Auryn masih memandangi pesan di ponselnya."Kunci pintumu dengan benar malam ini. Aku tidak ingin ada kejadian yang tidak diinginkan."Jari-jarinya mengetuk layar, ragu apakah harus membalas atau mengabaikannya.Lucien benar-benar mengganggu pikirannya.Bukan hanya karena pria itu selalu mengendalikan segalanya, tapi karena Auryn tahu... ada bagian dalam dirinya yang mulai menerima perlindungan itu.Dan itu berbahaya.Sangat berbahaya.Ia menghela napas panjang, menatap pintu balkon yang sedikit terbuka. Angin malam bertiup masuk, membawa aroma samar hujan yang akan turun.Haruskah ia benar-benar mengikuti perintah pria itu?Ia menutup matanya sebentar, lalu berdiri, berjalan ke pintu apartemennya, dan memastikan semua terkunci.Bukan karena ia takut.Tapi karena firasatnya mengatakan Lucien tidak akan mengiriminya pesan itu tanpa alasan.Setelahnya, ia berjalan ke ranjangnya dan mencoba tidur.Namun, bahkan setelah satu jam berlalu, kelopak matanya tetap terbuka.SEMENTARA ITU, DI TE
BAB 10 – TERKEPUNG TANPA JALAN KELUARPENGKHIANATAN YANG TERSEMBUNYIAuryn merasakan detak jantungnya berpacu kencang saat ia menatap layar ponselnya. Pesan yang baru saja masuk membuat darahnya mendidih sekaligus membuat bulu kuduknya meremang."Kau pikir bisa lari dariku, Auryn? Ini baru permulaan."Tangan Auryn mengepal kuat, napasnya memburu.Pesan itu datang dari nomor tak dikenal, tetapi ia tahu siapa pengirimnya.Zeller.Bajingan itu bahkan belum muncul langsung di hadapannya, tapi ia sudah mulai memainkan permainannya.Ketika ia ingin membalas, tiba-tiba layar ponselnya berkedip dan mati begitu saja. Seolah diretas dari jarak jauh.Auryn mengumpat dalam hati."Lucien…" gumamnya, buru-buru keluar dari kamarnya dan berjalan cepat menuju ruang kerja pria itu.Tapi saat ia hendak membuka pintu, suara berisik dari luar rumah menarik perhatiannya.Matanya menyipit saat melihat dari balik jendela.Deretan mobil hitam berbaris di depan rumah, dan beberapa pria berbadan besar turun den
Auryn terbangun dengan jantung berdegup kencang. Cahaya remang-remang dari lampu jalan menyelinap masuk melalui celah tirai kamarnya, menciptakan bayangan samar di langit-langit. Nafasnya memburu, seakan paru-parunya menolak bekerja dengan normal.Bayangan kejadian tadi siang masih membekas di pikirannya. Ancaman yang tiba-tiba muncul, tatapan dingin Lucien yang seperti membaca isi kepalanya, dan kenyataan bahwa semakin banyak orang yang terlibat dalam permainan berbahaya ini."Kamu nggak akan bisa lari dariku, Auryn," suara Lucien terngiang di kepalanya, membuatnya menggigit bibir bawahnya dengan frustasi.Auryn bangkit dari tempat tidur, melangkah ke arah jendela dan menyibak tirai sedikit. Jalanan tampak sepi, tetapi perasaan tak nyaman masih menggelayuti dirinya. Seakan ada yang mengawasinya dari kegelapan.Tiba-tiba, ponselnya bergetar di meja. Nama Lucien tertera di layar.Auryn menelan ludah. Haruskah ia mengabaikannya? Atau menjawab dan menghadapi permainan berbahaya ini secar
Auryn duduk di lantai rumah kosong itu. Punggungnya bersandar pada dinding usang, napasnya masih belum stabil. Duniaku... semuanya palsu? Orang-orang yang aku percaya selama ini... pengkhianat?Lucien menatapnya dari seberang ruangan, duduk santai di kursi reyot dengan sebatang rokok di tangan. Asapnya mengepul pelan, membentuk kabut tipis yang seperti membungkus misteri yang belum terungkap.“Kenapa kamu tunjukin semua ini sekarang?” tanya Auryn, suaranya serak. “Kalau kamu tahu dari dulu, kenapa nggak kamu cegah? Kenapa kamu cuma diem?”Lucien mengangkat alis. “Karena kamu belum siap. Kamu masih terlalu sibuk percaya sama semua ilusi. Aku butuh kamu bangun sendiri... biar kamu bisa lihat betapa busuknya dunia kamu.”Auryn meremas ujung dress merahnya. Tangannya gemetar, bukan karena takut. Tapi karena kemarahan. Dan sakit hati.“Siapa yang pertama harus aku jatuhin?” gumamnya.Lucien menyeringai. “Akhirnya.”Sore itu, mereka kembali ke kota. Tapi sekarang, segalanya terasa beda. Aur
Setelah pertemuan siang itu, berita tentang skandal akademik langsung tersebar seperti api yang menyambar hutan kering. Nama Pak Darmawan terpampang di media lokal, dituduh memanipulasi sistem penilaian dan menyalahgunakan wewenang. Elsa? Menghilang tanpa jejak.Auryn berdiri di balkon lantai dua apartemen Lucien malam itu, menatap kota yang ramai di bawah. Hatinya nggak tenang. Bukan karena takut... tapi karena dia tahu, ini baru permulaan.“Besok, mereka bakal balas,” gumam Lucien dari belakangnya.Auryn menoleh, wajahnya kini dingin seperti batu es. “Biarin. Aku udah siap.”Lucien berjalan pelan, berdiri tepat di sebelah Auryn. “Kamu tahu siapa yang mulai gerak?”Auryn menatapnya dalam. “Siapa?”“Alena. Sepupu kamu yang selama ini diem. Dia mulai kumpulin orang dari lingkaran luar. Dia punya ambisi buat ambil alih semua koneksi yang dulu kamu punya.”Auryn mendengus pelan. “Jadi selama ini dia cuma nunggu aku jatuh.”“Dan sekarang kamu berdiri lagi. Itu artinya, kamu ancaman.”Kees
Hari itu hujan turun deras. Awan gelap menggantung di atas kampus seperti pertanda akan badai yang lebih besar. Suasana terasa berat, dan itu bukan cuma karena cuaca. Ada energi aneh yang menyelimuti udara, seperti ketegangan sebelum perang.Auryn duduk sendirian di bangku taman belakang kampus. Hujan tak membuatnya bergerak. Dia biarkan bajunya basah, rambutnya menempel di pipi, dan tangan yang gemetar memegang payung… tapi tak dibuka.Lucien melihatnya dari kejauhan. Dia tahu Auryn sedang menyembunyikan sesuatu. Bukan hanya luka masa lalu. Tapi keputusan besar yang belum dia sampaikan. Dan itu membuat dada Lucien semakin sesak.Dia mendekat, perlahan.“Auryn,” panggilnya pelan, nyaris tenggelam oleh suara hujan.Gadis itu menoleh. Tatapannya kosong, tapi di sudut matanya ada luka yang belum sembuh.“Kamu nyari aku?” tanyanya dengan suara pelan.Lucien mengangguk. Dia duduk di sampingnya, meski bangku sudah basah dan pakaiannya langsung lembap.“Kenapa duduk di sini sendirian?”Auryn
Malam itu, setelah pulang dari rumah ibunya, Auryn duduk di sofa apartemennya, menatap selembar akta lahir itu tanpa berkedip. Lampu ruangan sengaja dibiarkan remang. Suasana redup seolah lebih cocok menggambarkan pikirannya yang remuk redam. Tangannya yang menggenggam surat itu perlahan bergetar. Bukan karena takut, tapi karena terlalu banyak rasa yang bercampur jadi satu dan membentuk badai dalam dadanya.Lucien hanya memperhatikan dari jauh. Dia ingin mendekat, tapi tahu kapan harus memberi ruang."Kenapa harus sekarang?" gumam Auryn pelan. "Kenapa saat semuanya baru mulai berjalan?"Lucien akhirnya duduk di sampingnya, memegang tangan Auryn dengan lembut. “Karena rahasia nggak pernah tidur, Ry. Dia cuma nunggu waktu buat muncul ke permukaan.”Auryn menghela napas panjang. “Gue nggak pernah minta dilahirkan, apalagi ditukar. Tapi semua orang seperti sepakat buat terus menyalahkan gue.”“Karena mereka takut sama lo.”Auryn menoleh, menatap mata Lucien yang begitu tenang, begitu yaki
Di malam yang sama, auryn nggak bisa tidur. Dia duduk di depan jendela penginapan, menatap bintang-bintang yang seolah ikut mengamati segala kekacauan hidupnya. Lucien menghampiri, duduk di lantai, lalu menyandarkan kepala ke pahanya.“Lo tahu, Ry… lo boleh ngerasa lelah,” gumam lucien pelan. “Gue tahu semua ini berat banget buat lo.”Auryn mengusap rambutnya pelan. “Gue cuma… ngerasa kayak dunia lagi ngejatuhin semua beban ke pundak gue.”Lucien menggenggam jemarinya. “Lo kuat. Lo lebih kuat dari siapa pun yang pernah gue kenal. Tapi bahkan prajurit terkuat pun butuh istirahat, kan?”Auryn tersenyum kecil. “Gue bersyukur ada lo.”Lucien menatapnya. “Dan gue akan ada di sini, sampai dunia selesai, kalau lo izinin.”Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, auryn menunduk dan mencium kening lucien dengan lembut. Satu isyarat, satu pengakuan, bahwa rasa itu tumbuh diam-diam, di antara luka, darah, dan rahasia masa lalu.Tapi mereka nggak sadar… malam itu, sebuah pesan terkirim ke email
Langit malam seperti menyimpan sejuta rahasia, sama seperti dada Auryn yang kini bergemuruh. Hatinya penuh tanda tanya—tentang liontin mawar, tentang pesan-pesan yang ia temukan di balik surat lama, dan tentang Lucien… pria yang begitu ia benci sekaligus ia rindukan dalam satu tarikan napas.Langkahnya cepat menyusuri lorong rumah tua itu. Udara dingin menyelimuti tubuhnya, tapi hatinya terbakar oleh rasa penasaran. Ia ingat betul, di balik rak buku perpustakaan tua, ada ruang tersembunyi yang dulu pernah dibicarakan ibunya. Ruang rahasia yang tak pernah boleh dibuka. Tapi malam ini, semuanya akan dibongkar.Tangannya gemetar saat mendorong rak itu. Dengan sedikit tenaga, rak kayu itu bergeser perlahan, menyingkap dinding abu-abu yang penuh debu. Ia mengetuknya pelan, lalu terdengar bunyi ‘klik’. Sebuah pintu rahasia terbuka.Dan di dalamnya…“Ini…” Auryn menelan ludahnya. Ruangan kecil itu dipenuhi foto-foto, catatan tangan, dan peta-peta tua. Semuanya berpusat pada satu nama: Lucien
Langit malam memayungi kota seperti jubah hitam tak berbintang, dan di balik gelapnya, suara langkah kaki menyusuri lorong sempit gedung tua di pinggiran distrik yang sudah lama ditinggalkan. Auryn menggenggam ponselnya erat, matanya menatap layar yang baru saja menampilkan pesan tak dikenal: “Jangan percaya siapa pun. Bahkan Lucien.”Pesan itu muncul hanya dua menit setelah ia meninggalkan rumah persembunyian mereka. Awalnya ia kira itu peringatan kosong, tapi ketika ia menyadari seseorang mengikutinya sejak keluar dari taksi, degup jantungnya langsung menggila.Ia bersembunyi di balik tembok, menahan napas. Langkah itu berhenti. Lalu menghilang.Tak ingin membuang waktu, Auryn segera masuk ke dalam gedung tua yang disebut-sebut sebagai tempat penyimpanan berkas lama dari organisasi tempat ayah angkatnya bekerja dulu—berkas yang mungkin menyimpan alasan kenapa pria itu diculik, dan siapa Raynard sebenarnya.Senter kecil di tangannya menyusuri barisan rak berdebu. Bau lembap dan jamur
Lucien berdiri di ambang pintu rumah tua itu, tubuhnya kaku dan matanya menatap lurus ke dalam. Napasnya tertahan ketika suara-suara dari masa lalu seakan bergaung di setiap sudut ruangan. Tempat itu adalah kenangan, luka, dan rahasia. Auryn menyentuh lengannya pelan, menyadarkannya dari kekosongan sesaat yang menyergap."Kamu siap?" suara Auryn lembut, namun penuh ketegasan.Lucien mengangguk perlahan. "Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."Mereka melangkah masuk, dan lantai kayu berderit di bawah kaki mereka. Udara di dalam rumah begitu lembap dan bau debu menyengat. Di ruang tamu, masih tergantung sebuah lukisan keluarga tua yang retak bagian kacanya. Di bawah lukisan itu, sebuah piano tua tertutup kain lusuh. Lucien menyibak kain itu dan membuka tutup piano. Jemarinya menyentuh tuts piano, lalu memainkan satu nada lirih.Suara itu menggema, dan dari lantai atas terdengar suara langkah kaki. Spontan keduanya menegang."Itu bukan hantu, kan?" bisik Auryn, setengah bercanda n
Malam itu, kota masih dibalut dingin yang menusuk tulang. Di balik jendela apartemen mewah yang lampunya sengaja diredupkan, Auryn berdiri memandangi kerlip lampu kota dengan mata kosong. Kepalanya dipenuhi suara-suara dari masa lalu, teriakan-teriakan yang terkubur di ingatan, dan wajah-wajah yang pernah menyakitinya. Semua itu kembali muncul saat dia tak sengaja menemukan foto lama di laci meja kerja Lucien.Foto itu... bukan sembarang foto. Itu adalah foto ibunya, jauh sebelum tragedi yang menimpa keluarganya. Tapi yang membuat Auryn terpaku bukan hanya wajah ibunya—melainkan sosok pria di sebelahnya. Pria itu bukan ayah kandungnya."Kenapa foto ini ada di sini?" gumamnya pelan.Tak butuh waktu lama bagi Auryn untuk menghubungi kontak yang tersimpan dalam ingatannya: Kairo. Seseorang dari masa lalu yang dulu sempat mengawasi keluarganya diam-diam. Seorang informan bayaran yang tahu lebih banyak dari yang seharusnya."Kita perlu bicara," ujar Auryn melalui sambungan telepon. Suarany
Malam itu hujan mengguyur deras, seperti ikut menangis bersama luka yang makin dalam di hati Auryn. Di kamar kecil yang hanya diterangi lampu temaram, ia terduduk di lantai dengan tubuh menggigil. Bukan karena dingin semata, tapi karena kebenaran yang baru saja terungkap. Lucien—satu-satunya tempatnya berpulang—ternyata menyimpan rahasia besar.Pesan suara dari ponsel itu berulang kali diputar Auryn. Suara perempuan lain, menyebut nama Lucien dengan nada manja dan memohon agar dia tidak meninggalkan rumah mereka yang telah mereka bangun bersama. Suara tangis itu membuat Auryn merasa seolah seluruh dunia menjatuhkan beban di dadanya. 'Rumah mereka?' kalimat itu berputar-putar di kepala Auryn.Lucien tidak ada di apartemen saat itu. Entah ke mana dia pergi. Tapi yang jelas, Auryn tidak bisa tinggal diam. Dia butuh jawaban.Dengan langkah berat, Auryn keluar ke jalan. Hujan membasahi tubuhnya, tapi ia tak peduli. Ia mencari Lucien, mengunjungi semua tempat yang pernah mereka datangi bers
Malam itu, hutan di sekitar rumah tua terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berbisik di antara ranting, membawa aroma tanah basah dan bahaya yang mengintai. Auryn berjongkok di sudut gelap, matanya tajam mengawasi pintu depan. Tangan kanannya memegang pistol dengan erat, sementara tangan kirinya terus menggenggam liontin kecil yang selalu dia pakai—sebuah pengingat kecil tentang alasan kenapa dia harus bertahan. Lucien tak jauh darinya, berdiri di belakang tembok retak dengan senjata siap tembak. Napas mereka tenang, penuh konsentrasi. Mereka sudah menyiapkan segala kemungkinan. Semuanya. Tiba-tiba, ada suara derit pelan dari jendela samping. Auryn menahan napas. Dia menoleh sekilas ke arah Lucien, yang mengangguk kecil sebagai sinyal: musuh sudah datang. Langkah kaki mendekat. Perlahan. Hati Auryn berdebar kencang, bukan karena takut—tapi karena adrenalin. Ini saatnya. Ini akhir dari semua pengejaran dan ketakutan itu. Bayangan hitam muncul di jendela. Sesosok pria bertop
Auryn terjaga dengan nafas terengah-engah. Tubuhnya berkeringat dingin meski AC di kamar hotel mewah itu menyala penuh. Dalam mimpi barusan, dia kembali melihat sosok itu—sosok dari masa lalu yang seharusnya sudah hancur bersama waktu. Tapi tidak. Kenyataannya, bayangan itu hidup, bernapas, dan kini mengejarnya tanpa ampun.Lucien yang tidur di sofa segera bangkit begitu mendengar suara resah Auryn. Dia langsung menghampiri, duduk di tepi ranjang, wajahnya cemas."Auryn... mimpi buruk lagi?" bisiknya, jemarinya menyentuh lembut pipi Auryn.Auryn mengangguk lemah. Dia menatap Lucien seolah mencari sandaran, dan tanpa banyak bicara, Lucien langsung menariknya ke dalam pelukan hangatnya."Aku di sini, nggak akan kemana-mana," gumamnya, mengecup puncak kepala Auryn.Sekuat apa pun Auryn mencoba tampak kuat, malam-malam seperti ini mengingatkannya bahwa dia tetap manusia biasa. Bahwa ada luka yang bahkan waktu pun tak sanggup sembuhkan."Aku benci ini," lirih Auryn, suaranya nyaris tenggel
Ketika malam mulai turun, hujan mengguyur pelataran apartemen tempat Auryn tinggal. Rintik-rintiknya seperti melodi pahit yang berbisik pada jendela, menciptakan suasana muram yang kontras dengan kecemasan yang membakar di dalam dadanya. Ia duduk di dekat jendela, memeluk lututnya sambil menatap kilat yang sesekali menyambar langit gelap. Kata-kata terakhir Lucien terus terngiang—tentang perlindungan, tentang bahaya yang akan datang, dan tentang seseorang dari masa lalu yang kembali mengintai mereka.Ponselnya berdering.“Hallo?”“Ry, ini aku, Rara.”Suara sahabatnya terdengar tergesa-gesa, penuh napas tercekat. “Kamu harus keluar dari sana sekarang juga.”Auryn mengernyit. “Kenapa? Apa yang terjadi?”“Ada yang membuntuti kamu. Aku enggak tahu siapa, tapi sejak kamu meninggalkan cafe siang tadi, ada orang yang ngikutin kamu. Dia juga mampir ke tempat aku. Aku takut, Ry. Dia tanya-tanya tentang kamu.”Auryn langsung berdiri, mengambil tas kecil dan menyalakan semua lampu ruangan. Dadan
Malam itu, hujan turun deras membasahi kota. Suara rintik-rintik air yang menabrak jendela terdengar seperti denting waktu yang terus menyeret kenangan-kenangan lama ke permukaan. Auryn berdiri di balik tirai kamar, menatap kosong ke arah luar. Pikirannya kacau. Sejak kejadian di kantor kemarin, segalanya terasa makin runyam.Lucien tidak menghubunginya. Tidak sepatah kata pun. Padahal mereka baru saja saling membuka diri. Baru saja mencoba jujur tentang apa yang mereka rasakan.Auryn mengepalkan tangannya. "Kalau kamu cuma main-main, kenapa harus sejauh ini, Lucien?"Suara notifikasi ponsel memecah keheningan. Pesan masuk dari nomor tak dikenal."Kamu pikir Lucien benar-benar mencintaimu? Dia cuma menjalankan misi."Tubuh Auryn langsung tegang. Siapa ini? Jantungnya berdegup kencang. Ia balas pesan itu dengan tangan gemetar."Siapa kamu?"Tidak ada balasan.Ponselnya berdering. Masih dari nomor yang sama. Auryn menjawabnya dengan hati-hati.“Halo?”“Halo, Yura kecil…” suara berat dan