“Nilna, kok kamu sekolah lagi, sih? Bukannya hidup kamu udah terjamin, ya? Ngapain capek-capek mondok?” cerocos Zia tanpa mengerem. Ia menguncang-guncang badan Nilna saking gemasnya.
“Aduh, jangan diguncang dong.” Nilna menangkap tangan Zia. “Kak Bagas ngizinin aku, kok,” jelas Nilna santai. “Kan bentar lagi ujian akhir. Sayang kalau nggak dilanjutin.” Zia masih melongo dan seakan tak percaya. Nilna pun duduk di bangkunya dengan lega. Tak lama kemudian, Nara menyembul dari pintu dengan tergopoh-gopoh. “Wah, wah! Berarti kalian beneran udah ... serumah?” celetuknya setengah berbisik. Ia tergesa menghampiri Nilna dan Zia. Tangannya membawa setumpuk buku yang ia letakkan asal di atas meja. “Nara!” pekik Nilna cepat. “Jangan ngomongin itu, bukan ranahnya di sini,” lanjutnya dengan membungkam mulut Nara. Akhirnya perdebatan mereka pun usai saat bel tanda masuk kelas berdebum. Semua siswi serentak memasuki ruang kelas masing-masing. Mereka tampak bersemangat menyiapkan peralatan belajar yang dibutuhkan. “Assalamualaikum.” Bu Isma membimbing pelajaran dengan khidmat. Ia mengajar kitab Jauharul Maknun. “Waalaikumusalam,” jawab semua siswi serentak. Pandangan Bu Isma menyisir seluruh isi kelas. Ia memperhatikan semua murid satu persatu. Matanya membulat saat melihat Nilna terduduk tenang di bangku nomor dua. “Nilna, kamu masih tetep sekolah, Nduk?” Bu Isma mengerjap. “Alhamdulillah, Bu. Kak Bagas yang mengutus saya tetap sekolah.” “Ciee ...,” goda beberapa siswa bebarengan. Pipi Nilna memerah. Ia sedikit deg-degan karena perhatian seluruh isi kelas tertuju padanya. “Oh, ya? Ibu ikut senang mendengarnya. Sepekan lagi kan ujian kelulusan. Lagipula sayang banget buat diputus sekolahnya.” “Iya, Bu. Saya juga ingin berdaya sebagai perempuan.” Nilna tersenyum mantap. Gadis itu mengepal erat tangannya. Bagaimanapun, ke depannya tidak ada yang tahu. Oleh karena itu, ia berjanji pada diri sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Merencanakan dari sekarang apa yang ingin ia capai dan mau jadi apa kelak. “Oke, kalau begitu, kamu bisa menembel kitab yang bolong istirahat nanti atau saat di rumah, ya. Bisa pinjam sama satu temanmu.” “Iya, Bu.” “Baiklah, sekarang buka kitabnya dan kemarin sampai mana?” Bu Isma mencoba membuat anak didiknya fokus. Bertanya sesekali mengenai pelajaran yang ia sampaikan kemarin. Telunjuk Nara dengan jeli menyisir bait demi bait nadzom yang tertulis tangan di bukunya. “Ini, Bu. Bait ke 55,” seru Nara dengan mata berbinar. Nilna beringsut mendekatinya, karena telah tertinggal beberapa pertemuan. “Oke, kalau gitu kita baca bersama dulu, ya,” ajak Bu Isma lantang. “ وَكُلُّ مَا صُدِّرَ بِمَا أَوْ بِهَ فَهْوَ لِاسْتِفْهَامٍ عَلَى مَا يُنْقَلُ" “Bagus. Bait ini menjelaskan tentang apa? Ada yang tahu, nggak?” Devi, gadis berkacamata menunjuk langit. Pertanda ia akan mengungkapkan jawaban. “Bagus, gimana, Devi?” “Begini.” Devi membaca dan menelaah bukunya dengan saksama. “Bait ini menjelaskan bahwa setiap kalimat yang diawali dengan “ma" atau “hal", itu biasanya menunjukkan istifham, atau pertanyaan,” lanjutnya runtut. Bu Isma mengangguk. “Iya, tapi nggak cukup sampai situ aja. Ada yang bisa kasih contoh, nggak?” imbuh Bu Isma diiringi pertanyaan lain. Suasana kelas menjadi semakin hidup. Adanya timbal balik antara pemberi dan penerima materi memberi kesan yang mendalam bagi Nilna. Nilna mulai terhanyut dalam suasana kelas. Untuk pertama kalinya ia kembali dalam dunia remaja. Belajar dan bermimpi. “Emm, maaf, Bu. Misalnya, ‘Hal zaidun qa'im?’ – apakah Zaid berdiri?” “Bagus, itu contoh yang sesuai. Bisa juga contoh lain seperti ‘ma ismuka?’ – ‘siapa namamu? Beberapa contoh yang disebutkan tadi adalah kalimat yang menunjukkan pertanyaan. Ini penting saat kita mau memahami makna Al-Qur'an.” Di sela-sela penjelasan sang guru, Nilna berusaha memahami materi. Dahinya mengernyit. Sesekali memainkan bolpoin dengan kedua tangannya yang masih samar-samar terukir henna. . Hari ini, Bagas tenggelam dengan pekerjaan di kantornya. Seminggu absen dari kantor membuat pria itu harus putar otak untuk mengejar ketertinggalan. Apalagi, tanggung jawab baru kini telah menghampirinya. Mengantar jemput sang istri tepat waktu. Ia melirik jam yang terpasang di tangan. “Sudah pukul sepuluh?” Bagas menarik napas pelan. Waktu memang terasa begitu cepat berjalan. Ia tergesa dan hampir melakukan kesalahan. “Maaf, Pak. Ini ada beberapa dokumen penting yang masih belum lengkap,” ungkap seorang sekretaris setelah mendapat izin dari sang direktur memasuki ruangan. Jemarinya lincah memilah-milah setumpuk kertas yang tersusun rapi. “Oh, ya?” Bagas spontan berdiri dari duduknya. Ia menyambar berkas yang telah disodorkan. “Ya Allah, kenapa aku bisa teledor begini?” timpal Bagas lesu. Beberapa tetes keringat telah mengalir di pelipisnya. “Sepertinya Bapak kelelahan. Bapak bisa istirahat terlebih dulu. Soal berkas, biar saya yang merapikannya, Pak.” Sang sekretaris mencoba menawarkan solusi. “Terima kasih. Ini adalah berkas yang tertinggal.” Bagas menyodorkan dua lembar berkas yang terselip di mapnya. “Sekarang, bawa ke ruanganmu untuk segera kau susun sesuai urutan yang berlaku,” perintah Bagas. Setelah lega mengenai urusan kantor yang sudah selesai, Bagas melesat dengan mengendarai mobilnya. Membelah jalan menyusuri lalu lintas yang cukup lengang. Sesekali ia meneguk es cappuccino yang telah ia beli di minimarket. Dalam waktu sepuluh menit, ia berhasil sampai tujuan. Membuka pintu mobil dan turun menapakkan kaki pada halaman yang masih berupa tanah. Membuat suasana nyaman karena juga ditumbuhi beberapa pohon yang rindang. “Kak,” panggil Nilna dari arah depan. Ia sedikit berlari kecil menghampiri sang suami. “Tepat waktu banget jemputnya,” lanjutnya kikuk. Gadis itu mencoba mencairkan suasana. Senyum manis tersungging pada wajahnya. “Tentu. Waktu itu berharga,” sanggah Bagas datar. Ia membuka mobil dengan tenang. Namun, pandangannya tetap tertahan di depan. Pria itu tak ingin terlibat percakapan yang lebih panjang. “Kamu kenapa sih, Kak. Kok beda dari sebelumnya?” tanya Nilna ingin tahu. Ia membenarkan posisi duduk yang kurang nyaman di dalam kabin. Tangannya sigap meletakkan tas ransel yang sebelumnya ia gendong. “Maksud kamu?” selidik Bagas datar. Dahinya mengernyit. “Waktu Kakak nolongin aku kemarin, keknya sikapnya ramah deh. Kok, sekarang jadi beda?” “Beda bagaimana?” sergah Bagas tak sabar. Ia menoleh ke belakang sekilas. “Kaku banget kek kanebo kering,” celetuk Nilna tanpa rasa sungkan. Niat hati ingin melawak, apa daya sang suami tetap diam tak bergeming. Suasana tetap canggung seperti dua orang asing yang tidak pernah bertemu. Di balik kemudi, Bagas mendelik dan tidak menyangka istrinya akan sekonyol itu. “Apa kamu tahu rasanya dikecewakan oleh orang yang kamu cinta? Ya, begitulah keadaanku sekarang.” Perut Nilna sedikit menghangat. Bukan karena sup ayam tadi pagi, tapi karena ucapan Bagas yang membekas. Dalam hati, ia ingin bertanya. Siapa yang mengecewakan siapa? Namun, bibirnya masih mengatup dan enggan bersuara. Tanpa sadar, keadaan yang semula canggung menjadi sedikit bersahabat. Tetapi, ada rasa sedih yang terbit setelahnya. “Menyesuaikan diri dengan kamu yang sangat mendadak, kadang membuatku bingung. Jadilah aku seperti ini. Tapi itu tidak terlalu buruk, selama aku tak melanggar peraturan yang telah kutandatangani di atas buku nikah kemarin.” Hati Nilna tersentil. Ia mulai paham mengenai sang suami yang masih kesulitan menyesuaikan diri dengan pernikahan dadakan ini. Ia menghela napas lega. Gadis itu cukup tenang dengan sikap Bagas yang mulai terbuka. Setidaknya, pria itu tidak sepenuhnya menolak dirinya. . Kokokan ayam pagi ini terdengar nyaring. Bagas tengah terduduk santai. Ia merilekskan tubuh dengan menikmati kopi hangat yang nikmat. Memandangi sang istri yang tengah bersiap dan sibuk memasukkan beberapa buku ke dalam tas ransel miliknya. Jadwal untuk Bagas pagi ini adalah menilik pondok pesantren. Sekadar membantu sang ayah sebisanya. Mengingat sudah seminggu ia belum bisa menyempatkan diri ke sana. Ia hanya mengantar sang istri berangkat sekolah. Setelah itu, ia bablas menuju kantornya. “Tuan dan Nyonya, ini, sarapan sudah siap.” Bu Hana, asisten rumah tangga tersebut telah mempersilakan sang majikan untuk sarapan. Ia meletakkan semangkuk sup ayam dan sepiring tempe goreng yang masih hangat. “Wah, makasih, Bu!” Nilna tampak bersemangat dan segera menuju meja makan. Sang suami pun mengikutinya, dengan langkah pelan. Nilna menarik dua kursi untuk dirinya dan sang suami. Ia membalikkan piring, mengisinya dengan secentong nasi, dan mengguyurnya dengan sup ayam. Tak lupa dua biji tempe goreng pun ia tambahkan juga. “Kak, boleh aku ngambilin makan buat Kakak?” tanya Nilna ragu. Ia memperhatikan Bagas yang ekspresinya kurang bersahabat. “Hmm.” Bagas masih tenggelam dengan ponselnya. Ia sangat malas berinteraksi dengan Nilna. “Aku lihat ada surat edaran tentang beasiswa untuk perguruan tinggi. Jadi, kamu mendapatkannya?” tanya Bagas santai, setelah menyuap beberapa sendok nasi. “Iya. Kalau Kakak ngizinin aku akan ambil beasiswanya,” timpal Nilna mantap. “Jadi benar kamu mendapat nilai ujian tertinggi se-Jawa Timur?” tanya Bagas seakan tak percaya. Yang ia tahu, Nilna adalah remaja pemberontak yang tidak punya kelebihan apapun. Pertanyaan sang suami hanya dibalas senyuman lembut. Nilna berkilah dan berusaha merubah topik pembicaraan yang membuatnya terkesan ‘wah' itu. “Hmm, enak banget makanannya.” Nilna menghabiskan makanannya dan meneguk segelas air putih hingga tandas. “Yaudah, aku tunggu di teras ya,” pamit Nilna cepat. Ia melenggang pergi tanpa menunggu jawaban dari Bagas. Di teras rumah, Nilna merasa senang karena sang suami mengetahui dirinya mendapat beasiswa perguruan tinggi. Ia sangat yakin akan diizinkan. “Nilna,” panggil Bagas kaku. Ia berjalan cepat menghampiri sang istri. “Aku tidak bisa mengizinkanmu menerima beasiswa itu sekarang,” lanjutnya tegas. Pria itu sempat terdiam beberapa saat. Tatapannya menyorot sang istri yang berdiri membelakanginya. “Aku belum siap membiarkanmu pergi tanpa pengawasanku. Aku bahkan belum mengenalmu lebih dalam,” ungkap Bagas lagi. “Pernikahan ini terlalu cepat.” Spontan Nilna menoleh. ‘Aku yang berjuang, tapi kenapa harus berhenti karena pernikahan yang bahkan belum bisa aku pahami?’ Dahi gadis itu berkerut. Ia berusaha mengartikan ucapan sang suami. Pandangan mereka beradu beberapa detik. ‘Aku ingin punya masa depan sendiri. Tidak bergantung pada siapa pun. Aku ingin dikenal karena aku memang mampu, bukan karena suami.’ Nilna membuang muka. Ia kembali sibuk dengan isi otaknya yang terasa penuh. ‘Dari kalimat Kak Bagas tadi, apa artinya ia akan mengizinkanku di lain waktu? Tapi sampai kapan? Setelah mimpiku layu?’ pikir Nilna gundah."Kamu lihat, kan, auditorium itu?” Pak Affan tengah berdiri di samping Nilna, tepat sebelum naik tangga, menunjuk beberapa orang yang berderet rapi. Dosen pembimbing itu memberi sokongan dari hati yang paling dalam. “Di sana, duduk orang-orang hebat, yang kadang meragukan kemampuan kita,” lanjut dosen Bahasa Arab itu, dalam. Ia berdiri tegap dengan balutan almamater kebanggaan unversitasnya.“Tapi itu bukan masalah, tugas kita sekarang adalah menunjukkan hal yang terbaik dari kita,” pungkasnya, dengan senyum mengembang. “Iya, Pak. Bismillah,” ucap Nilna, teguh. Hingga akhirnya, Nilna benar-benar berdiri sendiri di atas panggung.“Assalamualaikum warahmatullah wabarakaatuh ....” Ucapan salam itu meluncur tanpa hambatan dari mulut kecil Nilna. Suaranya tenang, tapi menghasilkan getaran yang menarik ratusan orang mengangkat wajah dan fokus ke sumber suara. Mahasiswi itu berdiri tegak, meski ada gugup dan keraguan yang menumpu pada punggungnya.“Waalaikumussalam warahmatullah wabarakaa
“Mas, kenapa, ya .... Semakin aku berusaha keras, semakin keras juga ujian yang datang.” Suara Nilna terdengar serak, dan sangat pelan. Seakan usai berlari di medan yang terjal.Netra perempuan itu memanas. Sebutir air mata masih bersembunyi di balik pelupuknya. Ia menatap lurus ke depan, dengan pandangan menerawang. Kakinya tertekuk, dengan kabut gelap yang sejak siang enggan untuk melunak.Bagas mengangkat wajah, menjeda jemarinya yang sedari tadi lincah menari di keyboard laptop.“Mas juga merasa begitu, Dek.” Bagas menoleh, memandangi istri kecilnya yang terduduk di ujung ranjang.“Tapi, Allah selalu menyiapkan kejutan yang indah di balik itu semua.” Pria itu memilih bangkit, dan mendekati istrinya. Menggenggam tangan kecil itu tanpa ragu, lama. Sisa hujan di siang hari masih membekas di heningnya malam. Meninggalkan aroma tanah dan daun kering yang khas karena digelayuti butiran air.Nilna tersenyum tipis, menatap wajah suaminya yang kini tidak berjarak. “Mas nggak capek?” samb
"Ya udah, Mas tunggu di balai depan, ya.” Bagas beranjak terlebih dahulu untuk bersiap pamit. Sementara Nilna, ingin ke kamar kecil untuk membersihkan diri.“Iya, Mas. Nanti aku nyusul,” pungkas Nilna, membuka pintu kamar kecil.Langkah kaki Bagas terasa ringan. Embusan angin dari kipas tua yang berderit di sudut balai menerpa senyum teduhnya. Hati pria itu kembali menghangat, dengan untaian kalimat jujur dari Nilna.Tapaknya terhenti tepat di samping sang ayah. “Bah, kok sendirian?” sapanya, pelan.Abah Rasyid terperanjat, lalu menegakkan posisi duduk. “Iya, Mas dan Mbakmu pulang terlebih dulu karena anaknya mulai rewel,” terang pria bersorban itu, dengan suara serak yang khas.Di lantai dapur, Nilna menapakkan kaki bersihnya. Wanita muda itu mematut diri sejenak di depan cermin yang tertaut di lemari tua.“Nilna, kamu masih di sini?” Bayangan Ilham menyembul tanpa permisi di sebelah pantulan wajah Nilna.Nilna terkesiap kaget. “Ilham?” Menantu Abah Rasyid itu memutar tubuhnya cepat,
‘Kenapa dia muncul bareng sama aku? Apa dia sengaja?’ batin Nilna resah. Ia melirik Bagas sekilas dan semakin bertanya-tanya. ‘Kenapa Mas Bagas kaget juga ngelihat dia?’ “Ilham, ayo, masuk,” titah Abah Rasyid tenang, mempersilakan santri ndalemnya masuk. Nilna meremas ujung jilbab. Wanita itu tertunduk dalam, menghindari tatapan lelaki muda yang sempat menyukainya. Bagas memicingkan mata, menangkap ingatan yang kembali hadir dalam benaknya. ‘Dia itu ... lelaki berseragam yang sama dengan Nilna waktu perpisahan Aliyah, kan?’ Putra bungsu Abah Rasyid itu mengepal tangan erat di pangkuan, menahan gejolak was-was yang membuncah. “Injih, Bah.” Ilham memasuki ndalem, berjalan dengan lutut tertekuk. Remaja 19 tahun itu mengecup punggung tangan sang kiai dengan sepenuh hati. “Ini, dia dulu lulus Aliyah di sini. Ilham ini sempat melanjutkan jenjang Uqudul Juman di Blitar. Tapi karena pertimbangan orang tua, dia balik menyelesaikan pendidikannya ke sini. Sambil khidmat di ndalem Abah
“Mbak, semua manusia itu punya jalan dan ujian masing-masing.” Kata itu terucap dengan tenang, meski dengan suara yang bergetar. Hatinya terasa ngilu mendengar perkataan yang menghujam tepat. Nilna berdiri tegak, menatap tajam kakak iparnya. Cacian yang ia terima bahkan tidak membuat nyalinya rapuh. Ia bahkan berusaha berbesar hati, karena berkat itu, dirinya dapat mengetahui sifat asli Salwa.“Tapi kamu itu ... aneh. Nggak seperti wanita umumnya.” Salwa masih tidak mau kalah. Pandangan perempuan 30 tahun itu menyapu penampilan Nilna dari atas hingga bawah.Nilna sempat terperangah, tapi buru-buru mengendalikan diri dengan cantik. Ia tahu, menjadi bagian dari keluarga ini tidak lantas membuatnya dapat diterima semua orang. Ia bahkan sudah menebak, dan mempersiapkan mental, untuk menghadapi badai yang tak kenal permisi. Badai yang membuatnya lebih kokoh dan berkualitas dalam segi apa pun.‘Allahu rabbi, aku pasti bisa tetap berdiri tegak. Karena harga diriku lebih brilian dari pada
[Na, badan kamu udah baikan, kan?]Mata Nilna membulat ketika mendapat pesan dari lelaki itu. Dafa. Terlihat jelas dari foto profil dan nama pengguna dari nomor yang mengiriminya pesan.Jemarinya yang semula lincah menggulir layar, kini mendadak kaku.“Dari mana dia dapat nomor WhatsApp aku?” desisnya kaget, lalu melempar ponselnya ke atas ranjang.Cahaya lampu dari ruang tengah menyusup lewat ventilasi. Menerangi sedikit sudut kamar Nilna yang gelap. Kali ini, wanita 19 tahun itu ingin tidur dalam gelap. Alih-alih bisa cepat tertidur, ia malah terganggu kembali dengan pesan dari Dafa yang datang tanpa permisi.Di kamar lain, Bagas kembali berjibaku dengan pekerjaan yang ia tinggal tadi siang. “Sudah jam sebelas ...,” katanya lirih, lalu menyesap sisa coklat hangat yang telah dingin.Suami Nilna itu menghela napas berat. “Allahu rabbi,” ucapnya, menguatkan diri. Rasa kantuk mulai hadir, membuyarkan konsentrasinya.“Lanjut besok lagi aja.” Ia mematikan laptop, lalu berjalan menuju ra