Share

TEMPE GORENG DI MEJA MEWAH MENANTU (Fobia Miskin)
TEMPE GORENG DI MEJA MEWAH MENANTU (Fobia Miskin)
Author: Olin huy

Bab: 1

Author: Olin huy
last update Last Updated: 2023-01-07 15:34:57

Besok mertuaku akan datang dari kampung. Ini sangat meresahkan. Jangan sampai dia menginap. Karena, kalau sampai itu terjadi, pengeluaranku bisa membengkak.

"Ini uang belanja untuk besok pagi."

"Lima belas ribu, Mas? Yang benar saja. Besok kamu tahu kan, kalau ibuku mau datang?" Kedua alis Aira naik ke atas dengan mata melebar. 

"Kenapa? Apa ada yang salah? Terus ... kalau orang tuamu datang, kita mau menyambut seperti ratu, menyediakan ikan, daging, udang, cumi, begitu? Kita hidup harus hemat. Nggak peduli siapa yang datang. Bukankah orang kampung juga menyambut tamu dengan hidangan seadanya?"

Mimik wajah Aira langsung berubah ketika aku menyinggung tempat kelahirannya.

"Kalau begitu belanja sendiri saja, Mas! Zaman sekarang uang lima belas ribu dapat apa? Kamu adalah pengusaha, bos besar. Tapi, untuk urusan perut perhitungannya melebihi pekerja serabutan." Aira masuk ke kamar dan membanting pintu.

Dia pikir cari uang itu mudah?! Biarpun usahaku sedang maju, tetap saja hidup tidak boleh boros.

***

Karena istriku masih marah, hari ini aku yang belanja sayur untuk masak dan menyambut kedatangan mertua. Sebenarnya aku males mrlakukan ini semua. Tapi, aku sudah menikahi putrinya. Mau tidak mau dia tetap kuakui sebagai mertua. Aku sendiri sudah tidak ada orang tua. Sejak kecil aku berjuang sendiri hingga sukses seperti sekarang ini.

Untuk membeli sayur aku cukup keluar halaman, di dekat rumahku sering ada sayur keliling yang mangkal.

"Tumben belanja sendiri, Mas? Mbak Airanya kemana?" 

Aku tidak menjawab. Wanita memang selalu ingin tahu urusan orang lain. 

"Lho, cuma itu saja, Mas? Ikan atau ayamnya belum lho!" sindir seorang wanita bertubuh gempal.

"Iya, Mas. Uangnya buat bantalan saja ya, sampai ngirit begitu! Pantas istrinya kurus." 

Kupingku mulai panas mendengar cecaran mereka. Istriku bukan kurus, tapi langsing.

"Maaf, aku nggak suka daging. Lebih sehat tempe yang sama-sama mengandung protein dan antioksidan," sahutku sembari memasukkan makanan yang terbuat dari kedelai tersebut ke dalam plastik.

"Bilang saja pelit. Pakai basa-basi segala!" ujar si tubuh gendut itu lagi, diiringi tawa dari ibu-ibu yang lain.

Aku ingin membalas, tapi urung kulakukan. Karena melawan ibu-ibu menang kalah tetap saja kalah. Apa lagi mereka keroyokan.

"Berapa, Pak?" tanyaku setelah mengambil beberapa barang."

"Lima belas ribu saja, Mas!"

Aku pun memberikan uang dua puluh ribu sehingga dapat kembalian lima ribu. Di rumah beras masih banyak. Karena 1kg cukup untuk satu minggu makan berdua. Bumbu juga masih banyak.

"Kaya tapi pelitnya nggak ketulungan!" bisik salah seorang dari gerombolan wanita julid-julid tersebut.

Ini namanya bukan pelit. Tapi hemat. Mereka tidak tahu susahnya membangun sebuah usaha. Jadi gampang ngomong seperti itu.

Aku masuk ke rumah sembari memanggil istriku yang belum kelihatan. Mungkin dia masih di dalam. "Sayang, buruan masak! Aku sudah lapar. Kalau nanti ibumu datang belum ada makanan kan kasihan juga."

Aira datang dengan wajah ditekuk. Bibirnya terus mengerucut. Apa lagi setelah melihat isi di dalam plastik tersebut. 

"Lihat, lima belas ribu bisa dapat segini banyak. Kamu sebagai wanita harus pintar-pintar dalam membelanjakan uang."

Tanpa menanggapi omonganku, dia ke dapur  dan memot@ng-mot@ng kangkung serta bumbunya. 

"Pelan sedikit, Sayang! Kamu cuma memot@ng bawang kok seperti memot@ng tulang ayam."

"Masih untung bukan lehermu, Mas!" umpatnya. Reflek aku memegang leherku dan membayangkan dipengg@l seperti ayam.

Aneh sekali, padahal sebelum menikah Aira sangat lembut dalam berbicara dan bersikap padaku. Tapi baru sebulan menikah, sikapnya sudah berubah 1000% jadi lebih sering marah-marah tanpa sebab. Padahal di rumah ini dia tidak pernah kubiarkan kelapar@n. Setiap hari kuberi uang belanja lima belas sampai tiga puluh ribu. Seharusnya dia bersyukur. Karena masih banyak istri-istri yang harus berjuang mencari uang sendiri di luaran sana. Sementara Aira cukup menerima dariku. 

Beras, bumbu dapur, semua sudah kulengkapi setiap bulan. Bahkan dia tidak perlu memikirkan biaya listrik, PDAM, atau gas elpigi yang sering dikeluhkan ibu-ibu di sosial media.

Satu jam kemudian ibu mertua telah datang. Dia membawa hasil panennya dari kampung berupa pisang, ubi, termasuk ayam. Dia ke sini diantar oleh tengtangga yang memiliki mobil. 

"Letakkan saja ayamnya di luar agar tidak mengotori lantai."

Ibu pun meletakkan unggas itu di halaman. Dia tidak akan pergi karena kakinya diikat. Pun ada pintu gerbang yang cukup tinggi dan rapat.

"Ibu pasti capek. Mari makan!"

Ibu mertua terus menatap menu di meja mewahku. Mungkin dia mengira kalau akan ada daging atau ikan. Jangan harap. Aku nggak mau rugi dengan menghamburkan uang untuk sekadar urusan perut.

Meski cuma lauk tempe, rasanya akan tetap nikmat. Apa lagi disajikan di meja mengkilat ini.

"Ibu mau kemana?" tanya Aira ketika melihat wanita bergamis batik itu berdiri menuju tas bawaannya. Dari sana dia mengeluarkan benda yang ukurannya lebih besar dari rantang yaitu kaleng bekas roti Niss!n. Gil@, ibu mertua ternyata membawa bekal dari rumah. 

"Itu apa, Bu?" tanya Aira lagi setelah pertanyaan sebelumnya belum dijawab.

"Ini opor ayam kampung untuk lauk. Kebetulan ayam di rumah sudah besar-besar. Jadi dikurangi."

Aku melongo menatap tutup kaleng itu ketika dibuka. Aroma harum dan gurih langsung menguar dari sana. Padahal ayamnya masih di terbungkus plastik. Mungkin agar airnya tidak mrembes keluar kaleng. Dasar orang kampung. Norak banget. Tapi, seketika tempe yang sudah ada di mulut mendadak hambar karena lidahku sudah merasa digoyang kuah bersantan kuning tersebut. 

Mau minta gengsi. Karena aku adalah orang kaya dan seharusnya aku yang menyediakan menu tersebut. Tidak minta air liur meronta.

"Kamu panasi dulu ya, Ra. Dipindah ke wadah lain," titah Ibu. Aira langsung berdiri menuju dapur. Wajahnya begitu semangat seolah mendapatkan energi baru. Padahal nasi di piringnya belum habis.

Usai dipanasi, Aira membawa opor itubke meja. Tampilannya semakin nikmat ketika ditempatkan pada mangkok kaca bening.

"Ayo, kalian makan!" Ibu mertua menatapku dan beralih pada istriku.

Baru saja tangan mau mendekati opor, Aira berkata, "Mas Kevin tidak suka ayam, Bu. Dia alergi daging. Makanya setiap hari makan tempe."

Ck. 

Tega sekali Aira berkata seperti itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Anggi Octaviani
pelit Ya Allah ...... eh tapi beneran, ada kok yg begini, untung bukan suami saya kwkwkk
goodnovel comment avatar
Suhanah Anah
saya suka,lucu ceritany
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • TEMPE GORENG DI MEJA MEWAH MENANTU (Fobia Miskin)    TEMAN JADI MUSUH

    Tidak, tidak. Aku dan Ikhsan hanya sahabat. Karena saat kecil aku tidak punya teman wanita. Tidak ada yang mau main denganku karena aku nggak pernah bawa uang jajan. Saat kecil aku tergolong pendiam dan takut dengan anak-anak sebaya. Mereka hanya mau bermain denganku ketika aku membawa rupiah agar bisa diajak jajan ke warung. Jika tidak, aku akan bermain dengan anak culun itu di depan rumah.Tapi tidak mungkin jika Ibu menginginkanku bercerai. Sementara beliau kerap kali menasehatiku agar selalu bersabar dalam ujian rumah tangga. "Aira ...! Sayang ...! Habislah sudah!" Rengekannya seperti anak kecil. Muak aku mendengar."Aira ...!" ulangnya lagi.Karena Mas Kevin terus berteriak, Kuletakkan ponsel di nakas, kumudian keluar menemuinya di depan TV."Ada apa? Kenapa kok seperti belut sawah begitu?"Badannya menggeliat seperti cacing kepanasan sembari menarik ujung rambut lurusnya. Mata terpejam dan kepalanya terus bergerak."Kamu kenapa sih, Mas? Malu dong sama umur, kelakuan seperti a

  • TEMPE GORENG DI MEJA MEWAH MENANTU (Fobia Miskin)    KEGELISAHAN IBU

    POV AIRAMas Kevin sungguh keterlaluan. Dia selalu saja menilai sesuatu dari nominal uang. Padahal isi amplop kondangan nggak setiap hari. Orang mengadakan hajatan juga tidak setiap tahun. Dari pada aku datang dan diantar dengan mengisi amplop di bawah lima ribu, aku memilih untuk tidak menghadiri sekalian. Aku masih ingat putri Bu Tuti saat itu memberiku hadiah bad cover dan juga amplop berisi uang lembaran merah. Setidaknya, aku juga menghargai dengan bawaan yang senilai. Apa lagi suamiku bisa dikatakan orang yang berada.Setelah kucopot gamis, sepatu, dan menghapus riasan wajah, aku memilih mengurung diri di kamar dan memberi kabar pada Ibu melalui video call."Aira, kamu pulang kapan?" tanya Ibu di seberang sana. Dia cuma memakai daster biasa, karena biasanya ibu mendapat bagian dapur ketika di tempat hajatan. Tangan dan tenaga ibu yang cekatan membuat h yang mengandungku sembilan bulan itu menjadi langganan masak nasi. Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan berat tersebut

  • TEMPE GORENG DI MEJA MEWAH MENANTU (Fobia Miskin)    MENDADAK NOL

    "Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu

  • TEMPE GORENG DI MEJA MEWAH MENANTU (Fobia Miskin)    UNDANGAN DARI KAMPUNG

    "Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu

  • TEMPE GORENG DI MEJA MEWAH MENANTU (Fobia Miskin)    PESONA HOT DUDA

    Aira menghela napas, kemudian menundukkan sebagian badannya dan berbisik pada wanita tersebut, "Bahkan untuk menjadi pembantu di rumahku pun aku nggak memgizinkan. Mbak, aku sudah nggak minat dengan bayimu. Jadi, jangan lupa bayar hutangmu."Mata wanita itu membulat sempurna."Ayo, Mas!" Aira menggandeng tanganku."Mbak! Pikirkan dulu, Mbak! Lihatlah bayiku begitu cantik dan lucu."Wanita yang masih terbaring di ranjang itu meneriaki dengan suara yang cukup memekikkan indera pendengaran."Enak saja meminta syarat seperti itu. Dia pikir dia itu siapa? Masak aku harus merawat bayinya, kedua balitanya, dan mengizinkan ibunya tinggal di rumah kita."Sembari terus berjalan ke arah parkiran mobil, Aira terus merancau. "Jika ada wanita lain yang seatap dengan kita, itu artinya awal dari kehancuran rumah tangga. Bisa saja kalau dia khilaf dan kita lengah, dia akan merayu dan menggodamu, Mas."Aku mengulum senyum dan membuang muka. Dada rasanya berbunga-bunga seperti mengalami jatuh cinta ya

  • TEMPE GORENG DI MEJA MEWAH MENANTU (Fobia Miskin)    MINTA DIADOPSI JADI ISTRI

    "Maaf ya, Sayang ...! Tante nggak bisa bobok di rumah Amira. Tapi, besok Amira boleh main ke sini lagi kok. Sekarang anak cantik pulang sama papanya dulu ya ...!"Aira menoel pipi anak kecil dalam gendongan Radit. Seperti tidak ada rumah lain di kota ini. Sampai-sampai dia membeli hunian yang posisinya berhadapan denganku. Ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan kesengajaan. "Kita pulang yuk! Salim dulu sama Tante Aira dan juga Om." Radit menatap putrinya dengan seulas senyun.Gadis kecil bermata sipit itu pun turun dari gendongan papanya dan mencium punggung tangan istriku beserta pipi kanan kirinya.Aku pun mengangkat tangan agar dia tidak terlalu susah ketika menyalamiku. Tapi ternyata Amira hanya menatapku sekilas dengan tatapan nyalang. Aku mengedikkan mata dan mencoba mengambil hatinya. Tapi, mungkin anak itu sudah menganggap diriku ini musuh sehingga memilih berpaling muka sembari bersedekap. Dia membalik badan dan kembali ke gondongan papanya."Lho. Eh. Belum salim sama Om!

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status