Aku dan istriku kembali ke hotel dan check out saat itu juga dan melakukan perjalanan pulang dengan taxi yang sama. Di dalam mobil kucoba menghubungi Mbak Ummi. Tapi, panggilanku tak juga diangkat. Jika tidak ada signal tidak mungkin."Bagaimana, Mas? Aku takut terjadi sesuatu pada Mbak Ummi," ujar Aira. Dia menutup mulut dan hidungnya demi menyembunyikan kekhawatirannya. "Aku masih mencoba. Tapi tidak ada jawaban. Sebenarnya ada apa?"Entah kenapa saat ini perasaanku tidak enak. Pikiranku kacau dan berandai-andai hal yang sangat buruk telah terjadi."Tolong cepat sedikit, Pak!"Driver cuma mengangguk."Pak, tolong cepat sedikit!" ulangku. Meski kecepatan mobil sudah maksimal, aku merasa masih saja di tempat yang sama."Menepi, menepi. Berhenti!" Driver pun menepi. Aku keluar, kemudian menggantikan peran sebagai sopir."Hubungi Mbak Ummi lagi!" seruku. Dari kaca spion kulihat istriku melakukan apa yang kuperintahkan.Aku terus melajukan mobil dengan pacuan gas maksimal. "Pak, hati-
"Malam ini kalian tinggal di sini saja dulu. Besok baru melihat kondiri rumah," ujar Pak RT. Aku baru menyadari kalau rumah ini miliknya.Kebakaran itu mungkin telah melenyapkan surat-surat penting dan barang lainnya. Kalau aku ke sana sekarang, meski api telah padam, bukan tidak mungkin kalau masih banyak sisa-sisa bara api. Untung saja kebakaran juga tidak menyebar ke tetangga. Mudah-mudahan uang di dalam brangkasku masih ada dan tidak ada yang mengambilnya."Kamu tenang saja Mas Kevin. Rumahmu telah diberi garis batas polisi. Aku juga sudah menyuruh salah satu satpam untuk berjaga di sekitar lokasi agar tidak terjadi penjarahan."Baguslah. "Mas Kevin, taxi yang mengantar Mas Kevin meminta uang bayaran. Karena saat itu Mas Kevin sedang syok, jadi kupinjami," kata salah satu tetangga."Tega kamu, ya! Aku sedang terkena musibah. Ikhlaskan sajalah. Aku nggak ada waktu memikirkan hal sepele seperti itu. Paling cuma sekitar tiga ratusan."Heran. Bukannya prihatin malah minta ganti.Tet
"Maaf, aku nggak butuh belas kasihan." Kudorong halus amplop di tangan Bu RT."Gayamu, Pak Kevin. Sudah diberikan peringatan dari Sang Khalik masih saja sombong. Belanja saja ngirit, sok-sokan menolak bantuan dari kita-kita. Benar nggak ...?" cerca wanita bertubuh gempal yang memang julid padaku."Sudah, sudah. Kalau Mas Kevin memang tidak mau menerima dan masih merasa cukup, kita doakan saja kehidupan Mas Kevin setelah ini menjadi lebih bahagia." Pak RT mengangkat kedua tangannya ke atas agar warga tidak menyorakiku."Ih. Males banget!" sahut wanita gempal yang sama.Ingin sekali kututup mulutnya. Sayangnya aku takut tersandung hukum. Zaman sekarang hal kecil bisa menjadi besar."Brow, bagaimana, Brow? Apa masih ada barang yang bisa diselamatkan?" tanya Zaki dan kawan lainnya. Mereka berlari ke arahku, "Kita langsung pulang ketika melihat berita tadi malam yang lewat di sosial media.""Ini bukan masalah besar. Yang penting kotak brangkasku masih aman. Apa lagi uang yang ada ditabunga
Bab 16Pov AiraSetelah musibah yang menimpa hunianku dengan suami, kupikir Mas Kevin akan berubah. Nyatanya dia malah semakin sombong. "Ayo, Mbak Ummi!" Kugandeng tangan saudara perempuanku itu. "Tapi, Ra! Kita mau ke kampung tanpa membawa apa-apa?" "Apa lagi yang mau dibawa, Mbak? Baju-baju kita sudah habis terbakar."Mas Kevin menyeringai. "Oke! Pulang saja ke asalmu. Jangan harap aku akan menyusulmu. Aku akan melihat, berapa lama kamu bisa hidup tanpaku!""Mas, apa otakmu sudah nggak bisa berpikir? Aku besar seperti segede ini karena siapa? Kita bertemu dalam keadaan sudan dewasa. Jadi, jangan pernah menganggap aku hidup bergantung padamu. Nikmati saja harta yang sudah kamu kumpulkan."Aku melanjutkan langkah meninggalkan halaman kantor polisi."Aira ...!" teriak Mas Kevin ketika aku terus melangkah pergi bersama Mbak Ummi. Aku memilih tidak menengok ke belakang sebelum berubah pikiran. "Kita mampir ke toko emas dulu, Mbak!" Aku masuk ke sebuah toko emas di sebrang jalan. Anti
Mbak Ummi mengelus punggungku dan berkata, "Sabar, Ra! Aku yakin Kevin akan menjemputmu. Aku sudah malang melintang bertemu banyak karakter orang. Kalau kuperhatikan Kevin itu baik dan sayang banget sama kamu.""Dilihat dari sudut mana, Mbak? Kalau Mas Kevin sayang padaku, otomatis dia tidak akan pelit dan perhitungan padaku. Buktinya juga dia tadi tidak mengejarku.""Tapi, akhirnya mengirim pesan untuk menjemputmu kan?" Mbak Ummi menatapku dengan intens.Aku mengangguk, dengan lirih berkata,"Iya."Dibandingkan dengan diriku, Mbak Ummi memang lebih berpengalaman dalam mengarungi rumah tangga. Taxi online yang kupesan sudah datang. Tapi, sebelum meluncur ke desa, aku menyempatkan diri membelikan oleh-oleh untuk Ibu dan juga anak-anak Mbak Ummi. Melihat kedatangan seorang ibu yang pamit pergi bekerja tentu menumbuhkan harapan bagi si buah hati.Lanjut, aku mampir ke toko kecil di pinggir jalan untuk membeli pakaian tiga stel sebagai ganti di kampung nanti. Tak lupa beberapa daster ku
"Bener, Mas! Saudaraku ini memang sedang sedih karena rumah suaminya baru terbakar," timpal Mbak Ummi. Aku mencubit pahanya karena mulutnya terlalu bocor, "Kalau aku sedih karena belum ada jodoh. Andai saja ada yang mau dengan janda anak tiga sepertiku."Aku pun tertawa mendengar ucapan Mbak Ummi yang seolah menawarkan diri agar dinikahi.Tidak terasa kami sampai di kampung halaman. Bercanda di jalan membuat jarak tempuh yang cukup jauh terasa dekat.Memasuki perkampungan, ibu-ibu yang bersantai menatap mobil yang kutumpangi. Mereka selalu kagum ketika ada kendaran bagus memasuki desa yang cukup terpencil ini.Mbak Ummi membuka jendela dan dada-dada bak artis yang datang dari kota."Hallo, Yu, Mbak, Mak Dhe, Bu Dhe ...!" seru Mbak Ummi."Aduh ...!" Kepala Mbak Ummi kepentok karena mobil sedikit oleng ketika melintasi jalan berlubang."Oew, Mbah! Alopyupul, Mbah!"Aku menarik baju Mbak Ummi agar duduk diam."Masih jauh?" tanya pria yang namanya tertulis di aplikasi sebagai Gupi. Sudah
"Kamu terlahir dari keluarga yang utuh. Bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. Punya tempat untuk berkeluh kesah." Mas Kevin menunduk, sama sekali tak menatap wajahku. Seperti ada beban berat yang dia sembunyikan."Kamu saja yang bodoh, Mas! Ada Allah tempat untuk bersandar."Aku masih gondokan dengan sikapnya. Jadi terasa sulit sekali untuk berbicara halus padanya."Kamu nggak tahu kan rasanya puasa hanya makan satu roti kecil dibagi menjadi empat bagian untuk dua hari? Perut rasanya perih, melilit. Cuma bisa menelan ludah ketika melihat anak-anak lain makan di rumah makan. Sering dihajar preman jalanan. Jarang mandi, karena takut masuk ke tempat wudu masjid. Tak punya uang untuk membayar kamar mandi pom bensin. Buang air pun aku harus mencari selokan atau tanaman yang agak tinggi. Yah, itu masa tersulitku di masa kanak-kanak karena tak punya orang tua."Mendengar cerita suamiku, mata yang sudah membentuk bedungan menganak sungai. "Mencari kerja juga tidak ada yang mempekerjakan,
Kami pergi ke rumah Pak RT. Banyak tetangga yang berada di teras rumah menyaksikan diriku dan suamiku. Kami sudah seperti artis yang masuk desa. Mulutku bahkan capek menyahut sapaan dari rumah ke rumah. Nggak dijawab dikata sombong. Hidup di desa keras lor ...!Mereka bertanya kabar seperlunya. Tapi tidak untuk wanita yang gagal menjadi mertuaku. Dia menatapku sinis ketika aku dan suami jalan beriringan.Bahkan nenek-nenek pun ikut menyapa meski dia lupa dengan wajahku. "Aira! Oalah, kamu tambah cantik saja. Meski agak kurusan!" sapa Bu Tuti. Aku sedikit menaikkan alis. Pertanyaannya sangat menjebak. Bisa menyangjung juga mengejek.Wanita berbadan gempal itu menenteng plastik bening yang berisi telur juga mi instan. Sepertinya dia baru saja dari warung."Eh, tahu, nggak, Ra?! Si Marni--yang dulu gagal menjadi mertuamu, saat tahu rumah suamimu terbakar, senengnya minta ampun. Semua orang lewat diberi tahu. Dia begitu bahagia tanpa ada rasa prihatin. Naudzubillah ... kok ada manusia se