Usai dipanasi, Aira membawa opor itu ke meja. Tampilannya semakin nikmat ketika ditempatkan pada mangkok kaca bening.
"Ayo, kalian makan!" Ibu mertua menatapku dan beralih pada istriku.Baru saja tangan mau mendekati opor, Aira berkata, "Mas Kevin tidak suka ayam, Bu. Dia alergi daging. Makanya setiap hari makan tempe."Ck. Tega sekali Aira berkata seperti itu. Demi harga diri tanganku mundur dan mengambil tempe yang kubeli sendiri. Pada akhirnya aku juga yang menghabiskan.Mulutku terus mengunyah lauk berbentuk pipih itu. Sementara mataku fokus menatap istri dan mertuaku. Aku mengambil ponsel di saku celana. Kukirimkan pesan pada kontak Aira, "Sayang, kulihat ayamnya ada lima potong. Jangan lupa sisain buatku, ya!" Aira menyipitkan mata dan melirikku setelah dia membuka pesan yang kukirim. Entah kenapa tatapannya yang dulu meneduhkan berubah seperti macan perempuan yang siap menerkam mangsa."Kalau suamimu setiap hari makan tempe, kamu juga ikut makan tempe, Ra?" tanya Ibu mertua setelah mengunyah daging yang kelihatannya lembut itu."Iya, Bu! Terpaksa. Dari pada ribut," sungut Aira. Pandangannya masih tajam terhadapku."Ya sekali-kali kamu bisa beli ikan atau daging sedikit untuk di makan sendiri."Dasar ibu mertua aneh. Ngajari anak nggak benar. Di sekolah dasar pun guru sudah sering mengatakan kalau hemat pangkal kaya. Kalau boros yang ada jadi miskin.Untungnya Aira cuma diam dan tidak menanggapi ibunya. Dia masih menikmati daging yang ada di tangannya.Menit demi menit berjalan, kami pun selesai makan dan perutku kenyang oleh tempe dua papan kecil yang kubeli. Nasi juga masih banyak meski cuma masak sedikit. Sepertinya istri dan ibuku juga kenyang makan lima potong daging ayam berdua. Ternyata kedatangan mertuaku sangat menguntungkan bagi istriku. Tapi bukan untukku. Istriku membawa piring-piring kotor ke belakang dibantu ibu mertua. Kuharap kuah sisanya tidak dibuang agar aku bisa mencicipi untuk sekadar mengobati rasa pengen. ***Aku bersiap untuk mandi agar badan segar ketika bekerja. Aku selalu membatasi air yang kugunakan untuk mengguyur tubuh ini. Satu kali mandi aku hanya memerlukan sekitar dua puluh liter atau kurang lebih satu galon air mineral. Ada shower set pun tak pernah kupakai dan hanya sebagai gaya-gayaan saja agar tidak malu dikata teman ketinggalan zaman.Untuk peralatan mandi, aku memilih yang biasa dan murah dipasaran. Tidak peduli merk-nya apa, asal discon dan promo pasti kubeli. Aku tidak pernah mengajak Aira belanja kebutuhan rumah. Karena aku tahu wanita itu ceroboh. Mereka lebih mementingkan mata dari pada kantong. Asal dilihat menarik, tak peduli harga mahal langsung sambar.***Malam hari sepulang kerja rasanya perut sudah keroncongan. Apa lagi sepanjang jalan aku terus saja mencium aroma masakan dari warung padang, warteg, bakso, ikan bakar, dan lainnya.Dengan penuh semangat, aku langsung menuju meja makan. Dari arah dapur istriku membawakan piring dan meletakkan di depanku."Tempe lagi?" Aku menatap malas menu yang sama seperti tadi pagi."Iya, Mas. Kamu tadi pagi kan cuma beli kangkung dan tempe. Kebetulan tempenya masih satu papan. Nikmati saja, Sayang! Ini ada manis-manisnya." Aira sedikit mencubit pipiku. Rasanya dadaku teriris pengen nangis melihat menu yang sama dan cuma berbeda bentuk saja. "Terus kamu dan ibumu?" "Rica ayam, Mas. Ayam yang tadi siang sudah dipotong!""Keterlaluan kamu! Teganya makan ayam tanpa menyisakan atau mengingat ada aku di sini. Lagi pula satu ekor mana habis sekali makan. Kemaruk!""Aji mumpung!" balasnya.Lalu hening. Aira diam sembari memainkan ponselnya di hadapanku. Muak rasanya dipermainkan wanita.Selera makanku hilang. Rasa lapar pun berubah menjadi kenyang.Aku ke kamar tanpa peduli dengan dia yang masih duduk di kursi makan. Dari pada kelaparan, aku pun memesan makanan online. Enak saja dia makan enak sedangkan aku yang kerja keras cuma disediakan kering tempe.Setelah hampir tiga puluh menit kupantau orderanku di layar ponsel, akhirnya sampai juga kurir di titik rumahku.Aku ke luar kamar melewati meja makan yang di sana masih ada istriku. Mertuaku tidak kelihatan. Mungkin dia sudah istirahat.Bel berbunyi dan aku buru-buru mengambil pesanan nasi goreng ati ampela dengan pelengkap petai."Jajan terus ...! Pura-pura merem meski ada istrinya!" sindir Aira. Aku tidak peduli. Ini pembalasan untuknya, karena sudah menyabotase daging yang seharusnya menjadi milikku.Aku terus mengunyah meski mulutku terasa terbakar. Aku lupa menuliskan reques rasa pada keterangan orderan. Seharusnya aku minta pedas sedang. Tapi ini pedas set@n. Keringat mulai keluar dari pori-pori kulit sekitar kening tembus ke area kepala. Telinga seolah keluar asap ketika aku bernapas.Pagi harinya, perutku terasa melilit seperti diare. Istriku memberiku obat diare tapi sepertinya tidak tulus. "Makanya, kalau makan enak ingat istri. Ini akibatnya kalau pura-pura but@.""Sayang, jangan begitu! Kalau kamu marah-marah perutku semakin melilit."Aira tak menjawab. Dia berdiri dan meninggalkanku berguling selimut sendirian.Sampai lebih dari tiga jam perutku masih terasa diremas-remas dari dalam meski diare sudah mampet."Berikan jamu campuran kunyit, sere, dan madu, Ra!" Suara ibu mertua dari luar terdengar olehku. Ternyata dia cukup perhatian.Aira masuk dan membawa gelas kecil. "Cepat minum! Mau sembuh apa nggak?!" Bibirnya tak ada senyum sedikit pun. Apakah jika aku mat! Aira baru akan bahagia? Sedangkan aku sakit begini tak ada rasa kasihan sedikit pun di wajahnya.Aku nggak mau minum obat sembarangan. Tapi, jika mengundang dokter ke rumah pasti akan keluar biaya banyak. Tidak apa-apalah minum ramuan nggak jelas ini. "Hati-hati ini ada rac*nnya, Mas!" bisik Aira. Air yang masih berada di mulut langsung kusemburkan. Istriku tertawa puas melihatku ketakutan.Sampai malam hari aku masih meringkuk di kamar. Perutku masih belum baikan. "Permisi Pak Kevin! Saya periksa dulu, ya!""Lho, aku nggak memanggil dokter, Pak!""Istri Anda yang memanggil."Kenapa Aira harus memanggil dokter segala sih. Seumur-umur aku nggak pernah tersentuh orang-orang berseragam putih itu. Menghabiskan uang saja. "Sepertinya Pak Kevin mengalami tukak lambung. Mungkin karena pola makan yang salah atau terlalu stres.""Benar sekali, Dok! Suamiku memang menerapkan pola makan yang salah. Setiap hari dia maunya makan tahu, tempe, kangkung, kacang, bayam. Saya sebagai istri sampai bosen." Keterlaluan Aira. Bisa-bisanya dia mengumbar aib suaminya sendiri. Sepertinya dia sengaja mengundang dokter untuk mempermalukanku."Begini Pak Kevin, yang Bapak makan memang bergizi kalau dikonsumsi secara wajar. Tapi, kalau setiap hari sama juga kurang bagus."Aku cuma mengangguk. Ini pasti akal-akalan Aira agar aku memberinya uang belanja lebih. Aku yakin itu.~~~Tidak, tidak. Aku dan Ikhsan hanya sahabat. Karena saat kecil aku tidak punya teman wanita. Tidak ada yang mau main denganku karena aku nggak pernah bawa uang jajan. Saat kecil aku tergolong pendiam dan takut dengan anak-anak sebaya. Mereka hanya mau bermain denganku ketika aku membawa rupiah agar bisa diajak jajan ke warung. Jika tidak, aku akan bermain dengan anak culun itu di depan rumah.Tapi tidak mungkin jika Ibu menginginkanku bercerai. Sementara beliau kerap kali menasehatiku agar selalu bersabar dalam ujian rumah tangga. "Aira ...! Sayang ...! Habislah sudah!" Rengekannya seperti anak kecil. Muak aku mendengar."Aira ...!" ulangnya lagi.Karena Mas Kevin terus berteriak, Kuletakkan ponsel di nakas, kumudian keluar menemuinya di depan TV."Ada apa? Kenapa kok seperti belut sawah begitu?"Badannya menggeliat seperti cacing kepanasan sembari menarik ujung rambut lurusnya. Mata terpejam dan kepalanya terus bergerak."Kamu kenapa sih, Mas? Malu dong sama umur, kelakuan seperti a
POV AIRAMas Kevin sungguh keterlaluan. Dia selalu saja menilai sesuatu dari nominal uang. Padahal isi amplop kondangan nggak setiap hari. Orang mengadakan hajatan juga tidak setiap tahun. Dari pada aku datang dan diantar dengan mengisi amplop di bawah lima ribu, aku memilih untuk tidak menghadiri sekalian. Aku masih ingat putri Bu Tuti saat itu memberiku hadiah bad cover dan juga amplop berisi uang lembaran merah. Setidaknya, aku juga menghargai dengan bawaan yang senilai. Apa lagi suamiku bisa dikatakan orang yang berada.Setelah kucopot gamis, sepatu, dan menghapus riasan wajah, aku memilih mengurung diri di kamar dan memberi kabar pada Ibu melalui video call."Aira, kamu pulang kapan?" tanya Ibu di seberang sana. Dia cuma memakai daster biasa, karena biasanya ibu mendapat bagian dapur ketika di tempat hajatan. Tangan dan tenaga ibu yang cekatan membuat h yang mengandungku sembilan bulan itu menjadi langganan masak nasi. Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan berat tersebut
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
Aira menghela napas, kemudian menundukkan sebagian badannya dan berbisik pada wanita tersebut, "Bahkan untuk menjadi pembantu di rumahku pun aku nggak memgizinkan. Mbak, aku sudah nggak minat dengan bayimu. Jadi, jangan lupa bayar hutangmu."Mata wanita itu membulat sempurna."Ayo, Mas!" Aira menggandeng tanganku."Mbak! Pikirkan dulu, Mbak! Lihatlah bayiku begitu cantik dan lucu."Wanita yang masih terbaring di ranjang itu meneriaki dengan suara yang cukup memekikkan indera pendengaran."Enak saja meminta syarat seperti itu. Dia pikir dia itu siapa? Masak aku harus merawat bayinya, kedua balitanya, dan mengizinkan ibunya tinggal di rumah kita."Sembari terus berjalan ke arah parkiran mobil, Aira terus merancau. "Jika ada wanita lain yang seatap dengan kita, itu artinya awal dari kehancuran rumah tangga. Bisa saja kalau dia khilaf dan kita lengah, dia akan merayu dan menggodamu, Mas."Aku mengulum senyum dan membuang muka. Dada rasanya berbunga-bunga seperti mengalami jatuh cinta ya
"Maaf ya, Sayang ...! Tante nggak bisa bobok di rumah Amira. Tapi, besok Amira boleh main ke sini lagi kok. Sekarang anak cantik pulang sama papanya dulu ya ...!"Aira menoel pipi anak kecil dalam gendongan Radit. Seperti tidak ada rumah lain di kota ini. Sampai-sampai dia membeli hunian yang posisinya berhadapan denganku. Ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan kesengajaan. "Kita pulang yuk! Salim dulu sama Tante Aira dan juga Om." Radit menatap putrinya dengan seulas senyun.Gadis kecil bermata sipit itu pun turun dari gendongan papanya dan mencium punggung tangan istriku beserta pipi kanan kirinya.Aku pun mengangkat tangan agar dia tidak terlalu susah ketika menyalamiku. Tapi ternyata Amira hanya menatapku sekilas dengan tatapan nyalang. Aku mengedikkan mata dan mencoba mengambil hatinya. Tapi, mungkin anak itu sudah menganggap diriku ini musuh sehingga memilih berpaling muka sembari bersedekap. Dia membalik badan dan kembali ke gondongan papanya."Lho. Eh. Belum salim sama Om!
"Mas, jangan keterlaluan. Dia di sini cuma hari ini.""Tapi kenapa? Apa kamu sudah menjadi ibu sambungnya? Apa kamu naksir dengan papanya? Apa?! Apa alasannya?"Aku yakin ini hanya akal-akalan Radit agar bisa dekat dengan istriku."Jaga bicaramu, Mas! Radit cuma menitipkan putrinya sebentar karena dia harus kerja. Lagi pula aku juga jadi nggak kesepian di rumah sendiri, Mas. Anak itu bisa menemaniku. Dia nggak nakal kok.""Nggak nakal bagaimana? Kamu lihat rumahku sudah seperti kapal pecah. Aku nggak suka tempat yang berantakan. Lagi, kenapa kamu harus mau dititipi? Kamu kan bisa menolak. Katanya dia juga kaya. Seharusnya dia bisa mencari pengasuh pribadi.""Rumah anak itu di mana? Biar kuatar dia sekarang. Aku nggak mau waktumu habis untuk anak orang."Aku melangkah menemui balita itu."Rumahmu di mana?""Aku baru pindah ke rumah depan situ Om? Om mau main ke rumahku?" Dia menatapku dengan polos.Sepertinya Radit memang sengaja pindah ke rumah depan agar bisa mendekati istriku. Aku a
Pov Kevin"Ada apa, Vin? Tumben kamu mengajak aku ketemuan di sini."Aku menunduk lesu tanpa menjawab pertanyaan Angga. Sebelumnya aku tidak pernah membahas persoalan pribadi pada sahabat. Aku memilih memendam dan mengurainya sendiri."Angga, kamu tahu diantara teman-teman kita, aku sendiri yang belum memiliki momongan. Aku mengajakmu ke sini karena aku tahu, kamu sangat bijak dalam memberikan sebuah nasehat. Tidak seperti Zaki--dia cuma mengejek tanpa memberi solusi."Aku mengusap wajah dan menghirup oksigen bebas kemudian membuangnya perlahan. "Aku sudah membujuk Aira untuk mengikuti program bayi tabung. Tapi dia menolak dan memilih mengadopsi anak. Aku dan dia kan tidak mandul. Ngapain mengadopsi anak coba? Malahan, ada yang minta aku harus membiayai kehamilan si ibu hamil. Siapa dia ... istri bukan, saudara juga bukan."Angga mengulas senyum sesaat, kemudian tertawa ngakak mendengar curhatanku."Kenapa nggak sekalian biayai bapak, ibu, atau neneknya?" Kupikir tidak ada yang lucu
"Aku nggak mau mengasuh anak orang.""Kalau nggak mau mengasuh anak orang, asuh saja anak ikan.""Benar! Asuh saja anak ikan." Mas Kevin menatap Kristin dengan tajam."Mm. Maaf. Aku pergi dulu. Selesaikan masalah kalian di rumah." Kristin berlari.Hah.Aku dan Mas Kevin terhenyak menatap kepergian wanita tersebut. Kami saling menatap dan ternyata orang-orang di sekitar juga mengamati perdebatan yang aku dan suamiku lakukan."Ayo pulang!" ***"Kenapa sih, kamu tidak pernah mau mendengarkan omonganku? Kalau kita program bayi tabung, kesempatan untuk mempunyai buah hati sangat besar. Rumah jadi lebih ramai."Aku memilih diam dari pada menanggapi setiap ucapan yang keluar dari mulut Mas Kevin ketika sampai rumah. Aku memakluminya karena dia juga tidak tahu apa yang kumau. Dari rumah sakit, di jalan, dan sampai rumah pun tak berhenti membahas tentang program bayi tabung yang sama sekali tak kuminati."Kenapa diam? Kalau kamu membisu, masalah ini tidak akan selesai."Aku duduk di samping r