Share

Bab 4. Besan yang Lancang

Aku menoleh ke arah kamar ibu. Kupastikan beliau tidak mendengar obrolan kami. Aku berada di luar ruang rawat Ibu. Sebisa mungkin aku menjaga agar ibu tidak mendengar berita-berita yang tak mengenakan.

“Jangan berpikir macam-macam kamu, De. Tadi itu … tadi itu motor Mbak Lilik mogok di tengah jalan. Jadi, terpaksa mas antarkan pulang.” Aku tersenyum miring mendengar alasannya.

Sungguh, baru kutahu suamiku selain orang yang sangat pelit, dia juga orang yang lihai berdusta. Dan sayangnya aku baru tahu saat ini. Kemana saja aku selama ini? Aku tersenyum miris, mengasihani diri sendiri yang dengan mudahnya dibohongi, dibodohi oleh suami sendiri.

Mas Tama begitu lancar sekali beralasan, masuk akal, bisa diterima oleh orang yang tidak tahu apa-apa. Tapi, sayangnya aku nggak bisa percaya sama sekali. Bagaimana bisa motor baru sudah mogok? Kentara sekali bohongnya. Dia pikir aku masih tak tahu apa-apa!

“Oh, motornya Mbak Lilik mogok? Mesinnya rusak atau kehabisan bensin, Mas?” Aku menebaknya dengan suara lembut. Seolah percaya dengan apa yang dikatakannya. Setelah mati-matian menekan letupan-letupan emosi di dada.

“Iya, mesinnya rusak.”

Sungguh, alasannya membuat darahmu mendidih hingga ke ubun-ubun. Namun, sekuat tenaga aku menekan amarah di dalam sini agar tidak meledak keluar. Mendengar alasannya membuat sebak di dalam sini semakin menjadi. Kuhirup oksigen secara rakus berharap bisa melonggarkan dada. Istighfar berulang kali kurapalkan di dalam hati.

Seandainya dia bilang mogok karena kehabisan bensin aku masih bisa terima. Mesin rusak? Alasan yang dibuat-buat. Mas Tama yang terlalu pintar membuat alasan atau … ah, sudahlah.

Mbak Lilik ke rumah sakit membawa motor matic baru. Satu bulan yang lalu dibelikan kakakku secara kontan. Namun, kini BPKBnya sudah ada di tanganku. Sangat tidak masuk di akalku kalau tiba-tiba mogok karena mesinnya rusak. Mustahil itu terjadi.

“Masak motor baru satu bulan sudah rusak mesinnya, Mas? Rasanya mustahil itu terjadi.” Sengaja aku mengatakan itu, ingin tahu apa jawabannya. Bisa aku bayangkan bagaimana gusarnya Mas Tama setelah mendengar pertanyaan aku kali ini. Pasti, dia kehabisan kata-kata untuk menjawabnya.

“Kamu kira suamimu ini bohong?” Suara Mas Tama meninggi.

Rupanya dia masih tidak mau nyerah. Ah, aku melupakan satu hal, biasanya seseorang yang terpojokkan itu akan marah untuk menutupi kesalahannya. Tidak terima dengan tuduhan yang diarahkan kepadanya. Padahal, jelas-jelas ia melakukan.

“Terserah apapun alasanmu, ya, Mas. Aku juga tidak peduli. Anggap saja aku percaya,” ucapku tenang tapi penuh penekanan.

“Kok kamu ngomong gitu, De? Nggak percaya sama suami? Ingat, seorang suami itu semakin dicurigai semakin menjadi. Memangnya kamu mau itu terjadi? Kamu tidak tahu, sih, apa yang terjadi tadi jalan. Jangan suka mengambil kesimpulan sendiri kalau tidak tahu apa-apa.” Mas Tama belum menurunkan volumenya. Semakin menjadi.

“Memangnya kamu tahu apa yang aku pikirkan, Mas?” Suaraku dibuat setenang mungkin. Meskipun sebenarnya aku ingin memaki-makinya di dalam hati.

“Kamu pasti berpikir macam-macam kan?”

Aku terkekeh mendengar tuduhannya.

“Tadinya aku tidak berpikir macam-macam, tapi mendengar penuturan mu barusan membuat aku mengambil satu kesimpulan. Karena aku paham, seseorang akan marah besar apabila merasa terpojokkan dan memang benar-benar melakukan sebuah kesalahan. Itu semua dia lakukan demi menutupi kesalahannya —.” Belum selesai aku bicara Mas Tama sudah berusaha menyela

“Jangan sok tahu, kamu!” Aku menjauh dari depan ruangan Ibu agar bebas meninggikan suara.

“Diam dulu, Mas. Dengarkan aku sampai selesai!” Suaraku naik beberapa oktaf setelah sedikit jauh dari tempat semula.

“Nggak usah ngegas kalau memang kamu nggak melakukan kesalahan, Mas. jSebenarnya, aku tuh percaya nggak percaya sih, sama alasan kamu tadi. Sebab, aku nggak tahu pasti apa yang terjadi. Setahuku, itu motor Mbak Lilik masih baru lho. Tapi, kok bisa mogok secara tiba-tiba? Aneh menurutku. Terlebih alasan yang kamu berikan tadi mesinnya rusak. Semakin tidak masuk di akal aku. Jadi, wajar dong kalau aku tak bisa percaya begitu saja.”

Mas Tama terdiam. Pasti, dia kehilangan akal untuk membalas ucapanku. Skak mat. Salah lawan dia.

“Sudahlah jangan permasalahan itu saat ini, De. Sekarang yang perlu kita bahas adalah, bagaimana cara kita menolong Mbak Lilik.” Mas Tama kembali bersuara. Kali ini suaranya melemah. Masih punya nyali rupanya.

“Memangnya apa yang bisa kita bantu? Kita nggak bisa melakukan apa-apa, Mas. Hubungi saja nomor Kak Fikri. Biar suaminya yang mencari solusi dari semua ini. Toh, yang hilang juga harta hasil kerja keras kakakku, bukan hartanya. Dia harus tahu itu. Maaf aku tidak bisa ikut membantu urusan Mbak Lilik. Karena mengurus ibu juga sudah cukup menguras pikiran dan tenagaku. Tapi, satu pesanku. Satu hal yang aku pinta, apapun kejadian di rumah Mbak Lilik jangan sampai ibuku tahu. Beliau tak boleh mendengar berita ini. Kalau sampai ada yang berani menyampaikan kepadanya, siap-siap berhadapan dengan aku!” Aku sedikit mengancam. Setelahnya sambungan telepon kuputus sepihak.

Aku tadi sengaja menekan suara pada kata harta yang hilang adalah hasil kerja keras kakakku. Tujuannya agar mereka sadar apa yang ada di rumah itu adalah milik abangku. Tapi, aku tidak yakin mereka sadar begitu saja.

Baru diambil segitu saja sudah panik kamu, Lik. Ini belum seberapa. Setelah ini akan ada kejutan selanjutnya. Kalian pikir bisa leluasa menggunakan barang-barang dari hasil jerih payah kami? No! Akan kutunjukkan bagaimana hidup kalian tanpa kami.

“Amira, Ibu minta maaf,” ucap Ibu setelah aku kembali ke ruangannya. Beliau berusaha duduk.

Aku mengerutkan kening, menggenggam tangan yang sudah mulai tampak keriput. Tubuh ini pun kuhempaskan di atas kursi dekat ranjang ibu.

“Kenapa Ibu minta maaf? Ibu nggak ada salah dengan Amira.” Kucium punggung tangannya. Apa ibu punya firasat buruk, ya?

“Karena harus menunggu ibu di rumah sakit kamu sampai mengundurkan diri dari pekerjaanmu.” Tatapan Ibu sendu. Rasa bersalah terlihat jelas di wajahnya.

Kenapa Ibu punya pikiran demikian? Siapa yang telah mempengaruhinya? Apa semalam ada yang ngomong macam-macam dengan Ibu? Rasa penasaran mengungkung ku.

“Amira resign bukan karena Ibu. Tapi, Amira memang ingin istirahat, Bu. Sudah delapan tahun bekerja sebagai buruh. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ibu.” Kuusap-usap punggung tangan beliau yang berada dalam genggamanku.

“Kenapa kamu harus resign segala? Padahal, kalian berencana merenovasi rumah kan?”

Deg!

Bagaimana bisa ibu ngomong demikian? Siapa yang telah memberi tahu semua ini?

Ibu pasti akan kepikiran tentang hal ini. Padahal, kata dokter ibu tidak boleh berpikir macam-macam. Tiba-tiba penyesalan datang menyergap memenuhi rongga dada. Seandainya, tadi malam aku tak meninggalkan orang tua tunggalku ini tidak mungkin ibu berpikir keras seperti ini.

Pasti, saat ini ibu sedang memikirkan sesuatu. Dari suaranya saja terdengar seolah ibu menyesalkan keputusan aku resign dari tempat kerja.

“Kata siapa Amira akan merenovasi rumah itu, Bu?” Kutatap ibu dengan lembut.

“Mertuamu semalam mampir ke sini.”

Deg!

Ya Allah … ternyata dia buang keladinya. Pasti, mamaknya Mas Tama sudah ngomong ya macam-macam pada Ibu. Kenapa pula dia membahas tentang renovasi rumah tua itu? Lancang.

Tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk merenovasi rumah itu. Itu bukan milik kami. Di sana kami hanya memiliki hak guna pakai, bukan hak milik. Jadi untuk apa aku memugarnya?

Tentu, pikiranku tidak sejalan dengan hasrat mertua, ibunya Mas Tama. Sebab, perempuan itu sangat menginginkan kami merenovasi rumah tersebut. Dengan tujuan rumah itu sudah menjadi bagus ketika ia mengambilnya sewaktu-waktu. Karena sesungguhnya, rumah itu milik ibunya Mas Tama, warisan dari orang tuanya. Tapi, selama ini aku tidak pernah mengiyakan atau pun menolak secara terang-terangan kemauan mertua tersebut. Sebab, aku tidak ingin dikeroyok oleh mereka.

Ya, keluarga mertuaku itu suka sekali main keroyokan. Apabila aku melakukan satu kesalahan, maka semuanya anggota keluarganya akan ikut memojokkan dan menyalahkan aku. Mereka mati-matian membela ibu, tanpa peduli salah atau benar. Semengeringan itu mertuaku dan keluarga. Dan hebatnya aku bertahan di tengah-tengah mereka selama ini.

“Kenapa kamu resign kalau mau merenovasi rumah itu? Apa mungkin Tama bisa memiliki tabungan kalau gajinya habis untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kalian? Seharusnya kamu nggak berhenti, Mira. Kasihan Tama kalau harus mencari uang sendiri. Apalagi rencana Tama akan mengajukan pinjaman ke bank untuk renovasi rumah tersebut.”

Astaghfirullah … berani sekali ia berbicara seperti itu di depan Ibu yang sedang sakit. Keterlaluan. Untuk ukuran seorang besan, mertuaku sudah sangat lancang. Apa dia tidak punya pikiran dan otak, saat berbicara seperti itu di hadapan ibuku? Di mana perasaannya saat melihat kondisi besannya yang lemah seperti ini, masih sanggup menyudutkan aku. Ya, ibunya Mas Tama secara tidak langsung menyudutkan aku di depan Ibu karena berhenti bekerja secara tiba-tiba.

Memang semenjak resign aku belum pernah bertemu mertua. Bu Mumun tidak dapat melampiaskan kekesalan kepadaku secara langsung, makanya ia melampiaskan itu kepada ibuku. Pasti, dia sangat kecewa aku memutuskan untuk berhenti bekerja begitu saja. Sebab, dengan berhentinya aku bekerja berarti akan berkurang juga pendapatannya. Karena setiap bulannya aku tidak pernah absen memberikan uang bulanan untuknya. Meskipun tidak banyak, tapi cukup untuk jajan.

Sungguh, hebat mertuaku. Berani meracuni pikiran besannya demi mendapatkan apa yang menjadi tujuannya.

“Ibu tidak perlu memikirkan hal itu. Kita pikirkan kesehatan ibu aja, ya. Bagi Amira kesehatan ibu itu di atas segala-galanya. Kita tunggu keputusan dokter hari ini ya, Bu. Semoga Ibu sudah boleh pulang. Nanti kita pulang ke rumah Ibu. Amira ingin merawat ibu di rumah penuh kenangan itu. Amira tidak akan membiarkan ibu tinggal sendiri lagi.” Aku menggenggam tangan ibu dengan erat. Menatapnya dengan penuh keyakinan.

“Tapi bagaimana dengan suamimu?” Ibu menatapku lekat, “Ibu masih bisa tinggal sendiri. Suamimu lebih penting, Nak.”

“Amira yakin Mas Tama paham akan hal ini. Amira tidak akan pernah meninggalkan Ibu lagi. Amira tidak mau ada apa-apa lagi dengan Ibu. Pingsannya Ibu kemarin sudah cukup menjadi pelajaran buat Amira. Beruntung kemarin ada bibi yang menemukan ibu. Kalau bibi tidak tahu, kita tidak tahu apa yang terjadi dengan Ibu.”

Aku memutuskan untuk tinggal di tempat ibu, selain untuk menghindari Mas Tama. Selain itu, aku ingin mengurus Ibu dengan sebaik-baiknya.

Selama ini ibu tinggal sendiri. Beliau tak mau ikut aku atau pun Kak Fikri. Sebelum dilarikan ke rumah sakit, beliau ditemukan bibi dalam keadaan pingsan. Bibi yang membawa ibu ke rumah sakit.

Aku melepaskan genggaman tangan ibu bersamaan dengan masukkan perawat yang ingin mengecek kondisi ibu terkini.

“Bagaimana tekanan darah ibu daya, Sus?” tanyaku pada suster usai memeriksa tekanan darah ibu. Aku sengaja bertanya di luar.

“Kembali naik, Mbak. Kemarin sudah normal lho. Dijaga Ibunya, jangan banyak pikiran. Saya permisi dulu.” Perawat berlalu dari hadapan aku. Aku mengangguk setelah mengucapkan terima kasih kepadanya.

Aku yakin tekanan darah ibu kembali naik ini karena pikiran dengan ucapan ibunya Mas Tama, Bu Mumun. Kurang asem memegang perempuan tua itu. Mati-matian aku menjaga perasaan dan pikiran Ibu agar tetap stabil, mertuaku dengan seenaknya sendiri merusaknya.

Dering handphone dalam genggaman mengganggu pendengaran. Dengan segera kutatap layarnya. Mbak Lilik. Mau ngapain dia?

“De, nomor Mas Fikri tidak bisa dihubungi. Bagaimana ini?” Suara calon mantan kakak iparku terdengar sangat panik.

Aku tersenyum miring mendengarnya.

Ini baru permulaan, Sayang. Selamat menikmati Lilik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status