Share

Bab: 2

Usai dipanasi, Aira membawa opor itu ke meja. Tampilannya semakin nikmat ketika ditempatkan pada mangkok kaca bening.

"Ayo, kalian makan!" Ibu mertua menatapku dan beralih pada istriku.

Baru saja tangan mau mendekati opor, Aira berkata, "Mas Kevin tidak suka ayam, Bu. Dia alergi daging. Makanya setiap hari makan tempe."

Ck. 

Tega sekali Aira berkata seperti itu. Demi harga diri tanganku mundur dan mengambil tempe yang kubeli sendiri. Pada akhirnya aku juga yang menghabiskan.

Mulutku terus mengunyah lauk berbentuk pipih itu. Sementara mataku fokus menatap istri dan mertuaku. Aku mengambil ponsel di saku celana. Kukirimkan pesan pada kontak Aira, "Sayang, kulihat ayamnya ada lima potong. Jangan lupa sisain buatku, ya!" 

Aira menyipitkan mata dan melirikku setelah dia membuka pesan yang kukirim. Entah kenapa tatapannya yang dulu meneduhkan berubah seperti macan perempuan yang siap menerkam mangsa.

"Kalau suamimu setiap hari makan tempe, kamu juga ikut makan tempe, Ra?" tanya Ibu mertua setelah mengunyah daging yang kelihatannya lembut itu.

"Iya, Bu! Terpaksa. Dari pada ribut," sungut Aira. Pandangannya masih tajam terhadapku.

"Ya sekali-kali kamu bisa beli ikan atau daging sedikit untuk di makan sendiri."

Dasar ibu mertua aneh. Ngajari anak nggak benar. Di sekolah dasar pun guru sudah sering mengatakan kalau hemat pangkal kaya. Kalau boros yang ada jadi miskin.

Untungnya Aira cuma diam dan tidak menanggapi ibunya. Dia masih menikmati daging yang ada di tangannya.

Menit demi menit berjalan, kami pun selesai makan dan perutku kenyang oleh tempe dua papan kecil yang kubeli. Nasi juga masih banyak meski cuma masak sedikit. Sepertinya  istri dan ibuku juga kenyang makan lima potong daging ayam berdua. Ternyata kedatangan mertuaku sangat menguntungkan bagi istriku. Tapi bukan untukku. 

Istriku membawa piring-piring kotor ke belakang dibantu ibu mertua. Kuharap kuah sisanya tidak dibuang agar aku bisa mencicipi untuk sekadar mengobati rasa pengen. 

***

Aku bersiap untuk mandi agar badan segar ketika bekerja. Aku selalu membatasi air yang kugunakan untuk mengguyur tubuh ini. Satu kali mandi aku hanya memerlukan sekitar dua puluh liter atau kurang lebih satu galon air mineral. Ada shower set pun tak pernah kupakai dan hanya sebagai gaya-gayaan saja agar tidak malu dikata teman ketinggalan zaman.

Untuk peralatan mandi, aku memilih yang biasa dan murah dipasaran. Tidak peduli merk-nya apa, asal discon dan promo pasti kubeli. Aku tidak pernah mengajak Aira belanja kebutuhan rumah. Karena aku tahu wanita itu ceroboh. Mereka lebih mementingkan mata dari pada kantong. Asal dilihat menarik, tak peduli harga mahal langsung sambar.

***

Malam hari sepulang kerja rasanya perut sudah keroncongan. Apa lagi sepanjang jalan aku terus saja mencium aroma masakan dari warung padang, warteg, bakso, ikan bakar, dan lainnya.

Dengan penuh semangat, aku langsung menuju meja makan. Dari arah dapur istriku membawakan piring dan meletakkan di depanku.

"Tempe lagi?" Aku menatap malas menu yang sama seperti tadi pagi.

"Iya, Mas. Kamu tadi pagi kan cuma beli kangkung dan tempe. Kebetulan tempenya masih satu papan. Nikmati saja, Sayang! Ini ada manis-manisnya." Aira sedikit mencubit pipiku. Rasanya dadaku teriris pengen nangis melihat menu yang sama dan cuma berbeda bentuk saja. 

"Terus kamu dan ibumu?" 

"Rica ayam, Mas. Ayam yang tadi siang sudah dipotong!"

"Keterlaluan kamu! Teganya makan ayam tanpa menyisakan atau mengingat ada aku di sini. Lagi pula satu ekor mana habis sekali makan. Kemaruk!"

"Aji mumpung!" balasnya.

Lalu hening. Aira diam sembari memainkan ponselnya di hadapanku. Muak rasanya dipermainkan wanita.

Selera makanku hilang. Rasa lapar pun berubah menjadi kenyang.

Aku ke kamar tanpa peduli dengan dia yang masih duduk di kursi makan. Dari pada kelaparan, aku pun memesan makanan online. Enak saja dia makan enak sedangkan aku yang kerja keras cuma disediakan kering tempe.

Setelah hampir tiga puluh menit kupantau orderanku di layar ponsel, akhirnya sampai juga kurir di titik rumahku.

Aku ke luar kamar melewati meja makan yang di sana masih ada istriku. Mertuaku tidak kelihatan. Mungkin dia sudah istirahat.

Bel berbunyi dan aku buru-buru mengambil pesanan nasi goreng ati ampela dengan pelengkap petai.

"Jajan terus ...! Pura-pura merem meski ada istrinya!" sindir Aira. Aku tidak peduli. Ini pembalasan untuknya, karena sudah menyabotase daging yang seharusnya menjadi milikku.

Aku terus mengunyah meski mulutku terasa terbakar. Aku lupa menuliskan reques rasa pada keterangan orderan. Seharusnya aku minta pedas sedang. Tapi ini pedas set@n. Keringat mulai keluar dari pori-pori kulit sekitar kening tembus ke area kepala. Telinga seolah keluar asap ketika aku bernapas.

Pagi harinya, perutku terasa melilit seperti diare. Istriku memberiku obat diare tapi sepertinya tidak tulus. "Makanya, kalau makan enak ingat istri. Ini akibatnya kalau pura-pura but@."

"Sayang, jangan begitu! Kalau kamu marah-marah perutku semakin melilit."

Aira tak menjawab. Dia berdiri dan meninggalkanku berguling selimut sendirian.

Sampai lebih dari tiga jam perutku masih terasa diremas-remas dari dalam meski diare sudah mampet.

"Berikan jamu campuran kunyit, sere, dan madu, Ra!" Suara ibu mertua dari luar terdengar olehku. Ternyata dia cukup perhatian.

Aira masuk dan membawa gelas kecil. "Cepat minum! Mau sembuh apa nggak?!" Bibirnya tak ada senyum sedikit pun. Apakah jika aku mat! Aira baru akan bahagia? Sedangkan aku sakit begini tak ada rasa kasihan sedikit pun di wajahnya.

Aku nggak mau minum obat sembarangan. Tapi, jika mengundang dokter ke rumah pasti akan keluar biaya banyak. Tidak apa-apalah minum ramuan nggak jelas ini. 

"Hati-hati ini ada rac*nnya, Mas!" bisik Aira. Air yang masih berada di mulut langsung kusemburkan. Istriku tertawa puas melihatku ketakutan.

Sampai malam hari aku masih meringkuk di kamar. Perutku masih belum baikan. 

"Permisi Pak Kevin! Saya periksa dulu, ya!"

"Lho, aku nggak memanggil dokter, Pak!"

"Istri Anda yang memanggil."

Kenapa Aira harus memanggil dokter segala sih. Seumur-umur aku nggak pernah tersentuh orang-orang berseragam putih itu. Menghabiskan uang saja. 

"Sepertinya Pak Kevin mengalami tukak lambung. Mungkin karena pola makan yang salah atau terlalu stres."

"Benar sekali, Dok! Suamiku memang menerapkan pola makan yang salah. Setiap hari dia maunya makan tahu, tempe, kangkung, kacang, bayam. Saya sebagai istri sampai bosen." 

Keterlaluan Aira. Bisa-bisanya dia mengumbar aib suaminya sendiri. Sepertinya dia sengaja mengundang dokter untuk mempermalukanku.

"Begini Pak Kevin, yang Bapak makan memang bergizi kalau dikonsumsi secara wajar. Tapi, kalau setiap hari sama juga kurang bagus."

Aku cuma mengangguk. Ini pasti akal-akalan Aira agar aku memberinya uang belanja lebih. Aku yakin itu.

~~~

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Suhanah Anah
baru ada suami yg iritny sampe segituh,bagus aira sindir trus suamimu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status