Share

BAB 9. CEMBURU BUTA

Keesokan harinya seperti biasa Panji akan berkunjung ke rumah ibunya. Dia membawa banyak hadiah untuk diberikan kepada keluarganya. Mahira sengaja membelikan baju baru untuk keluarga Panji untuk dipakai ke acara Mahira nanti malam.

"Wah, kak Panji datang-datang membawa banyak bingkisan. Kira-kira isinya apa?" celetuk Dara.

"Ini hadiah dari Mahira untuk kalian. Kakak juga nggak tahu apa isinya. Mahira cuma berpesan barang-barang yang ada di dalam ini harus kalian pakai untuk acara pesta nanti malam,"

"Pesta? Nanti malam ada pesta di rumah kak Mahira ya?"

"Kakak sendiri sebenarnya juga nggak tahu ada acara apa?" sahut Panji.

Dara menggeleng kepala sembari melirik ke arah Hendra dan juga ibunya.

"Yasudah, yang penting nanti malam kita semua harus datang ke acara itu. Kamu sudah sarapan belum? Kalau belum ikut sarapan sama adik-adikmu gih," titah bu Sita.

"Tidak Bu. Panji sudah sarapan kok. Mahira sudah membuatkanku sarapan,"

"Wah, tumben? Ada angin apa?" celetuk Dara.

"Kok tumben sih? Selama ini Mahira' kan memang selalu begitu. Dia tidak lupa dengan tugasnya sebagai seorang istri. Semua keperluan Kakak dia sendiri yang siapkan. Malah akhir-akhir ini aku lihat sikap Mahira sedikit berbeda padaku,"

"Maksudnya berbeda gimana Nak?"

"Apa mbak Mahira tidak mencintai kak Panji lagi?" celetuk Dara.

"Atau mbak Mahira mengusir Kak Panji?" sambung Hendra.

"Bukan begitu. Jangan salah paham dulu. Sikap Mahira yang sekarang jauh lebih dewasa. Dia jarang marah, malah lebih perhatian lagi sama aku. Lebih kalem dan sabar,"

"Wah, itu artinya mbak Mahira sudah kembali dong,"

"Sudah kembali? Memangnya Mahira pergi kemana?" tanya Panji.

"Hehehe, maksudnya bukan begitu. Tadinya kan mbak Mahira sempat menjauh dari kita. Tiba-tiba pengen menghandle usahanya sendiri. Tapi sekarang dia semakin sayang sama kak Panji. Buatku sih itu sudah lebih dari cukup. Setidaknya dia masih memperlakukan kak Panji dengan baik,"

"Oh begitu," sahut semua orang.

"Mana Irma? Tumben dia belum keluar dari kamar? Apa dia masih marah?"

"Sstt ..., Kakak tahu, semalam mbak Irma mengamuk. Dia membanting semua barang-barang kesukaan Kakak," ujar Dara.

"Apa? Dia membanting barang-barang kesukaanku? Patung berbentuk kudaku apa ikut hancur juga?" tanya Panji.

"Kalau itu kami tidak tahu. Lebih baik kamu lihat sendiri saja ke dalam. Sekalian suruh dia keluar untuk sarapan," titah bu Sita.

"Baik Bu,"

Bergegas Panji masuk ke kamarnya. Kebetulan Irma tidak mengunci pintu kamarnya, sehingga Panji bisa langsung masuk ke dalam.

Melihat kamarnya berantakan tentu saja membuat Panji merasa terkejut. Apalagi sebagian barang-barang koleksi kesukaan Panji ikut hancur karena ulah Irma.

"Irma! Apa-apaan kamu? Kenapa kamu menghancurkan sebagian barang-barang koleksiku? Kamu tahu, aku susah payah ingin mendapatkannya. Tapi kenapa dengan seenaknya kamu menghancurkannya begitu saja? Kamu tahu ini harganya sangat mahal!" Panji meninggikan suaranya karena merasa kesal.

"Bodo amat! Aku tidak peduli dengan semua barang-barang koleksimu. Aku memang sengaja menghancurkannya!"

"Tapi kenapa?" tanya Panji dengan mata setengah melotot.

"Kenapa kamu bilang? Jangan berlagak bodoh kamu Mas. Aku tahu apa yang telah kamu perbuat dengan Mahira tadi malam,"

"Memangnya apa yang aku lakukan?"

"Kamu tidur dengannya bukan? Kamu menikmati malam indah bersamanya sampai lupa dengan diriku. Kamu melupakan janjimu kepadaku!" sentak Irma.

"Apa maksud ucapanmu Irma?"

"Jangan berlagak bodoh. Aku tahu semalam kamu sedang asyik tidur berdua dengan Mahira. Gimana rasanya setelah menikmati tubuh Mahira? Kamu bahagia sekarang? Sudah puas?"

Plak

Panji reflek menampar pipi Irma.

"Tampar lagi Mas! Ayo tampar lagi sampai kau puas!"

"Dasar konyol. Kenapa kamu harus protes jika aku tidur bersama Mahira? Dia juga istriku, dia punya hak atas diriku Irma. Sah saja jika kami berdua tidur bersama. Sejujurnya aku malah kasihan kepadanya. Karena keegoisan kita Mahira harus terjerumus dalam rencana keji yang telah kamu atur. Jika kamu ingin menyalahkan seseorang atas kejadian ini. Yang pantas disalahkan itu adalah kamu sendiri bukan Mahira. Dia bukan pelakor, dia juga tidak merebutku darimu. Baginya aku ini adalah suaminya. Dia juga tidak tahu jika kamu adalah istriku. Tapi kamu sendiri yang telah merencanakan semua ini dan menempatkanku dalam posisi yang serba salah. Sebelum merencanakan hal ini apakah kamu tidak berpikir terlebih dahulu. Apa yang akan terjadi ketika kau memintaku menikahi Mahira? Apa kamu tidak takut jika aku akan jatuh cinta kepadanya?"

Deg!

"Limpahkan saja semua kesalahan ini kepadaku! Tapi kamu harus ingat, hidup kalian bisa berubah seperti sekarang, itu juga karena rencanaku. Itu artinya selama ini kalian berhutang budi kepadaku," sentak Irma.

"Sudah-sudah. Jangan ribut lagi. Karena kita sudah terjebak di dalam permainan Irma, mau tidak mau kita harus menjalaninya. Irma, ini semua adalah rencanamu. Kamu yang meminta putraku untuk menikahi Mahira. Jadi wajar saja jika Panji tidur berdua dengannya. Mahira juga istri sah Panji. Kamu harus bisa legowo, ikhlas, jika Panji juga mencintai Mahira. Ini adalah konsekuensi yang pernah diucapkan Panji sebelum menikahi Mahira. Waktu itu kamu bilang tidak apa-apa asal hidupmu tidak susah lagi. Sekarang setelah rencanamu berhasil kamu justru mempermasalahkannya dan terus menyalahkan Panji," cetus bu Sita.

"Sudahlah aku tidak mau ribut lagi. Aku sudah terlambat pergi ke kantor. Bu, aku pergi ke kantor dulu ya?"

"Hati-hati dijalan ya Nak?" Panji mengangguk.

Tanpa berpamitan kepada Irma, Panji langsung mengemudikan mobilnya dan pergi meninggalkan rumah ibunya.

Bu Sita tidak mau mengganggu Irma. Dia memilih pergi meninggalkan menantunya itu.

"Hufff, Ibu tidak menyangka keadaannya akan seperti ini," keluh bu Sita.

Dara dan Hendra mencoba menenangkan ibunya dan mengajaknya duduk.

"Lupakan saja Bu. Sekarang kita buka hadiah pemberian mbak Mahira. Aku sudah nggak sabar ingin melihat apa isi didalamnya,"

"Yasudah, buka saja sekarang," titah bu Sita.

Tanpa basa-basi lagi. Dara langsung mengeluarkan bingkisan itu satu-persatu dari dalam paper bag. Ternyata Mahira sudah memberi nama satu-persatu sehingga memudahkan mereka mengambil jatah masing-masing.

Dara langsung mengambil jatahnya dan langsung membuka bingkisan itu. Ternyata Mahira membelikan gaun cantik untuk dipakai Dara nanti malam.

"Wah, cantik sekali gaun ini. Lihat Bu, mbak Mahira tahu betul selera Dara. Aku pasti terlihat cantik sekali ketika memakainya,"

Dara langsung mencoba gaun itu lalu dia berputar-putar didepan cermin sambil bergoyang kesana-kemari.

Bu Sita dan Hendra hanya bisa menggeleng heran melihat sikap Dara yang sampai saat ini masih seperti anak-anak.

"Hendra, buka bingkisan punyamu. Kira-kira Mahira membelikanmu apa?"

"Baik Bu,"

Bergegas Hendra membuka bingkisan miliknya. Ternyata Mahira membelikannya setelan jas lengkap dengan celananya. Hendra merasa senang menerimanya.

"Mbak Mahira baik banget ya bu? Hendra dibelikan setelan jas sebagus ini," bu Sita mengangguk sembari mengulas senyum.

"Mbak Mahira belikan Ibu apa?"

"Ibu belum membukanya,"

"Kalau begitu cepat dibuka Bu. Kami juga ingin tahu apa isi di dalamnya,"

"Iya sabar,"

Bu Sita membuka bingkisan itu. Mahira membelikan gaun khusus untuk ibu mertuanya dengan model anak masa kini. Tentu saja dia menyukainya dan berulang kali mengucap terima kasih.

"Ibu pasti cantik memakai gaun ini," celetuk Dara.

"Iya, mbak Mahira memang paling pintar memilihkan baju untuk kita," ujar Hendra.

"Kalau begitu jangan lupa ucapkan terima kasih kepada mbak Mahira. Karena dia sudah membelikan gaun indah untuk kita," sahut bu Sita.

"Siap Bu,"

Ketika mereka sedang asyik membicarakan kebaikan Mahira, tiba-tiba Irma keluar dari kamarnya lalu mengambil jatah bingkisan untuknya.

Bu Sita, Dara dan Hendra hanya terdiam dan memilih fokus dengan barang yang saat ini dipegangnya.

Selesai mengambil bingkisan itu buru-buru Irma kembali masuk ke kamarnya. Irma membuka hadiah pemberian dari Mahira. Ternyata Mahira dengan sengaja membelikan Irma gaun sexy yang sangat indah. Tentu saja gaun itu sangat disukai oleh Irma. Senyuman indah tiba-tiba menghiasi wajahnya ketika Mahira juga membelikan sepatu hak tinggi model terbaru untuknya.

"Ini harganya pasti sangat mahal. Jujur, gaun ini adalah gaun yang selama ini aku incar, tapi uangku belum cukup untuk membelinya. Ternyata Mahira cukup tahu seleraku seperti apa. Tanpa susah payah mengeluarkan uang, Mahira sudah membelikannya untukku," gumam Irma.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status