Share

Persidangan Part 4

Sweet Revenge Part 4

Memakai baju kebanggaanya, Stela terlihat begitu menawan. Membuat  Dafin  semakin terpukau dengan kemistri atasannya itu. Berjalan dengan kepala sedikit terangkat, Stela dengan penuh keyakinan akan memutuskan hasil persidangan nanti.

"Bukti sudah kamu berikan pada pembela?" tanyanya dalam perjalanan.

"Semua bukti sudah aman. Ibu tinggal melihat bagaimana reaksi mereka ketika nanti bukti kita tunjukan," jawab Dafin.

"Baguslah, memang harusnya seperti itu."

Memasuki ruangan persidangan, semua mata sudah pasti tertuju padanya. Stela tanpa senyuman menuju kursi di mana tempatnya berada. Menatap satu persatu yang hadir, Hakim itu langsung memulai acara persidangannya.

Diawali dengan tuntutan penggugat, Jaksa penuntut mulai menanyai terdakwa. Pertanyaan demi pertanyaan diajukan. Ruri, seorang mahasiswi dari Universitas ternama telah dituduh melakukan penganiayaan pada teman sekampusnya. 

Mencoba mebela diri, Ruri berusaha menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi.

"Saya tidak melakukan kekerasan kepada Sari, Pak. Itu semua fitnah!" seru Ruri dengan mata berkaca.

"Jika kamu tidak melakukannya, lalu bagaimana dengan bukti-bukti yang mengarahkan kalau kamu adalah pelakunya?" tanya Jaksa penuntut membuat Ruri semakin cemas.

"Saya juga tidak tahu, Pak. Saya di sana karena mereka mengajak untuk makan bersama."

"Bohong! Jelas-jelas kamu berbohong. Lebih baik kamu jujur saja kalau kamu yang mencelakakan anak saya!" teriak Ibu Sari dari belakang.

"Diam-diam, yang tidak bersangkutan diharapkan tenang," ucap satpam yang berada diruangan tersebut.

"Saya beneran nggak bohong, Pak. Bukan saya yang melakukan itu," ujar Ruri menangis.

"Berdasarkan bukti-bukti yang ada, saudari Ruri telah terbukti melakukan kekerasan terhadap temannya sendiri. Karena itu, dimohonkan kepada yang Mulia untuk memberikan hukuman kepada terdakwa." Mohon Jaksa penuntut memberikan ajuan.

"Kepada pihak pembela, apa ada yang ingin disampaikan?" tanya Stela kepada Jaksa pembela selaku pengacara dari Ruri, tanpa sepengetahuan pihak tersangka.

"Ada, Bu. Mohon waktunya sebentar." Jawab Pembela berdiri dan melakukan sesuatu. 

Memasukan memori kedalam sebuah ponsel, pembela menyalakan mikrofon lalu mengarahkan pada ponsel yang sudah diputar. Terdengar suara Sari dan teman-temannya yang sengaja melakukan rekayasa agar Ruri dihukum.

Semua orang yang berada di ruangan itu terkejut mendengar kata demi kata yang terlontar dari mulut Sari. Ruri yang mendengar itu tak kuasa menahan tangis, begitu juga dengan Ibunya yang duduk di meja belakang sebagai tamu. 

"Rekaman ini diambil ketika penggugat  dirawat di rumah sakit. Tanpa sepengetahuannya, kami telah membuat rekaman daru percakapannya bersama teman-temannya." Jelas pembela memulai percakapan.

"Tidak, itu tidak benar." Sangkal Sari yang mulai ketahuan berbohong.

"Dengan sengaja penggugat menjebak terdakwa agar menjadi tersangka dan diberi hukuman atas perbuatan yang tidak dia lakukan sama sekali. Bahkan, penggugat pun sempat menghina dan memaki tersangka sebelum kejadian itu terjadi. Kaki saudari Sari yang luka, hanya kepura-puraan agar dia bisa melaporkan Ruri sebagai terdakwa," ujar Pembela panjang lebar menatap Sari tanpa berkedip.

"Tidak, itu semua bohong. Dia memang mencelakaiku, buktinya sampai sekarang aku belum bisa berjalan." Bela Sari menunjuk kakinya.

"Bisa saja itu suara orang lain yang direkam. Lihatlah bukti sebenarnya, kaki korbn terluka dan itu semua karena saudari Ruri," sangkal penuntut membela Sari.

"Yang Mulia, izinkan saya memanggil saksi?" tanya Pembela menunduk hormat.

"Silakan."

"Tolong bawa Dokter yang menangani gadis itu ke sini." Perintah pembela kepada satpam.

"Baik, Pak." 

Seorang laki-laki memakai pakaian jas putih memasuki ruangan.

"Silahkan berikan surat keterangan sakit dari saudari Sari kepada saya." Perintah Pembela kepada Dokter yang merawat Sari.

Dengan hormat, Dokter itu meberikan hasil otopsi yang telah dia lakukan terhadap pasiennya.

"Di sini, telah terbukti kalau kaki yang berbalut perban itu masih sehat dan tidak terluka sama sekali," jelas Pembela memberikan berkas bukti kepada hakim. Membaca dengan teliti, hakimpun tersenyum setelah membaca bukti yang diberikan pembela.

"Dari bukti yang telah kami berikan, terbukti bahwa terdakwa tidak salah dalam hal ini. Dia hanya dijebak karena ketidak sukaan penggugat kepadanya. Maka dari itu, mohon kepada Yang Mulia hakim memberikan keputusan dengan sebaik-baiknya," ujar Pembela memberi hormat kepada hakim.

"Setelah melihat beberapa bukti yang akurat. Maka saya, selaku hakim dari persidangan ini memutuskan, bahwa saudari Ruri tidak bersalah dan dibebaskan dari hukuman apapun. Buat penggugat yang telah memberikan tuduhan palsu. Berdasarkan Undang-undang yang berlaku maka penggugat akan dijatuhi hukuman empat tahun kurungan penjara." Tiga ketuk palupun berbunyi menandakan sidang berakhir.

"Sidang sudah selesai, silahkan kembali pada kegiatan masing-masing." Perintah Stelah meninggalkan ruangan dengan senyum penuh kemenangan.

"Aman?" tanya Dafin ketika Stela keluar dari ruang sidang.

"Amaaan." Menunjukan Ibu jarinya pada Dafin.

"Sudah kuduga," ucap Dafin mengikuti atasanya dari belakang.

Ruri dan Ibunya yang mendengar keputusan itu sangat lega dam bersyukur kepada Allah. Berlari memeluk Ibunya, Ruri menangis dan mengucapkan maaf karena telah membuat Ibunya kuatir.

"Aku takut sekalii, Bu," ucapnya tersedu.

"Sudah, sekarang semuanya sudah jelas. Ayo kita berterima kasih pada jaksa pembela," ajak Ibunya menemui jaksa pembela.

"Terima kasih telah membantu kami. Tanpa bantuan Bapak, mungkin kami tidak tahu apa yang terjadi."

"Berterima kasihlah pada hakim Stela. Semua ini karena berkat dia," jawab Pembela memberi saran.

"Baiklah, Pak. Terima kasih atas bantuannya." menundukan kepala kepada jaksa pembela.

Setelah itu mereka pergi untuk menemui Stela. Sudah bertanya kesana kemari, mereka tidak menemukan Hakim yang telah menolong mereka.

"Sepertinya dia sudah pulang. Besok saja kita kembali membawakan beberapa bingkisan sebagai tanda terima kasih." Saran Ibunya Ruri.

"Iya, Bu. Lebih baik begitu," jawab Ruri mengajak Ibunya pulang.

Sedangkan Sari dan Ibunya tidak terima dengan keputusan sidang yang telah mempermalukan mereka. Terpancar wajah benci dari keduanya, seakan ingin membalaskan dendam setelah kejadian tadi di sidang.

"Ibu tidak akan membiarkan ini. Tidak akaaaaan!" teriaknya penuh amarah.

"Aku nggak mau di penjara, Bu. Keluarkan aku." Tangis Sari ketika Polisi membawanya kedalam sel.

"Sabar sayang, sabar." Dengan berat hati Ibu Sari melepaskan pegangan putrinya.

***

Setelah melepaskan jas kebesarannya dan mengganti dengan pakaian kantor. Kemanisan gadis itu lebih kentara dari pada disaat dia berada dalam sidang. Senyuman dari bibir tipis itu sangat menawan hati para lelaki yang ingin sekali meminangnya.

Hanya saja, soal teman hidup Stela belum mau memikirkannya. Baginya sekarang, karir adalah nomor satu yang harus dikejarnya. 

"Mau makan siang di mana, Bu Hakim?" tanya Dafin dari seberang meja.

"Aku mau makan mi rebus dengan telur dan butiran sosis diatasnya. Ummm, rasanya nikmat sekali." 

"Siap meluncur kemana Bu Hakim mau pergi," ucapnya dengan senang hati. 

"Bapak menang lotre kah? Kelihatannya senang sekali?" tanya Stela menatap heran kepada Dafin.

"Hah? Tidak! Hanya saja, suasana hatiku senang akhir-akhir ini," jawab Dafin tersenyum manis.

Stela yang melihat kelakuan Dafin hanya menatap aneh, lalu mengambil tas dan menuju parkiran mobil. Hatinya lega karena bisa menyelesaikan perkara dalam satu kali sidang. Apalagi melihat wajah ibu dan Ruri tadi, membuatnya tambah semangat lagi. "Andai saja waktu bisa berputar kembali." Gumamnya dalam hati.

Berjalan menuju parkiran mobil, Stela tidak lupa melemparkan senyum kepada setiap orang yang menundukkan kepala kepadanya. Sesampainya di parkiran, kejadian yang tidak terduga menimpa gadis itu.

"Aaaak." Teriaknya kesakitan ketika rambut indahnya ditarik secara paksa oleh seseorang.

Mata Stela membulat melihat siapa yang berani menarik rambutnya, "Kamuuu!" 

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status