tak sabar. Ia menoleh ke belakang sekilas.

 

“Kaku banget kek kanebo kering,” celetuk Nilna tanpa rasa sungkan. Niat hati ingin melawak, apa daya sang suami tetap diam tak bergeming. Suasana tetap canggung seperti dua orang asing yang tidak pernah bertemu.

 

“Apa kamu tahu rasanya dikecewakan oleh orang yang kamu cinta? Ya, begitulah keadaanku sekarang.”

 

Tanpa sadar, keadaan yang semula canggung menjadi sedikit bersahabat. Tetapi, ada rasa sedih yang terbit setelahnya.

 

“Menyesuaikan diri dengan kamu yang sangat mendadak, kadang membuatku bingung. Jadilah aku seperti ini. Tapi itu tidak terlalu buruk, selama aku tak melanggar peraturan yang telah kutandatangani di atas buku nikah kemarin.”

 

Nilna pun ber-oh saja. Ia mulai paham mengenai sang suami yang masih kesulitan menyesuaikan diri dengan pernikahan dadakan ini. Menghela napas pelan, bagaimanapun, ia jadi sedikit lega karena makhluk dingin itu sudah mau sedikit terbuka padanya.

 

.

 

Kokokan ayam pagi ini terdengar nyaring. Bagas tengah terduduk santai. Ia merilekskan tubuhnya dengan menikmati kopi hangat yang nikmat. Memandangi sang istri yang tengah bersiap dan sibuk memasukkan beberapa buku ke dalam tas ransel miliknya.

 

Jadwal untuk Bagas pagi ini adalah menilik pondok pesantren sekadar membantu sang abah sebisanya. Mengingat sudah seminggu ia belum bisa menyempatkan diri ke sana. Ia hanya mengantar sang istri berangkat sekolah. Setelah itu, ia bablas menuju kantornya.

 

“Tuan dan Nyonya, ini, sarapan sudah siap.” Bu Hana, asisten rumah tangga tersebut telah mempersilakan sang majikan untuk sarapan. Ia meletakkan semangkuk sup ayam dan sepiring tempe goreng yang masih hangat.

 

“Wah, makasih, Bu!” Nilna tampak bersemangat dan segera menuju meja makan. Sang suami pun mengikutinya, namun dengan langkah pelan.

 

Nilna menarik kursi untuk kemudian didudukinya, tak lupa kursi sebelahnya, untuk duduk sang suami. Ia membalikkan piring yang masih terlungkup. Lalu mengisinya dengan secentong nasi dan mengguyurnya dengan sup ayam. Tak lupa dua biji tempe goreng pun ia tambahkan juga.

 

“Kak, boleh aku ngambilin makan buat Kakak?” tanya Nilna ragu. Ia memperhatikan Bagas yang ekspresinya kurang bersahabat.

 

“Hmm.” Bagas masih sibuk dengan ponselnya. Ia sangat malas berinteraksi dengan sang istri.

 

“Aku lihat ada surat edaran tentang beasiswa untuk perguruan tinggi. Jadi, kamu mendapatkannya?” tanya Bagas setelah menyuap beberapa sendok nasi.

 

“Iya. Kalau Kakak ngizinin aku akan ambil beasiswanya,” timpal Nilna mantap.

 

“Jadi benar kamu mendapat nilai ujian tertinggi se-Jawa Timur?” tanya Bagas seakan tak percaya. Yang ia tahu, Nilna adalah remaja pemberontak yang tidak punya kelebihan apapun.

 

Pertanyaan sang suami hanya dibalas senyuman lembut. Nilna berkilah dan berusaha merubah topik pembicaraan yang membuatnya terkesan ‘wah' itu.

 

“Hmm, enak banget makanannya.” Nilna menghabiskan makanannya dan meneguk segelas air putih hingga tandas. “Yaudah, aku tunggu di teras ya,” pamit Nilna lalu berjalan tanpa menunggu jawaban dari Bagas.

 

Di teras rumah, Nilna merasa senang karena sang suami mengetahui dirinya mendapat beasiswa perguruan tinggi. Ia sangat yakin akan diizinkan.

 

“Nilna,” panggil Bagas kaku. Ia berjalan cepat menghampiri sang istri. “Aku tidak bisa mengizinkanmu menerima beasiswa itu sekarang,” lanjutnya tegas.

 

Spontan Nilna menoleh. Dahinya berkerut karena berusaha mengartikan ucapan sang suami. Pandangan mereka beradu beberapa detik sebelum Bagas akhirnya memalingkan wajah. ‘Dari kalimat tadi, apa artinya ia akan mengizinkanku di lain waktu?’ pikir Nilna gundah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sweet Husband   Sikap yang Menyebalkan

    "Nilna, kok kamu sekolah lagi, sih? Bukannya hidup kamu udah terjamin, ya? Ngapain capek-capek mondok?” cerocos Zia tanpa mengerem. Ia menguncang-guncang badan Nilna saking gemasnya.“Aduh, ya nggak gitu juga dong.” Nilna menangkap kedua tangan Zia agar ia berhenti mengganggunya. “Kak Bagas ngizinin aku, kok,” jelas Nilna santai. Ia meninggalkan Zia yang masih shock menuju bangku dan terduduk lega. Zia pun mengikuti dan duduk di samping Nilna. “Terus gimana? Kamu udah nggak perawan lagi, dong?” celetuk Nara tiba-tiba. Ia tergesa menghampiri Nilna dan Zia. Tangannya membawa setumpuk buku yang ia letakkan asal di atas meja. “Nara!” sergah Nilna emosi. “Jangan ngomongin itu, bukan ranahnya di sini,” lanjutnya dengan membungkam mulut Nara. Akhirnya perdebatan mereka pun usai saat bel tanda masuk kelas berdebum. Semua siswi serentak memasuki ruang kelas masing-masing dan menyiapkan peralatan belajar yang dibutuhkan.“Assalamualaikum.” Bu Isma membimbing pelajaran dengan khidmat. Ia meng

  • Sweet Husband   Malam Pertama

    Nilna Muna binti Ahkam Al-Hafiz, sekarang kamu sudah sah menjadi istriku.” Bagas berucap tanpa basa-basi. Memandangi langit-langit rumah meski tidak ada objek yang menarik untuk sekadar ia amati. “Iya, Kak.” Nilna terduduk lesu karena keseruannya membaca novel online harus ia jeda demi memperhatikan sang suami. Keramaian pada pesta pernikahan tadi membuatnya lelah dan ingin bermain ponsel sebentar. Sedetik kemudian, merasakan sedikit getaran pada sofa. Rupanya, Bagas telah beralih duduk di sampingnya. Keadaan menjadi hening, karena sekarang hanya mereka berdua yang ada di rumah itu. Rumah yang telah Bagas siapkan untuk Qaila, namun realitanya tidak demikian. “Di mana etikamu padaku? Saat malam pertama begini, kamu tetap sibuk dengan ponselmu?” hardik Bagas tegas. Ia hanya ingin sang istri lebih menjaga sikap. “Maaf, Kak. Aku belum bisa ngelakuin itu karena aku masih pengen nikmatin masa muda aku.” Nilna tertegun tidak percaya. Ia meneguk ludah dan takut karena baru pertama kali di

  • Sweet Husband   Sah!

    "Sebentar, kalau begitu, bisakah kamu menghadirkan calonmu dalam waktu dekat?” tanya abah dengan seksama. Ia membenarkan kaca mata yang sedikit turun dari posisi seharusnya. Bagas pun lega telah diberi kesempatan untuk mengundang sang kekasih dan segera mempertemukannya dengan abah. Ia merogoh saku dan mengeluarkan sebuah telepon seluler, lalu mulai mencoba menghubungi seseorang. “Assalamualaikum, hallo?” Bagas memberi salam setelah panggilannya terjawab. Ia pun me-loudspeaker agar semua bisa mendengar percakapannya. “Waalaikumussalam,” jawab seseorang dari seberang. “Tumben sekali, Kakak menelepon, apa ada hal penting?” lanjutnya lagi. “Begini, Kakak ingin mengundangmu ke Kediri untuk kuperkenalkan dengan Abah,” jawab Bagas sambil melirik sang abah sekilas. “Maaf, Kak. Pekerjaan di sini tidak bisa aku tinggal. Lebih menyedihkan lagi, kontrak diperpanjang satu tahun. Aku pun tidak bisa mengelak karena ini demi masa depan karierku. Kakak tidak keberatan kan menunggu?” “Lalu bagaim

  • Sweet Husband   Pertemuan Dua Keluarga

    Hiruk-pikuk pesantren di tengah hari menyambut kedatangan Bagas dan Nilna yang diiringi oleh beberapa warga. Beruntung, cuaca masih mendung, sehingga dapat berteman baik dengan keadaan yang menguras tenaga. Terlihat banyak santri yang berduyun-duyun menuju pondok. Sepertinya, mereka baru saja selesai melaksanakan salat duhur berjamaah di masjid. Seperti biasa, Abah Rasyid, pengasuh Pondok Pesantren Al-Mannan yang baru selesai memimpin salat tengah berjalan pelan menyusuri pelataran masjid menuju ndalem. Keadaan menjadi tak biasa ketika mereka melihat arakan yang tak lazim ini. Mereka jadi enggan meneruskan langkah karena terheran-heran melihat putra Abah, Gus Bagas, sedang diarak oleh warga bersama dengan seorang gadis. “Ada apa ini?” Abah Rasyid memfokuskan penglihatan yang mulai kabur pada keramaian yang terjadi di depannya. Memastikan jika mungkin ia salah lihat bahwa pria yang berdiri di depannya bukanlah sang anak. Ketika semakin mendekat, ia sangat kecewa ternyata dugaannya be

  • Sweet Husband   Mencuri Pandang

    Peluh keringat membasahi tubuh Bagas, tak terasa mentari pun menyibakkan hawa sejuk yang sedari pagi mengiringi aktivitas pria itu. Kini cuaca beralih menjadi panas, menyurutkan siapa saja yang masih kekeh berkutat di bawahnya. Ia harus cepat-cepat memulangkan beberapa lembar kertas yang telah ditandatangani oleh ketua RT setempat. “Alhamdulillah, semua berkas sudah beres, tinggal setor ke balai desa besok.” Bagas memacu langkah lebih cepat. Entah kenapa hari ini ia sangat semangat, membayangkan berdua dengan Qaila, sang pujaan hati, di hari pernikahan nanti. Langkah kaki pria itu berderap, menciptakan ritme yang menggugah antusiasme semesta untuk ikut bersuka ria. “Hei, Kang!" seru Wahyu, kawan Bagas. Ia terlihat sibuk menyemprot satwa di sangkar kecil yang tergantung di atap teras rumah. “Urusanmu udah selesai?” lanjutnya basa-basi. “Iya, udah plong banget.” Bagas menghentikan langkah sebentar. “ Wuih, ada yang mau dapet jodoh nih, uhuy!” godanya renyah. Bagas pun hanya tersipu m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status