Degup jantungku bertalu-talu saat Mbak Lilik mengatakan akan lapor polisi. “Mbak yakin pelakunya akan segera ditangkap.” Ucapan Lilik membuat aku menggigit bibir bawah.Tenang Amira, tenang. Jangan panik. Kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya. Berharap bisa sedikit tenang setelah ini.“Memangnya Mbak ada bukti mau melaporkan polisi? Laporan pada polisi itu nggak bisa asal lho, Mbak. Harus ada bukti. Lagian, untuk mengurus ini dan itu Mbak ada uang?” Sebisa mungkin aku menahannya agar tidak laporan pada pihak kepolisian. Meskipun benar, tetap saja nanti aku disalahkan kalau ketahuan. Dan pasti akan panjang urusannya. Dia terdiam. Pikirannya kacau di sini. Takut-takut dia memiliki bukti. Aku bisa saja masuk penjara dan urusannya akan panjang kalau dia memiliki bukti. Sungguh, aku tidak mau itu terjadi. Bagaimana nasib ibuku nanti? “Kamu benar, De. Mbak nggak punya bukti. Nggak ada yang tahu siapa yang merampok. Tadi udah nanya-nanya ke tetangga, mereka nggak ada yang tahu apa yang terj
Setengah sebelas siang kami sudah berada di rumah Ibu. Beliau sudah diizinkan pulang dengan beberapa catatan dokter yang harus aku perhatikan. Mbak Mayang menjemput kami. Dia masih di depan menunggu aku. Kami mau segera pergi untuk menjalankan misi selanjutnya.Saat ini, jarum jam di pergelangan tangan ini menunjuk ke angka tiga belas tepat. Karena ada misi yang harus diselesaikan, aku pun berniat menitipkan ibu pada Bibi.“Bi, nitip Ibu. Tolong jagain beliau sampai sore kira-kira, bisa?” Aku menatap adik iparnya ibuku. Beliau ada di rumah Ibu. Datang setengah jam yang lalu setelah ibu tidur. Wanita yang biasa aku panggil bibi itu mengangguk dengan cepat.“Bisa. Mau ke mana?” Dia balik bertanya sembari mengurut kakinya sendiri.“Mau ada perlu. Nanti kalau urusannya sudah selesai, aku segera kembali. Bibi mau nitip apa? Mumpung ke kota ini.” Aku pun menyebutkan semua jenis makanan kesukaannya. Dia menggelengkan kepala.Beliau memang tidak pernah meminta imbalan, selalu tulus membantu
“Alhamdulillah, barangnya sudah habis. Rezekimu bagus, De. Tidak butuh waktu lama langsung laku.” Mbak Mayang menepuk pundakku yang sedang menatap truk pengangkut barang milikku pergi meninggalkan rumah Mbak Mayang.“Terima kasih banyak, ya, Mbak. Semua ini berkat jasa Mbak Mayang, barang langsung terjual. Sungguh, aku tidak menyangka akan secepat ini. Tadinya aku pikir butuh waktu berhari-hari untuk mencari pembeli.” Aku memeluk Mbak Mayang erat. “Itu semua pertolongan dari Allah. Mbak mah apa atuh kalau Allah tidak menggerakkan hati orang tersebut, tidak mungkin orang tadi itu menanggapi postingan Mbak di media sosial.” Mbak Mayang melerai pelukannya.“Ini komisi buatmu, Mbak,” ucapku setelah kembali ke ruang tamu milik Mbak Mayang. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dari dalam gepokan, hasil penjualan barang-barangku. “Kamu nggak perlu repot ngasih komisi ke kami. Pake saja semua untuk kebutuhanmu dan Bulik Sumi,” ucap Mbak Mayang, menolak uang bonus pemberi
Jam tujuh malam, aku membawa ibu ke meja makan. Sebelum pulang, aku tadi sengaja mampir membeli beberapa lauk untuk makan malam. “Kamu kenapa, Mbak?” tanyaku saat melihat gelagat aneh Lilik. Di meja makan ia menutup mulut seperti hendak muntah saat aku membuka tutup penanak nasi. “Bau nasinya bikin mual.” Dia menjawab dengan ragu.Aku dan ibu saling pandang. Aku mengerutkan kening, tapi tidak dengan ibu. Wajah yang semua cerah kini menjadi keruh. Aku tak tahu sebabnya.“Sejak kapan kamu mual melihat nasi, Lik?” Dari atas kursi roda, ibu menatap menantunya penuh selidik. Ah, calon mantan menantu tepatnya. Karena Kak Fikri sudah sepakat dengan aku, akan menceraikan istrinya jika kondisi ibu sudah benar-benar pulih. Sementara waktu, kami akan bersikap biasa dulu.Dia menggelengkan kepalanya, ambigu. “Coba ambilkan nasi untuk Mbakmu, Mir.” Ibu menyuruhku. Meskipun enggan aku menurut, demi akting. Aku tak mau ibu curiga bila sikapku mendadak berubah pada Lilik, sang pelakor. Tangan ya
POV TamaApa sih maunya perempuan itu? Kenapa semua barang di rumah ia angkut semuanya? Kepala ini benar-benar pusing memikirkan sikap Amira yang mendadak berubah akhir-akhir ini. Tidak ada lagi istriku yang penurut. “Tam, jujur sama Ibu, sebenarnya ada masalah apa dengan rumah tangga kalian? Kenapa Amira mendadak berubah?” Aku yang baru pulang ke rumah sudah dicecar pertanyaan oleh ibu.“Tidak ada apa-apa, Bu. Mungkin, dia sedang capek saja menghadapi ibunya yang sakit-sakitan.” Aku menjawab asal sembari menjatuhkan bobot tubuh di atas sofa.“Kenapa semua barangnya harus dijual? Jangan-jangan dia mau pergi dari hidupmu, Tama! Jangan sampai itu terjadi!”Aku mengibaskan tangan. Rasanya sangat mustahil Amira meninggalkan aku. Cintanya begitu besar padaku. Aku yakin itu.“Ibu takut Amira benar-benar akan pergi dari hidupmu. Ibu tidak mau itu terjadi. Bagi ibu, dia tambang emas.” “kekhawatiran Ibu tidak akan pernah terbukti. Percayalah padaku, Bu.” Aku menggenggam tangan ibu untuk me
“Bagaimana kondisi ibu saat ini, De?” tanya Kak Fikri di seberang sana. Aku menatap ke arah ibunya yang sedang tertidur. Lalu, melangkah ke luar ruangan agar bisa leluasa berbicara dengan abangku. Saudaraku satu-satunya itu saat ini sedang dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Begitu mendengar ibu kembali masuk rumah sakit, ia segera mengajukan cuti. Beruntungnya, majikannya langsung mengizinkan tanpa kata tapi. Bahkan membelikan tiket pesawat. Empat tahun menjadi sopir pribadi membuatnya disayang majikan, begitu katanya.“De, kamu masih di sana, kan?” Suara Kak Fikri memutuskan lamunanku. “Alhamdulillah ibu sudah siuman dan saat ini sudah pindah di ruang rawat, Kak. Kakak sudah sampai bandara?” aku memastikan. Seharusnya memang dia sudah nyampe bandara internasional Soekarno Hatta.“Alhamdulillah sudah. Ini kakak sedang menunggu suami Mbak Mayang. Katanya masih dalam perjalanan.” Dari jakarta menuju daerah kami, Kak Fikri minta dijemput suaminya Mbak Mayang.“Kakak jadi lang
POV 3“Kurang ajar! Dari mana dia tahu kalau aku sedang mengincar uangnya? Seandainya ibunya tidak akan mendapatkan uang gusuran yang sangat besar itu, tidak mungkin aku sudi menemui seperti ini! Tidak mungkin aku menjatuhkan harga diriku di depan anak ingusan itu kalau bukan demi impianku. Awas kamu Amira, kamu boleh sombong saat ini, tapi lihat bagaimana nanti kamu akan bertekuk lutut di hadapanku, memohon ampunanku! Lihat saja nanti!” Mumun mengeram setelah kepergian Amira. Tatapan tajamnya mengarah ke punggung sang menantu yang kian menjauh.“Jemput ibu sekarang juga, Santi!” Mumun memberikan perintah kepada sang anak pertama melalui sambungan telepon.Tidak sampai sepuluh menit, Santi telah sampai di tempat Mumun berada.“Ayo, kita pulang!” Mumun berdiri, hendak melangkah pergi.“Santai, Bu. Kita duduk dulu sejenak. Aku harus.” Santi baru saja menjatuhkan bobot tubuhnya di bekas tempat duduknya Amira. Perempuan yang sudah menyandang status janda itu tanpa malu menyeruput minum
“Bi, amankan ibu? Maaf aku tidak bisa kembali ke rumah sakit malam ini. Mungkin, besok pagi-pagi baru aku kembali. Urusannya di sini belum kelar.” Aku menelpon bibi setelah dari kamar mandi, persidangan Tama dan Lilik belum usai.Bibi kuminta menemani ibu di rumah sakit. Beliau tahu semuanya karena aku bercerita.“Aman, Mir. Kamu jangan khawatir. Urus saja itu si Tama. Jangan biarkan dia merasa menang dan bebas menghina, menginjak harga dirimu. Buat dia menyesal telah mencampakkan kamu. Jangan khawatir tentang ibumu. Biar bibi yang mengurusnya. Jangan lupa segera daftarkan gugatan perceraian kalian. Fikri pun harus segera menceraikan istrinya yang tidak tahu diri itu.” Aku mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan Bibi. Lalu, kami memutuskan sambungan telepon setelahnya. Aku kembali ke ruangan sidang.“Harus ada sanksi sosialnya, Pak RT. Biar menjadi pelajaran bagi warga yang lain bila ingin berbuat nista di belakang pasangannya!” usul salah satu warga yang hadir di ruangan sidan