POV MERTUA
Aku heran, padahal menantuku adalah orang kaya. Rumahnya besar dan luas. Bahkan meja makan ini juga terlihat mewah. Dirancang dengan finishing glossy, permukaan meja menampilkan lis hitam membingkai bagian kaca tempered. Bagian kaki terlihat mulus menopang dengan kokoh, sedangkan ukurannya tetap space-saving dan bisa menampung sekitar 4-6 orang. Tapi yang tersedia di depan mata hanya kangkung dan tempe goreng. Sangat tidak selaras dengan kenyataan yang ada.Sebenarnya aku juga tidak mempermasalahkan menu tersebut. Tapi, sejak aku masuk ke rumah ini memang terasa ada banyak hal yang putriku sembunyikan.Tidak ada pembantu, kulkas kosong, AC mati. Semua itu tidak umum terjadi di kalangan pengusaha seperti Kevin.Hari ini aku sengaja menginap agar tahu apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangga anakku. Memang orang tua tidak berhak ikut campur dengan masalah rumah tangga anak. Tapi kurasa semua ini tidak benar. Kalaupun mau berhemat, tentu tak separah ini.Setahuku omset menantuku mencapai puluhan juta dalam sebulan. Masak iya makan cuma sama tempe.Dulu setiap datang ke rumah, Kevin sering kali membawakan oleh-oleh. Baik makanan atau barang. Tapi, sejak menikah satu bulan ini dia belum pernah mengunjungiku. Mungkin karena jarak rumah yang cukup jauh atau karena kesibukan.Sebagai orang tua aku tidak akan memaksa anak dan menantuku untuk datang ke rumah. Karena aku paham setiap orang punya kegiatan yang tidak bisa disamaratakan. Aku yang merasa lebih banyak waktu bersantai pun memilih mengunjungi mereka lebih dulu. Aku sudah rindu pada pengantin baru yang dulu menghuni rahimku hingga sembilan bulan itu.Kuperhatikan Aira semakin kurus dan kusam. Baju yang dipakai masih sama seperti waktu gadis. Penampilannya lebih mirip pembantu dari pada seorang istri pengusaha."Bu, apa aku pisah saja sama Mas Kevin, ya?"Dek.Aku belum bertanya apa-apa putriku sudah mulai curhat ketika aku membuat bumbu rica ayam."Istighfar, Ra. Baru sebulan kamu nikah. Masih seumur jagung. Memangnya ada masalah apa antara kamu dan suamimu? Kevin tidak selingkuh atau main tangan kan?""Nggak sih, Bu! Tapi pelitnya itu lo, kebangeten. Ibu lihat sendiri kan, semua elektronik di rumah ini cuma menjadi pajangan dan tidak digunakan sesuai fungsinya? Katanya boros listriklah, iritlah. Nggak kuat aku, Bu! Minta mesin cuci saja alotnya minta ampun.""Kaya gitu juga kamu sendiri yang memilih kan? Dulu disuruh menikah sama Ilham nggak mau. Lebih jelas sifat dan karakternya. Apa lagi kalian berteman sejak kecil."Aku mulai memasukkan semua bumbu uleg dan juga berbagai empon-empon agar aromanya semakin harum.Aira tidak melakukan apa-apa. Dia cuma duduk manatap ponselnya."Ra, apa kamu tidak meminta asisten rumah tangga pada suamimu? Rumah ini besar lo. Apa kamu kuat membersihkan sendirian?""Bahkan membayangkan saja tubuhku sudah lemes, Bu! Lagi pula Mas Kevin mana mau mencari asisten. Dia itu orang terpelit di dunia menurut versiku, Bu! Makanya aku mau minta pisah padanya. Kalau aku jahat, sejak awal sudah kurac*n dan kuambil hartanya.""Ibu sih terserah kamu, Ra. Ibu tidak tahu kamu nemu dia di mana. Ibu tidak memaksamu menikah dengannya. Semua murni pilihanmu. Saran Ibu, jika masih kuat lanjutkan, kalau tidak kuat tinggalkan. Tapi yang harus kamu ingat baik-baik, Ra! Tidak ada manusia di dunia ini yang sempurna. Banyak di luar sana hidupnya menderita karena diduakan suaminya, dipuk*li, bahkan sampai dihabisi.""Terus bagaimana, Bu? Aku pusing. Memang Mas Kevin tidak pernah main tangan atau main wanita. Nafkah lahir batin aku menerima dan tercukupi. Aku tidak perlu pusing memikirkan bumbu habis, gas habis, atau biaya listrik dan PDAM. Tapi ya itu tadi. Semua harus diirit termasuk untuk makan. Aku mau membeli apa-apa juga susah. Pengen kerja nggak dibolehin. Katanya buat malu. Mau jualan juga nggak diizinin. Katanya cuma menghabiskan modal. Bahkan Ibu datang pun dia tega cuma menyediakan tempe."Aku harus bilang apa pada putriku? Aku tidak mau salah memberi saran dan memilih diam.***Malam itu badanku rasanya capek sekali. Aku pun rebahan di kamar tamu yang luasnya melebihi kamarku di kampung. Kasurnya juga sangat nyaman untuk tulang punggungku yang mudah sakit ini.Baru saja mata mau terpejam, aku mendengar Aira ribut dengan Kevin. Entah apa yang diperbuat putriku sampai Kevin menaikkan intonasi nada suaranya.Mudah-mudahan rumah tangga putriku baik-baik saja. Kuharap ini hanya kesalah pahaman kecil. Menurut cerita Aira, dia mengenal Kevin baru sebulan langsung dilamar. Katanya mereka sudah saling nyaman satu sama lain.Aku sempat menyuruh Aira untuk berpikir ulang. Karena saat itu dia baru saja patah hati. Takutnya Kevin hanya dia jadikan batu lompatan untuk mengisi kekosongan hati.Mengenal satu bulan, lalu menikah dan usia pernikahan juga baru satu bulan. Mereka masih perlu saling mengenal dan beradaptasi satu sama lain.Setelah mereka ribut, suasana rumah menjadi hening. Aku pun penasaran ingin tahu apa yang terjadi. Ketika ke luar kamar, kulihat Aira duduk sendirian di kursi makan."Ibu kok bangun? Katanya capek."Aira menoleh saat aku menutup pintu."Ibu haus. Mau ambil minum.""O ...""Ra, suamimu sudah makan atau belum? Jangan lupa rica ayamnya!""Mas Kevin puasa, Bu!" sahut Aira.Kuusap keningku. Di rumah sebesar ini kenapa kepalaku jadi sering pusing. Kata tetangga tinggal di rumah besar dan luas itu membuat bahagia.Aku menyuruh Aira membawakan nasi dan rica ke kamar suaminya. Kasian Kevin kan sudah seharian kerja. Pasti dia capek dan butuh makan. Tapi Aira menolak. Katanya Kevin punya uang banyak. Dia bisa membeli sendiri. Ya Allah, rumah tangga macam apa yang dijalani putriku. Aku cuma bisa berdoa agar mereka akur dan bahagia.***Saat itu Kevin sakit perut sampai diare. Entah apa yang dia makan. Ketika aku bertanya pada Aira, katanya suaminya kena karma. Astaga!Diare sudah mampet. Tapi dia masih berbaring di kamar tidak mau keluar. Ternyata menantuku sakit perut. Aku menyuruh putriku membuatkan ramuan tradisional untuk sementara sembari menunggu dokter datang ke rumah.Awalnya Kevin menolak ketika mau diperiksa. Bukan takut jarum suntik melainkan takut bayar mahal.Benar saja, cuma periksa sebentar dia meminta bayaran satu juta. Belum lagi menebus obat lima juta. Padahal dia cuma sakit perut.Kevin yang tak pernah menggunakan jasa dokter sebelumnya pun menurut saja demi kesembuhan.Setelah dokter pergi, Aira terlihat sangat bahagia. Entah apa yang dia perbuat pada suaminya. Seperti tidak ada rasa kasihan pada pria yang menghalalkannya itu."Bu, besok kita shoping!" ujar Aira sembari memegang tanganku."Shoping itu apa?""Belanja, jalan-jalan ke mal, Bu! Ibu kan sudah menyempatkan waktu ke sini. Jadi, ini kesempatan untuk aku mengajak jalan-jalan. Ni uangnya ...!"Aira menunjukkan layar ponselnya."Kamu dikasih Kevin?""Iya! Tapi dia tidak tahu." Aira mengulas senyum sembari menaikkan alis.Tadi dokter gadungan kah?Tidak, tidak. Aku dan Ikhsan hanya sahabat. Karena saat kecil aku tidak punya teman wanita. Tidak ada yang mau main denganku karena aku nggak pernah bawa uang jajan. Saat kecil aku tergolong pendiam dan takut dengan anak-anak sebaya. Mereka hanya mau bermain denganku ketika aku membawa rupiah agar bisa diajak jajan ke warung. Jika tidak, aku akan bermain dengan anak culun itu di depan rumah.Tapi tidak mungkin jika Ibu menginginkanku bercerai. Sementara beliau kerap kali menasehatiku agar selalu bersabar dalam ujian rumah tangga. "Aira ...! Sayang ...! Habislah sudah!" Rengekannya seperti anak kecil. Muak aku mendengar."Aira ...!" ulangnya lagi.Karena Mas Kevin terus berteriak, Kuletakkan ponsel di nakas, kumudian keluar menemuinya di depan TV."Ada apa? Kenapa kok seperti belut sawah begitu?"Badannya menggeliat seperti cacing kepanasan sembari menarik ujung rambut lurusnya. Mata terpejam dan kepalanya terus bergerak."Kamu kenapa sih, Mas? Malu dong sama umur, kelakuan seperti a
POV AIRAMas Kevin sungguh keterlaluan. Dia selalu saja menilai sesuatu dari nominal uang. Padahal isi amplop kondangan nggak setiap hari. Orang mengadakan hajatan juga tidak setiap tahun. Dari pada aku datang dan diantar dengan mengisi amplop di bawah lima ribu, aku memilih untuk tidak menghadiri sekalian. Aku masih ingat putri Bu Tuti saat itu memberiku hadiah bad cover dan juga amplop berisi uang lembaran merah. Setidaknya, aku juga menghargai dengan bawaan yang senilai. Apa lagi suamiku bisa dikatakan orang yang berada.Setelah kucopot gamis, sepatu, dan menghapus riasan wajah, aku memilih mengurung diri di kamar dan memberi kabar pada Ibu melalui video call."Aira, kamu pulang kapan?" tanya Ibu di seberang sana. Dia cuma memakai daster biasa, karena biasanya ibu mendapat bagian dapur ketika di tempat hajatan. Tangan dan tenaga ibu yang cekatan membuat h yang mengandungku sembilan bulan itu menjadi langganan masak nasi. Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan berat tersebut
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
Aira menghela napas, kemudian menundukkan sebagian badannya dan berbisik pada wanita tersebut, "Bahkan untuk menjadi pembantu di rumahku pun aku nggak memgizinkan. Mbak, aku sudah nggak minat dengan bayimu. Jadi, jangan lupa bayar hutangmu."Mata wanita itu membulat sempurna."Ayo, Mas!" Aira menggandeng tanganku."Mbak! Pikirkan dulu, Mbak! Lihatlah bayiku begitu cantik dan lucu."Wanita yang masih terbaring di ranjang itu meneriaki dengan suara yang cukup memekikkan indera pendengaran."Enak saja meminta syarat seperti itu. Dia pikir dia itu siapa? Masak aku harus merawat bayinya, kedua balitanya, dan mengizinkan ibunya tinggal di rumah kita."Sembari terus berjalan ke arah parkiran mobil, Aira terus merancau. "Jika ada wanita lain yang seatap dengan kita, itu artinya awal dari kehancuran rumah tangga. Bisa saja kalau dia khilaf dan kita lengah, dia akan merayu dan menggodamu, Mas."Aku mengulum senyum dan membuang muka. Dada rasanya berbunga-bunga seperti mengalami jatuh cinta ya
"Maaf ya, Sayang ...! Tante nggak bisa bobok di rumah Amira. Tapi, besok Amira boleh main ke sini lagi kok. Sekarang anak cantik pulang sama papanya dulu ya ...!"Aira menoel pipi anak kecil dalam gendongan Radit. Seperti tidak ada rumah lain di kota ini. Sampai-sampai dia membeli hunian yang posisinya berhadapan denganku. Ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan kesengajaan. "Kita pulang yuk! Salim dulu sama Tante Aira dan juga Om." Radit menatap putrinya dengan seulas senyun.Gadis kecil bermata sipit itu pun turun dari gendongan papanya dan mencium punggung tangan istriku beserta pipi kanan kirinya.Aku pun mengangkat tangan agar dia tidak terlalu susah ketika menyalamiku. Tapi ternyata Amira hanya menatapku sekilas dengan tatapan nyalang. Aku mengedikkan mata dan mencoba mengambil hatinya. Tapi, mungkin anak itu sudah menganggap diriku ini musuh sehingga memilih berpaling muka sembari bersedekap. Dia membalik badan dan kembali ke gondongan papanya."Lho. Eh. Belum salim sama Om!