“Alhamdulillah, barangnya sudah habis. Rezekimu bagus, De. Tidak butuh waktu lama langsung laku.” Mbak Mayang menepuk pundakku yang sedang menatap truk pengangkut barang milikku pergi meninggalkan rumah Mbak Mayang.“Terima kasih banyak, ya, Mbak. Semua ini berkat jasa Mbak Mayang, barang langsung terjual. Sungguh, aku tidak menyangka akan secepat ini. Tadinya aku pikir butuh waktu berhari-hari untuk mencari pembeli.” Aku memeluk Mbak Mayang erat. “Itu semua pertolongan dari Allah. Mbak mah apa atuh kalau Allah tidak menggerakkan hati orang tersebut, tidak mungkin orang tadi itu menanggapi postingan Mbak di media sosial.” Mbak Mayang melerai pelukannya.“Ini komisi buatmu, Mbak,” ucapku setelah kembali ke ruang tamu milik Mbak Mayang. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dari dalam gepokan, hasil penjualan barang-barangku. “Kamu nggak perlu repot ngasih komisi ke kami. Pake saja semua untuk kebutuhanmu dan Bulik Sumi,” ucap Mbak Mayang, menolak uang bonus pemberi
Jam tujuh malam, aku membawa ibu ke meja makan. Sebelum pulang, aku tadi sengaja mampir membeli beberapa lauk untuk makan malam. “Kamu kenapa, Mbak?” tanyaku saat melihat gelagat aneh Lilik. Di meja makan ia menutup mulut seperti hendak muntah saat aku membuka tutup penanak nasi. “Bau nasinya bikin mual.” Dia menjawab dengan ragu.Aku dan ibu saling pandang. Aku mengerutkan kening, tapi tidak dengan ibu. Wajah yang semua cerah kini menjadi keruh. Aku tak tahu sebabnya.“Sejak kapan kamu mual melihat nasi, Lik?” Dari atas kursi roda, ibu menatap menantunya penuh selidik. Ah, calon mantan menantu tepatnya. Karena Kak Fikri sudah sepakat dengan aku, akan menceraikan istrinya jika kondisi ibu sudah benar-benar pulih. Sementara waktu, kami akan bersikap biasa dulu.Dia menggelengkan kepalanya, ambigu. “Coba ambilkan nasi untuk Mbakmu, Mir.” Ibu menyuruhku. Meskipun enggan aku menurut, demi akting. Aku tak mau ibu curiga bila sikapku mendadak berubah pada Lilik, sang pelakor. Tangan ya
POV TamaApa sih maunya perempuan itu? Kenapa semua barang di rumah ia angkut semuanya? Kepala ini benar-benar pusing memikirkan sikap Amira yang mendadak berubah akhir-akhir ini. Tidak ada lagi istriku yang penurut. “Tam, jujur sama Ibu, sebenarnya ada masalah apa dengan rumah tangga kalian? Kenapa Amira mendadak berubah?” Aku yang baru pulang ke rumah sudah dicecar pertanyaan oleh ibu.“Tidak ada apa-apa, Bu. Mungkin, dia sedang capek saja menghadapi ibunya yang sakit-sakitan.” Aku menjawab asal sembari menjatuhkan bobot tubuh di atas sofa.“Kenapa semua barangnya harus dijual? Jangan-jangan dia mau pergi dari hidupmu, Tama! Jangan sampai itu terjadi!”Aku mengibaskan tangan. Rasanya sangat mustahil Amira meninggalkan aku. Cintanya begitu besar padaku. Aku yakin itu.“Ibu takut Amira benar-benar akan pergi dari hidupmu. Ibu tidak mau itu terjadi. Bagi ibu, dia tambang emas.” “kekhawatiran Ibu tidak akan pernah terbukti. Percayalah padaku, Bu.” Aku menggenggam tangan ibu untuk me
“Bagaimana kondisi ibu saat ini, De?” tanya Kak Fikri di seberang sana. Aku menatap ke arah ibunya yang sedang tertidur. Lalu, melangkah ke luar ruangan agar bisa leluasa berbicara dengan abangku. Saudaraku satu-satunya itu saat ini sedang dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Begitu mendengar ibu kembali masuk rumah sakit, ia segera mengajukan cuti. Beruntungnya, majikannya langsung mengizinkan tanpa kata tapi. Bahkan membelikan tiket pesawat. Empat tahun menjadi sopir pribadi membuatnya disayang majikan, begitu katanya.“De, kamu masih di sana, kan?” Suara Kak Fikri memutuskan lamunanku. “Alhamdulillah ibu sudah siuman dan saat ini sudah pindah di ruang rawat, Kak. Kakak sudah sampai bandara?” aku memastikan. Seharusnya memang dia sudah nyampe bandara internasional Soekarno Hatta.“Alhamdulillah sudah. Ini kakak sedang menunggu suami Mbak Mayang. Katanya masih dalam perjalanan.” Dari jakarta menuju daerah kami, Kak Fikri minta dijemput suaminya Mbak Mayang.“Kakak jadi lang
POV 3“Kurang ajar! Dari mana dia tahu kalau aku sedang mengincar uangnya? Seandainya ibunya tidak akan mendapatkan uang gusuran yang sangat besar itu, tidak mungkin aku sudi menemui seperti ini! Tidak mungkin aku menjatuhkan harga diriku di depan anak ingusan itu kalau bukan demi impianku. Awas kamu Amira, kamu boleh sombong saat ini, tapi lihat bagaimana nanti kamu akan bertekuk lutut di hadapanku, memohon ampunanku! Lihat saja nanti!” Mumun mengeram setelah kepergian Amira. Tatapan tajamnya mengarah ke punggung sang menantu yang kian menjauh.“Jemput ibu sekarang juga, Santi!” Mumun memberikan perintah kepada sang anak pertama melalui sambungan telepon.Tidak sampai sepuluh menit, Santi telah sampai di tempat Mumun berada.“Ayo, kita pulang!” Mumun berdiri, hendak melangkah pergi.“Santai, Bu. Kita duduk dulu sejenak. Aku harus.” Santi baru saja menjatuhkan bobot tubuhnya di bekas tempat duduknya Amira. Perempuan yang sudah menyandang status janda itu tanpa malu menyeruput minum
“Bi, amankan ibu? Maaf aku tidak bisa kembali ke rumah sakit malam ini. Mungkin, besok pagi-pagi baru aku kembali. Urusannya di sini belum kelar.” Aku menelpon bibi setelah dari kamar mandi, persidangan Tama dan Lilik belum usai.Bibi kuminta menemani ibu di rumah sakit. Beliau tahu semuanya karena aku bercerita.“Aman, Mir. Kamu jangan khawatir. Urus saja itu si Tama. Jangan biarkan dia merasa menang dan bebas menghina, menginjak harga dirimu. Buat dia menyesal telah mencampakkan kamu. Jangan khawatir tentang ibumu. Biar bibi yang mengurusnya. Jangan lupa segera daftarkan gugatan perceraian kalian. Fikri pun harus segera menceraikan istrinya yang tidak tahu diri itu.” Aku mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan Bibi. Lalu, kami memutuskan sambungan telepon setelahnya. Aku kembali ke ruangan sidang.“Harus ada sanksi sosialnya, Pak RT. Biar menjadi pelajaran bagi warga yang lain bila ingin berbuat nista di belakang pasangannya!” usul salah satu warga yang hadir di ruangan sidan
POV 3“Arak! Arak!” Suara mereka kembali memenuhi indra pendengaran Tama dan juga Lagi Lilik. “Sial! Kenapa bisa seperti ini, sih? Kenapa pula Fikri tiba-tiba pulang ke Indonesia? Kenapa dia tidak berkabar terlebih dahulu? Apa semua itu memang sudah direncanakan?” Di dalam hati Tama bertanya-tanya. “Ayo cepat jalan! Kenapa jalannya seperti putri keraton begitu itu? Malu? Giliran diarak malu, ketika berbuat maksiat tidak malu sama sekali. Dasar perempuan murahan!” Seorang ibu mengumpat di belakang Lilik.Perempuan yang saat ini menjadi terdakwa itu tidak berani menoleh ke belakang. Takut mereka semakin beringas. “Semua ini tidak akan terjadi bila Amira tidak meminta pak RT untuk memproses kami. Seharusnya, dia itu introspeksi diri ketika diselingkuhi suaminya, bukan malah mencari pelampiasan seperti ini. Seandainya, dia mampu melayani dan memanjakan suaminya di atas ranjang, tentu Tama tidak akan berpaling kepadaku. Dasar perempuan tidak sadar diri. Seharusnya ia cukup mundur, buk
POV Fikri Benar perkiraan Amira, Lilik pasti akan pulang lagi ke rumah ini. Sebab, perempuan murahan itu tidak punya pilihan lain selain kembali ke sini.“Bagus kamu kembali ke sini! Segera kemasi barangmu yang ada di sini!” Di depan pintu aku menyambutnya dengan bentakan.“Mas, kamu mengusir aku?” tanya Lilik dengan wajah memelas. Aku hanya menatapnya tajam. Seharusnya, tanpa bertanya dia sudah sadar diri.Air matanya berderai. Entah apa yang menyebabkan ia menangis. Dulu, aku akan buru-buru menghapus bila cairan bening itu membasahi pipi mulusnya. Saat ini, jangankan menyentuh pipinya, memandang wajahnya terlalu lama pun sudah merasa jijik sendiri.Melihat aku bergeming di depan pintu, Lilik menjatuhkan diri, berlutut di hadapanku. Aku geser tempat dengan segera.“Mas, aku minta maaf telah mengkhianati pernikahan kita. Aku minta maaf telah menodai kepercayaanmu. Tapi sesungguhnya, aku sangat mencintaimu, Mas. Mohon beri kesempatan kedua untukku. Tolong rujuk aku lagi. Aku rela