“Bagaimana kondisi ibu saat ini, De?” tanya Kak Fikri di seberang sana. Aku menatap ke arah ibunya yang sedang tertidur. Lalu, melangkah ke luar ruangan agar bisa leluasa berbicara dengan abangku. Saudaraku satu-satunya itu saat ini sedang dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Begitu mendengar ibu kembali masuk rumah sakit, ia segera mengajukan cuti. Beruntungnya, majikannya langsung mengizinkan tanpa kata tapi. Bahkan membelikan tiket pesawat. Empat tahun menjadi sopir pribadi membuatnya disayang majikan, begitu katanya.“De, kamu masih di sana, kan?” Suara Kak Fikri memutuskan lamunanku. “Alhamdulillah ibu sudah siuman dan saat ini sudah pindah di ruang rawat, Kak. Kakak sudah sampai bandara?” aku memastikan. Seharusnya memang dia sudah nyampe bandara internasional Soekarno Hatta.“Alhamdulillah sudah. Ini kakak sedang menunggu suami Mbak Mayang. Katanya masih dalam perjalanan.” Dari jakarta menuju daerah kami, Kak Fikri minta dijemput suaminya Mbak Mayang.“Kakak jadi lang
POV 3“Kurang ajar! Dari mana dia tahu kalau aku sedang mengincar uangnya? Seandainya ibunya tidak akan mendapatkan uang gusuran yang sangat besar itu, tidak mungkin aku sudi menemui seperti ini! Tidak mungkin aku menjatuhkan harga diriku di depan anak ingusan itu kalau bukan demi impianku. Awas kamu Amira, kamu boleh sombong saat ini, tapi lihat bagaimana nanti kamu akan bertekuk lutut di hadapanku, memohon ampunanku! Lihat saja nanti!” Mumun mengeram setelah kepergian Amira. Tatapan tajamnya mengarah ke punggung sang menantu yang kian menjauh.“Jemput ibu sekarang juga, Santi!” Mumun memberikan perintah kepada sang anak pertama melalui sambungan telepon.Tidak sampai sepuluh menit, Santi telah sampai di tempat Mumun berada.“Ayo, kita pulang!” Mumun berdiri, hendak melangkah pergi.“Santai, Bu. Kita duduk dulu sejenak. Aku harus.” Santi baru saja menjatuhkan bobot tubuhnya di bekas tempat duduknya Amira. Perempuan yang sudah menyandang status janda itu tanpa malu menyeruput minum
“Bi, amankan ibu? Maaf aku tidak bisa kembali ke rumah sakit malam ini. Mungkin, besok pagi-pagi baru aku kembali. Urusannya di sini belum kelar.” Aku menelpon bibi setelah dari kamar mandi, persidangan Tama dan Lilik belum usai.Bibi kuminta menemani ibu di rumah sakit. Beliau tahu semuanya karena aku bercerita.“Aman, Mir. Kamu jangan khawatir. Urus saja itu si Tama. Jangan biarkan dia merasa menang dan bebas menghina, menginjak harga dirimu. Buat dia menyesal telah mencampakkan kamu. Jangan khawatir tentang ibumu. Biar bibi yang mengurusnya. Jangan lupa segera daftarkan gugatan perceraian kalian. Fikri pun harus segera menceraikan istrinya yang tidak tahu diri itu.” Aku mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan Bibi. Lalu, kami memutuskan sambungan telepon setelahnya. Aku kembali ke ruangan sidang.“Harus ada sanksi sosialnya, Pak RT. Biar menjadi pelajaran bagi warga yang lain bila ingin berbuat nista di belakang pasangannya!” usul salah satu warga yang hadir di ruangan sidan
POV 3“Arak! Arak!” Suara mereka kembali memenuhi indra pendengaran Tama dan juga Lagi Lilik. “Sial! Kenapa bisa seperti ini, sih? Kenapa pula Fikri tiba-tiba pulang ke Indonesia? Kenapa dia tidak berkabar terlebih dahulu? Apa semua itu memang sudah direncanakan?” Di dalam hati Tama bertanya-tanya. “Ayo cepat jalan! Kenapa jalannya seperti putri keraton begitu itu? Malu? Giliran diarak malu, ketika berbuat maksiat tidak malu sama sekali. Dasar perempuan murahan!” Seorang ibu mengumpat di belakang Lilik.Perempuan yang saat ini menjadi terdakwa itu tidak berani menoleh ke belakang. Takut mereka semakin beringas. “Semua ini tidak akan terjadi bila Amira tidak meminta pak RT untuk memproses kami. Seharusnya, dia itu introspeksi diri ketika diselingkuhi suaminya, bukan malah mencari pelampiasan seperti ini. Seandainya, dia mampu melayani dan memanjakan suaminya di atas ranjang, tentu Tama tidak akan berpaling kepadaku. Dasar perempuan tidak sadar diri. Seharusnya ia cukup mundur, buk
POV Fikri Benar perkiraan Amira, Lilik pasti akan pulang lagi ke rumah ini. Sebab, perempuan murahan itu tidak punya pilihan lain selain kembali ke sini.“Bagus kamu kembali ke sini! Segera kemasi barangmu yang ada di sini!” Di depan pintu aku menyambutnya dengan bentakan.“Mas, kamu mengusir aku?” tanya Lilik dengan wajah memelas. Aku hanya menatapnya tajam. Seharusnya, tanpa bertanya dia sudah sadar diri.Air matanya berderai. Entah apa yang menyebabkan ia menangis. Dulu, aku akan buru-buru menghapus bila cairan bening itu membasahi pipi mulusnya. Saat ini, jangankan menyentuh pipinya, memandang wajahnya terlalu lama pun sudah merasa jijik sendiri.Melihat aku bergeming di depan pintu, Lilik menjatuhkan diri, berlutut di hadapanku. Aku geser tempat dengan segera.“Mas, aku minta maaf telah mengkhianati pernikahan kita. Aku minta maaf telah menodai kepercayaanmu. Tapi sesungguhnya, aku sangat mencintaimu, Mas. Mohon beri kesempatan kedua untukku. Tolong rujuk aku lagi. Aku rela
Aku hapal betul siapa pemilik suara itu.Dengan tujuan apa Santi datang kemari? Apalagi yang sedang ia rencanakan? “Di sini rupanya kamu?” ucap Santi begitu kami bertemu di depan pintu. Aku mundur beberapa langkah, niat awal masuk ruangan ibu jadi tertunda. Kak Fikri yang masuk ke ruangan Ibu. Santi sempat menatap Kak Fikri beberapa detik. “Apa tujuanmu datang ke sini, Mbak?” Tidak bisa berbasa-basi, aku langsung bertanya pada intinya begitu kami menjauh dari ruang rawat Ibu. Kami berdiri di depan ruang yang kosong.“Aku sengaja datang ke sini, mencari orang yang suka ikut campur urusan orang lain.” Dia menatapku tajam, berdiri dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Dagunya ia angkat ke atas, seolah sedang menantang.“Oh, kirain mau menjenguk ibuku yang sedang sakit gara-gara ulah adikmu. Ngomong-ngomong, sudah ketemu sama orang yang sedang kamu cari?” Aku menjawab dengan santai. Ini rumah sakit, sebisa mungkin aku harus santai dalam menghadapinya. Jangan sampai aku menge
Kurang ajar! Apa maksudnya Tama membuat status seperti itu? Seolah-olah “Kok di berandaku nggak ada, ya, Mbak?” tanyaku setelah membuka akun media sosial berwarna biru tersebut. Tidak cukup di mengecek berandaku, aku pun langsung berkunjung ke akun milik Tama. Tapi, nihil. Tidak ada status apa-apa di sana. “Oh, rupanya kamu nggak berteman sama akunnya Tama yang lain, De. Aku pikir kamu berteman dengannya. Lihat ini. Beda akun sama yang kamu lihat tadi. Di sini Tama L, sedang di kamu Tama Pradipta. Selain itu, lihat foto profilnya. Beda, kan?” Mbak Mayang mencocokkan akun yang berteman denganku dan yang berteman dengan akunnya. Kurang ajar! Rupanya Tama sengaja membuat akun lain untuk menjelek-jelekkan aku di media sosialnya. Sengaja melakukan itu agar aku tidak mengetahuinya. “Sejak kapan ia membuat akun itu, Mbak? Apa dia tidak takut statusnya dibaca oleh Mbak Mayang, lalu diberitahukan kepadaku?” Jujur saja aku masih paham.“Sepertinya Tama tidak tahu kalau ini akunku, karena
“Kamu pikir telah menang karena menggugat cerai aku. Kamu salah, aku tidak akan mengabulkan permintaan cerai kamu. Jangan harap perceraian ini berjalan mulus.” Pesan dari Tama membuat keningku berkerut. Tidak habis pikir, apa sih maunya orang itu? Dia yang berkhianat, tapi kenapa pula tidak mau diceraikan? Apa memang setiap laki-laki yang berselingkuh, tidak pernah mau diceraikan oleh istri sahnya? “Kenapa, De?” Mbak Mayang menepuk pundakku. Handphone dalam genggaman kusodorkan padanya. “Apa sih maunya?” Mbak Mayang kembali bersuara. Aku hanya bisa mengedikkan bahu, tidak paham dengan jalan pikiran si mantan.Ya Allah … ampuni hamba yang selalu menyusahkan orang tua. Seandainya saja, dulu tidak gegabah dan buru-buru menikah, mungkin nasibku tidak akan seperti ini. Menjadi janda di usia muda. Ada yang lebih penting dari itu, bisa jadi, Ibu tidak akan pernah menjadi seperti ini seandainya aku tidak menikah dengan Tama, menantu yang selingkuh dengan iparnya sendiri. Gara-gara keego